0
dict
1
dict
{ "from": "human", "value": "Apakah putusan BANI dapat dimintakan pembatalan? Apa alasan dan bagaimana prosedurnya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Pembatalan putusan BANI, sebagai salah satu badan arbitrase Indonesia, hanya dapat dilakukan jika terdapat hal-hal yang luar biasa . Mengacu pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (“UU APSA”) , putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa Di samping itu, Reglement op de Rechtvordering (“Rv”) yang hingga saat ini masih berlaku juga memberikan kemungkinan pembatalan putusan arbitrase. Pasal 643 Rv menyebutkan secara limitatif alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase. Disebutkan bahwa ada 10 alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, yaitu: apabila putusan diberikan melampaui batas-batas perjanjian; apabila putusan diberikan berdasarkan: suatu persetujuan yang batal, atau telah lewat waktunya; apabila putusan diambil oleh arbiter yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya arbiter-arbiter yang lainnya; apabila putusan: telah mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut; atau telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut; apabila putusan mengandung keputusan-keputusan yang satu sama lain saling bertentangan; apabila arbiter telah melalaikan untuk memberikan keputusan tentang satu atau beberapa hal yang menurut persetujuan, telah diajukan kepada mereka untuk diputus; apabila arbiter melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus diturut, dengan ancaman kebatalan putusannya; apabila putusan didasarkan atas: surat-surat yang palsu, dan kepalsuan itu diakui atau dinyatakan sebagai palsu setelah keputusan dijatuhkan; apabila setelah putusan diberikan: diketemukan lagi surat-surat yang menentukan, dan yang dulu disembunyikan oleh para pihak; apabila putusan didasarkan atas: kecurangan; atau itikad buruk. Proses Pengajuan Pembatalan Putusan BANI Merujuk pada Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 UU APSA beserta penjelasannya , permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada ketua pengadilan negeri . Pengajuannya disampaikan secara tertulis dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri . Ini berarti, permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 UU APSA, yakni: Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri Demikian pula, kewenangan untuk memeriksa pembatalan putusan arbitrase berada di tangan ketua pengadilan negeri . [1] Pemeriksaannya dilakukan menurut proses peradilan perdata. Pihak yang mengajukan tuntutan pembatalan putusan arbitrase harus mengemukakan alasannya disertai dengan buktinya. Atas dasar alasan dan bukti tersebut, ketua pengadilan negeri dapat mengabulkan atau menolak permohonan tuntutan pembatalan putusan arbitrase tersebut. Putusan atas permohonan pembatalan putusan arbitrase harus sudah ditetapkan oleh ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan pembatalan putusan arbitrase dimaksud diterima. [2] Apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase dimaksud dikabulkan oleh ketua pengadilan negeri, maka ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. [3] Setelah diucapkan pembatalan putusan arbitrase oleh ketua pengadilan negeri, sebagaimana dijelaskan dalam Alinea Kedua Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU APSA , ketua pengadilan negeri dapat memutuskan bahwa sengketa yang dibatalkan tersebut akan diperiksa kembali oleh: arbiter yang sama; arbiter yang lainnya; sengketa tersebut tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase. Sebaliknya, apabila alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut tidak terbukti, ketua pengadilan negeri akan menolak permohonan dimaksud disertai dengan alasan-alasannya . Terhadap putusan tersebut, dapat diajukan permohonan upaya hukum ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Demikian penegasan Pasal 72 ayat (4) dan (5) UU APSA yang berbunyi: Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir; Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Jadi, UU APSA masih memberikan kemungkinan upaya hukum terhadap putusan pengadilan negeri atas permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut. Upaya hukum yang dimaksud hanya dapat diajukan ke Mahkamah Agung . Pengajuannya dilakukan secara tertulis oleh pihak yang menginginkan upaya hukum. Dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan upaya hukum diterima Mahkamah Agung, Mahkamah Agung sudah memberikan putusan terhadap permohonan tersebut. Putusan Mahkamah Agung ini merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir , artinya tidak ada upaya hukum lainnya yang bisa ditempuh jika ada pihak yang keberatan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Reglement op de Rechtvordering Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif [1] Alinea Pertama Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU APSA [2] Pasal 72 ayat (3) UU APSA [3] Alinea Pertama Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU APSA bani acara peradilan hukumonline perdata" }
{ "from": "human", "value": "Mengapa dalam sidang Tindak Pidana Ringan dalam Acara Pemeriksaan Cepat saksi tidak disumpah? Apakah perbuatan tersebut tidak menyalahi aturan Pasal 160 KUHAP yang menyatakan saksi itu harus disumpah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Ya benar bahwa pada dasarnya dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Namun, dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali dianggap perlu oleh hakim . Apa alasannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tindak Pidana Ringan Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 422) menyatakan antara lain bahwa Tindak Pidana Ringan (“Tipiring”) merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan. Lebih lanjut Yahya menjelaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tidak menjelaskan mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”. [1] Berikut pengaturan mengenai Tipiring dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP : Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini. Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, jelas bahwa Tipiring adalah tindak pidana dimana ancaman hukumannya adalah pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500 (dengan penyesuaian), dan penghinaan ringan. Kemudian dengan adanya penyesuaian denda dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP , diterbitkanlah Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif ( Restorative Justice ) (“Nota Kesepakatan 2012”). Nota Kesepakatan 2012 tersebut menyebutkan bahwa Tipiring adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 10.000 kali lipat dari denda. Pasal-pasal yang merupakan Tipiring tersebut terdapat dalam Buku II KUHP. Penjelasan selengkapnya mengenai tindak pidana ringan dapat Anda simak dalam artikel Tindak Pidana Ringan (Tipiring) . Pemeriksaan Saksi Pada Tindak Pidana Ringan Pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP memang mengatur mengenai keharusan saksi disumpah sebelum memberikan keterangan di persidangan, aturannya berbunyi: … … Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya ; Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan . Tetapi ada beberapa ketentuan dalam Acara Pemeriksaan Cepat (termasuk Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan) yang berbeda dengan ketentuan Pasal 160 (Acara Pemeriksaan Biasa) dalam hal pemeriksaan saksi. Yahya (hal. 423 s.d hal. 429) menjelaskan dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan diatur antara lain bahwa: Pelimpahan dan pemeriksaan perkara Tipiring langsung dilimpahkan oleh penyidik ke pengadilan tanpa melalui penuntut umum. Penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu 3 (tiga) hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan. [2] Lebih lanjut dijelaskan bahwa semua perkara Tipiring yang diterima pengadilan segera disidangkan pada hari itu juga. Pemeriksaan Tipiring diperiksa dan diadili oleh hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir. [3] Pengajuan perkara tanpa surat dakwaan. Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut. [4] Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu . [5] Jadi menurut Pasal 208 KUHAP , dalam acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali dianggap perlu oleh hakim. Prinsip pada Pasal 208 KUHAP ini seolah-olah bertentangan dengan Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang menegaskan “kewajiban” saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberi keterangan. Apa yang menjadi latar belakang dan alasan pembuat undang-undang mengenai hal ini tidak dijelaskan . Bagaimanapun anggapan yang diberikan terhadap Tipiring jangan sampai melenyapkan nilai-nilai kekhidmatan dan kebenaran sejati dalam pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan. [6] Bertitik tolak dari prinsip pemikiran ini, sebaiknya hakim yang memeriksa perkara dalam acara tindak pidana ringan mengikuti saja kalimat terakhir Pasal 208 yang mengatakan saksi sebelum memberi keterangan mengucapkan sumpah atau janji “jika itu dianggap perlu oleh hakim”. Anggap saja pengucapan sumpah atau janji itu perlu demi untuk menjamin kejujuran dan moralitas saksi mengutarakan keterangan yang sebenarnya. Dari segi kejiwaan, hakim yang bersangkutan akan lebih lega menjatuhkan putusan jika didukung oleh keterangan saksi yang dilandasi dengan sumpah atau janji. [7] Tanpa saksi pun perkara dapat diputus, karena dalam acara tindak pidana ringan Pasal 183 KUHAP tentang asas minimum pembuktian sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, tidak perlu diterapkan secara mutlak. [8] Buktinya Pasal 208 KUHAP sendiri sudah menegaskan, saksi yang memberi keterangan di sidang pengadilan “tidak mengucapkan” sumpah atau janji. Akan tetapi seperti yang dikatakan, seandainya ada pemeriksaan keterangan saksi, sebaiknya saksi yang bersangkutan lebih dulu mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan. Karena hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan undang-undang. [9] Jadi memang benar bahwa pada dasarnya dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Dan dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali dianggap perlu oleh hakim . Saksi yang tidak mengucapkan sumpah dalam memberikan keterangan dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidaklah menyalahi aturan. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, M.HH-07.HM.03.02, KEP-06/E/EJP/10/2012, B/39/X/2012 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Referensi : Harahap, Yahya. 2015. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. [1] Yahya Harahap, hal. 422 [2] Pasal 205 ayat (2) KUHAP [3] Pasal 205 ayat (3) KUHAP [4] Penjelasan Pasal 207 ayat (2) huruf b KUHAP [5] Pasal 208 KUHAP [6] Yahya Harahap, hal. 428 [7] Yahya Harahap, hal. 428 [8] Yahya Harahap, hal. 428 [9] Yahya Harahap, hal. 428 acara peradilan hukumonline google keterangan saksi tipiring klinik hukum tindak pidana klinik hukumonline saksi pidana" }
{ "from": "human", "value": "Teman saya menganut ateisme. Apakah hal ini diperbolehkan di Indonesia? Apabila boleh, apakah dia boleh menyebarkan kepercayaannya itu? Lalu bagaimana dengan agnostisisme? Mohon pencerahannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Menurut Helmy Hidayahtulloh dalam buku Ateisme dan Teisme Modern (hal. 63) pengertian ateisme adalah sebagai berikut:\n\nKata “ateisme” dapat dipahami dari kata-kata penyusunnya. Imbuhan “a” berarti “tanpa” atau “kurang” dan “teisme” berasal dari istilah Yunani “theos” yang berarti Tuhan. Apabila “teisme” berarti kepercayaan kepada Tuhan”, maka pemahaman yang paling umum dari istilah “ateisme” adalahketidakyakinan pada Tuhan. Oleh sebab itu “ateis” merupakan individu yang tidak percaya pada Tuhan.\nLebih lanjut menurut Nurcholish Majid, pada dasarnya ateisme adalah paham yang mengingkari adanya Tuhan. Bagi kaum ateis, yang ada ialah alam kebendaan dan kehidupan pun terbatas hanya dalam kehidupan duniawi ini saja. Kehidupan ruhani serta alam setelah kematian adalah khayal manusia yang tidak terbukti kebenarannya, karena itu mereka tolak.[1]\n\nAdapun dalam KBBI, pengertian ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa secara sederhana ateisme diartikan sebagai paham tidak mempercayai adanya Tuhan.\n\nSedangkan orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, disebut dengan ateis.\nApakah Boleh Menjadi Ateis di Indonesia?\n\nPancasila sebagai ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara Indonesia,[2] sila pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan, yang menciptakan alam semesta beserta isinya.\n\nHal ini juga ditegaskan Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna yang menyatakan bahwa kuatnya saham keagamaan dalam fondasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan (hal. 67).\n\nLebih lanjut, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ini juga tertuang dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:\n\nNegara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.\n\nBerdasarkan hal tersebut, maka unsur ateisme bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]\n\nAkan tetapi, sepanjang penelusuran kami tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas dan eksplisit melarang ataupun memberikan sanksi bagi seorang ateis.\n\nArtinya, secara hukum, tidak ada peraturan perundang-undangan yang tegas melarang seseorang menganut paham ateisme. Konsekuensi hukum dari seseorang yang menganut paham ateisme adalah tidak dapat menikmati hak-hak yang pada umumnya bisa dinikmati mereka yang menganut agama tertentu di Indonesia.\n\nMisalnya kesulitan mengurus perkawinan, karena menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan sahapabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Selain itu, juga akan kesulitan mengurus dokumen-dokumen kependudukan seperti KTP yang mengharuskan adanya pencantuman agama atau kepercayaan.[4]\n\nBerbeda halnya halnya dengan ateis yang “hanya” menganut paham ateisme, penyebar paham ateisme di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur di dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[5] yaitu tahun 2026 sebagai berikut.\nPasal 156a KUHPPasal 302 UU 1/2023Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.Setiap orang yang di muka umum menghasut agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta.[6]Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta.[7]\n\nBerdasarkan Pasal 156a KUHP di atas dapat dipahami bahwa seorang ateisme dilarang menyebarkan paham ateisme. Sementara jika seseorang menyebarkan ateisme dengan cara menghasut atau menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain menjadi ateis dapat dipidana berdasarkan Pasal 302 UU 1/2023\nApakah di Indonesia Boleh Agnostik?\nMenurut Kamarusdiana dalam buku Filsafat Hukum (hal. 153) agnostisisme didefinisikan sebagai berikut:\n\nAgnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu umumnya yang berkaitan dengan theology, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa dan sebagainya adalah tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas, karena pengetahuan yang terbatas dan membawa keterbatasan dari segi ilmu pengetahuan.\n\nLebih lanjut Helmy Hidayatulloh (hal. 77) menjelaskan bahwa agnostisisme berarti tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan percaya bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat diperoleh. Adapun penganut agnostisisme ini disebut dengan agnostik.\n\nSementara, menurut KBBI, agnostisisme adalah paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran tertinggi. Agnostisisme juga diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan.\n\nLebih lanjut, menurut KBBI, agnostik adalah orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui.\n\nAgnostik juga dapat diartikan sebagai orang yang berpendapat bahwa beberapa aspek supranatural selamanya tertutup bagi pengetahuan manusia.[8]\n\nBerdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa agnostisisme suatu pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan adalah suatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui. Sementara ateisme merupakan paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.\n\nLantas, apakah di Indonesia boleh agnostik? Mengacu pada ulasan di atas dapat dipahami bahwa terhadap paham agnostisisme maupun ateisme tidak secara tegas dilarang ataupun ditentukan sanksi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.\n\nAkan tetapi, patut diperhatikan Pasal 156a KUHP yang melarang seorang ateis ataupun agnostik menyebarkan pahamnya dengan tujuan agar orang lain tidak menganut suatu agama apapun. Terlebih jika penyebarannya dilakukan dengan cara menghasut atau dengan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 302 UU 1/2023 melarang hal tersebut.\n\nBaca juga: Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan sebagai Hak Asasi Manusia\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/undang-undang-dasar-1945/consolidations?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974)\n4. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014/undang-undang-nomor-16-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_16_2019)\n5. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26195/undangundang-nomor-23-tahun-2006/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2006)\n6. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8dd4cb6d80/node/758/uu-no-24-tahun-2013-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2006-tentang-administrasikependudukan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_24_2013)\n7. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n8. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_15_2019)\n9. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62b01b9e7e96e/undang-undang-nomor-13-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2022)\n10. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.\n\nREFERENSI:\n1. Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020\n2. Kamarusdiana. Filsafat Hukum. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2018\n3. Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012\n4. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2016, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 14.20 WIB\n5. Ateisme, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 14.51 WIB\n6. Ateis, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.01 WIB\n7. Agnostisisme, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.51 WIB\n8. Agnostik, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.30 WIB.\n[1] Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020, hal. 167\n\n[2] Penjelasan Pasal 2 alinea ke-2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan\n\n[3]Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2016, hal. 125\n\n[4] Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukanjo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016\n\n[5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)\n\n[6] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023\n\n[7] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023\n\n[8] Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020, hal. 78" }
