0
dict | 1
dict |
---|---|
{
"from": "human",
"value": "Karena saat ini banyak terjadi kejahatan dan tindakan kriminal lainnya, apakah ada alat pertahanan/perlindungan diri yang diperbolehkan menurut hukum di Indonesia? Jika ada yang boleh, haruskah ada izinnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terkait hukum membawa alat pertahanan diri, secara umum diatur dalam UU Darurat 12/1951 mengenai kepemilikan dan penggunaan senjata tajam dan senjata api.\nPasal 1 ayat (1) UU Darurat 12/1951, menjelaskan bahwa apabila orang dengan tanpa hak memiliki, membawa dan/atau mempergunakan senjata api dapat dihukum penjara setinggi-tingginya 20 tahun.\nSementara, Pasal 2 ayat (1) UU Darurat 12/1951 mengatur bahwa orang yang mempunyai, membawa atau mempergunakan senjata tajam (senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk) dapat dihukum penjara setinggi-tingginya 10 tahun.\n\nNamun, Pasal 2 ayat (2) UU Darurat 12/1951 memberikan pengecualian terhadap kepemilikan dan penggunaan senjata tajam yaitu terhadap senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk untuk:\n\nalat pertanian;alat pekerjaan rumah tangga;kepentingan melakukan pekerjaan dengan sah; ataubarang yang memiliki tujuan sebagai barang pusaka atau barang kuno (seperti keris).\n\nBaca juga: Jerat Pasal Membawa Senjata Tajam, Adakah?\n\nDengan demikian, orang yang dibolehkan untuk memiliki senjata tersebut harus orang yang memiliki hak. Lalu siapakah orang yang memiliki hak tersebut?\nBisakah Warga Sipil Memiliki dan Menggunakan Senjata untuk Pertahanan Diri?\n\nSenjata pada umumnya digunakan oleh anggota TNI atau polisi. Namun tidak menutup kemungkinan senjata tersebut dimiliki dan digunakan oleh warga sipil dengan ketentuan tertentu.\n\nHal ini mengacu pada UU 2/2002 yang mengatur bahwa kepolisian dapat memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak serta senjata tajam.[1] Artinya, senjata api dan senjata tajam bisa dimiliki oleh sipil dengan terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepolisian.\n\nLebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) UU 8/1948 menyebutkan bahwa senjata api yang berada di tangan orang yang bukan merupakan anggota TNI atau polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (atau Kepala Kepolisian Daerah Istimewa selanjutnya disebut Kepala Kepolisian Karesidenan saja) atau orang yang ditunjukkannya.\n\nPeraturan terkait perizinan penggunaan senjata tercantum di dalam Perkapolri 1/2022. Sebagai informasi, senjata api yang bisa mendapatkan izin penggunaan oleh warga sipil adalah senjata api non organik dan untuk kepentingan olahraga dan bela diri.[2]\n\nSenjata api non organik ini bisa dimiliki dan digunakan secara perorangan oleh warga negara Indonesia (“WNI”) yang diberikan secara selektif bagi yang memenuhi syarat, dengan tujuan untuk melindungi diri sendiri dari ancaman pihak luar yang dapat membahayakan keselamatan jiwa, harta benda dan kehormatannya.[3]\n\nAdapun senjata api non organik yang bisa digunakan warga sipil untuk bela diri yaitu:[4]\n\nsenjata api peluru tajam (senapan kaliber .22, .32, 12 gauge, pistol/revolver kaliber .22, .25, .30, .32);senjata api peluru karet maksimal kaliber 9 mm; dansenjata api peluru gas maksimal kaliber 9 mm.\n\nUntuk bisa memiliki dan/atau menggunakan senjata api non organik untuk kepentingan bela diri harus memiliki syarat sebagai berikut:[5]\n\nWNI dibuktikan dengan KTP dan KK;Berusia minimal 24 tahun;Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter Polri;Sehat psikologis yang dibuktikan dengan surat keterangan dari psikolog Polri;Mempunyai keterampilan dalam menggunakan senjata api yang dibuktikan dengan sertifikat menembak dari Polri;Lulus wawancara terhadap pemahaman mengenai peraturan perundang-undangan tentang senjata api serta mengisi kuisioner permohonan yang dilaksanakan oleh Direktorat Intelijen Keamanan Kepolisian Daerah dengan diterbitkan surat rekomendasi;Memiliki surat izin usaha perdagangan atau akta pendirian perusahaan yang dikeluarkan oleh notaris, bagi pengusaha;bagi anggota Polri, TNI, PNS atau pegawai BUMN yang akan mengajukan kepemilikan senjata api peluru tajam serendah-rendahnya golongan iv.a atau pangkat Komisaris Polisi, Mayor TNI, atau setara yang dibuktikan dengan surat keputusan pangkat atau jabatan atau surat keterangan pengangkatan jabatan dari pejabat yang berwenang;bagi anggota Polri, TNI, PNS atau pegawai BUMN yang akan mengajukan kepemilikan senjata api peluru karet serendah-rendahnya golongan iii.a atau Pangkat Inspektur Polisi, Letnan TNI, atau setara yang dibuktikan dengan surat keputusan pangkat atau jabatan atau surat keterangan pengangkatan jabatan dari pejabat yang berwenang;bagi anggota Polri, TNI, PNS atau pegawai BUMN yang akan mengajukan kepemilikan senjata api peluru gas serendah-rendahnya golongan II.a atau berpangkat Brigadir Polisi, Sersan TNI, atau setara yang dibuktikan dengan surat keputusan pangkat atau jabatan atau surat keterangan pengangkatan jabatan dari pejabat yang berwenang;bagi anggota legislatif, lembaga tinggi negara atau kepala daerah wajib memiliki surat keputusan atau surat pengangkatan;memiliki surat keputusan, surat pengangkatan atau rekomendasi dari instansi yang berwenang bagi pekerja bidang profesi;tidak sedang menjalani proses hukum atau pidana penjara dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;tidak pernah melakukan tindak pidana yang terkait dengan penyalahgunaan senjata api atau tindak pidana dengan kekerasan; dansurat pernyataan kesanggupan tidak menyalahgunakan senjata api non organik Polri/TNI.\n\nDari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa alat pertahanan diri yang diperbolehkan di Indonesia adalah senjata api non organik Polri/TNI jika telah mendapatkan izin dari kepolisian dengan syarat dan jenis tertentu berdasarkan Perkapolri 1/2022.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelikje Bijzondere Strafbepalingen” (STBL. 1948 No. 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28541/node/604/undang-undang-darurat-no-12-tahun-1951-mengubah-ordonnantietijdelijke-bijzondere-strafbepalingen-%28stbl.-1948-nomor-17%29-dan-undang-undang-republik-indonesia-dahulu-nomor-8-tahun-1948?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_1951)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17437/undangundang-nomor-2-tahun-2002/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_2_2002)\n3. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52cbdf39eb3e0/node/604/undang-undang-nomor-8-tahun-1948?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_1948)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n5. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n6. [Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Senjata Api Non Organik Kepolisian Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6253f6f3112b9?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perkapolri_1_2022)\n[1] Pasal 75 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia[2] Pasal 13 ayat (2) huruf b dan c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Senjata Api Non Organik Kepolisian Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api (“Perkapolri 1/2022”)[3] Pasal 82 Perkapolri 1/2022[4] Pasal 77 Perkapolri 1/2022[5] Pasal 81 Perkapolri 1/2022"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat pagi HukumOnline. Pada Pasal 77 ayat (4) dan (5) diatur mengenai perguruan tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk menunjang organisasi mahasiswa. Pertanyaan saya: 1. Apakah ada penjatahan dana kegiatan untuk PTN dari pemerintah maupun dari pihak kampus yang mengalokasikan dana khusus untuk kegiatan mahasiswa? 2. Apakah dari mahasiswa boleh meminta kebijakan untuk meminta penjatahan dana dari pihak universitas, misal: kebijakan 100.000 dialokasikan kepada dana organisasi mahasiswa diambil dari SPP tiap mahasiswa (apabila dalam statuta universitas tidak mengatur hal tersebut). Terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Perguruan Tinggi menyediakan dana bagi organisasi kemahasiswaan. Dalam Perguruan Tinggi Negeri, negara bertanggung jawab dalam pendanaan namun otoritas pengelolaannya dilaksanakan oleh masing-masing perguruan tinggi atau universitas. Otonomi pengelolaan pada Perguruan Tinggi Negeri meliputi bidang akademik dan non akademik. Otonomi pengelolaan kegiatan kemahasiswaan dan organisasi kemahasiswaan termasuk dalam bidang non akademik. Mengenai dana organisasi kemahasiswaan, jika dalam statuta perguruan tinggi tidak diatur, Anda dapat saja melakukan permohonan mengenai sistem pendanaan organisasi kemahasiswaan pada universitas/perguruan tinggi tempat Anda berada. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih untuk pertanyaan yang Anda ajukan kepada kami. Sebelum kami menjawab pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa yang Anda maksud Pasal 77 ayat (4) dan (5) dalam pertanyaan Anda merupakan Pasal 77 ayat (4) dan (5) Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU Pendidikan Tinggi”) , yang selengkapnya berbunyi demikian: 1. Mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan; KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Pelaku Plagiat Skripsi 31 Mei 2024 Konsultasi Hukum oleh Mahasiswa, Memang Boleh? 09 Agt 2023 Jika Dosen Menolak Menanggapi Protes Nilai dari Mahasiswa 05 Jan 2015 Jerat Hukum Bagi Dosen yang Menahan Ijazah Mahasiswa 08 Sep 2014 2. Organisasi kemahasiswaan paling sedikit memiliki fungsi untuk: a. Mewadahi kegiatan mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi mahasiswa; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. Mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan, serta rasa kebangsaan; c. Memenuhi kepentingan dan kesejahteraan manusia;dan d. Mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat. 3. Organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan organisasi intra Perguruan Tinggi. 4. Perguruan Tinggi menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mendukung kegiatan organisasi kemahasiswaan. 5. Ketentuan lain mengenai organisasi kemahasiswaan diatur dalam statuta Perguruan Tinggi Dalam Pasal 77 di atas telah dengan jelas terlihat bahwa mahasiswa dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang sarana, prasarana dan dananya disediakan oleh Perguruan Tinggi tersebut. Sedangkan definisi Perguruan Tinggi Negeri sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat (7) UU Pendidikan Tinggi , yang selengkapnya berbunyi demikian: “Perguruan Tinggi Negeri yang selanjutnya disingkat PTN adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah.” Sesuai dengan Pasal 77 ayat (4) UU Pendidikan Tinggi maka Perguruan Tinggi menyediakan dana bagi organisasi kemahasiswaan. Dalam Perguruan Tinggi Negeri, negara bertanggung jawab dalam pendanaan namun otoritas pengelolaannya dilaksanakan oleh masing-masing perguruan tinggi atau universitas. Otonomi pengelolaan pada Perguruan Tinggi Negeri meliputi bidang akademik dan non akademik. Otonomi pengelolaan kegiatan kemahasiswaan dan organisasi kemahasiswaan termasuk dalam bidang non akademik. Otonomi pengelolaan bidang non akademik, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 25 huruf b nomor 3 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi , yaitu: “Bidang non akademik: … 3. penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan kemahasiswaan terdiri atas: a. Kegiatan kemahasisw a an intrakurikuler dan ekstrakurikuler; b. Organisasi kemahasiswaan; dan c. Pembinaan bakat dan minat mahasiswa.” Dari Pasal di atas terlihat dengan jelas bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi dalam menetapkan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaannya terkait dengan organisasi kemahasiswaan. Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum di atas dapat disimpulkan bahwa negara telah memberikan otoritas ke pada perguruan tinggi untuk mengelola organisasi kemahasiswaan. Mengenai dana organisasi kemahasiswaan, jika dalam statuta perguruan tinggi tidak diatur, Anda dapat saja melakukan permohonan mengenai sistem pendanaan organisasi kemahasiswaan pada universitas/perguruan tinggi tempat Anda berada. Demikian jawaban yang dapat kami berikan dan kiranya dapat bermanfaat bagi Anda, terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ; 2. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi . pemerintah"
} |
{
"from": "human",