{ "from": "human", "value": "Saya sudah membaca artikel pertanyaan: Aturan Modifikasi Kendaraan Bermotor dan jawaban yang diberikan hukumonline. Namun saya masih belum jelas dengan hal berikut ini: Apakah memodifikasi warna kendaraan, baik sebagian maupun seluruhnya (menggunakan cat ataupun stiker) juga dianggap sebagai atau termasuk kategori \"Modifikasi Kendaraan Bermotor\" sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan PP No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan sehingga tetap memerlukan izin resmi? Demikian dan terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Modifikasi Kendaraan Bermotor adalah perubahan terhadap spesifikasi teknis dimensi, mesin, dan/atau kemampuan daya angkut Kendaraan Bermotor. Mengacu pada definisi ini, mengubah warna kendaraan bermotor dengan cat atau stiker itu bukanlah termasuk modifikasi kendaraan bermotor, melainkan perubahan fisik kendaraan bermotor. Terkait pengubahan warna kendaraan bermotor ini, ada ketentuan-ketentuan yang wajib dipatuhi yaitu antara lain: j ika pengubahan warna kendaraan bermotor hingga mengubah cat dasar sehingga berbeda dengan fisik warna kendaraan yang tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan, maka ini merupakan pelanggaran hukum jika mobil tersebut tidak diregistrasi dan diidentifikasi ulang. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Arti dan Lingkup Modifikasi Kendaraan Bermotor Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu memahami arti dan lingkup Modifikasi Kendaraan Bermotor itu. Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP 55/2012”) menyebutkan sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Adakah Sanksi Jika Memodifikasi Knalpot Racing ? 15 Mei 2023 Agar Tidak Melanggar Hukum Saat Memasang Stiker Mobil 25 Jun 2015 Tidak Memasang Pelat Nomor di Bagian Depan Kendaraan 06 Mei 2015 Modifikasi Mobil Angkutan Barang Menjadi Angkutan Orang 05 Mar 2015 Modifikasi Kendaraan Bermotor adalah perubahan terhadap spesifikasi teknis dimensi, mesin, dan/atau kemampuan daya angkut Kendaraan Bermotor. Terhadapmodifikasi kendaraan bermotor  yang menyebabkan perubahan tipe berupa dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut ini wajib dilakukan uji tipe yang salah satunya terdiri dari penelitian rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Apa yang dimaksud dengan modifikasi dimensi, mesin dan daya angkut? 1. Modifikasi dimensi hanya dapat dilakukan pada perpanjangan atau pemendekan landasan (chassis) tanpa mengubah jarak sumbu dan konstruksi Kendaraan Bermotor tersebut. 2. Modifikasi mesin dilakukan dengan mengganti mesin dengan mesin yang merek dan tipenya sama. 3. Modifikasi daya angkut hanya dapat dilakukan pada Kendaraan Bermotor dengan menambah sumbu bagian belakang tanpa mengubah jarak sumbu aslinya dan sumbu yang ditambahkan harus memiliki material yang sama dengan sumbu aslinya dan harus dilakukan perhitungan sesuai dengan daya dukung jalan yang dilalui. [2] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Aturan Modifikasi Kendaraan Bermotor . Menjawab pertanyaan Anda, dari penjelasan soal modifikasi kendaraan bermotor di atas dapat dilihat bahwa mengubah warna kendaraan bukanlah termasuk modifikasi kendaraan bermotor. Mengubah warna sebagian atau seluruhnya warna kendaraan dengan menggunakan stiker maupun cat ini termasuk kategori perubahan identitas fisik kendaraan bermotor. Perubahan Identitas Fisik Kendaraan Bermotor Nah, terkait perubahan identitas fisik kendaraan bermotor ini ada ketentuan-ketentuan yang wajib dipatuhi. Jika pemasangan stiker atau mengubah warna cat kendaraan bermotor di seluruh badan kendaraan hingga me ng ubah cat dasar sehingga berbeda dengan fisik warna kendaraan yang tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan (“STNK”), maka hal ini merupakan pelanggaran hukum jika mobil tersebut tidak diregistrasi dan diidentifikasi ulang atas kendaraan tersebut. [3] Hal ini karena warna dasar fisik mobil dengan keterangan warna kendaraan bermotor pada STNK tidak boleh berbeda. Registrasi ini dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sistem manajemen registrasi Kendaraan Bermotor yang merupakan bagian dari Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan digunakan untuk forensik kepolisian. [4] Jika Pemilik Kendaraan yang Warna Mobilnya Tidak Sesuai dengan di STNK Kasubdit Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Hindarsono dalam artikel Berapa Tarif Ganti Warna Kendaraan? yang kami akses dari laman Detik Oto menuturkan bahwa kepolisian pastinya akan menindak pemilik kendaraan yang warna mobilnya tidak sesuai dengan di STNK. Menurut Hindarsono, warna mobil yang tidak sesuai STNK bisa jadi merupakan salah satu ciri dari kasus kejahatan, seperti mobil curian, atau bentuk kejahatan lainnya. Risiko hukumnya, jika suatu saat pengemudi mobil terkena razia atau pemeriksaan kendaraan bermotor namun tidak dapat menunjukkan STNK yang sesuai dengan fisik mobil dan ditetapkan oleh ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka ancaman pidananya adalah kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). [5] Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Agar Tidak Melanggar Hukum Saat Memasang Stiker Mobil ,apabila kita ingin mengubah warna mobil, maka harus terlebih dahulu mengubah identitas warna yang tertera di STNK. Hal ini bertujuan bukan hanya untuk tertib administrasi saja, tetapi yang lebih utama untuk pengendalian dan pengawasan kendaraan bermotor. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan . Referensi: http://oto.detik.com/read/2013/12/19/125218/2446518/1211/berapa-tarif-ganti-warna-kendaraan , diakses pada 7 Desember 2015 pukul 17.02 WIB. [1] Pasal 52 ayat (1) jo. ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Pasal 131 huruf e jo. Pasal 123 ayat (1) huruf b PP Kendaraan [2] Penjelasan Pasal 131 huruf e PP Kendaraan [3] Pasal 64 ayat (2) huruf b UU LLAJ [4] Pasal 64 ayat (4) dan (5) UU LLAJ [5] Pasal 288 ayat (1) UU LLAJ klinik hukumonline uu lalu lintas hukumonline hukum" }
{ "from": "human", "value": "Mohon penjelasannya, dalam putusan pengadilan pada kasus perdata Majelis Hakim memutuskan dengan mengadili sebagai berikut: DALAM EKSEPSI : -- Menolak Eksepsi Tergugat, DALAM POKOK PERKARA : -- Menolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya -- Menghukum Penggugat untuk membayar ongkos yang timbul dalam perkara ini. Pertanyaannya, apakah arti:”DALAM EKSEPSI: Menolak Eksepsi Tergugat” tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pertama-tama, kami akan memperjelas pertanyaan Anda. Adapun yang ditanyakan adalah sebagai berikut:\n\nDALAM EKSEPSI:\nMenolak Eksepsi Tergugat\nDALAM POKOK PERKARA:\nMenolak Gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan menghukum Penggugat.\n\nKutipan putusan pengadilan yang Anda sebutkan disebut amar putusan. Menurut Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (hal. 811), diktum putusan atau amar adalah pernyataan (deklarasi) yang berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan barang objek yang disengketakan. Dan juga berisi perintah atau penghukuman atau condemnatoir yang ditimpakan kepada pihak yang berperkara.\n\nBunyi putusan sebagaimana yang Anda sebutkan itu dijatuhkan apabila gugatan konvensi tidak terbukti, eksepsi tidak berdasar, dan rekonvensi tidak terbukti. Apabila terhadap gugatan tergugat mengajukan eksepsi dan rekonvensi, berarti terdapat tiga pokok perkara yang harus diselesaikan dalam putusan yakni konvensi, eksepsi dan rekonvensi.[1]\n\nApabila ternyata dari hasil pemeriksaan gugatan konvensi tidak terbukti, eksepsi tidak mempunyai dasar, dan gugatan rekonvensi juga tidak terbukti, amar putusan yang harus dijatuhkan adalah:[2]\n\nDalam konvensi\n\nDalam eksepsi\n\nTolak atau tidak dapat diterima eksepsi\n\nDalam pokok perkara\n\nMenolak gugatan seluruhnya\n\nDalam rekonvensi\n\nMenolak gugatan rekonvensi seluruhnya\n\nLebih lanjut, istilah konvensi, rekonvensi, eksepsi, dalam proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan adalah:\n\nRekonvensi\n\nMenurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya.\nDalam Penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya.\n\nKonvensi\n\nIstilah konvensi sebenarnya merupakan istilah untuk menyebut gugatan awal atau gugatan asli. Istilah ini memang jarang digunakan dibanding istilah gugatan karena istilah konvensi baru akan dipakai apabila ada rekonvensi (gugatan balik tergugat kepada penggugat).\nDi dalam penjelasannya, Yahya Harahap (hal. 470) menerangkan bahwa Anda dapat menemukan bahwa ketika penggugat asal (A) digugat balik oleh tergugat (B) maka gugatan A disebut gugatan konvensi dan gugatan balik B disebut gugatan rekonvensi.\n\nEksepsi\n\nMenurut Yahya Harahap (hal. 418), eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima (oleh tergugat).\nAdapun tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara. Eksepsi diatur dalam Pasal 136 HIR.\n\nSepanjang penelusuran kami, contoh eksepsi antara lain gugatan penggugat kabur dan tidak jelas (obscuur libel), gugatan penggugat kurang pihak, gugatan prematur, ataupun gugatan penggugat error in persona. Sehingga, dalam eksepsi, biasanya tergugat meminta majelis hakim meminta agar gugatan penggugat dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).\nArti Putusan yang Menolak Eksepsi Tergugat\n\nDari kutipan amar putusan yang Anda sebutkan, eksepsi diperiksa dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara. Berdasarkan Pasal 136 HIR, penyelesaian eksepsi lain di luar eksepsi kompetensi:[3]\n\nDiperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara;Dengan demikian, pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersamaan secara keseluruhan dalam putusan akhir.\n\nJadi semua eksepsi, kecuali yang berkenaan dengan kompentensi, diperiksa dan diputus secara secara bersama-sama dengan pokok perkara, tidak diperiksa dan diputus secara terpisah dengan pokok perkara. Oleh karena itu, tidak boleh diputus dan dituangkan lebih dahulu dalam putusan sela.[4]\n\nAda dua acuan penerapannya yaitu:[5]\n\nEksepsi dikabulkan, putusan bersifat negatif.\n\nJika eksepsi dikabulkan, putusan akhir dijatuhkan berdasarkan eksepsi, dengan amar putusan:\n\nMengabulkan eksepsi tergugat, danMenyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.\n\nEksepsi ditolak, putusan bersifat positif berdasarkan pokok perkara\n\nApabila hakim menolak eksepsi, putusan akhir yang dijatuhkan bersifat positif. Putusan yang dijatuhkan bertitik tolak dari materi pokok perkara, sehingga:\n\nPutusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan yang terjadi secara tuntas antara penggugat dan tergugat;Bentuk penyelesaian terkandung dalam putusan yang bersifat positif:Menolak gugatan penggugat, dengan demikian hak dan kedudukan tergugat atas objek yang disengketakan, tetap sah menurut hukum;Mengabulkan gugatan dibarengi dengan diktum yang menyatakan hak dan kedudukan tergugat atas objek sengketa, tidak sah dan harus dipulihkan ke pada penggugat.\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, arti dari putusan eksepsi ditolak yang Anda sebutkan adalah pemeriksaan gugatan konvensi tidak terbukti dan eksepsi tidak mempunyai dasar.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait arti putusan yang menolak eksepsi, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nHerzien Inlandsch Reglement (H.I.R).\n\nReferensi:\n\nYahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016\n\n[1] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 812[2] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 812[3] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 428[4] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 428[5] Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 428–429" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana caranya membuktikan perjanjian tidak tertulis di hadapan pengadilan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan mengulas apakah perjanjian tidak tertulis sah menurut hukum? Dalam KUH Perdata, suatu perjanjian tidak harus dalam bentuk tertulis. Sebab, keabsahan dari suatu perjanjian didasarkan pada empat hal saja yaitu:[1]\n\nkesepakatan antar para pihak;kecakapan hukum para pihak;adanya pokok persoalan yang diperjanjikan; dankausa yang diperbolehkan.\n\nBaca juga: Pasal 1320 KUH Perdata tentang Syarat Sah Perjanjian\nBerdasarkan uraian di atas, maka secara umum tidak ada kewajiban untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertulis. Namun, undang-undang terkadang membuat pengecualian terhadap beberapa bentuk perjanjian agar dibentuk secara tertulis, antara lain:[2]\n\nPerjanjian hibah kecuali hibah hak atas tanah, dalam bentuk akta notaris;Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotek atas kapal, dalam bentuk akta notaris;Perjanjian subrogasi, dalam bentuk akta notaris;Perjanjian pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, dalam bentuk akta pejabat pembuat akta tanah;Perjanjian jaminan fidusia, dalam bentuk akta notaris.\n\nOleh karena itu, pembahasan ini akan didasarkan pada asumsi bahwa perjanjian yang akan dibuktikan di hadapan pengadilan bukanlah perjanjian yang harus dibentuk dalam bentuk tertulis.\nCara Membuktikan Perjanjian Tidak Tertulis\n\nDalam perkara perdata, sering kali bukti tulisan seperti perjanjian dalam bentuk tertulis yang diajukan oleh para pihak ke pengadilan untuk menegakkan hak mereka.\n\nNamun, perlu diketahui bahwa dalam pembuktian perkara perdata, Anda dapat menggunakan lima jenis alat bukti berupa:[3]\n\nbukti tulisan;keterangan saksi;persangkaan;pengakuan;\n\nBerdasarkan jenis alat bukti di atas, maka terdapat opsi lain selain bukti tulisan, seperti keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, atau sumpah untuk membuktikan adanya perjanjian di antara para pihak.\nSelain itu, pada dasarnya pengadilan harus memutus suatu perkara tanpa mengesampingkan prinsip unus testis nullus testis, yaitu bahwa suatu keterangan saksi yang tidak diperkuat alat bukti lain tidak boleh dipercaya oleh Majelis Hakim sebagai suatu kebenaran.[4]\n\nSehingga, dalam membuktikan suatu perjanjian tidak tertulis di depan pengadilan, maka tidak mutlak harus dibuktikan berdasarkan alat bukti surat. Namun, dapat dengan menghadirkan keterangan saksi dengan alat bukti lainnya seperti pengakuan dari para pihak yang melakukan perjanjian atau adanya bukti persangkaan lain seperti bukti transfer atau dokumen terkait pelaksanaan perjanjian.\n\nBukti elektronik seperti rekaman suara, foto, video, voice note, maupun surel juga dapat juga digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 5 ayat (1) UU 1/2024 yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.\n\nKeberadaan informasi dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik dan transaksi elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik.[5]\n\nInformasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.[6]\n\nNamun perlu dicatat bahwa khusus untuk informasi dan/atau dokumen elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.[7]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Herzien Inlandsch Reglement](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/27228/herzien-inlandsch-reglement?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=hir)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/undangundang-nomor-11-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2008)\n4. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\nREFERENSI:\n1. Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju, 2012.\n\n[1] Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)\n\n[2] Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju, 2012, hal. 146\n\n[3] Pasal 1866 KUH Perdata jo. Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”)\n\n[4] Pasal 1905 KUH Perdata jo. Pasal 169 HIR\n\n[5] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”)\n\n[6] Pasal 5 ayat (2) UU 1/2024\n\n[7] Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 1/2024" }
{ "from": "human", "value": "Saya akan mendirikan sebuah perusahaan kecil yang terdiri dari bermacam bidang usaha, yaitu Warnet, Kantin, Kursus dan Workshop Multimedia. HukumOnline menjelaskan bahwa syarat mendirikan PT di antaranya perlu minimal 2 pemegang saham, sementara modal hanya berasal dari dana saya sendiri tanpa melibatkan modal orang lain. Kira-kira bentuk badan usaha apa yang cocok bagi perusahaan yang akan saya dirikan dan apa saja persyaratan dan perizinan yang harus saya penuhi sehingga perusahaan ini status hukumnya legal (tidak bermasalah dari segi hukum di kemudian hari)? Kemudian, seandainya tidak bisa berbentuk PT, apakah perusahaan itu diizinkan untuk ikut dalam tender-tender dan menjual produk, misalnya film animasi, dan lain-lain? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "I. Melihat dari deskripsi bidang usaha yand dijelaskan di atas, kami menyarankan Saudara untuk membentuk suatu Perseroan Terbatas (PT), dengan pertimbangan bahwa PT akan lebih diminati dalam hal Saudara ingin berpartisipasi mengikuti kegiatan tender di kemudian hari. II. Syarat-syarat pendirian PT: 1. memiliki minimal dua pemegang saham. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Memiliki modal dasar minimal Rp50 juta, yang paling sedikit 25% dari modal dasar tersebut telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat pendirian (pasal 32 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas); 3. setiap pendiri wajib mengambil bagian saham; 4. didirikan dengan akta notaris. Izin-izin yang diperlukan bagi beroperasinya suatu PT: 1. Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM 2. Surat Domisili 3. NPWP 4. SIUP 5. TDP. 6. Izin-izin teknis lainnya dari departmen teknis terkait. III.Keikutsertaan dalam tender: Syarat ini biasanya datang dari pihak penyelenggara tender. Walaupun tidak ada ketentuan dalam hukum yang mensyaratkan peserta tender harus berbentuk PT, akan tetapi penyelenggara tender biasanya mensyaratkan bagi calon peserta tender untuk berbentuk PT. Syarat bentuk badan hukum ini biasanya diikuti dengan syarat-syarat lain, seperti adanya pengalaman dalam bidang yang digeluti atau terdaftar dalam suatu organisasi nasional bidang tersebut yang telah diakui oleh pemerintah. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat." }