"value": "Keluarga kami akan membentuk suatu PT, dengan Direktur Utama adalah Bapak yang berusia 68 tahun. Apakah diperbolehkan jabatan tersebut disandang Bapak, mengingat usianya yang sudah lanjut? Karena beliau tetap ingin yang mengontrol perusahaan dengan menjadi Direktur Utama. Mohon saran dan petunjuknya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Pada dasarnya tidak ada ketentuan tentang batas usia maksimal seseorang dapat diangkat sebagai direksi. Yang diatur adalah soal persyaratan pengangkatan direksi dalam jangka waktu tertentu dan larangan pengangkatan direksi tanpa batas waktu. Hal ini menghindari faktor kejenuhan dari direksi itu sendiri. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Ini berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) . KLINIK TERKAIT Bolehkah Pekerja Menjadi Direksi di Perusahaannya Sendiri? 11 Okt 2023 Yang Harus Diperhatikan Jika Perusahaan Ingin Memberikan Corporate Guarantee 08 Mei 2023 Apakah Jabatan CEO Sama dengan Direktur Utama? 05 Mar 2015 Status Perjanjian Jika Direksi Perusahaan Menjadi Tersangka 13 Nov 2014 Berdasarkan penelusuran kami dalam UUPT yang antara lain mengatur tentang direksi, tidak ada aturan tentang batas usia maksimal seseorang untuk diangkat menjadi direksi. Adapun s yarat diangkat menjadi direksi yang diatur oleh UUPT adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum , kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah [ Pasal 93 ayat (1) UUPT ]: a. dinyatakan pailit; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. Ini berarti tidak diatur mengenai batas usia maksimal anggota Direksi. Kemudian mengenai Bapak Anda yang tetap ingin mengontrol perusahaan, perlu diketahui bahwa ada masa jabatan direksi yang diatur dalam Pasal 94 ayat (3) UUPT . Pasal tersebut menyatakan bahwa anggota direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali . Adapun penjelasannya adalah: Persyaratan pengangkatan anggota Direksi untuk “jangka waktu tertentu”, dimaksudkan anggota Direksi yang telah berakhir masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan jabatannya semula, kecuali dengan pengangkatan kembali berdasarkan keputusan RUPS. Misalnya untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun atau 5 (lima) tahun sejak tanggal pengangkatan, maka sejak berakhirnya jangka waktu tersebut mantan anggota Direksi yang bersangkutan tidak berhak lagi bertindak untuk dan atas nama Perseroan, kecuali setelah diangkat kembali oleh RUPS. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Jangka Waktu Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris , M. Yahya Harahap dalam bukunya “ Hukum Perseroan Terbatas” (hal. 360) menjelaskan, memperhatikan bunyi Pasal 94 ayat (3) serta Penjelasannya, hanya ditentukan hal-hal berikut: a) bahwa syarat pengangkatan anggota Direksi harus terbatas untuk “ jangka waktu tertentu ”, bisa lima atau 10 tahun, tidak menjadi masalah berapa lama jangka waktunya . Y ang disyaratkan, harus untuk jangka waktu tertentu, dan dilarang tanpa batas waktu . Namun, dalam praktiknya menurut Notaris Irma Devita Purnamasari , masa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris adalah lima tahun. Kadang ada Perseroan Terbatas yang masa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris adalah 10 tahun, tapi hal tersebut menurut Irma, tidak lazim. b) apabila masa jabatan atau masa pengangkatannya berakhir, tidak dengan sendirinya anggota Direksi itu dapat meneruskan jabatannya semula untuk periode selanjutnya. Untuk pengangkatan kembali masa jabatan berikutnya, harus berdasarkan keputusan RUPS. Mengenai masa jabatan Dewan Komisaris, Yahya Harahap mengatakan bahwa yang dilarang undang-undang, pengangkatan seumur hidup . Boleh berapa lama asal untuk jangka waktu tertentu dengan tidak mengabaikan faktor kejenuhan. Jika jangka waktu masa jabatannya terlampau lama, misalnya 20 tahun, bisa mendatangkan kejenuhan dan kehilangan daya kreativitas. Ketentuan masa jabatan Dewan Komisaris ini sama halnya dengan yang berlaku bagi Direksi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tidak ada ketentuan tentang batas usia seseorang dapat diangkat sebagai direksi. Yang diatur adalah soal persyaratan pengangkatan direksi dalam jangka waktu tertentu dan larangan pengangkatan direksi tanpa batas waktu. Hal ini menghindari faktor kejenuhan dari direksi itu sendiri. Demikian jawaban dari kamis, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . hukum perusahaan perseroan direksi direktur pt klinik hukumonline perseroan terbatas hukumonline klinik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah ketentuan yang mengatur berapa besar bagian yang harus diberikan kepada kreditur konkuren? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Rencana Perdamaian Diajukan Kedua Kalinya? 10 Mar 2022 Transparansi Daftar Piutang bagi Kreditur Kepailitan & PKPU 16 Feb 2022 Haruskah Kreditur PKPU Pakai Jasa Pengacara? 14 Feb 2022 Kreditur Tak Masuk Daftar dalam Proses Kepailitan, Apakah Masih Bisa Menagih Utang? 03 Jan 2022 UU 37/2004 menyebutkan beberapa jenis kreditur, yaitu kreditur konkuren atau kreditur tanpa jaminan, kreditur spearatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, dan kreditur preferen, berikut penjelasan masing-masing: Kreditur preferen adalah kreditur yang diprioritaskan terhadap kreditur separatis atau kreditur konkuren karena undang-undang memberikan posisi khusus pada piutang mereka. [1] Kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan adalah kreditur yang memegang jaminan tertentu seperti fidusia, hipotek, atau hak jaminan lainnya. [2] Kreditur konkuren atau kreditur tanpa hak jaminan adalah kreditur yang tidak diklasifikasikan sebagai kreditur separatis atau kreditur preferen, sehingga mereka tidak akan diprioritaskan terhadap kreditur lain. [3] Baca juga: Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih lanjut, Ketua Dewan Sertifikasi Asosasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Ricardo Simanjuntak dalam berbagai kesempatan Pendidikan atau pelatihan mengklasifikasikan kedudukan atau tingkat prioritas kreditur untuk mendapatkan pelunasan sebagai berikut: Kreditur Istimewa Biaya lelang Tagihan dengan hak retensi Gaji karyawan Tagihan pajak Tagihan bea cukai Kreditur Separatis Hak tanggungan Hipotek kapal Fidusia Gadai Pesangon Karyawan Kreditur Preferen Umum Kreditur Preferen Khusus Kreditur Konkuren Dari urutan di atas, dapat dipahami bahwa kreditur konkuren berada di posisi terbawah dalam urutan kreditur. Namun demikian, kreditur konkuren jangan berkecil hati, karena setelah proses pengurusan kepailitan selesai dan kemudian masuk ke proses pemberesan, secara prinsip kreditur konkuren tetap mendapatkan bagian dari hasil penjualan aset yang dilakukan kurator. Hal tersebut tertuang tegas dalam Pasal 189 ayat (3) UU 37/2004 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Kreditor konkuren harus diberikan bagian yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. Meskipun bunyi ketentuan pasal tersebut telah menegaskan bahwa kreditur konkuren wajib atau harus diberikan bagian dari yang ditentukan hakim pengawas, namun memang tidak tegas disebutkan jumlah atau persentase yang akan dibayarkan. Akan tetapi, memang harus dipahami bahwa kreditur konkuren tidak diprioritaskan dalam undang-undang, dan karena tidak memegang jaminan kebendaan, maka porsi penyelesaian bagi kreditur konkuren akan diletakkan pada bagian akhir. Sepanjang pengetahuan kami, dalam prakteknya, saat kurator menyusun daftar pembagian dan meminta persetujuan kepada hakim pengawas, [4] hakim pengawas akan menggunakan kewenangannya untuk menentukan bagian yang harus diberikan kepada kreditur konkuren. Hakim pengawas dalam prakteknya meminta kurator untuk dapat mengakomodir bagian kreditur konkuren di rentang 5% sampai dengan 10% dari hasil penjualan aset yang akan dibagian kepada para kreditur. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang [1] Pasal 1139 jo . Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) [2] Pasal 1134 KUH Perdata [3] Pasal 1131 jo . Pasal 1132 KUH Perdata [4] Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang boedel pailit kepailitan kreditur kreditur konkuren"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa bedanya UMP, UMR, dan UMK? Apakah ada ketentuan minimum pendidikan yang layak menerima UMR apabila bekerja pada sebuah perusahaan? Tamatan SD? Tamatan SMP? Tamatan SMA? Tamatan S1/D3/D2? Tamatan S2? Jika terdapat perusahaan/PT yang tidak mematuhi aturan UMR pada sebuah wilayah, apa hukuman untuk PT tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perlu diketahui bahwa dalam penetapan upah bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada suatu perusahaan, berlaku ketentuan upah minimum.[3]\n\nSedangkan bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun/lebih, instrumen yang digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah adalah struktur dan skala upah, yang wajib disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.[4]\n\nPenyusunan struktur dan skala upah tersebut dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja serta mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.[5]\n\nLantas, apakah pendidikan menjadi acuan penetapan upah oleh pengusaha? Sebelum UU Cipta Kerja diundangkan, Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur:\n\nPengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.\n\nNamun, Pasal 92 UU Ketenagakerjaan tersebut telah diubah oleh Pasal 81 angka 33 Perppu Cipta Kerja, sehingga menjadi:\n\nPengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah.Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam peraturan pemerintah.\n\nDengan demikian kini pendidikan tidak lagi diatur sebagai salah satu unsur yang diperhatikan pengusaha dalam menyusun struktur dan skala upah, yang merupakan pedoman bagi pengusaha dalam menetapkan upah.Namun demikian, dalam penyusunan struktur dan skala upah tersebut, pengusaha tetap harus memperhatikan ketentuan upah minimum. Sebab, Perppu Cipta Kerja melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum.[6]Itu artinya, setiap pekerja yang dipekerjakan oleh perusahaan, terlepas dari apapun tingkat pendidikannya harus diberikan upah setidaknya setara dengan upah minimum, tidak boleh lebih rendah dari upah minimum. Sanksi Jika Pengusaha Bayar Upah di Bawah Upah MinimumJika pengusaha membayar upah pekerja di bawah upah minimum, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta.[7]Namun, kewajiban membayar upah minimum di atas dikecualikan terhadap pelaku Usaha Mikro dan Kecil (“UMK”).[8] Upah pada UMK ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja di perusahaan dengan ketentuan:[9]\n\nMinimal sebesar 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; danNilai upah yang disepakati minimal 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.\n\nRata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan tersebut menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.[10]Demikian jawaban dari kami terkait gaji berdasarkan pendidikan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023;Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.\n[1] Pasal 81 angka 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Ciptaker”) yang memuat baru Pasal 88C ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 28 Perppu Ciptaker yang memuat baru Pasal 88C ayat (3) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 24 PP 51/2023[4] Penjelasan Pasal 81 angka 33 Perppu Ciptaker yang mengubah Pasal 92 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 24 ayat (2) PP 51/2023[5] Penjelasan Pasal 81 angka 33 Perppu Ciptaker yang mengubah Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan[6] Pasal 81 angka 28 Perppu Ciptaker yang memuat baru Pasal 88E ayat (2) UU Ketenagakerjaan[7] Pasal 81 angka 66 Perppu Ciptaker yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[8] Pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)[9] Pasal 36 ayat (2) PP Pengupahan[10] Pasal 36 ayat (3) PP Pengupahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada pengaturan di Indonesia mengenai jumlah pengacara/advokat yang diperbolehkan untuk mendampingi satu perkara? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Haruskah Memiliki Izin Advokat Jika Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara? 21 Okt 2016 Dapatkah Aktivis LSM Menjadi Kuasa Hukum? 18 Okt 2016 Apakah Legal Officer Harus Seorang Advokat? 26 Jul 2016 Bolehkah Pengacara Mewakili PNS Mengajukan Permohonan Izin Cerai? 12 Jul 2016 Intisari: Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai jumlah advokat untuk mendampingi klien dalam suatu perkara. Artinya, jumlah advokat tergantung pada perjanjian antara klien (pemberi kuasa) dengan advokat (penerima kuasa) saja. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) . [1] Pada dasarnya, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai jumlah advokat untuk mendampingi klien dalam suatu perkara. Artinya, jumlah advokat tergantung pada perjanjian antara klien (pemberi kuasa) dengan advokat (penerima kuasa) saja. [2] Jasa Advokat Dalam praktik, advokat diberi kuasa lebih dari satu orang tergantung tingkat kerumitan dari suatu perkara. Juga untuk menghindari terlantarnya pemberian bantuan hukum jika si advokat memiliki pekerjaan yang waktunya bersamaan untuk menangani satu dengan menangani perkara yang lain. Soalnya, salah satu bentuk pelanggaran berat pada kode etik advokat adalah menelantarkan klien. Hal ini juga sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 6 huruf a UU Advokat : Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya Contoh Pemanfaatan Jasa Advokat dalam Perkara Rumit Dalam perkara yang rumit. Misalnya, ada perkara korupsi yang mengakibatkan kerugian negara yang telah dinyatakan dalam bentuk audit investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Biasanya, selain ditangani oleh advokat yang ahli pidana, klien juga meminta tambahan advokat yang memiliki latar belakang pengetahuan di bidang akuntansi. Sebagai contoh lain, dalam waktu yang bersamaan advokat dijadwalkan akan mewakili klien dalam perkara perdata yang telah ditentukan sidangnya hari Selasa. Pada perkara perdata yang lain, di pengadilan yang lain, hakim juga menentukan sidang pada hari Selasa. Jika yang ada dalam surat kuasa hanya satu orang advokat, mustahil atau sangat sulit bagi si advokat untuk menangani dua perkara di 2 (dua) pengadilan yang berbeda. Itulah sebabnya dalam surat kuasa advokat selalu dicantumkan kalimat: “memberi kuasa kepada advokat ... pada kantor hukum ... yang bertindak secara bersama-sama atau sendiri-sendiri “. Banyaknya advokat yang ada dalam surat kuasa sering menimbulkan kegaduhan di persidangan maupun di penyidikan. Para advokat yang banyak tersebut meminta agar disediakan tempat dan kursi sesuai dengan jumlah mereka yang tertera di surat kuasa. Selain itu, banyaknya advokat yang membuat pertanyaan sering berulang-ulangpun menyebabkan persidangan berjalan lama. Di tingkat penyidikan, si penyidik malah merasa terganggu melakukan pemeriksaan karena banyaknya jumlah advokat, sedangkan ruangan tidak memadai. Untuk hal seperti ini, saran kami, advokat harus tetap mengedepankan kepentingan klien dan asas persidangan cepat untuk menghidarkan berlarutnya sidang yang mengakibatkan klien dirugikan. [3] Jika itu terjadi di tingkat penyidikan, para advokat bisa bergiliran untuk mendampingi klien mereka sesuai dengan situasi dan kondisi ruang pemeriksaan di penyidikan. Banyaknya jumlah advokat juga perlu dibicarakan secara rinci, siapa koordinatornya, bagaimana mekanisme pembagian tugas dan apa hak dan kewajiban masing-masing advokat yang menyangkut pekerjaannya. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ; 4. Kode Etik Advokat Indonesia . [1] Pasal 1 angka 1 UU Advokat [2] Buku III Bab ke-16 tentang Pemberian Kuasa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [3] Asas peradilan cepat, lihat Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) klien pkpa pengadilan perdata kantor hukum klinik hukumonline kuasa kasus penyidikan lawfirm pengacara perkara hukumonline advokat kepolisian profesi hukum penyidik acara peradilan hukum klinik polisi pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah perlindungan hukum secara khusus yang diberikan terhadap anak sebagai saksi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ( “UU 13/2006 ”) , belum mengatur secara tegas mengenai perlindungan terhadap anak sebagai saksi. Untuk itu, ketentuan U U 13 / 2006 dianggap masih ditemukan kelemahan pengaturan, terutama yang terkait dengan perlindungan terhadap saksi anak. U ntuk itu, LPSK telah merumuskan masuka n terhadap ketentuan perubahan U U 13 / 2006 yang mengatur t entang p erlindungan anak yang berbunyi: Pasal 10B KLINIK TERKAIT Sahkah Keterangan Anak sebagai Saksi Tindak Pidana? 19 Sep 2023 Kedudukan Kesaksian Anak sebagai Korban Tindak Pidana 06 Jul 2023 Tips Agar Anak Aman dari Kejahatan di Internet 27 Apr 2021 Dapatkah Menjerat Pidana Anak yang Lakukan Pencabulan? 04 Feb 2019 (1) Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali kecuali dalam hal: a. orang tua atau wali anak yang bersangkutan diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anakyang bersangkutan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. orang tua atau wali yang patut diduga keras menghalangi anak yang bersangkutan dalam memberikan kesaksian; c. orang tua atau wali yang tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua atau wali; d. anak yang tidak memiliki orang tua atau wali; dan e. anak yang orang tua atau walinya tidak dike tahui keberadaannya. (2) Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkanpenetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK Selain itu, ketentuan perlindungan anak sebagai saksi secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan u ndang- u ndang lainnya . M isalnya saja dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga , dimana menempatkan anak sebagai korban dan saksi serta ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak . Demikian, kiranya berkenan. T erima kasih. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban perlindungan anak"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah boleh pekerja perempuan diperintahkan lembur sampai pukul 21.00? Adakah perbedaan lembur untuk pekerja perempuan dan laki-laki? Bagaimana konsekuensi perusahaan atas perintah tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan 12 Apr 2023 Bolehkah Perusahaan Mempekerjakan Peserta Magang Melebihi Jam Kerja? 07 Jan 2021 Bolehkah PKB/PP Mengatur Uang Pesangon Lebih Tinggi? 07 Jan 2021 Ketentuan Jam Kerja dan Lembur Pekerja Sektor Pertambangan 22 Jun 2020 Artikel ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Adakah Batasan Waktu Lembur untuk Pekerja Perempuan? yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 11 Januari 2013, yang dimutakhirkan pertama kali oleh Erizka Permatasari, S.H. pada 13 Januari 2021. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Sebelumnya Anda tidak menjelaskan lebih detail mengenai bidang usaha perusahaan tempat Anda bekerja. Padahal, hal tersebut penting mengingat ada beberapa bidang usaha yang dikecualikan dari aturan waktu kerja lembur. [1] Sehingga, kami berasumsi bahwa bidang usaha perusahaan tempat Anda bekerja tersebut bukanlah bidang usaha yang dikecualikan. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi waktu kerja seharusnya, yakni 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah. [2] Perlu kami sampaikan bahwa pada dasarnya, dalam peraturan perundang-undangan, tidak ada perbedaan lembur untuk pekerja perempuan dan laki-laki. Dalam hal ini, baik pekerja laki-laki dan perempuan, dapat dipekerjakan lembur dengan ketentuan sebagai berikut: [3] harus ada persetujuan dari pekerja yang bersangkutan; dan diperbolehkan untuk dilakukan paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu. Berdasarkan ketentuan di atas, pekerja boleh dipekerjakan lembur maksimal 4 jam dalam sehari. Dengan demikian, apabila waktu kerja kantor Anda berakhir pada pukul 17.00, kemudian Anda diperintahkan untuk lembur sampai pukul 21.00, maka ini tidak menyalahi aturan batasan waktu kerja lembur. Lain halnya apabila waktu kerja Anda berakhir pada pukul 16.00, maka perintah lembur sampai pukul 21.00 menjadi menyalahi ketentuan batasan waktu kerja lembur. Oleh karena itu, Anda dapat menghitung sendiri apakah aturan jam lembur yang diperintahkan perusahaan sudah sesuai dengan batasan waktu kerja lembur yang berlaku atau belum. Lebih lanjut, pengusaha yang melanggar ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana diterangkan di atas dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp50 juta. [4] Sebagai tambahan, terdapat beberapa rambu-rambu lainnya yang wajib dipatuhi perusahaan yang mempekerjakan pekerja perempuan, sebagai berikut: [5] Pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: memberikan makanan dan minuman bergizi; dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. Demikian