{ "from": "human", "value": "Apakah boleh membuat laporan kepada pihak Kepolisian mengenai suatu kasus tanpa mencantumkan nama asli pelapor, tapi hanya nama panggung/lainnya yang tidak sesuai dengan yang terdaftar pada kartu identitas (KTP)? Demikian pula dengan orang yang dilaporkan (terlapor), bolehkah menuliskan namanya pada surat tanda bukti laporan hanya dengan menggunakan nama panggungnya saja? Saya sedang sangat membutuhkan informasi ini. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Secara eksplisit tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana bahwa nama pelapor atau terlapor yang tercantum dalam laporan harus sesuai dengan identitas aslinya. Demikian halnya dalam penyelidikan dan penyidikan tidak ada keharusan menyebut suatu identitas tersangka. Namun, dalam hal seseroang membuat laporan suatu tindak pidana, saat meyampaikan laporan baik tertulis maupun lisan si pelapor diwajibkan untuk menandatangani laporan tersebut. Maka di sini pelapor harus menggunakan nama asli dalam melapor. Kemudian mengenai identitas tersangka (atau orang yang dilaporkan), penulisan nama alias dimungkinkan dilakukan jika seseorang benar-benar tidak mengetahui nama tersangkanya. Dalam penyelidikan dan penyidikan, jika seorang tersangka tidak diketahui identitasnya, polisi memiliki kewajiban untuk untuk mencari dan mengumpulkan salah satunya identitas tersangka. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Laporan Polisi Definisi laporan menurut Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP . Dari pengertian di atas, laporan merupakan suatu bentuk pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah ada atau sedang atau diduga akan terjadinya sebuah peristiwa pidana/kejahatan. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. [1] Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu . [2] Sedangkan laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik . [3] Apabila pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut. [4] Menjadi penting perihal dengan laporan yang harus ditandatangani. Menurut hemat kami meskipun tidak disebutkan secara jelas dalam peraturan, akan tetapi penandatanganan secara logis menjadi cara mempertanggung jawabkan “keabsahan” data dari suatu laporan sehingga identitas asli diperlukan. Mengenai laporan, secara lebih lanjut diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”) . Penyelidikan Kegiatan penyelidikan dilakukan : [5] sebelum ada laporan polisi/pengaduan, hal ini dilakukan untuk mencari dan menemukan tindak pidana ; [6] sesudah ada laporan polisi/pengaduan atau dalam rangka penyidikan, hal ini dilakukan untuk: [7] menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau bukan; membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya; dan dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa. Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik wajib membuat rencana penyelidikan. Rencana penyelidikan sekurang-kurangnya memuat: [8] surat perintah penyelidikan; jumlah dan identitas penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan penyelidikan; objek, sasaran dan target hasil penyelidikan ; kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelidikan dengan metode sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; peralatan, perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan; waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan; dan kebutuhan anggaran penyelidikan. Sasaran penyelidikan meliputi: [9] orang; benda atau barang; tempat; peristiwa/kejadian; dan kegiatan. Penyelidikan dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan TKP, yaitu salah satunya untuk mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas tersangka, dan saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya. [10] Penyidikan Laporan Polisi tentang dugaan adanya tindak pidana diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”) atau Siaga Bareskrim Polri, laporan tersebut dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B. [11] Selain itu, penyidik juga wajib membuat rencana penyidikan, yang dimaksudkan untuk melaksanakan penyidikan agar profesional, efektif dan efisien. [12] Rencana penyidikan yang dimaksud diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat: [13] jumlah dan identitas penyidik; sasaran/target penyidikan ; kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap penyidikan; karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik; waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara; kebutuhan anggaran penyidikan; dan kelengkapan administrasi penyidikan. Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria: [14] perkara mudah, yang terdiri dari: [15] Saksi cukup; Alat bukti cukup; Tersangka sudah diketahui atau ditangkap; dan Proses penanganan relatif cepat. perkara sedang, antara lain: [16] Saksi cukup; Terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka; Identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap; Tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir; Tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya; dan Tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan ahli mudah didapatkan perkara sulit, yaitu: [17] saksi tidak mengetahui secara langsung tentang tindak pidana yang terjadi tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatantertentu; tersangka dilindungi kelompok tertentu atau bagian dari pelaku kejahatan terorganisir; barang Bukti yang berhubungan langsung dengan perkara sulit didapat; diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung pengungkapan perkara; diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya; tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempat; dan memerlukan waktu penyidikan yang cukup. perkara sangat sulit, yaitu: [18] belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana; saksi belum diketahui keberadaannya; saksi atau tersangka berada di luar negeri; TKP di beberapa negara/lintas negara; tersangka berada di luar negeri dan belum ada perjanjian ekstradisi; barang Bukti berada di luar negeri dan tidak bisa disita; tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu; dan memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang. Sebagai referensi tambahan Anda juga dapat simak artikel Prosedur Melaporkan Peristiwa Pidana ke Kantor Polisi . Kesimpulan Secara eksplisit tidak diatur bahwa seseorang harus mencantumkan nama si pelapor dan/atau tersangka dengan sesuai dengan identitas asli yang tertera dalam KTP. Bahkan dalam penyelidikan dan penyidikan tidak ada keharusan menyebut suatu identitas tersangka. Namun, dalam hal seseroang membuat laporan suatu tindak pidana, setelah meyampaikan laporan baik tertulis maupun lisan si pelapor diwajibkan untuk menandatangani laporan tersebut. Maka di sini pelapor harus menggunakan nama asli dalam melapor. Kemudian mengenai identitas tersangka (atau orang yang dilaporkan), penulisan nama alias dimungkinkan dilakukan jika seseorang benar-benar tidak mengetahui nama tersangkanya. Dalam penyelidikan, jika seorang tersangka tidak diketahui identitasnya, polisi memiliki kewajiban untuk untuk mencari dan mengumpulkan salah satunya identitas tersangka. Juga dalam penyidikan, jika tersangka belum diketahui identitasnya dimungkinkan untuk tetap diproses secara hukum. Hal ini tergantung dengan tingkat kesulitan perkaranya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana [1] Pasal 1 angka 5 KUHAP [2] Pasal 103 ayat (1) KUHAP [3] Pasal 103 ayat (2) KUHAP [4] Pasal 103 ayat (3) KUHAP [5] Pasal 11 ayat (1) Perkapolri 14/2012 [6] Pasal 11 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [7] Pasal 11 ayat (3) Perkapolri 14/2012 [8] Pasal 16 Perkapolri 14/2012 [9] Pasal 12 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [10] Pasal 24 huruf a angka 1 Perkapolri 14/2012 [11] Pasal 14 ayat (1) dan (2) Perkapolri 14/2012 [12] Pasal 17 ayat (1) jo. ayat (3) Perkapolri 14/2012 [13] Pasal 17 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [14] Pasal 17 ayat (4) Perkapolri 14/2012 [15] Pasal 18 ayat (1) Perkapolri 14/2012 [16] Pasal 18 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [17] Pasal 18 ayat (3) Perkapolri 14/2012 [18] Pasal 18 ayat (4) Perkapolri 14/2012 laporan hukumonline online tersangka korban hukum klinik hukumonline pengaduan polisi pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya dan beberapa teman ingin memulai usaha kurir, apakah izin usaha yang dibutuhkan? Terima kasih sebelumnya." }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITCara Mendapatkan Izin Usaha Produksi Pestisida18 Apr 2024 Izin Usaha Angkutan Bermotor untuk Barang Umum12 Apr 2024Izin Usaha Perdagangan Besar Hasil Perikanan07 Mar 2024Ini Izin Usaha Gym dan Nomor KBLI-nya24 Jan 2024\n\nBerdasarkan Lampiran Peraturan BPS 2/2020, pelaku usaha yang ingin melakukan kegiatan usaha aktivitas kurir dapat menggunakan Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”) 53201 (hal. 509).\n\nKBLI 53201 mencakup usaha jasa pelayanan pengiriman barang yang dilakukan secara komersial selain kegiatan pengiriman pos universal. Kegiatannya mencakup pengumpulan/pengambilan, penyortiran/pemrosesan, pengangkutan dan pengantaran surat, dokumen, parsel, barang, dan paket baik domestik maupun internasional melalui perusahaan dengan menggunakan satu atau lebih jenis angkutan dan kegiatannya dapat menggunakan angkutan pribadi atau angkutan umum. Aktivitas ini meliputi seluruh kegiatan penyelenggaraan pos yang jenis dan tarif layanannya ditetapkan oleh penyelenggara pos berdasarkan formula perhitungan berbasis biaya sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah.\nPerizinan Berusaha Aktivitas Kurir\nBerdasarkan Lampiran I – Sektor Pos, Telekomunikasi, Penyiaran, dan Sistem dan Transaksi Elektronik PP 5/2021 disebutkan bahwa Kode KBLI 53201 termasuk jenis usaha dengan risiko tinggi. Sehingga perizinan berusaha yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial aktivitas kurir adalah Nomor Induk Berusaha (“NIB”) dan izin. Selain itu, kegiatan usaha ini dapat dilakukan oleh seluruh pelaku usaha dari skala mikro hingga besar (hal. I.14.A.14).\n\nAdapun, izin yang dimaksud di atas merupakan persetujuan pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.[1]\nSebelum memperoleh izin, pelaku usaha dapat menggunakan NIB untuk persiapan kegiatan usaha.[2] Berdasarkan Lampiran II – Sektor Pos, Telekomunikasi, Penyiaran PP 5/2021 (hal. II.14.A.34 – 36) persyaratan yang harus dipenuhi oleh KBLI 53201 untuk mendapatkan perizinan berusaha adalah sebagai berikut:\n\nMemiliki modal paling sedikit Rp500 juta;Proposal rencana usaha 5 tahun yang berisi:\n\nProfil badan usaha, struktur permodalan, susunan direksi atau pengurus, dan dewan komisaris atau pengawas;Aspek teknis;Aspek bisnis; danAspek keuangan.\n\nPernyataan:\n\nKesanggupan mematuhi ketentuan penyelenggaraan pos; danMenyampaikan data yang valid dan benar.\n\nDaftar susunan pengurus untuk membuktikan bahwa direksi, pengurus, dan/atau badan hukum pelaku usaha tidak ditetapkan dalam Daftar Hitam Penyelenggara.\n\nSelain itu, juga harus memenuhi persyaratan pembayaran biaya izin penyelenggaraan pos berdasarkan surat pemberitahuan pembayaran (hal. II.14.A.36)\n\nLebih lanjut, merujuk Lampiran III Perpres 49/2021 (hal. 3), kegiatan usaha aktivitas kurir terbuka untuk modal asing dengan maksimal kepemilikan saham sebesar 49%.\nJika mengalami kesulitan untuk mengurus pendirian perusahaan dan perizinan berusaha, silakan kontak Easybiz di [email protected] untuk solusi terbaik pendirian perusahaan dan perizinan berusaha yang legal dan tepat.\n\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\n\nSumber Hukum:\n\nPeraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal;Peraturan Badan Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia.\nREFERENSI:\n1. KBLI 53201, yang diakses pada Senin, 29 April 2024 pukul 16.00 WIB.\n\n[1] Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”)[2] Pasal 15 ayat (3) PP 5/2021" }
{ "from": "human", "value": "Kepada Hukumonline, saya mau bertanya, apa yang harus saya lakukan untuk memiliki izin angkutan barang umum?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITKemudahan Pendirian PT untuk Usaha Mikro dan Kecil 18 Mar 2024Izin Usaha Perdagangan Besar Hasil Perikanan07 Mar 2024Izin Pertambangan Pihak Asing19 Feb 2024Ini Izin Usaha Gym dan Nomor KBLI-nya24 Jan 2024\n\nMerujuk Lampiran Permenhub PM 13/2023 (hal. 25) yang dimaksud dengan perusahaan angkutan umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan bermotor umum.\n\nAdapun, angkutan barang umum adalah angkutan barang pada umumnya yang tidak berbahaya dan tidak memerlukan sarana khusus.[1] Sedangkan yang dimaksud dengan barang umum tersebut terdiri atas:[2]\n\nmuatan umum;muatan logam;muatan barang pokok;muatan barang penting;muatan kayu;muatan yang dimasukkan ke palet/dikemas;kendaraan dengan tutup gorden samping; dankaca lembaran.\nUntuk mendapatkan izin usaha angkutan bermotor untuk barang umum, pertama-tama Anda perlu mengetahui terlebih dahulu Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia atau KBLI untuk usaha tersebut.\n\nBerdasarkan Lampiran Peraturan BPS 2/2020 (hal. 478), pelaku usaha yang ingin melakukan kegiatan usaha angkutan bermotor untuk barang umum dapat menggunakan KBLI 49431.\nKBLI 49431 ini mencakup operasional angkutan barang dengan kendaraan bermotor dan dapat mengangkut lebih dari satu jenis barang, seperti angkutan dengan truk, pick up, bak terbuka dan bak tertutup (box).\nPerizinan Berusaha Angkutan Bermotor untuk Barang Umum\n\nLebih lanjut, dalam Lampiran I PP 5/2021 (hal. I.9.A.21) disebutkan bahwa KBLI 49431 termasuk ke dalam jenis usaha dengan tingkat risiko menengah tinggi sehingga perizinan berusaha yang dibutuhkan adalah Nomor Induk Berusaha (“NIB”) dan Sertifikat Standar yang terverifikasi. Selain itu, kegiatan usaha ini dapat dilakukan oleh seluruh pelaku usaha dari skala mikro hingga besar.\n\nSebagai informasi, sertifikat standar adalah sertifikat standar pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh pelaku usaha.[3]\n\nSetelah mendapat NIB, pelaku usaha akan mendapatkan sertifikat standar yang belum terverifikasi dari Lembaga OSS.[4] Sertifikat standar yang belum terverifikasi tersebut menjadi dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan persiapan kegiatan usaha.[5] Selanjutnya, NIB dan sertifikat standar yang telah terverifikasi merupakan perizinan berusaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.[6]\n\nBerdasarkan Lampiran II – Sektor Transportasi PP 5/2021 (hal. II.9.A.108 – 109) persyaratan yang harus dipenuhi oleh KBLI 49431 untuk mendapatkan perizinan berusaha angkutan bermotor untuk kendaraan umum adalah sebagai berikut:\n\nmenggunakan mobil barang, kereta gandengan, dan/atau kereta tempelan;memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang dibuktikan dengan bukti kartu uji;dioperasikan di jalan sesuai dengan kelas jalan yang dilalui;tersedianya fasilitas bongkar muat;dilengkapi dengan surat muatan barang;memenuhi standar pelayanan minimal angkutan barang umum;menempatkan alat pemantau untuk kerja pengemudi yang dapat merekam kecepatan kendaraan dan perilaku pengemudi dalam mengoperasikan kendaraan;menempatkan perangkat sistem pemosisi global pada setiap mobil barang;memenuhi standar manajemen keselamatan; danmempunyai perjanjian muatan angkutan barang.\n\nJika mengalami kesulitan untuk mengurus pendirian perusahaan dan perizinan berusaha, silakan kontak Easybiz di [email protected] untuk solusi terbaik pendirian perusahaan dan perizinan berusaha yang legal dan tepat.\n\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6032548acffe0/node/534/peraturan-pemerintah-nomor-5-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_5_2021)\n2. [Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Transportasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60bdbcef78454/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenhub_12_2021)\n3. [Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Transportasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt645c8f082d9a9/peraturan-menteri-perhubungan-nomor-pm-13-tahun-2023/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenhub_13_2023)\n4. [Peraturan Badan Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f7aa1e49c8ba/peraturan-badan-pusat-statistik-nomor-2-tahun-2020/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=bps_2_2020)\nREFERENSI:\n1. KBLI 49431, yang diakses pada Rabu, 3 April 2024 pukul 10.01 WIB.\n\n[1] Lampiran Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Transportasi (“Permenhub PM 13/2023”) (hal. 25)\n\n[2] Lampiran Permenhub PM 13/2023 (hal. 25)\n\n[3] Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”)\n\n[4] Pasal 14 ayat (3) dan (4) PP 5/2021\n\n[5] Pasal 14 ayat (5) PP 5/2021\n\n[6] Pasal 14 ayat (6) PP 5/2021" }
{ "from": "human", "value": "Adik saya menjalin hubungan suami istri dengan seorang pria. Si pria bilang kalau nanti tidak direstui oleh orang tuanya maka akan menghamili adik saya dulu biar dapat restu. Saat ini memang status adik saya sudah janda dan pria tersebut masih bujang. Setelah adik saya hamil, ternyata pria tersebut tidak mau menikahi, bahkan adik saya dipaksa minum jamu penggugur kandungan dengan iming-iming “kalau sudah minum jamu tersebut, tapi janin tidak gugur, si pria tersebut akan bilang ke orang tua untuk menikahi adik saya.” Tapi setelah diminum, janin tidak gugur. Namun si pria itu tetap mengelak untuk tanggung jawab. Apa yang bisa dilakukan oleh adik saya agar bisa menuntut pria tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu aborsi. Aborsi menurut KBBI adalah pengguguran kandungan. Selanjutnya sebagaimana disarikan dari Bunyi Pasal 346 KUHP tentang Aborsi, aborsi atau yang lebih dikenal dalam istilah hukumnya dengan abortus provocatus yang ditulis dalam bahasa latin memiliki arti dan makna pengguguran kandungan secara sengaja atau niat diri sendiri maupun orang lain.\n\nBerdasarkan cerita Anda, dapat diketahui bahwa aborsi yang dilakukan oleh adik Anda dan pacarnya atas dasar persetujuan adik Anda karena bujukan dari pacarnya tidaklah terjadi karena hal-hal di luar kehendak mereka. Walaupun aborsi tidak terjadi, adik Anda dan pacarnya tetap dapat dipidana atas tindakan percobaan melakukan aborsi.\n\nLantas, apa risiko hukum jika melakukan tindak percobaan aborsi? Berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU Kesehatan secara jelas melarang setiap orang untuk melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam KUHP. Adapun pelaksanaan aborsi dengan kriteria yang diperbolehkan untuk pelaksanaan aborsi hanya dapat dilakukan dengan syarat:[1]\n\noleh tenaga medis dan dibantu tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan;pada fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri; dandengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.\n\nSelanjutnya berdasarkan Pasal 428 UU Kesehatan, sanksi yang bisa dijerat bagi Adik Anda sebagai pelaku yang melakukan aborsi dengan “persetujuan perempuan”, yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun.\n\nSelain dalam UU Kesehatan, pada dasarnya  aturan mengenai percobaan aborsi menggunakan jamu penggugur kandungan juga diatur di dalam KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan.[2] Adapun bunyi ketentuannya adalah sebagai berikut:\nKUHPUU 1/2023Pasal 53 ayat (1)Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi 1/3.Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.  Pasal 17 ayat (1)Percobaan melakukan tindak pidana terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi jika:perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya tindak pidana; danperbuatan yang dilakukan langsung berpotensi menimbulkan tindak pidana yang dituju.Pidana untuk percobaan melakukan tindak pidana paling banyak 2/3 dari maksimum ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan.Percobaan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.Pidana tambahan untuk percobaan melakukan tindak pidana sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidana yang bersangkutan. Pasal 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.Pasal 463 Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.Pasal 348 Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.Jika karena perbuatan itu perempuan itu jadi mati, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.Pasal 464 Setiap orang yang melakukan aborsi terhadap seorang perempuan:dengan persetujuan perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun; atautanpa persetujuan perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.Jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun.Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengakibatkan matinya perempuan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.\nAdik Anda dapat dikenakan pidana terkait Pasal 60 ayat (1) jo. Pasal 428 UU Kesehatan jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP atau Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023 dalam hal aborsi yang adik Anda lakukan termasuk ke dalam aborsi yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 60 ayat (2) UU Kesehatan sebagai aborsi ilegal. Apabila aborsi tersebut terjadi, maka berdasarkan Pasal 428 UU Kesehatan, adik Anda diancam dengan pidana pidana penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan berdasarkan Pasal 346 KUHP atau Pasal 463 UU 1/2023, perbuatan aborsi tersebut apabila terjadi, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.\n\nSedangkan, pacar adik Anda dapat dipidana dengan Pasal 348 ayat (1) atau Pasal 464 ayat (1) UU 1/2023.\nNamun perlu diperhatikan, tindakan aborsi dengan minum jamu penggugur kandungan yang Anda lakukan tidak sampai pada tujuannya yaitu menggugurkan kandungan adik Anda, maka adik Anda dan pacarnya hanya dapat dipidana dengan percobaan aborsi.\n\nR. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyinggung secara jelas mengenai unsur-unsur percobaan yang termuat dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP atau Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023 yang diantaranya:\n\nNiat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;Orang sudah mulai berbuat kejahatan itu; danPerbuatan kejahatan itu tidak sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.\n\nDalam hal ini, niat untuk menggugurkan kandungan tersebut sudah dari adik Anda dan pacarnya, tetapi tidak terlaksana karena hal yang di luar kehendak mereka.\n\nSedangkan, mengenai apakah adik Anda dapat menuntut pacarnya karena telah menghamili dan enggan menikahi, Anda dapat membaca ulasan berjudul Bisakah Menuntut Pacar Anak yang Enggan Menikahinya?\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt64d2f9cf7ee9d/undang-undang-nomor-17-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_2023)\nREFERENSI:\n1. Aborsi, yang diakses pada 7 Mei 2024, pukul 08.21 WIB.\n\n[1] Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya penjual di suatu e-commerce, lalu ada pembeli yang ingin mengajukan pengembalian barang. Padahal saya sudah menulis secara jelas pada kolom deskripsi mengenai detail produk dan ketentuan tidak menerima komplain kekecilan. Tapi pembeli bersikeras karena size kekecilan. Selain itu, pembeli juga tidak mengirimkan bukti video unboxing bahwa itu benar produk yang dibeli dari saya. Pembeli merusak nama baik saya dan toko saya dengan mengatakan penipu dan mengintimidasi verbal. Saya tidak menipu karena sudah mengirim barang sesuai pesanan, dan bahkan saya berikan bonus. Apa saya bisa lapor ke polisi? Pasal berapa? Mohon bantuannya karena saya mengalami mental breakdown akibat ini." }