jawaban dari kami terkait aturan dan ketentuan lembur untuk pekerja perempuan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 ; Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja . [1] Pasal 81 angka 24 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 78 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja [3] Pasal 81 angka 24 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 81 angka 69 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 188 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 76 UU Ketenagakerjaan pekerja perempuan perjanjian kerja perusahaan lembur"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan, apakah ada UU/PP yang mengatur tentang cuti suami yang bisa diambil oleh pekerja laki-laki/ayah untuk mengasuh anak, jika pekerja itu orang tua tunggal? Adakah cuti-cuti yang berkaitan dengan pengasuhan anak oleh pekerja laki-laki, jika misalnya istri melahirkan, dan sebagainya? Mohon jawabannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Lebih lanjut, pelaksanaan cuti tahunan sebagai cuti wajib ini diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[2]\n\nSelain hak cuti tahunan tersebut, ada pula sejumlah cuti wajib yang diatur dalam perundang-undang. Cuti-cuti yang dimaksud ini dikhususkan bagi pekerja perempuan, yakni cuti haid dan cuti melahirkan.\nTerkait cuti haid, pekerja perempuan tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid apabila merasakan sakit.[3] Kemudian, cuti melahirkan yang waktu istirahatnya diberikan sebelum dan setelah melahirkan.[4]\n\nLalu bagaimana dengan cuti suami atau cuti untuk pekerja pria? Dapat kami sampaikan bahwa cuti suami dapat diberikan jika istrinya melahirkan atau keguguran. Adapun aturannya pekerja yang bersangkutan dibolehkan untuk tidak masuk bekerja, dan pengusaha tetap wajib membayar upahnya[5] untuk selama 2 hari.[6]\n\nDengan demikian, kami menyimpulkan, bahwa cuti untuk suami saat ini adalah hanya sebatas cuti suami menemani istri melahirkan. Adapun jumlah hari cuti suami saat istri melahirkan ini adalah selama dua hari.\nKemudian, jika suami atau pekerja laki-laki tersebut hendak mengasuh anaknya, pekerja yang bersangkutan dapat mengambil hak cuti tahunannya.\nMenjawab pertanyaan Anda, ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia memang belum mengatur secara khusus hak cuti suami yang hendak mengasuh anaknya.\n\nDi sejumlah negara lain, seperti di Jepang misalnya, terdapat Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga yang mengatur tentang hak pekerja di Jepang, baik pria maupun perempuan, untuk mendapatkan cuti untuk mengasuh anak dan merawat keluarga.[7]\n\nSelain peraturan cuti tersebut, pemerintah Jepang juga memberi keleluasaan kepada ayah yang mengambil cuti selama 8 minggu setelah kelahiran pasangannya untuk mengambil cuti kembali tanpa pengecualian.[8]\n\nAlasan pekerja pria juga mendapatkan cuti mengasuh anak adalah karena kegiatan mengasuh anak dan bekerja secara bersamaan bukan hal yang mudah, sehingga ibu memerlukan seorang partner dalam mengasuh anak. Sebab saat ini sistem keluarga Jepang adalah keluarga nuklir Jepang yang minim anggota keluarga, pihak yang dapat membantu peran ibu hanya ayah atau suaminya.[9]\nDemikian jawaban dari kami terkait cuti suami sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\nREFERENSI:\n1. Fidy Ramzielah. Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak untuk Mengatasi Shoushika Mondai di Jepang Ditinjau dari Faktor Sosial Budaya. Japanology, Vol. 1, No. 1, September 2012 – Februari 2013.\n\n[1] Pasal 81 angka 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (4) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[5] Pasal 93 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan[6] Pasal 93 ayat (4) huruf e UU Ketenagakerjaan[7] Fidy Ramzielah. Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak untuk Mengatasi Shoushika Mondai di Jepang Ditinjau dari Faktor Sosial Budaya. Japanology, Vol. 1, No. 1, September 2012 – Februari 2013, hal. 13[8] Fidy Ramzielah. Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak untuk Mengatasi Shoushika Mondai di Jepang Ditinjau dari Faktor Sosial Budaya. Japanology, Vol. 1, No. 1, September 2012 – Februari 2013, hal. 16[9] Fidy Ramzielah. Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak untuk Mengatasi Shoushika Mondai di Jepang Ditinjau dari Faktor Sosial Budaya. Japanology, Vol. 1, No. 1, September 2012 – Februari 2013, hal. 18"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan perihal kegiatan pemusnahan barang oleh perusahaan, di mana barangnya adalah bukan milik negara.\n\nAdakah peraturan yang mengatur khusus tentang hal ini?\nApakah pemusnahan barang, harus tertuang dalam berita acara? Jika ya, apakah ada aturannya?\nJika wajib dilakukan, apakah berita acara tersebut cukup ditandatangani oleh pejabat perusahaan, atau perlu juga ditandatangani oleh pejabat pemerintah? Jika perlu, apakah ada aturan yang mendasari?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . KLINIK TERKAIT Benarkah Aset BUM Desa = Aset Desa? 07 Sep 2023 Dapatkah Perusahaan Publik Mengalihkan Aset ke Anak Perusahaan? 23 Jun 2023 Perhatikan 3 Hal Ini Sebelum Menjual Aset PT 31 Mei 2023 Eksekusi Aset di Luar Putusan Pengadilan, Bisakah? 06 Okt 2022 Sebelumnya menyambung pertanyaan Anda, barang milik perusahaan dan bukan barang milik negara merupakan bagian dari kekayaan perseroan yaitu semua barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud, milik perseroan. [1] Aset ( asset ) adalah barang yang dalam pengertian hukum disebut benda serta terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak, baik yang berwujud ( tangible ) maupun yang tidak berwujud ( intangible ), yang tercakup dalam aktiva/kekayaan atau harta kekayaan dari suatu instansi, organisasi, badan usaha, ataupun individu perorangan. [2] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Terkait pemusnahan barang milik perusahaan yang termasuk kekayaan perseroan, ini berhubungan dengan manajemen aset. Cakupan manajemen aset adalah proses perencanaan, perancangan, pengorganisasian, penggunaan, pemeliharaan sampai penghapusan serta di dalamnya pengawasan aset. Proses ini dilakukan secara sistematis dan terstruktur selama siklus hidup aset. Manajemen aset yang baik dan meminimalkan biaya, memaksimalkan ketersediaan aset, dan memaksimalkan utilisasi aset. [3] Penghapusan aset dilakukan biasanya karena aset mengalami penyusutan dan harus dibuang atau karena ada kondisi tidak terduga seperti pencurian atau kebakaran. Sepanjang penelusuran kami, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur tentang pemusnahan aset perusahaan. Sejauh ini yang kami temukan adalah ketentuan pemusnahan dokumen perusahaan dalam UU 8/1997 dan PP 87/1999 . Baca juga: Berapa Lama Jangka Waktu Penyimpanan Dokumen Perusahaan? Merujuk Pasal 11 PP 87/1999 menyebutkan setiap pemusnahan dokumen perusahaan wajib didasarkan atas keputusan pimpinan perusahaan atau keputusan pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan yang bersangkutan. Pemusnahan dokumen perusahaan dapat dilakukan dalam kondisi: [4] telah melampaui jangka waktu wajib simpan yang tercantum dalam jadwal retensi; tidak mempunyai nilai guna bagi kepentingan perusahaan; tidak mempunyai nilai guna bagi kepentingan nasional; tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang; dan tidak terdapat kaitan dengan perkara pidana atau perkara perdata yang masih dalam proses. Kemudian berdasarkan Pasal 13 PP 87/1999 mengatur setiap pemusnahan dokumen perusahaan wajib dibuatkan berita acara pemusnahan dokumen perusahaan yang sekurang-kurangnya dibuat dalam rangkap tiga yaitu: lembar pertama untuk pimpinan perusahaan; lembar kedua untuk unit pengolahan; dan lembar ketiga untuk unit kearsipan. Berita acara pemusnahan dokumen perusahaan tersebut sekurang-kurangnya memuat: [5] keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan; keterangan tentang pelaksanaan pemusnahan; tanda tangan dan nama jelas pejabat yang melaksanakan pemusnahan; dan tanda tangan dan nama jelas saksi-saksi Oleh karena itu, dikarenakan tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan rujukan dalam hal pemusnahan aset perusahaan yang bukan milik negara, kami menyarankan agar pihak perusahaan dapat mengatur teknisnya secara internal serta dapat merujuk pada ketentuan dalam pemusnahan dokumen perusahaan seperti misalnya harus mendapatkan izin dari pimpinan perusahaan (direksi) dan membuat berita acara pemusnahan atau penghapusan aset. Dinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence , Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penyerahan dan Pemusnahan Dokumen Perusahaan REFERENSI:\n1. Sri Wahyuni dan Rifki Khoirudin. Pengantar Manajemen Aset . Makassar: Penerbit Nas Media Pustaka, 2020. [1] Penjelasan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas [2] Sri Wahyuni dan Rifki Khoirudin. Pengantar Manajemen Aset . Makassar: Penerbit Nas Media Pustaka, 2020, hal. 4 [3] Sri Wahyuni dan Rifki Khoirudin. Pengantar Manajemen Aset . Makassar: Penerbit Nas Media Pustaka, 2020, hal. 7 [4] Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penyerahan dan Pemusnahan Dokumen Perusahaan (“PP 87/1999”) [5] Pasal 15 PP 87/1999 aset perusahaan barang dan jasa"
} |
{
"from": "human",
"value": "Yang ingin saya tanyakan, adakah peraturan pemerintah yang menetapkan berapa perbandingan jumlah karyawan asing dengan karyawan lokal dalam satu kantor atau satu perusahaan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebagaimana disarikan dari Ketentuan Masa Kerja WNA di Indonesia, Tenaga Kerja Asing (“TKA”) adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia, dengan hanya dipekerjakan dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai jabatan yang akan diduduki.[1]\nSetiap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki Rencana Penggunaan TKA (“RPTKA”) yaitu rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu yang disahkan oleh pemerintah pusat.[2] Tapi, kewajiban ini tidak berlaku bagi jabatan yang disebutkan dalam Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 42 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.\nAdakah Aturan Perbandingan Jumlah TKA dan Tenaga Kerja Indonesia (Lokal)?\n\nSelanjutnya, menyambung pertanyaan Anda, mengenai ada atau tidaknya perbandingan tenaga kerja asing dan lokal atau tenaga kerja Indonesia di dalam satu perusahaan, hal ini berkaitan dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) PP 34/2021:\nSetiap Pemberi Kerja TKA wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia.\n\nTak hanya itu, pada saat permohonan pengesahan RPTKA disampaikan pemberi kerja, harus memuat rencana penyerapan tenaga kerja Indonesia setiap tahunnya.[3] Lebih lanjut, jika ingin memperpanjang pengesahan RPTKA, pemberi kerja juga harus memuat realisasi penyerapan tenaga kerja Indonesia.[4]\n\nTenaga kerja Indonesia juga dilibatkan sebagai tenaga kerja pendamping TKA untukalih teknologi dan alih keahlian agar memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan teknologi yang digunakan TKA dalam melaksanakan pekerjaan melalui pendidikan dan/atau pelatihan.[5]\n\nBagi yang mengikuti pendidikan dan pelatihan, tenaga kerja Indonesia selaku pendamping TKA mendapat sertifikat pendidikan dan pelatihan kerja dan/atau sertifikat kompetensi.[6]\n\nHal serupa sebenarnya telah disampaikan pula sebelumnya dalam Pasal 81 angka 7 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 45 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:\n\nPemberi kerja TKA wajib:\nmenunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping TKA yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari TKA; melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh TKA; dan memulangkan TKA ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.\nKetentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b di atas tidak berlaku bagi TKA yang menduduki jabatan:[7]\n\ndireksi dan komisaris;kepala kantor perwakilan;pembina, pengurus, dan pengawas yayasan; danTKA yang dipekerjakan untuk pekerjaan bersifat sementara.\n\nDengan demikian, sepanjang penelusuran kami, tidak ada ketentuan yang mengatur secara eksplisit mengenai perbandingan jumlah TKA dengan karyawan lokal atau tenaga kerja Indonesia. Melainkan, yang diatur adalah kewajiban-kewajiban pemberi kerja TKA sebagaimana disebutkan di atas.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang perbandingan jumlah TKA dan tenaga kerja lokal, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322aa20df10/peraturan-pemerintah-nomor-34-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_34_2021)\n[1] Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) jo. Pasal 81 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan\n\n[2] Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“PP 34/2021”) dan Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan\n\n[3] Pasal 12 ayat (2) huruf h PP 34/2021\n\n[4] Pasal 21 ayat (3) huruf h PP 34/2021\n\n[5] Pasal 28 PP 34/2021\n\n[6] Pasal 29 ayat (2) PP 34/2021\n\n[7] Pasal 81 angka 7 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 45 ayat (2) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 7 ayat (3) PP 34/2021"
} |
{
"from": "human",