{ "from": "gpt", "value": "Dewasa ini, perundungan digital (cyberbullying) merupakan salah satu tindak pidana yang kerap terjadi di dunia maya. Cyberbullying merupakan bentuk intimidasi yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk keperluan yang disengaja, dilakukan terus menerus, dengan tujuan untuk merugikan orang lain dengan cara mengintimidasi, mengancam, menyakiti atau menghina harga diri orang lain, hingga menimbulkan permusuhan oleh seorang individu atau kelompok.[1]\nAdapun beberapa jenis cyberbullying sendiri antara lain flaming (pesan dengan amarah), harrasment (gangguan), denigration (pencemaran nama baik), impersonation (peniruan), outing (penyebaran), trickery (tipu daya), exclusion (pengeluaran), dan cyberstalking.[2]\nSalah satu kerusakan berat akibat tindak pidana cyberbullying yakni korban dapat mengalami tekanan secara psikis dan dapat berpotensi bunuh diri. Satu dari 5 anak korban cyberbully berpikir untuk melakukan bunuh diri. Bahkan 1 dari 10 korban cyberbully melakukan tindakan bunuh diri. Dalam setahun, ada sekitar 4500 anak yang mengakhiri nyawanya sendiri.[3]\nDalam hukum Indonesia, ketentuan cyberbullying diatur dalam UU ITE pada Pasal 27 ayat (3) dan (4) selengkapnya berbunyi:\nPasal 27 ayat (3)\nSetiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.\nPasal 27 ayat (4)\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.\nNamun kini ada ketentuan baru, Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (“RUU”) tentang perubahan kedua UU ITE dalam rapat paripurna. Adapun pada RUU Perubahan Kedua UU ITE (“RUU ITE”) tersebut, diatur ketentuan terbaru tentang pasal terkait sebagai berikut:\nPasal 27A\n\nSetiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.\nPasal 27B\n\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:\nmemberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; ataumemberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:\nmemberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; ataumemberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.\n\nKemudian Penjelasan Pasal 27B ayat (1) RUU ITE menerangkan “ancaman kekerasan” dalam ketentuan ini adalah Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi muatan yang ditujukan untuk menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya kekerasan.\n\nSementara pada Penjelasaan Pasal 27B ayat (2) RUU ITE terkait penjelasan “ancaman pencemaran” dalam ketentuan ini adalah ancaman menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.\n\nLalu, bagi yang melanggar Pasal 27A RUU ITE dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta sebagaimana diatur Pasal 45 ayat (4) RUU ITE. Sementara pelanggar Pasal 27B ayat (1) dan (2) RUU ITE dipidana dipenjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (8) dan (10) RUU ITE.\nUnsur-unsur Penghinaan dan Pengancaman\n\nPerbuatan yang dilakukan oleh pembeli produk Anda dapat dikategorikan sebagai perbuatan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan.[4] Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut.\nPasal 310 KUHPPasal 433 UU 1/2023Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[5]Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[6]Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp10 juta.[7]Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta.[8]Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.\nAdapun unsur pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang dikenal sebagai penghinaan berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP yaitu: unsur kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, dan unsur maksud untuk diketahui umum. Adapun unsur-unsur ini telah dijelaskan lebih lanjut ke dalam penghinaan.\n\nSehingga pembeli yang menyebut Anda sebagai penipu tersebut dapat dikatakan telah melakukan penghinaan. Mengingat, perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.\n\nR. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin\n\nBaca juga: Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk dalam Pasal Pencemaran Nama Baik\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, dapat disimpulkan berdasarkan UU ITE maupun RUU ITE, maka tindakan cyberbullying memenuhi unsur pelanggaran Pasal 27A atau Pasal 27B ayat (2) RUU ITE.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/27912/undangundang-nomor-11-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2008)\n3. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n4. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. Friskilla Clara S.A.T, Eko Soponyono, AM. Endah Sri Astuti. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Cyberbullying dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana. Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3, 2016\n2. Nancy E. Willard. Cyberbullying and Cyberthreats: Responding to the Challenge of Online Aggression, Threats, and Distress. Research Press, 2007\n3. Seno Wibowo Gumbira, Adi Sulistiyono, Kukuh Tejomurti. Menanggulangi Cyberbullying di Sosial Media dalam Perspektif Analisa Ekonomi Mikro. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No. 4, Oktober 2019\n4. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.\n\n[1] Friskilla Clara S.A.T, Eko Soponyono, AM. Endah Sri Astuti. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan Cyberbullying dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana. Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3, 2016[2] Nancy E. Willard. Cyberbullying and Cyberthreats: Responding to the Challenge of Online Aggression, Threats, and Distress. Research Press, 2007, hal. 255 – 267[3] Seno Wibowo Gumbira, Adi Sulistiyono, Kukuh Tejomurti. Menanggulangi Cyberbullying di Sosial Media dalam Perspektif Analisa Ekonomi Mikro. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No. 4, Oktober 2019, hal. 351[4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[5] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”)[6] Pasal 3 Perma 2/2012[7] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[8] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Seorang korban penganiayaan telah mengadukan tindak pidana yang menimpa dirinya. Namun dalam menyampaikan kronologi kejadian kepada pihak kepolisian, korban tersebut merekayasa kronologi tindak pidana yang sama sekali tidak pernah terjadi. Apakah korban tersebut dapat dikenakan sanksi hukum karena memberikan keterangan palsu? Mohon jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Laporan atau Pengaduan Palsu\n\nPerlu diketahui bahwa tindakan merekayasa kronologi tindak pidana kepada pihak kepolisian pada dasarnya dapat dihukum pidana karena melanggar ketentuan dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, dengan bunyi sebagai berikut:\nPasal 220 KUHPPasal 361 UU 1/2023Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.Setiap orang yang melaporkan atau mengadukan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, padahal diketahui bahwa tindak pidana tersebut tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[2]\nAdapun R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 173) mengatakan bahwa sengaja mengajukan pemberitahuan palsu misalnya seorang istri karena takut kalah main, sehingga ia menggadaikan perhiasannya sendiri, kemudian mengatakan pada suaminya bahwa ia telah kecurian serta untuk menguatkan itu ia mengajukan juga pemberitahuan pada polisi, bahwa ia kecurian.\n\nLebih lanjut Soesilo mengatakan bahwa isi pemberitahuan itu harus suatu peristiwa pidana, misalnya kecurian, penggelapan, pembunuhan, dan sebagainya. Jika bukan peristiwa pidana tidak dapat dikenakan Pasal 220 KUHP atau Pasal 361 UU 1/2023.\n\nHal serupa juga dijelaskan oleh S.R. Sianturi, dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 132) mengenai unsur kesengajaan yang dirumuskan dengan “padahal diketahuinya”. Adapun yang termasuk dalam cakupan unsur kesengajaan hanyalah bahwa hal itu tidak dilakukan. Dalam hal ini pelaku menyadari bahwa tindakan itu tidak pernah terjadi, selain itu petindak tidak disyaratkan harus mengetahui atau mengerti apa yang dimaksud dengan tindak pidana.\n\nMasih dalam bukunya, Sianturi juga menjelaskan bahwa laporan/pengaduan itu harus diberikan kepada penguasa yang berwenang untuk menerima laporan atau pengaduan.[3]\n\nAdapun berdasarkan penjelasan Pasal 361 UU 1/2023, ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dikenal sebagai pelaporan atau pengaduan palsu. Perlu diketahui bahwa yang dilaporkan atau diadukan adalah terjadinya tindak pidana, bukan perbuatan yang tidak merupakan tindak pidana.\n\nOleh karena itu, menjawab pertanyaan Anda, jika korban penganiayaan tersebut melaporkan peristiwa yang dialaminya, akan tetapi kronologi kejadian tersebut ia rekayasa, maka ia dapat dihukum karena pengaduan atau pelaporan palsu yang diatur dalam Pasal 220 KUHP atau Pasal 361 UU 1/2023.\n\nSelanjutnya jika tindakan memberikan keterangan palsu dilakukan di atas sumpah, yang bersangkutan dapat dijerat dengan Pasal 242 KUHP atau Pasal 291 jo. Pasal 373 UU 1/2023.\n\nBaca juga: Pasal 242 KUHP tentang Pernyataan Sumpah Palsu\nContoh Putusan\n\nMengenai tindakan merekayasa kronologi tindak pidana, kami akan mencontohkan dalam Putusan PT Pontianak No. 37/PID/2019/PT PTK. Dalam putusan tersebut, terdakwa yang diperintahkan oleh ayahnya melakukan penipuan terkait laporan palsu atas hilangnya motor milik sepupu terdakwa seolah-olah menjadi korban begal. Padahal sebenarnya motor tersebut masih aman berada pada kediaman teman sepupu terdakwa (hal. 3).\n\nAtas tindakannya, terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama membuat laporan palsu” berdasarkan Pasal 220 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terdakwa divonis pidana penjara selama tiga bulan, dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali di kemudian hari ada putusan hakim lain yang menyatakan terdakwa bersalah sebelum masa percobaan selama enam bulan berakhir (hal. 7).\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1991.S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[3] S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983, hal. 134" }
{ "from": "human", "value": "Istri saya laptopnya tertinggal di angkot, setelah dicari, supir angkot menghilang. Kami sudah melakukan hal persuasif, namun supir angkot tidak mau mengembalikan laptopnya, sekarang laptopnya sudah digadaikan supir tersebut, bagaimana menyelesaikan kasus ini secara hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum kami menjawab pertanyaan, dari kronologi singkat yang Anda sampaikan, kami mengasumsikan bahwa Anda dan istri sudah memastikan yang mengambil atau mencuri laptop adalah sopir angkot tersebut.\n\nSebelum kami mengulas tentang delik yang diduga dilakukan oleh sopir angkot apakah pencurian atau penggelapan, kami akan mengulas terlebih dahulu mengenai tindak pidana penggelapan sendiri diatur dalam Pasal 372 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau Pasal 486 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026,[1] sebagai berikut:\nPasal 372 KUHPPasal 486 UU 1/2023Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[2] Setiap Orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[3]\nMemang antara pencurian dan penggelapan sulit untuk dibedakan, sebagaimana yang disebutkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) dengan bunyi sebagai berikut:\n\nKadang-kadang sukar sekali untuk membedakan antara pencurian dan penggelapan, misalnya A menemukan uang di jalanan lalu diambilnya. Jika pada waktu mengambil itu sudah ada maksud (niat) untuk memiliki uang tersebut, maka peristiwa ini adalah pencurian. Apabila pada waktu mengambil itu pikiran A adalah: “uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi” dan betul diserahkannya, maka A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan dibelanjakan, maka A salah menggelapkan.\n\nBerdasarkan pendapat R. Soesilo di atas, nantinya yang menentukan bahwa si sopir angkot diduga melakukan pencurian atau penggelapan adalah niatnya. Apakah pada saat menemukan laptop istri Anda, supir angkot tersebut awalnya memiliki niat untuk mengembalikan kepada istri Anda atau tidak? Karena jika ada niat awal untuk mengembalikan kepada istri Anda maka perbuatannya dapat dikategorikan sebagai penggelapan. Namun apabila si sopir angkot pada saat menemukan laptop istri Anda sudah berniat untuk menguasai dan menggadaikan laptop tersebut, maka perbuatannya dapat dikategorikan sebagai pencurian.\n\nSelain pendapat R. Soesilo, terkait penggelapan Cleiren juga berpendapat, sebagaimana yang dikutip Andi Hamzah dalam buku Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP (hal. 107), sebagai berikut:\n\nInti penggelapan ialah penyalahgunaan kepercayaan, selalu menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu.\n\nBerdasarkan pendapat Cleiren, penggelapan adalah penyalahgunaan kepercayaan yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu. Sehingga, berdasarkan pendapat tersebut, karena dari kronologi yang Anda sampaikan istri Anda tidak mempercayakan laptopnya kepada si sopir angkot, seperti menitipkannya, maka tindakan yang dilakukan si sopir angkot dapat dikatakan sebagai pencurian.\n\nAdapun agar suatu tindakan dapat dijerat pasal pencurian maka haruslah memenuhi unsur dalam pasal sebagai berikut:\nPasal 362 KUHPPasal 476 UU 1/2023Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[4] Setiap Orang yang mengambil suatu Barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[5]\nPerlu diketahui terkait pasal ini, pada dasarnya R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 249) menjelaskan bahwa ini adalah “pencurian biasa”, berbagai elemen sebagai berikut:\n\nPerbuatan mengambil\n\nPerbuatan mengambil adalah tindakan mengambil barang dilakukan dengan maksud untuk menguasainya. Hal ini diartikan sebagai waktu saat pencuri mengambil barang tersebut namun barang itu belum ada pada penguasaannya.\nYang diambil harus sesuatu barang\n\nAdapun barang yang dimaksud oleh R. Soesilo adalah segala sesuatu yang memiliki wujud, yang mana hal ini termasuk pula binatang. Jenis barang juga diartikan termasuk gas maupun daya listrik yang dialirkan melalui kawat atau pipa meskipun tidak berwujud. Perlu diperhatikan bahwa barang ini tidak memerlukan harga yang bersifat ekonomis. Oleh karena itu, sebagai contoh tindakan untuk mengambil beberapa helai rambut wanita untuk kenang-kenangan tidak disertai izin dari wanita itu, termasuk sebagai pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya.\nBarang itu harus seluruhnya atau sebagian milik orang lain.\nPengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak).\nDilihat dari unsur-unsur dilakukan tindak pidana pencurian di atas, maka dapat diketahui barang kepunyaan orang lain yang diambil secara melawan hukum merupakan barang hasil kejahatan.\n\nKarena telah dilakukan upaya persuasif dan belakangan diketahui laptop istri Anda telah digadaikan, maka terdapat dugaan bahwa si sopir angkot sedari awal berniat untuk mengambil, memiliki, bahkan menggadaikan laptop tersebut secara melawan hukum. Sehingga istri Anda berhak melaporkan si sopir angkot ke pihak kepolisian setempat atas peristiwa pencurian laptop.\nTindak Pidana Penadahan\n\nAdapun pihak penerima gadai atas laptop juga dapat dilaporkan atas dugaan tindak pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP atau Pasal 591 UU 1/2023 sebagai berikut:\nPasal 480 KUHPPasal 591 UU 1/2023Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu:[6]barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, meyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Dipidana karena penadahan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta,[7] setiap orang yang:membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menerima jaminan atau gadai, menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana; ataumenarik keuntungan dari hasil suatu benda, yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana.\nMengenai penadahan, Yurisprudensi MA No. 2/Yur/Pid/2018 menjelaskan sebagai berikut:\n\nBarang yang dibeli dengan harga yang tidak sesuai harga pasar patut diduga bahwa barang tersebut diperoleh dari kejahatan.\n\nSebagaimana telah diuraikan di atas, sebaiknya Anda terlebih dahulu menanyakan kepada pihak penerima gadai mengenai siapa yang menggadaikan laptop, apabila ternyata si sopir angkot yang menggadaikan, berarti benar si sopir angkot telah melakukan pencurian dan penerima gadai sebagai penadah.\n\nNamun demikian, kami tetap menyarankan agar Anda memastikan kembali dan mengumpulkan bukti yang cukup terkait kebenaran sopir angkot yang mencuri dan menggadaikan laptop Anda.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 2/Yur/Pid/2018.\nREFERENSI:\n1. Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP. (Sinar Grafika: Jakarta). 2009\n2. Rony A. Walandouw dkk., Unsur Melawan Hukum yang Subjektif dalam Tindak Pidana Pencurian Pasal 362 KUHP, Jurnal Lex Crimen, Vol. IX/No. 3/Jul-Sep/2020.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP[3] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023[4] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”)[5] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[6] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali[7] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Dalam perkara dengan salah satu Bank Perkreditan Rakyat dimana putusannya sudah inkracht di tingkat peninjauan kembali Mahkamah Agung. Dalam putusannya berbunyi bahwa Akta Pemberian Hak Tanggungan cacat hukum dan pihak bank diperintahkan untuk mengembalikan sertifikat. Namun, hingga sekarang belum juga dikembalikan sedangkan sudah terlaksana eksekusi oleh pengadilan. Bagaimana cara saya mendapat hak saya untuk memiliki sertifikat saya?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITHak Tanggungan sebagai Satu-Satunya Hak Jaminan atas Tanah25 Jun 2024Cara Mengajukan Hak Milik atas Tanah yang Ditinggal Pemiliknya12 Jun 2024Kiat-kiat Membeli Tanah Girik yang Aman04 Jun 2024Siapa yang Menanggung Biaya Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)? 07 Okt 2021\n\nSebelum menjawab pokok pertanyaan yang Anda ajukan, kami akan mengulas terlebih dahulu apa itu hak tanggungan dan apa fungsinya. Definisi hak tanggungan dapat Anda temukan di dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan yang berbunyi:\n\nHak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.\nAdapun, fungsi dari hak tanggungan menurut Pasal 6 UU Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:\n\nApabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.\nBerdasarkan hal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa fungsi dari hak tanggungan adalah untuk menjamin pelunasan utang atas fasilitas kredit yang telah diberikan oleh kreditur kepada debitur dalam hal debitur wanprestasi, dengan cara kreditur dapat melakukan eksekusi atas objek jaminan yang telah diikat dengan hak tanggungan tersebut dengan melakukan penjualan atas objek jaminan melalui pelelangan umum.\n\nAdapun, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) yaitu akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.[1]\n\nBaca juga: Hak Tanggungan sebagai Satu-Satunya Hak Jaminan atas Tanah\nSifat Putusan Peninjauan Kembali\n\nSelanjutnya, untuk menjawab pertanyaan Anda perlu dipahami juga mengenai kapan suatu putusan dinyatakan inkracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap. Disarikan dari artikel Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap dalam perkara perdata, ketika putusan tidak diajukan banding atau kasasi setelah 14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan kepada pemohon, maka putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap.\n\nSelain itu, putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap pada saat telah dibacakannya putusan kasasi atas perkara itu.\n\nAdapun, permohonan peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum luar biasa yang diajukan atas suatu putusan yang telah inkracht.[2] Upaya hukum peninjauan kembali tersebut tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkracht.[3]\nJika APHT Diputus Cacat Hukum, Tapi Objek Telah Dieksekusi\n\nKarena dalam pertanyaan Anda tidak diuraikan mengenai amar putusan pengadilan negeri hingga putusan kasasi, kami mengasumsikan bahwa amar putusan di tingkat pengadilan negeri hingga kasasi kurang lebih menyatakan pengikatan hak tanggungan sah dan debitur dinyatakan wanprestasi. Sehingga, eksekusi hak tanggungan atas objek jaminan dilakukan melalui lelang dan pembeliannya dinyatakan sah. Atas hal tersebut, baik bank sebagai pemegang hak tanggungan dan pembeli lelang diasumsikan merupakan pemegang hak tanggungan dan pembeli yang beriktikad baik.\n\nTerhadap putusan inkracht itu, dalam perkembangannya terdapat upaya hukum peninjauan kembali yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa APHT cacat hukum dan pihak bank diperintahkan untuk mengembalikan sertifikat.\n\nKarena Anda tidak menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan dan dasar hukum dibatalkannya APHT dalam putusan peninjauan kembali, maka atas hal tersebut, kami berasumsi yang menyebabkan APHT dinyatakan batal adalah karena ada bukti baru yang dapat membuktikan bahwa pemberi hak tanggungan merupakan orang yang tidak berhak. Sehingga, kami juga mengasumsikan bahwa pemohon peninjauan kembali bukanlah debitur dalam perkara  a quo (perkara dari tingkat pengadilan negeri hingga peninjauan kembali), namun merupakan pihak yang berkepentingan atas objek sengketa yang dijadikan objek jaminan.\n\nBerdasarkan hal tersebut, perlu diingat bahwa bank yang merupakan pemegang hak tanggungan dalam pemberian kredit dan pengikatan hak tanggungan dapat diasumsikan sebagai pemegang hak tanggungan yang beriktikad baik. Atas hal tersebut, merujuk Lampiran SEMA 7/2012 Sub Kamar Perdata Umum butir VIII (hal. 6) dinyatakan bahwa pemegang hak tanggungan yang beritikad baik harus dilindungi sekalipun kemudian diketahui bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang tidak berhak.\n\nAdapun, terhadap pembeli objek jaminan melalui lelang juga harus dianggap sebagai pembeli yang beriktikad baik, sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak. Sehingga, pembeli itu haruslah dilindungi. Dalam hal ini, pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak.[4]\n\nDengan demikian, kami berkesimpulan bahwa putusan peninjauan kembali tersebut menjadi putusan non-executable karena barang yang akan dieksekusi tidak berada di tangan tergugat[5] (kami mengasumsikan tergugat adalah bank). Sehingga, atas hal tersebut, pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pihak yang telah menjaminkan objek jaminan tersebut ke bank.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11822/undangundang-nomor-4-tahun-1996/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_1996)\n2. [Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/3781/nprt/2/undangundang-nomor-14-tahun-1985?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_14_1985)\n3. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17917?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2004)\n4. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28864?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2009)\n5. [Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt517a6aafc5078/surat-edaran-mahkamah-agung-nomor-7-tahun-2012/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=sema_7_2012)\nREFERENSI:\n1. Pedoman teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007.\n\n[1] Pasal 10 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah\n\n[2] Pasal 28 ayat (1) huruf c dan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”)\n\n[3] Pasal 66 ayat (2) UU MA\n\n[4] Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, Sub Kamar Perdata Umum butir IX (hal. 6)\n\n[5]Pedoman teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, hal. 104." }
{ "from": "human", "value": "Pasal 433 KUH Perdata menyatakan bahwa orang dungu, sakit otak, atau mata gelap dan orang yang boros berada di bawah pengampuan. Apa saja kriteria orang dungu sakit otak atau mata gelap itu? Lalu apa ukuran seseorang dianggap berada di bawah ampuan?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBisakah Minta Pengampuan atas Orang yang Sering Utang?22 Mei 2023Tak Setiap Lansia Diletakkan dalam Pengampuan08 Jun 2020\n\nPengampuan adalah suatu keadaan seorang yang telah dewasa dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, sehingga diampu oleh orang yang berhak untuk mengampu. Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah pengampuan adalah seperti seorang yang belum dewasa, dimana ia tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah.[1]\n\nSiapa saja yang termasuk dalam pengampuan diatur di dalam Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi:\nSetiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.\n\nKetentuan Pasal 433 KUH Perdata ini, menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, ada 3 alasan untuk pengampuan, yaitu karena:[2]\n\nKeborosan (verkwisting);Lemah akal budinya (zwakheid van vermogen);Kekurangan daya berpikir: sakit ingatan, dungu (onnozelheid) dan dungu disertai sering mengamuk (razemij).\nLebih lanjut, dalam Pasal 434 KUH Perdata ditegaskan bahwa:\n\nSetiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila, atau gelap mata. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.\n\nBerdasarkan Pasal 436 KUH Perdata, yang berwenang menetapkan pengampuan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang yang akan diajukan pengampuan.\nAturan Orang di Bawah Pengampuan Pasca Putusan MK\n\nPasal 433 KUH Perdata telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan telah diputus dalam Putusan Nomor 93/PUU-XX/2022. Putusan tersebut menyatakan bahwa kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” dan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu, sakit otak atau mata gelap” tidak dimaknai “adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual”, dan sepanjang kata “harus” tidak dimaknai “dapat” (hal. 478). Sehingga ketentuan Pasal 433 KUH Perdata selengkapnya menjadi (hal. 478):\n\nSetiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.\n\nMK berpendapat bahwa berkenaan dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” mempunyai kesamaan karakter dengan istilah disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Oleh karena itu, MKi menimbang penting dan relevan untuk mengaitkan isu “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata dengan pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang secara substansial saat ini telah diatur di dalam UU 8/2016, sebagai wujud kehadiran negara untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap para penyandang disabilitas (hal. 462).\n\nAdapun Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 dan penjelasannya menerangkan bahwa ragam penyandang disabilitas meliputi:\nPenyandang disabilitas fisik adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layu atau kaku, paraplegi, cerebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.Penyandang disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome.Penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku antara lain:\nPsikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; danDisabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.Penyandang disabilitas sensorik adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.\n\nNorma Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 dan penjelasannya tersebut memiliki kaitan, bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang ada di dalam KUH Perdata bertalian erat bukan hanya dengan pengertian disabilitas mental, namun juga dengan pengertian disabilitas intelektual. Keterkaitan dimaksud tidak lain disebabkan antara lain karena disabilitas mental maupun disabilitas intelektual keduanya bermuara pada suatu kondisi di mana seseorang tidak mampu untuk melakukan analisis dan membuat keputusan, atau dengan kata lain seseorang tidak mampu untuk secara layak mempertimbangkan akibat/risiko dari suatu tindakan yang dilakukannya (hal. 463).\n\nSebagai informasi, dalam Pasal 32 UU 8/2016 dan penjelasannya diatur bahwa penyandang disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap (orang yang belum dewasa dan/atau di bawah pengampuan) berdasarkan penetapan pengadilan negeri.\n\nLebih lanjut, dalam pertimbangan putusan MK tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 433 KUH Perdata dan UU 8/2016, orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, yang bersangkutan kadang-kadang berada dalam keadaan baik atau cakap. Artinya, ada saatnya orang dalam ketiga kategori demikian dipandang cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum. Sementara itu, penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual mempunyai hak keperdataan dengan cara memilih atau mewakilkan kepentingan keperdataannya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Artinya, yang bersangkutan dapat bertindak sendiri untuk memilih maupun mewakilkan hak-hak keperdataannya (hal. 468).\n\nBerdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat bahwa pemaknaan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata merujuk pada kata “dapat” dalam Pasal 32 UU 8/2016. Artinya, setelah ada Pasal 32 UU 8/2016, maka Pasal 433 KUH Perdata dimaknai bahwa bagi/terhadap setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, baik permanen atau pun sementara, pengadilan negeri memiliki pilihan apakah akan menetapkan yang bersangkutan berada di bawah pengampuan atau tidak, sepanjang pengadilan negeri dimaksud didasarkan pada fakta hukum di persidangan khususnya yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ahli serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 jo. Pasal 436 sampai dengan 446 KUH Perdata (hal. 468 – 469).\n\nPengadilan negeri dapat berkesimpulan bahwa orang yang dimohonkan untuk ditempatkan di bawah pengampuan apabila yang bersangkutan terbukti dalam keadaan baik atau cakap, dan mampu bertindak serta bertanggung jawab secara hukum, maka permohonan pengampuan tidak beralasan untuk dikabulkan. Sedangkan jika fakta hukum membuktikan hal yang sebaliknya, yaitu pemohon terbukti dalam keadaan tidak baik atau tidak cakap, pengadilan negeri akan mengabulkan permohonan pengampuan tersebut (hal. 469).\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt573571e451dfb/undang-undang-nomor-8-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2016)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XX/2022.\n\nREFERENSI:\n1. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga (Personen En Familie Recht). Cetakan kedua. Surabaya\n2. Airlangga University Press, 1995\n3. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan empat belas. Jakarta: Intermasa, 1979.\n\n[1] Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan Empat Belas. Jakarta Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 47-48.\n\n[2] R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan. Hukum Orang dan Keluarga (Personen En Familie Recht, Cetakan Kedua. Surabaya: Airlangga University Press, 1995, hal. 237." }
{ "from": "human", "value": "Langkah apa yang harus saya lakukan jika Facebook teman saya diduplikat dan namanya dicemarkan dengan menulis status FB yang tidak patut serta mencemarkan nama sekolah? Bagaimanakah cara pembuktiannya jika saya tidak tahu siapa yang melakukan itu? Mohon bantuannya, status yang dia tulis dengan mengatasnamakan teman saya sungguh sangat keterlaluan. Mohon bantuannya, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul “Langkah Apa yang Harus Dilakukan Jika Dicemarkan Lewat FB” yang dibuat oleh Maddenleo T. Siagian, S.H. dan pertama kali dipublikasikan Rabu, 09 November 2011. Intisari: Pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook memenuhi unsur Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, sehingga termasuk perbuatan pidana. Menurut kami, ada 2 (dua) langkah awal yang dapat diambil yaitu; Mengirimkan laporan langsung yang ditujukan ke bagian Privacy and Safety Facebook dengan menginformasikan adanya pihak lain yang membuat duplikat dengan account (akun) atas nama teman Anda dengan serangkaian maksud dari si pembuat untuk mencemarkan nama sekolah, serta meminta agar menutup account (akun) tersebut, sehingga si pelaku tidak lagi dapat mengulangi perbuatannya, dan Dapat diadukan melalui laman Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link, screenshot t tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url, screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti. Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook , secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: Anda sebagai Pemilik akun yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI. Bagaimana cara membuktikannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pencemaran Nama Baik Berdasarkan UU ITE Pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) . Berikut bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Ancaman pidana jika melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016 , yakni: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Sehingga, dari ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut di atas, pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook memenuhi unsur “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”, sehingga termasuk perbuatan pidana. Ketentuan mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dijelaskan di atas merupakan delik aduan. [1] Delik aduan sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Adakah Delik Aduan yang Tetap Diproses Meski Pengaduannya Sudah Dicabut? , adalah delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana . Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II , dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban) . Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Itu artinya orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook dapat dipidana apabila adanya aduan dari korban. Penghinaan Berdasarkan KUHP Jika UU ITE mengatur mengenai pencemaran nama baik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang pasal penghinaan. Penghinaan tersebut diatur dalam Pasal 310 KUHP , yang berbunyi: Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum , diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah . Sehingga dari ketentuan Pasal 310 KUHP tersebut, harus dibuktikan unsur-unsur sebagai berikut: Unsur kesengajaan; Unsur menyerang kehormatan dan nama baik; Unsur di muka umum. Cara Pembuktian Untuk membuktikan kedua dugaan tersebut, adalah tidak mudah untuk mengajukan bukti-bukti mengingat kejahatan yang demikian bersifat maya ( cyber crime ). Namun demikian, bukti permulaan dapat disajikan dengan bukti hasil cetakan ( print-out ) yang menunjukkan pencemaran nama sekolah tersebut, sehingga penyidik dapat melakukan olah data dan informasi lebih lanjut. Untuk lebih meyakinkan, sangat diperlukan kehadiran ahli di bidang informasi dan teknologi yang dapat membantu menterjemahkan fakta dalam dunia maya tersebut menjadi fakta hukum. Dari sisi hukum perdata, dengan bukti adanya putusan yang berkuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde ) mengenai pidana dimaksud, sehingga dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yang dikutip sebagai berikut: “ Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. ” Seperti yang sering dijelaskan dalam beberapa artikel sebelumnya, salah satunya dalam artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras , dikatakan antara lain Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “ KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan ”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku Perbuatan Melawan Hukum (hal. 36) yang menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut: Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); Perbuatan itu harus melawan hukum ; Ada kerugian ; Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian ; Ada kesalahan. Menurut Rosa Agustina (hal. 117), dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat: Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku Bertentangan dengan hak subjektif orang lain Bertentangan dengan kesusilaan Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Langkah Hukum Menurut kami, ada 2 (dua) langkah awal yang dapat diambil yaitu; Mengirimkan laporan langsung yang ditujukan ke bagian Privacy and Safety Facebook dengan menginformasikan adanya pihak lain yang membuat duplikat dengan account (akun) atas nama teman Anda dengan serangkaian maksud dari si pembuat untuk mencemarkan nama sekolah, serta meminta agar menutup account (akun) tersebut, sehingga si pelaku tidak lagi dapat mengulangi perbuatannya, dan Dapat diadukan melalui laman Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link, screenshot t tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url, screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti. Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan pencemaran nama baik dengan cara menduplikat account (akun) Facebook , secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: [2] Anda sebagai Pemilik akun yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [1] Pasal 45 ayat (5) U 19/2016 [2] Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hukumonline teknologi facebook penghinaan uu ite hukum klinik pencemaran nama baik klinik hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Akhir-akhir ini terdapat kasus viral dokter gigi diancam dibunuh. Pelaku yang ancam bunuh dokter gigi di Bandung ditangkap dan jadi tersangka. Selain kasus tersebut, ada juga kasus seorang gitaris band dari Indonesia yang menjadi korban pengancaman. Gitaris band diancam injak leher oleh orang tak dikenal. Lantas, apa hukuman apabila terjadi pengancaman (berniat menyakiti/membunuh orang yang diancam) bagi si pengancam walaupun belum terjadi? Bagaimana jika ancaman dilakukan secara online?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita kenali terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pengancaman. Menurut KBBI, pengancaman adalah proses, cara, atau perbuatan mengancam. Adapun, yang dimaksud dengan mengancam adalah menyatakan maksud (niat, rencana) untuk melakukan sesuatu yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan, atau mencelakakan pihak lain.\nPasal Pengancaman Pembunuhan dalam KUHP\n\nPada dasarnya, di Indonesia pengaturan mengenai ancaman pembunuhan diatur dalam Pasal 336 KUHP lama[1] yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan KUHP baru yaitu Pasal 449 UU 1/2023  yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[2] yakni pada tahun 2026.\n\nSebagai informasi, baik dalam KUHP lama dan UU 1/2023, tindak pidana pengancaman pembunuhan termasuk dalam kejahatan terhadap kemerdekaan orang atau perampasan kemerdekaan orang, sebagai berikut:\nPasal 336 KUHPPasal 449 UU 1/2023 Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, barang siapa mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan dengan tenaga bersama, dengan suatu kejahatan yang menimbulkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang, dengan perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan, dengan sesuatu kejahatan terhadap nyawa, dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.Bilamana ancaman dilakukan secara tertulis dan dengan syarat tertentu, maka dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta[3], setiap orang yang mengancam dengan:kekerasan secara terang terangan dengan tenaga bersama yang dilakukan terhadap orang atau\nbarang;suatu tindak pidana yang mengakibatkan bahaya bagi keamanan umum terhadap orang atau barang;perkosaan atau dengan perbuatan cabul;suatu tindak pidana terhadap nyawa orang;penganiayaan berat; ataupembakaran. Jika ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dan dengan syarat tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[4]\nDengan memperhatikan rumusan Pasal 336 ayat (1) KUHP, unsur-unsur pasal tersebut adalah:[5]\n\nbarang siapa;mengancam dengan kekerasan di muka umum dengan memakai kekuatan bersama-sama kepada orang atau barang;dengan sesuatu kejahatan yang mendatangkan bahaya umum bagi keamanan orang atau barang;dengan memaksa atau dengan perbuatan yang melanggar kesopanan (perkosaan atau perbuatan yang melanggar kehormatan kesusilaan);dengan suatu kejahatan terhadap jiwa orang;dengan penganiayaan berat atau dengan pembakaran.\n\nKemudian berdasarkan Penjelasan Pasal 449 ayat (1) UU 1/2023, tindak pidana dalam ketentuan ini diklasifikasikan sebagai tindak pidana pemerasan yang menyangkut\nperampasan kemerdekaan. Pemerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara dan melalui berbagai bentuk ancaman.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, baik pelaku yang ancam bunuh dokter gigi di Bandung maupun pelaku yang ancam injak leher gitaris band, kami asumsikan bahwa pelaku melakukan tindakan pengancaman dengan kekerasan ataupun kejahatan terhadap nyawa dan penganiayaan berat. Jika tindakan pelaku memenuhi unsur-unsur di atas, maka pelaku berpotensi dihukum berdasarkan Pasal 336 ayat (1) KUHP atau Pasal 449 ayat (1) huruf d dan e UU 1/2023.\nPasal Pengancaman dalam UU ITE\n\nLebih lanjut, jika ancaman tersebut dilakukan melalui media elektronik, pelaku pengancaman dapat dikenakan pidana berdasarkan UU ITE dan perubahannya. Berdasarkan Pasal 29 UU ITE, tindakan dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi merupakan perbuatan yang dilarang.\n\nKemudian, setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 29 UU ITE berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 45B UU 19/2016. Sebagai informasi, ketentuan ini termasuk juga di dalamnya perundungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengakibatkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil.[6]\n\nLebih lanjut, terhadap pengancaman yang dilakukan melalui media elektronik, dapat diterapkan asas atau doktrin lex specialis derogat legi generali, yang artinya hukum khusus menyampingkan hukum umum.[7] Dalam kasus hukum pidana, terdapat tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang pengaturan hukumnya berada di luar KUHP.\n\nMenyambung kasus hukum yang Anda tanyakan, jika pengancaman pembunuhan/penganiayaan dilakukan melalui media elektronik, maka berlaku UU ITE dan perubahannya. Sebab, Pasal 29 UU ITE jo. Pasal 45B UU 19/2016 memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingkan Pasal 336 KUHP dan Pasal 449 UU 1/2023.\n\nWalau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur pengancaman sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023, serta UU ITE dan perubahannya. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Pidana;Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.\n\nReferensi:\n\nMuchamad Iksan. Kebijakan Penal dalam Perlindungan Saksi Perkara Pidana. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, No. 1, 2011;Rizky Putri Praditamas (et.al). Studi Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dan United Kingdom Penal Code. Jurnal Recidive, Vol. 5, No. 1, 2016;Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015;Pengancaman, yang diakses pada Selasa, 24 Oktober 2023, pukul 21.28 WIB;Mengancam, yang diakses pada Rabu, 25 Oktober 2023, pukul 10.16 WIB.\n\n[1] Rizky Putri Praditamas (et.al). Studi Perbandingan Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dan United Kingdom Penal Code. Jurnal Recidive, Vol. 5, No. 1, 2016, hal. 91.[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).[3] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023.[4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023.[5] Muchamad Iksan. Kebijakan Penal dalam Perlindungan Saksi Perkara Pidana. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, No. 1, 2011, hal. 113.[6] Penjelasan Pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.[7] Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015, hal. 504." }
{ "from": "human", "value": "Perusahaan kami berdomisili di Kabupaten Karawang dan saat ini kami menerapkan UMSK Karawang. Adapun UMSK Karawang 2020 sebesar Rp 5.343.083, sedangkan UMK Karawang 2021 sebesar Rp 4.798.312. Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, maka ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah dihapuskan oleh Pasal 81 angka 26 UU Cipta Kerja. Terkait itu, pertanyaan kami:\n\nDengan tidak adanya UMSK 2021, apabila kami hendak merekrut pekerja baru, aturan upah mana yang harus diterapkan? Apakah UMSK Karawang 2020 atau UMK Karawang 2021?\nDapatkah kami menerapkan UMK Karawang 2021 untuk pekerja baru?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Apakah Law Firm Tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan? 06 Mar 2024 Bolehkah Memotong Gaji Karyawan karena Perusahaan Terdampak COVID-19? 06 Mei 2021 Apakah Besarnya Take Home Pay Setara Upah Minimum? 15 Mar 2021 Bolehkah PKB/PP Mengatur Uang Pesangon Lebih Tinggi? 07 Jan 2021 Merujuk pada artikel Masih Adakah Upah Minimum Sektoral dengan Berlakunya UU Cipta Kerja? , Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) sebelumnya menyatakan bahwa upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (“upah minimum sektoral”). Akan tetapi, memang benar seperti yang Anda sebutkan, ketentuan upah minimum sektoral telah dihapuskan oleh Pasal 81 angka 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) , sehingga saat ini ketentuan tersebut sudah tidak berlaku. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Adapun ketentuan upah minimum yang diatur dalam UU Cipta Kerja adalah Upah Minimum Provinsi (“UMP”) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (“UMK”) . [1] Dalam hal ini, besaran UMK harus lebih tinggi dari UMP. [2] Patut diperhatikan, perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum UU Cipta Kerja dilarang mengurangi atau menurunkan upah . [3] Sehingga, perusahaan tidak boleh mengurangi/menurunkan upah pekerja yang sebelumnya telah diupah lebih tinggi dari upah minimum. Pengupahan Karyawan Baru Pasca UU Cipta Kerja Pada dasarnya, besaran upah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja yang kemudian dituangkan dalam perjanjian kerja, dengan besaran yang tidak boleh rendah dari ketentuan pengupahan . [4] Lebih lanjut, kesepakatan upah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan (“PP”), peraturan kerja bersama (“PKB”) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [5] Tidak boleh bertentangan di sini berarti isi perjanjian kerja, baik kualitas maupun kuantitasnya tidak boleh lebih rendah dari yang telah diatur dalam PP atau PKB . [6] Untuk menjawab pertanyaan Anda, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Edisi Revisi) menjelaskan pada asasnya, undang-undang hanya mengikat peristiwa yang terjadi setelah undang-undang itu diundangkan dan tidak berlaku surut (hal .125 ). Hal ini sesuai dengan asas lex posteriori derogat legi priori , yang berarti apabila terdapat konflik antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru, sedangkan keduanya mengatur hal yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lama. [7] Dengan demikian, dikarenakan Anda merekrut karyawan baru setelah UU Cipta Kerja berlaku, maka dalam hal pengupahan tunduk pada UU Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah, dihapus, dan/atau ditetapkan pengaturan baru oleh UU Cipta Kerja. Patut Anda perhatikan, Pasal 81 angka 68 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 191A huruf a UU Ketenagakerjaan menyatakan: Pada saat berlakunya Undang-Undang ini: untuk pertama kali upah minimum yang berlaku , yaitu upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan . Maka dari itu, mengenai pengupahan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”) masih berlaku. Upah Minimum Kabupaten Karawang Menyambung pertanyaan Anda, melalui Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/KEP.774-YANBANGSOS/2020 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2021 (“Kepgub Jabar 561/2020”) telah diatur: Besaran Upah Minimum Kabupaten Karawang Tahun 2021 adalah Rp 4.798.312,00 . Upah minimum ini mulai dibayarkan pada 1 Januari 2021 dan bagi pengusaha yang telah membayar upah lebih tinggi dari UMK di atas dilarang mengurangi dan/atau menurunkan upah pekerjanya . [8] Maka, perusahaan yang sebelumnya sudah membayar lebih tinggi dari UMK Karawang 2021 di atas atau dalam hal ini menerapkan pembayaran menurut upah minimum sektoral, tidak boleh mengurangi/menurunkan upahnya. Sementara itu, untuk karyawan baru menurut hemat kami sejauh ini dapat dibayarkan merujuk pada ketentuan UMK di atas . Sebab, sepanjang penelusuran kami tidak menemukan ketentuan upah minimum sektoral Kabupaten Karawang 2021. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bagi Anda untuk memberikan upah yang lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh UMK Karawang 2021. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/KEP.774-YANBANGSOS/2020 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2021 REFERENSI:\n1. Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Edisi Revisi) . Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2010\n2. Andika Wijaya dan Wida Peace Ananta. Update Paling Lengkap Ujian Profesi Advokat . Jakarta: Grasindo, 2018. [1] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88C ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan [2] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88C ayat (5) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 81 angka 68 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 191A huruf b UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 52 jo . Pasal 54 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (4) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [6] Penjelasan 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [7] Andika Wijaya dan Wida Peace Ananta. Update Paling Lengkap Ujian Profesi Advokat . Jakarta: Grasindo, 2018, hal.161 [8] Diktum Ketiga dan Keempat Kepgub Jabar 561/2020 umsp karyawan ketenagakerjaan pekerja uu cipta kerja umk ump perusahaan upah pengupahan upah minimum" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau bertanya perlukah pemilik usaha kecil dan menegah (UKM) mendaftarkan merek dagangnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan usaha kecil dan menengah (“UKM”) yang Anda maksud mengacu pada Pasal 35 PP 7/2021 dimana UKM dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan.\nSelanjutnya, merek (trademark), menurut Rahmi Jened dalam buku Hukum Merek, Trademark Law dalam Era Global & Integrasi Ekonomi (hal. 3), adalah tanda untuk mengidentifikasikan asal barang dan jasa (an indication of origin) dari suatu barang dan/atau jasa perusahaan lain.\n\nDefinisi merek menurut Pasal 1 angka 1 UU Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 dimensi dan/atau 3 dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.\nLebih lanjut, Insan Budi Maulana dan Emilie Flohil dalam buku bertajuk Perbandingan Singkat Pelindungan Merek Belanda dan Indonesia (hal. 10), setiap tanda yang membedakan barang dan jasa suatu perusahaan biasa dianggap sebagai merek.\nAdapun yang dimaksud dengan merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.[1]\nPentingnya UKM Mendaftarkan Merek Dagangnya\n\nMenjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami pemilik UKM perlu dan dianjurkan untuk mendaftarkan merek dagangnya. Terutama apabila UKM yang Anda miliki membutuhkan merek yang akan digunakan dalam jangka panjang dan terus menerus.\n\nHal ini berkaitan dengan UU Merek yang mengadopsi prinsip first to file, dimana pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran merek dan disetujui untuk didaftar, menjadi pihak yang memiliki hak atas merek tersebut.\n\nPasal 1 angka 5 UU Merek menegaskan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.\n\nAdapun, hak atas merek tersebut diperoleh setelah merek tersebut terdaftar, yaitu setelah setelah permohonan melalui proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif serta mendapatkan persetujuan menteri untuk diterbitkan sertifikat.[2]\n\nLebih lanjut, merek tidak dapat didaftar jika tidak memiliki daya pembeda[3] atau mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan terlebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis.[4]\n\nBaca juga: First to File atau First to Use, Indonesia Anut yang Mana?\nMengutip Cita Citrawinda Noerhadi dalam Perlindungan Merek Terkenal & Konsep Dilusi Merek dari Perspektif Global (hal. 20) disebutkan bahwa suatu merek hanya akan berharga apabila memiliki hak eksklusif. Sebab tanpa hak eksklusif, maka orang akan bebas meniru dan memalsukan merek orang lain.\n\nHal tersebut ditegaskan pula oleh Henry Soelistyo dalam buku Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi (hal. 50) yang menyebutkan bahwa UU Merek disusun untuk menunjang tatanan dan kegiatan perekonomian dan perdagangan yang berfungsi untuk memfilter peredaran komoditas barang dan/atau jasa dengan merek kembar atau serupa.\n\nDengan demikian, penting bagi pemilik UKM yang berencana menggunakan merek tersebut dalam jangka panjang untuk mendaftarkan merek atau merek dagangnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pihak lain atau pemohon yang beriktikad tidak baik yaitu yang berniat meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.[5] Sehingga, mereknya dapat dilindungi, mendapatkan kepastian hukum, dan akan terlindung dari pesaing yang menggunakan merek dagangnya tanpa hak.\nContoh Kasus\n\nTerdapat salah satu contoh putusan pengadilan mengenai pentingnya mendaftarkan merek dagang yang dapat Anda lihat dalam Putusan MA No. 512 K/Pdt.Sus-HKI/2016. Dijelaskan dalam putusan tersebut bahwa penggugat menjual produk berupa minyak rambut, bedak, sabun, dan sejenisnya dengan merek “Mawar + Logo”. Merek “Mawar” dengan “lukisan bunga mawar” telah diajukah permohonan merek oleh penggugat kepada Dirjen HKI tanggal 28 April 2004  (hal. 1 – 2).\n\nSementara itu, tergugat dengan sengaja dan iktikad tidak baik telah mengajukan permohonan merek “Mawar+Logo” pada tanggal 6 Agustus 2008 agar menimbulkan konflik dan persaingan curang atau menyesatkan. Hal ini karena merek tergugat mempunyai persamaan pada keseluruhan atau persamaan pada pokoknya dengan merek penggugat (hal. 3).\n\nPengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya dan membatalkan pendaftaran merek tergugat (hal. 8 – 9).\n\nPutusan ini dikuatkan kembali pada tingkat kasasi dengan pertimbangan bahwa pertimbangan hukum putusan judex facti yang mengabulkan gugatan penggugat dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum dalam perkara a quo, di mana ternyata antara merek milik penggugat yaitu merek dagang “Mawar + Logo” terdaftar, telah terdapat persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang yang sejenis dengan merek tergugat. Persamaan tersebut baik bunyi, ucapan dan atau susunan kata atau huruf, yang dapat menyesatkan konsumen dan merek penggugat telah terlebih dahulu terdaftar dari pada merek tergugat, sehingga penggugat berhak untuk mengajukan gugatan a quo (hal. 14)\n\nBerdasarkan putusan tersebut di atas, dapat dilihat pentingnya mendaftarkan merek agar dilindungi apabila terjadi atau ditemukan merek yang mengandung unsur persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang/jasa yang sejenis.\n\nOleh karena itu, bagi UKM yang mendaftarkan mereknya, selain mendapatkan pelindungan dari pendaftaran mereknya, pemilik UKM memiliki kemungkinan besar untuk mendapatkan manfaat ekonomis dari merek tersebut di masa depan.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5850fd588be8e/undang-undang-nomor-20-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_20_2016)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60320cfe8e3b3/peraturan-pemerintah-nomor-7-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_7_2021)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 512 K/Pdt.Sus-HKI/2016\n\nREFERENSI:\n1. Cita Citrawinda Noerhadi. Perlindungan Merek Terkenal & Konsep Dilusi Merek dari Perspektif Global. Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020\n2. Henry Soelistyo. Hak Kekayaan Intelektual: Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi. Cetakan Pertama. Jakarta Selatan: Penaku, 2014\n3. Insan Budi Maulana dan Emilie Flohil, Perbandingan Singkat Pelindungan Merek Belanda dan Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung: Penerbit PT Alumni, 2018\n4. Rahmi Jened. Hukum Merek, Trademark Law dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi. Cetakan Pertama. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2015.\n\n[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU Merek”)[2] Pasal 3 UU Merek dan penjelasannya[3] Pasal 108 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 20 huruf e UU Merek[4] Pasal 21 ayat (1) huruf a UU Merek[5] Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UU Merek" }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang ayah yang mempunyai anak kandung berusia 13 tahun. Istri saya meninggal dunia dan meninggalkan warisan tanah atas nama saya dan anak saya. Apabila saya selaku ayah ingin menjual tanah tersebut, apakah perlu persetujuan dari anak? Jika perlu apakah anak di bawah umur bisa membuat persetujuan secara notariil atau hanya persetujuan lisan?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPembagian Waris Tidak Sesuai Hukum Waris Islam, Bolehkah?05 Mei 2023Bisakah Menolak Warisan Utang dalam Hukum Waris Islam?14 Apr 2023Hak Ahli Waris Pekerja yang Meninggal Saat Proses PHK27 Feb 2023Hak Waris Istri Kedua Jika Suaminya Meninggal18 Jan 2023\n\nTerkait dengan pertanyaan Anda ada 2 hal yang perlu diperhatikan yaitu terkait:\n\nSiapa saja yang menjadi ahli waris manakala seorang istri meninggal dunia dan meninggalkan suami dan anak;Pengertian anak di bawah umur.\n\nKami asumsikan bahwa pewaris (dalam hal ini istri yang meninggal dunia) beragama Islam. Lalu, siapa saja yang menjadi ahli waris manakala seorang istri meninggal dunia dan meninggalkan suami dan anak?\nBerdasarkan ketentuan KHI, dalam hal istri meninggal dan meninggalkan seorang suami serta seorang anak, maka yang menjadi ahli waris dari istri (almarhumah) adalah:\n\nSuami almarhumah mendapatkan hak atas harta warisan sebesar 1/4 bagian atau 25% dari total harta milik istri;[1]Ayah almarhumah (jika masih hidup) mendapatkan hak warisan 1/6 bagian dari total harta almarhumah;[2]Ibu almarhumah (jika masih hidup) mendapatkan hak warisan 1/6 bagian dari total harta almarhumah;[3]Anak almarhumah mendapatkan hak warisan 1/2 bagian bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat 2/3 bagian. Dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah 2:1 dengan anak perempuan.[4]\n\nBaca juga: Empat Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata\nMaka Anda dan anak Anda tergolong sebagai ahli waris istri Anda. Berkenaan dengan pembuktian sebagai ahli waris, kami sarankan untuk segera mengurus surat keterangan ahli waris ke institusi/pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.\nKategori Anak di Bawah Umur\n\nDalam Pasal 330 KUH Perdata mengatur perihal batasan seseorang dianggap dewasa yang berbunyi:\n\nSeseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah (pernah) menikah.\n\nBerdasarkan rumusan pasal tersebut secara a contrario, seseorang disebut belum dewasa jika masih berusia di bawah 21 tahun atau dengan kata lain masih di bawah umur.\n\nSedangkan terkait seseorang yang hendak melangsungkan perkawinan diberikan izin apabila telah mencapai usia 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Hal ini  diatur di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019.\nTata Cara Menjual Harta Waris Anak di Bawah Umur oleh Ayahnya\n\nMenjawab pertanyaan Anda, apabila ayah ingin menjual tanah tersebut apakah perlu persetujuan dari anak?\n\nDalam praktik, sebelum menjual harta waris tersebut, Anda selaku ayah terlebih dahulu mengajukan permohonan perwalian/penetapan wali ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam atau Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam dan permohonan penetapan izin menjual harta anak di bawah umur dari Pengadilan Negeri.\n\nSalah satu contoh penetapan izin menjual harta anak di bawah umur dapat Anda simak dalam Putusan PN Surabaya No. 5172/Pdt.P/2013/PN.Sby. Pemohon adalah ibu rumah tangga yang akan menjual sebidang tanah warisan suaminya. Karena anak-anak kandung pemohon belum cukup umur, pemohon meminta pengadilan untuk memberikan izin kuasa menjual harta tersebut (hal. 2). Majelis hakim menerima permohonan pemohon dengan memberikan izin untuk menjual harta kekayaannya yang berdasarkan pada penetapan perwalian anak di bawah umur dari Pengadilan Agama Surabaya No. 0573/Pdt.P/2013/PA. Sby (hal. 7)\n\nBaca juga: Seluk Beluk Perwalian Anak\n\nHal tersebut sesuai dengan Pasal 359 KUH Perdata yang berbunyi:\n\nBagi sekalian anak belum dewasa, yang tidak bernaung di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda.\n\nSelain itu, juga diatur pada Pasal 362 KUH Perdata:\n\nWali berwajib segera setelah perwaliannya mulai berlaku, dibawah tangan Balai Harta Peninggalan mengangkat sumpah, bahwa ia akan menunaikan perwalian yang dipercayakan kepadanya dengan baik dan tulus hati. Jika ditempat tinggal si wali atau dalam jarak lima belas pal dari itu tiada Balai Harta Peninggalan, pun tiada suatu perwakilan dari itu berkedudukan, maka sumpah boleh diangkat didepan Pengadilan Negeri atau pun di muka Kepala Pemerintah daerah tempat tinggal si wali.\n\nIzin dari Pengadilan Negeri tidak hanya terkait dengan penjualan harta anak di bawah umur saja, melainkan termasuk juga untuk persetujuan menjaminkan harta yang terdaftar atas nama anak yang masih di bawah umur.\nDalam Pasal 107 s.d. Pasal 112 KHI, juga diatur ketentuan mengenai perwalian. Pasal 107 KHI mengatur bahwa:\n\nperwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinanperwalian ini meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.\n\nDari rumusan ketentuan Pasal 107 KHI tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab seorang wali menurut KHI tidak mudah, bahkan tidak menutup kemungkinan seorang wali akan diminta untuk mengganti kerugian terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dalam hal diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya.[5]\n\nSelain itu, seorang wali tetap wajib untuk menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya bila yang bersangkutan telah mencapai usia 21 tahun atau telah kawin.[6]\n\nDengan demikian, apabila ayah hendak menjual tanah warisan dari almarhumah istrinya, wajib terlebih dahulu mengurus perwalian si anak. Ketika nantinya si anak telah berusia 21 tahun atau telah kawin maka sang ayah berkewajiban untuk menyerahkan seluruh harta dari sang anak.\n\nMenjawab pertanyaan Anda selanjutnya mengenai perlukah persetujuan anak di bawah umur dibuatkan akta notaris, hendaknya memperhatikan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU 2/2014 yang berbunyi:\n\nPenghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut :\n\nPaling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; danCakap melakukan perbuatan hukum;\n\nAdapun, kriteria seseorang yang tidak cakap diatur di dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:\n\nAnak yang belum dewasa;Orang yang ditaruh dibawah pengampuan;Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertetntu.\n\nBerdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang hanya dapat melakukan perbuatan hukum di hadapan notaris, apabila telah berusia 18 tahun.\n\nDalam hal seseorang di bawah usia 18 tahun hendak melakukan perbuatan hukum yang mana dalam hal ini berkenaan dengan pelepasan haknya dengan membuat dan menandatangani akta notaris, dapat diwakili oleh wali.\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda perlukah persetujuan anak di bawah umur untuk menjual harta waris perlu dituangkan dalam akta notaris, jawabannya tidak perlu. Sebab untuk menjual harta waris anak di bawah umur perlu penetapan perwalian dan izin menjual harta anak di bawah umur dari pengadilan.\n\nNamun, sebagai ayah, Anda perlu juga memperhatikan kepentingan anak ketika menjual harta waris sebagaimana diatur di dalam Pasal 48 UU Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut.\n\nOrang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.\n\nKesimpulannya, untuk menjual harta waris milik anak di bawah umur perlu penetapan perwalian dan izin menjual harta waris anak di bawah umur dari pengadilan. Penetapan pengadilan terkait perwakilan seseorang untuk bertindak jika ada pelepasan hak yang dimiliki oleh anak di bawah umur bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan sang anak.\n\nDengan kata lain, peralihan hak tersebut harus dilakukan oleh seseorang yang mewakili anak di bawah umur baik oleh orang tua maupun orang lain yang diangkat sebagai wali sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Perkawinan)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014/undang-undang-nomor-16-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_16_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19754/undangundang-nomor-30-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2004)\n5. [Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e61d0707fe3/undang-undang-nomor-2-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2014)\n6. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\nPUTUSAN\n\nPutusan PN Surabaya No. 5172/Pdt.P/2013/PN.Sby.\n\n[1] Pasal 179 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[2] Pasal 177 KHI[3] Pasal 178 KHI[4] Pasal 176 KHI[5] Pasal 110 ayat (3) KHI[6] Pasal 111 ayat (1) KHI" }
{ "from": "human", "value": "Apa saja unsur-unsur konstitusional terbentuknya suatu negara? Mohon jelaskan dan sebutkan unsur-unsur berdirinya suatu negara ini." }
{ "from": "gpt", "value": "Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur berdirinya negara adalah elemen dari suatu organisasi negara, atau hal-hal yang dianggap perlu untuk terbentuknya suatu negara.[1]\nDari perspektif hukum internasional, instrumen yang telah mengatur secara pasti unsur-unsur terbentuknya negara adalah Montevideo Convention yang menyebutkan adanya empat unsur yang menjadi kualifikasi sebuah negara sebagai subjek hukum internasional:[2]\n\nPenduduk tetap\n\nSyarat “tetap” dalam unsur ini bisa diartikan dalam 2 hal. Pertama, penduduk menjadikan wilayah yang ada sebagai dasar untuk menentukan tempat tinggalnya. Kedua, wilayah itu -sebagai tempat tinggal- dapat diajukan tuntutan sebagai lingkungan tertentu. Pada dasarnya tidak ada ketetapan yang pasti mengenai jumlah minimum penduduk untuk membentuk suatu negara. Penentu status penduduk adalah ikatan hukum dalam satu kebangsaan.[3]\n\nWilayah\n\nTidak ada ketentuan yang pasti berapa luas minimum suatu wilayah untuk dapat ditetapkan sebagai salah satu unsur yang membentuk sebuah negara. Crawford menyatakan bahwa hak suatu negara yang independen untuk menyusun pemerintahan yang berada dalam suatu wilayah tertentu.[4]\n\nSebagai catatan, adanya sengketa batas negara tidak mempengaruhi status sebuah negara. Contohnya, Israel pada tahun 1949 diterima sebagai anggota PBB meskipun ada konflik batas negara yang sedang berlangsung ketika itu.[5]\n\nPemerintahan\n\nMenurut Crawford juga, persyaratan bahwa sebuah negara yang dianggap ada mempunyai pemerintahan yang efektif bisa dianggap sebagai hal yang sentral dalam klaim telah terbentuknya sebuah negara. Makna pemerintahan sendiri dapat dikaitkan dalam hubungan kepada 2 hal. Pertama, meliputi lembaga-lembaga politik, administratif, dan eksekutif, yang bertujuan untuk melakukan pengaturan dalam komunitas yang bersangkutan dan melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan dalam aturan hukum.[6]\n\nKedua, dengan menggunakan prinsip efektivitas, kriteria pemerintahan menunjuk kepada makna “pemerintahan yang efektif” yang berarti lembaga politik, administratif, dan eksekutif sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya dalam wilayah yang bersangkutan dan diakui oleh penduduk setempat. Supaya efektif, maka pembentukan lembaga-lembaga itu didirikan dan diatur oleh hukum yang ditetapkan setelah terbentuknya negara yang bersangkutan.[7]\n\nKemampuan untuk menjalin hubungan internasional dengan negara lain\n\nSebagian ahli menyebutkan bahwa syarat yang terakhir ini merupakan unsur deklaratif, dan bukan unsur konstitutif terbentuknya suatu negara. Hal tersebut dikarenakan kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain lebih merupakan konsekuensi lahirnya suatu negara dibandingkan sebagai syarat pendiriannya. Bahkan, syarat ini tak hanya diperuntukkan bagi negara, akan tetapi juga untuk organisasi internasional, termasuk bagian dari pengaturan konstitusional seperti halnya dalam sistem federasi.[8]\n\nKeempat unsur tersebut sering disebut dengan the traditional criteria.[9] Hal serupa disampaikan oleh Soehino dalam Ilmu Negara, syarat ada daerahnya yang tertentu, ada rakyatnya, dan ada pemerintahan yang berdaulat adalah syarat formil suatu negara, bukan syarat materiilnya (hal. 7-8).\n\nBelakangan berkembang juga pendapat dari sebagian ahli yang mensyaratkan adanya syarat-syarat tambahan dari aspek legalitas, yaitu pembentukan negara tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental dalam hukum internasional, di antaranya yaitu prinsip democratically legitimated authority dan hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination).[10]\n\nDemikian jawaban dari kami terkait unsur-unsur negara atau unsur terbentuknya negara sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nThe 1933 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States.\n\nREFERENSI:\n1. Ali Zounuzy Zadeh. International Law and the Criteria for Statehood: The Sustainability of the Declaratory and Constitutive Theories as the Method for Assessing the Creation and Continued Existence of States. LL.M Thesis Public International Law, Tilburg University\n2. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016\n3. Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak) (e-book). Malang: UB Press, 2012\n4. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2005\n5. Stefan Talmon. The Constitutive Versus the Declaratory Doctrine of Recognition: Tertium Non Datur? British Year Book of International Law, Vol. 75, 2004.\n\n[1] Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak) (e-book). Malang: UB Press, 2012.\n\n[2] Pasal 1 Montevideo Convention\n\n[3] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 37\n\n[4] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 36\n\n[5] Ali Zounuzy Zadeh. International Law and the Criteria for Statehood: The Sustainability of the Declaratory and Constitutive Theories as the Method for Assessing the Creation and Continued Existence of States. LL.M Thesis Public International Law, Tilburg University, hal. 19-20\n\n[6] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38\n\n[7] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38\n\n[8] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38–39\n\n[9] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 36\n\n[10] Stefan Talmon. The Constitutive Versus The Declaratory Doctrine of Recognition: Tertium Non Datur? British Year Book of International Law, Vol. 75, 2004, hal. 121-122" }
{ "from": "human", "value": "Mohon pencerahannya, apa saja asas-asas hukum acara perdata?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Pengertian Hukum dan Unsur-unsur Hukum 17 Jul 2023 Kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif di Indonesia 16 Jun 2023 8 Penggolongan Hukum di Indonesia 16 Jun 2023 Memaknai Harmonisasi Peraturan di Indonesia 06 Jun 2022 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Catat! Ini 10 Asas Hukum Acara Perdata yang pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 17 Juni 2022. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan mengacu pada asas-asas hukum acara perdata yang diterangkan Benny Rijanto dalam modul berjudul Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata (hal. 126-138). Dalam modul tersebut, diterangkan bahwa ada 10 asas-asas hukum acara perdata. Adapun yang dimaksud 10 asas-asas hukum acara perdata adalah hakim bersifat menunggu, hakim pasif, hakim aktif, sidang pengadilan terbuka untuk umum, mendengar kedua belah pihak, putusan disertai alasan, hakim menunjuk dasar hukum putusan, hakim harus memutus semua tuntutan, beracara dikenakan biaya, dan tidak ada keharusan untuk mewakilkan. Berikut paparan selengkapnya. Hakim Bersifat Menunggu Pertama, dalam asas hukum acara perdata yaitu inisiatif untuk mengajukan gugatan diserahkan kepada pihak yang berkepentingan atau pihak yang beperkara. Jika tidak ada gugatan, maka tidak ada hakim. Secara sederhana, asas hukum acara perdata yang artinya hakim bersifat menunggu adalah menerangkan bahwa hakim menunggu diajukannya perkara atau gugatan. Dengan kata lain, hakim tidak boleh aktif mencari perkara atau “menjemput bola” di masyarakat. Akan tetapi, sekali suatu perkara diajukan, hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apapun. Hakim Pasif Asas hukum acara perdata yang kedua yaitu hakim dalam memeriksa suatu perkara bersikap pasif. Artinya, ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim ditentukan oleh pihak yang beperkara dan bukan oleh hakim. Dengan kata lain, penggugat menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, juga tergantung para pihak (penggugat/tergugat) suatu perkara akan dilanjutkan atau dihentikan, misalnya lewat perdamaian atau gugatan dicabut. Semua tergantung para pihak, bukan pada hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan menilai siapa di antara para pihak yang berhasil membuktikan kebenaran dalilnya dan mana yang benar dari dalil yang dikemukakan tersebut. Hakim Aktif Hakim harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, dalam artian untuk memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak mencari kebenaran, sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi). Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut sebagaimana dimaksud Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR , Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg . Adapun asas hakim pasif dan aktif dalam hukum acara perdata disebut dengan verhandlungsmaxime . Meskipun hakim bersifat pasif (tidak menentukan luasnya pokok perkara), bukan berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Sebagai pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin jalannya persidangan, menentukan pemanggilan, menetapkan hari sidang, karena jabatan memanggil sendiri saksi (apabila perlu), serta memerintahkan alat bukti untuk disampaikan di depan persidangan. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum Asas hukum acara perdata yang keempat adalah sidang perkara perdata di pengadilan terbuka untuk umum. Artinya, setiap orang boleh menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan. Hal ini secara tegas dituangkan dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU 48/2009 : Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tidak dipenuhinya ketentuan ayat (1) dan (2) di atas, mengakibatkan putusan batal de mi hukum. [1] Dalam praktiknya, meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, kalau dalam berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, putusan yang telah dijatuhkan tetap sah. Namun, dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzinaan, sering kali persidangan dilakukan secara tertutup. Tetapi pada awalnya, persidangan harus tetap dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup. Mendengar Kedua Belah Pihak Asas hukum acara perdata yang kelima adalah kedua belah pihak harus diperlakukan sama, tidak memihak, dan didengar bersama-sama. Asas acara perdata bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem atau eines mannes rede ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide . Asas hukum acara perdata yang satu ini mengartikan hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Putusan Harus Disertai Alasan Semua putusan hakim (pengadilan) pada asas hukum acara perdata harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan ini merupakan argumentasi sebagai pertanggungjawaban hakim kepada masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai objektif. Karena alasan-alasan tersebut, putusan hakim (pengadilan) mempunyai wibawa. Sering kali, alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan didukung yurisprudensi dan doktrin. Ini tidak berarti hakim terikat pada putusan hakim sebelumnya, tapi hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas the binding force of precedent tidak dianut di Indonesia, namun terikatnya atau berkiblatnya hakim terhadap yurisprudensi ialah karena yakin bahwa putusan mengenai perkara yang sejenis memang sudah tepat dan meyakinkan. Hakim Harus Menunjuk Dasar Hukum Putusannya Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. [2] Larangan ini karena anggapan hakim tahu akan hukumnya ( ius curia novit ). Jika dalam suatu perkara, hakim tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masy arakat. [3] Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan Selain asas hukum acara perdata bahwa hakim harus menunjuk dasar hukum dalam putusan, hakim harus memutus semua tuntutan penggugat. Hakim tidak boleh memutus lebih atau lain dari pada yang dituntut. Ini dikenal dengan iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur adalah hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya. Misalnya penggugat mengajukan tuntutan agar tergugat dihukum mengembalikan utangnya, tergugat dihukum membayar ganti rugi, dan tergugat dihukum membayar bunga. Maka, tidak ada satu pun dari tuntutan tersebut yang boleh diabaikan hakim. Beracara Dikenakan Biaya Asas hukum acara perdata selanjutnya adalah seseorang yang akan beperkara dikenakan biaya perkara. Biaya perkara tersebut meliputi biaya kepaniteraan, biaya panggilan, pemberitahuan para pihak, serta biaya meterai. Namun, bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma ( prodeo ) dengan mendapat izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara, dan dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan Tidak ada ketentuan yang mewajibkan para pihak mewakilkan pada orang lain (kuasa) untuk beperkara di muka pengadilan, sehingga dapat terjadi langsung pemeriksaan terhadap para pihak yang beperkara. Adapun beperkara di pengadilan tanpa seorang kuasa akan lebih menghemat biaya. Namun, para pihak bisa saja memberi kuasa kepada kuasa hukumnya apabila dikehendaki. Sebab, bagi pihak yang ‘buta hukum’ tapi terpaksa beperkara di pengadilan, kuasa hukum yang mengetahui hukum tentu sangat membantu pihak yang bersangkutan. Demikian jawaban dari kami perihal asas-asas hukum acara perdata sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Herzien Inlandsch Reglement (HIR) Reglement Tot Regeling van Het Rechtswezen in De Gewesten Buiten Java en Madura (RBg) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman REFERENSI:\n1. Benny Rijanto. Sejarah, Sumber, dan Asas-asas Hukum Acara Perdata . Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2021. [1] Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) [2] Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 [3] Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 asas hukum acara hukum acara perdata hukum perdata" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dimaksud dengan kode etik hakim dan apa saja kode etik hakim?" }
{ "from": "gpt", "value": "Etika Profesi, Apa Artinya?\n\nIstilah “etika” menurut Bartens berasal dari bahasa Yunani kuno “etos” yang artinya kebiasaan, adat istiadat, dan akhlak yang baik.[1] Dalam pembahasan ini, hakim adalah entitas utama yang memaknai kata “pengadilan” sebagai tempat diselenggarakannya proses yang disebut mengadili. Profesi hakim yang mulia membutuhkan sandaran etika yang dapat memberikan tuntutan pada tugas sehari-hari hakim, baik dalam lingkup administratif, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara.[2]\nSebagai bagian dari profesi terhormat dalam mengadili perkara, hakim memiliki kode etik agar hakim mampu menghindari godaan dalam profesi yang memberinya stigma amoral.[3] Kode etik hakim diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama MA dan KY sebagai berikut:\n\nKode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah Panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.\nBaca juga: Tujuan Kode Etik Profesi Hukum dan Hambatannya\nKode Etik Hakim dan Penjelasannya\n\nBerdasarkan Pasal 4 Peraturan Bersama MA dan KY, kewajiban dan larangan bagi hakim dijabarkan dari 10 (sepuluh) prinsip kode etik. Berikut adalah penjelasan masing-masing kode etik hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.\n\nBerperilaku adil\n\nAdil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasari prinsip semua orang memiliki kedudukan sama di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang.[4] Sebagai contoh, hakim wajib melaksanakan tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.[5]\nBerperilaku jujur\n\nHakim harus berperilaku jujur dan menghindari perbuatan tercela.[6] Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya di dalam maupun di luar pengadilan selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan.[7]\n\nTerkait dengan perilaku jujur, hakim tidak boleh meminta atau menerima, dan harus mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari advokat, penuntut, orang yang sedang diadili, dan sebagainya.[8]\nBerperilaku arif dan bijaksana\n\nArif dan bijaksana berarti mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat.[9] Pada dasarnya, hakim wajib menghindari tindakan tercela.[10] Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan.[11]\n\nSebagai contoh, hakim tidak boleh memberi keterangan, pendapat, kritik atau pembenaran secara terbuka atas perkara atau putusan pengadilan yang belum maupun sudah inkracht dalam kondisi apapun.[12] Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya juga wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga.[13]\nBersikap mandiri\n\nHakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun.[14]\nBerintegritas tinggi\n\nIntegritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan.[15] Salah satu penerapannya, hakim tidak boleh mengadili perkara jika memiliki konflik kepentingan seperti hubungan pribadi, kekeluargaan, atau hubungan lain dan patut diduga mengandung konflik kepentingan.[16] Hakim juga wajib bersikap terbuka dan memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi yang menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam menangani suatu perkara.[17]\nBertanggung jawab\n\nBertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugas tersebut.[18] Contoh penerapannya, hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain.[19]\nMenjunjung tinggi harga diri\n\nHakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.[20]\nBerdisiplin tinggi\n\nHakim berkewajiban mengetahui dan melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan.[21] Hakim harus menghormati hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara sederhana, cepat dan biaya ringan.[22]\nBerperilaku rendah hati\n\nHakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, karena pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian untuk mendapat penghasilan materi, melainkan amanat yang dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.[23]\nBersikap profesional\n\nHakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain secara profesional.[24] Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak, atau dengan sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa atau para pihak.[25]\n\nKesimpulannya, sebagai bagian dari profesi terhormat dalam mengadili perkara, hakim perlu memiliki pedoman berperilaku guna menerapkan hukum secara benar dan memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan. Pedoman tersebut dirumuskan dalam bentuk kode etik yang wajib ditaati oleh hakim. Anda dapat membaca mengenai penjelasan kode etik hakim dan penerapannya secara lengkap pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 Peraturan Bersama MA dan KY, serta membaca Bagian C Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.\nBaca juga: Cara Melaporkan Hakim yang Langgar Kode Etik\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim](https://jdih.komisiyudisial.go.id/upload/produk_hukum/Peraturan-Bersama-MA-KY-tentang-KEPPH.pdf)\n2. [Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim](https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/kode%20etik%20dan%20pedoman%20perilaku%20hakim%20ma%20ky.pdf)\nREFERENSI:\n1. Imran, Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Kajian Putusan Nomor 63/Pid.B/2012/PN.TBL dan Nomor 64/Pid.B/2012/PN.TBL, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, 2019.\n\n[1] Imran, Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Kajian Putusan Nomor 63/Pid.B/2012/PN.TBL dan Nomor 64/Pid.B/2012/PN.TBL, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, 2019, hal. 4[2] Imran, Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Kajian Putusan Nomor 63/Pid.B/2012/PN.TBL dan Nomor 64/Pid.B/2012/PN.TBL, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, 2019, hal. 6[3] Imran, Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Kajian Putusan Nomor 63/Pid.B/2012/PN.TBL dan Nomor 64/Pid.B/2012/PN.TBL, Jurnal Yudisial, Vol. 12, No. 1, 2019, hal. 7[4] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”) Nomor 1[5] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 1.1 ayat (1)[6] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 2.1 ayat (1)[7] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 2.1 ayat (2)[8] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 2.2 ayat (1)[9] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3[10] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3.1 ayat (1)[11] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3.1 ayat (2)[12] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3.2 ayat (5)[13] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 3.1 ayat (5)[14] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 4 ayat (1)[15] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 5[16] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 5.1.2[17] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 5.1.6[18] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 6[19] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 6.1[20] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 7.1[21] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 8.1[22] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 8.2[23] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 9.1[24] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 10.3[25] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Nomor 10.4" }
{ "from": "human", "value": "Saya punya pertanyaan tentang hapusnya perikatan. Kemudian, apabila ada seorang pelukis yang telah dibayar (baik sebagian ataupun seluruhnya) untuk menyelesaikan suatu lukisan diri, tapi tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya itu karena ia meninggal dunia, bagaimana perikatan yang terjadi antara pelukis tadi dengan orang yang memberinya pekerjaan? Apakah perikatan itu hapus atau masih berlanjut? Mengapa? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Lantas, bagaimana status perjanjian jika salah satu pihak dalam perjanjian meninggal? Pada asasnya, suatu perjanjian hanya mengikat para pihak itu sendiri, baik yang dilakukan sendiri maupun melalui kuasanya. Adapun pihak ketiga dapat memperoleh hak-hak dari perjanjian di mana ia bukan merupakan pihak, asal dipenuhi apa yang dirumuskan dalam Pasal 1317 KUH Perdata.\n\nUntuk mengetahui apakah suatu perjanjian dapat berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak, harus dilihat terlebih dahulu perjanjian apa yang mengikat para pihak tersebut.\n\nSebab, terdapat beberapa jenis perjanjian di mana dalam perjanjiannya melekat sedemikian eratnya pada sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi, atau melekat pada diri/persoon salah satu pihak, seperti pada perjanjian kerja. Dalam perjanjian jenis ini, perjanjian berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak.[14] Begitu juga dalam perjanjian pemberian kuasa, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kuasa Hukum Meninggal Dunia Saat Proses Perkara, Ini Cara Menunjuk yang Baru.\n\nDalam perjanjian semacam itu, sejak saat meninggalnya salah satu pihak, perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak berpindah kepada pihak lainnya atau kepada ahli warisnya. Namun, hasil yang sudah keluar dari perjanjian tersebut tidak hapus dan beralih kepada para ahli waris.\n\nSebagai contoh, dalam hal pekerja meninggal dunia, maka perikatan yang lahir dari perjanjian kerja tidak berpindah pada pihak lainnya atau kepada ahli warisnya. Tetapi, hak-hak pekerja yang diperoleh akibat pekerja meninggal dunia, seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, tetap diberikan kepada ahli waris pekerja yang bersangkutan.\n\nJadi, sejak kematian salah satu pihak, perjanjian tersebut tidak menimbulkan perikatan-perikatan baru lagi dan perikatan yang sudah ada tak mempunyai daya kerja lagi, sedangkan yang sudah dihasilkan oleh perikatan tersebut tetap.\n\nTetapi ada pula jenis perjanjian lainnya yang tidak berakhir dengan kematian salah satu atau kedua belah pihak, misalnya perjanjian sewa menyewa dan perjanjian jual beli, sebagaimana yang dijelaskan dalam Akibat Hukum Jika Salah Satu Pihak dalam Perjanjian Meninggal Dunia.\n\nLantas, bagaimana dengan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan berupa membuat suatu lukisan, jika si pelukis meninggal dunia dalam kondisi belum menyelesaikan pekerjaan sedangkan pihak pengguna jasa telah membayar?\n\nMengenai hal ini, kami berpendapat bahwasannya dalam perjanjian untuk membuat lukisan ini, prestasi yang harus dipenuhi si pelukis atau debitur merupakan pembuatan lukisan yang dilakukan sendiri oleh debitur, sebab pemenuhan prestasi tersebut berkaitan dengan keahlian debitur. Sehingga, pemenuhan prestasi tersebut tidak boleh dilakukan pihak ketiga/orang lain tanpa persetujuan kreditur selaku orang yang meminta dilakukannya pekerjaan tersebut.\n\nOleh karena itu pula, menurut hemat kami, perjanjian antara pelukis dan pelanggannya juga merupakan jenis perjanjian di mana di dalamnya melekat sedemikian eratnya pada sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi, atau melekat pada diri si pelukis, karena hasil lukisan sangat bergantung kepada keahlian yang dimiliki pelukis. Sehingga jika pelukis meninggal dunia, maka perjanjian tersebut juga berakhir sebagaimana dalam perjanjian kerja dan pemberian kuasa.\nDemikian jawaban dari kami terkait hapusnya perikatan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nREFERENSI:\n1. Ahmadi Miru dan Sakka Pati. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW. Depok: Rajawali Pers, 2019.\n\n[1] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 110[2] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021,  hal. 111–112[3] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 111[4] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 127[5] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 127[6] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 134[7] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 146[8] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021,  hal. 147[9] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 150[10] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 150–151[11] Pasal 1446 KUH Perdata[12] Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Depok: Rajawali Pers, 2021, hal. 153[13] Pasal 1946 KUH Perdata[14] Pasal 81 angka 16 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "What are the examples of citizens' rights in the field of law? Please explain citizens' rights in law as regulated in laws and regulations." }
{ "from": "gpt", "value": "Before answering your question about examples of citizens' rights in the field of law, it is necessary to first understand what citizens' rights are.\nAccording to Manfred Nowak, as cited in The Difference Between Human Rights and Citizens’ Rights, citizens’ rights are rights specifically given to citizens (in Bahasa Indonesia known as warga negara), and as long as the state regulates these rights do not extend to foreigners.\n\nMeanwhile, Article 26 section (2) Law 39/1999 stipulates that everyone has the right to enjoy the rights derived from and attached to their citizenship and must carry out their obligations as citizens in accordance with statutory regulations.\nExamples of Citizens’ Rights in the Field of Law\nThere are lots of types of citizens' rights. However, to answer examples of citizens' rights in the field of law, the scope of the answer will be narrowed down to rights covering legal and judicial matters. The rights of citizens in the field of law are as follows:\n\nThe right to equality before the law and government.[1]\n\nExample: all citizens have the right to protection, certainty and equality before the law to be free from racial and ethnic discrimination (diskriminasi ras dan etnis).[2]\n\nThe right to equal treatment before the law.[3]\n\nYou can read a more detailed explanation of the right to equal treatment before the law in The Meaning of Equality Before The Law and Examples.\n\nThe right to fair recognition, guarantees, protection, and legal certainty.[4]The right to be recognized as a person (individual) before the law.[5]The right not to be prosecuted on the basis of retroactive laws.[6]The right to be adjudicated according to law without discrimination.[7]The right to access a simple, speedy and low cost trial.[8]The right not to be arrested, detained, searched or seized except by written order of a legitimate authority.[9]The right to the application of the presumption of innocence.[10]\n\nEvery person who is suspected, arrested, detained, prosecuted or brought before a court shall be presumed innocent until there is a court decision that states his guilt and has obtained permanent legal force.\n\nThe right to claim compensation or rehabilitation if arrested, detained, prosecuted or adjudicated without reason based on law or mistaken person or law applied.[11]The right to have the case examined if it has been submitted to the court.[12]\n\nCourts are prohibited from refusing to examine, hear and decide cases that have been filed on the basis that the law does not exist or is unclear. Thus, the court is obliged to examine and adjudicate the case.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nThe 1945 Constitution of the Republic of Indonesia;Law Number 39 of 1999 on Human Rights;Law Number 40 of 2008 on the Elimination of Racial and Ethnic Discrimination;Law Number 48 of 2009 on Judicial Authority.\n\n[1] Article 27 section (1) The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (“1945 Constitution”).[2] Article 5 letter a Law Number 40 of 2008 on the Elimination of Racial and Ethnic Discrimination (“Law 40/2008”).[3] Article 28D section (1) 1945 Constitution.[4] Article 28D section (1) 1945 Constitution.[5] Article 28I section (1) 1945 Constitution.[6] Article 28I section (1) 1945 Constitution.[7] Article 4 section (1) Law Number 48 of 2009 on Judicial Authority (“Law 48/2009”).[8] Article 4 section (2) Law 48/2009.[9] Article 7 Law 48/2009.[10] Article 8 section (1) Law 48/2009.[11] Article 9 section (1) Law 48/2009.[12] Article 10 section (1) Law 48/2009." }
README.md exists but content is empty. Use the Edit dataset card button to edit it.
Downloads last month
8
Edit dataset card