"value": "Baru-baru ini saya baca berita bahwa seorang mantan presiden telah meresmikan waduk yang merupakan proyek negara. Apakah hal tersebut dibenarkan menurut undang-undang yang berlaku? Jika iya, apa dasar hukumnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Perbedaan Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan Serta Contohnya 29 Apr 2024 Apakah Direksi Anak Perusahaan BUMN Termasuk Penyelenggara Negara? 18 Nov 2015 Perbedaan Lembaga Negara dan Alat Negara 18 Sep 2015 Bolehkah Rombongan Mobil Pejabat Menerobos Lampu Merah? 31 Mar 2015 Intisari: Berdasarkan peraturan perundang-undangan, seperti menyangkut kegiatan keprotokolan; tidak diatur khusus soal tindakan seputar peresmian proyek negara. Hal itu merupakan perbuatan atau kebiasaan hukum yang dilakukan pemerintah. Setidaknya kami menelusuri di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (“UU Keprotokolan”) maupun Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 45/2013”) yang mengatur antara lain tentang pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur. Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa peresmian suatu proyek oleh pemerintah merupakan perbuatan pemerintah yang tidak berakibat hukum atau sering juga disebut perbuatan pemerintah yang didasarkan pada fakta-fakta saja ( Feitelijke handelingen ). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Memang diinformasikan bahwa salah s eorang mantan presiden Republik Indonesia meresmikan proyek pembangunan waduk yang berlokasi di dua desa bertetangga, yakni Desa Titab, Kecamatan Busungbiu; dan Desa Ularan, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali. Demikian informasi yang kami akses dari laman media Viva.co.id . Ditinjau dari UU Keprotokolan Berdasarkan penelusuran kami, tidak ada aturan khusus soal tata cara peresmian sebuah proyek negara, termasuk siapa yang berwenang meresmikan suatu proyek negara. Setidaknya kami menelusuri di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (“UU Keprotokolan”) maupun Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“PP 45/2013”) yang mengatur antara lain tentang pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur. Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat. [1] Jika mengacu pada UU Keprotokolan, menurut kami, peresmian suatu proyek negara dapat dikatakan sebagai Acara Resmi , yakni acara yang diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan fungsi tertentu dan dihadiri oleh Pejabat Negara dan/atau Pejabat Pemerintahan serta undangan lain. [2] Peresmian waduk tersebut dilaksanakan dan dihadiri oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Bupati Buleleng. Jika dilihat dari siapa yang hadir di dalam peresmian waduk tersebut (yakni pejabat negara) maka dapat disimpulkan bahwa acara peresmian suatu proyek negara dikategorikan sebagai Acara Resmi. Dengan catatan , acara peresmian waduk itu dihadiri, diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah atau lembaga negara. S ayangnya , UU Keprotokalan ini tidak mengatur khusus siapa yang berwenang meresmikan suatu proyek negara. Peresmian Proyek Negara Merupakan Perbuatan Pemerintah Non Yuridis Namun, ada pendapat yang mengemukakan bahwa perbuatan pemerintah untuk meresmikan suatu proyek merupakan Feitelijke handelingen (perbuatan non-yuridi s ) yaitu perbuatan pemerintah yang tidak berakibat hukum atau sering juga disebut perbuatan pemerintah yang didasarkan pada fakta-fakta saja . Di dalam teori Hukum Administrasi Negara, perlu diketahui bahwa d alam menjalankan tugasnya , penyelenggara pemerintahan atau administrasi negara melakukan berbagai jenis perbuatan melalui berbagai kebijakan. Perbuatan-perbuatan penyelenggara pemerintah dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : 1. Feitelijke handelingen (perbuatan non-yuridi s ) yaitu perbuatan pemerintah yang tidak berakibat hukum atau sering juga disebut perbuatan pemerintah yang didasarkan pada fakta-fakta saja, seperti perbuatan pemerintah untuk meresmikan proyek pembangunan irigasi; 2. Rechts handelingen (perbuatan yuridis) yaitu perbuatan pemerintah yang berakibat hukum. Feitelijke handelingen merupakan tindakan nyata dalam menjalankan pemerintahan. Kuntjoro Purbopranoto menyebut feitelijke handeling dengan tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta. Demikian informasi tentang Peraturan Kebijaksanaan yang kami akses dari laman Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan . Jadi, kami berpendapat bahwa peresmian suatu proyek negara pada dasarnya merupakan perbuatan pemerintah yang tidak didasarkan pada hukum, namun fakta-fakta saja. Jadi, peresmian proyek sebaiknya dilakukan oleh pemerintah. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara . REFERENSI:\n1. 1. http://m.news.viva.co.id/news/read/711404-megawati-resmikan-proyek-pemerintah--fahri--tidak-masalah , diakses pada 12 Januari 2016 pukul 11.46 WIB. 2. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan , diakses pada 12 Januari 2016 puku\n2. 14.28 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 UU Keprotokolan [2] Pasal 1 angka 3 UU Keprotokolan negara hukumonline hukum klinik klinik hukumonline proyek"
} |
{
"from": "human",
"value": "Yang ingin saya tanyakan, adakah peraturan pemerintah yang menetapkan berapa perbandingan jumlah karyawan asing dengan karyawan lokal dalam satu kantor atau satu perusahaan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Saudara Andhesta yang terhormat, KLINIK TERKAIT Jabatan-Jabatan TKA yang Dapat Memperoleh KITAP 20 Okt 2023 Syarat Mempekerjakan Pilot Asing di Indonesia 14 Jan 2021 Bolehkah TKA Menjabat Sebagai Presiden Direktur? 16 Jun 2020 Wajibkah Pengusaha Mengurus RPTKA Jika TKA Tidak Bekerja di Indonesia? 30 Jul 2018 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang tenaga kerja asing pada pasal-pasal di bawah ini : a. Pasal 1 angka 13 : definisi tenaga kerja asing. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Tenaga kerja asing asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia .“ b. Bab VIII, Pasal 42-Pasal 49 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Ketentuan pasal-pasal tersebut tidak berlaku untuk tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris, instansi pemerintah, badan-badan internasional, dan perwakilan negara asing. Berikut ini kutipan tidak langsung dari bunyi pasal-pasal yang mempunyai relevansi dengan pertanyaan Saudara : · Pasal 42: Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu , ketentuan ini selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. · Pasal 43: Pemberi Kerja (perusahaan) yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“RPTKA”) yang disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. · Pasal 45: terkait RPTKA, Pemberi Kerja tenaga kerja asing wajib menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing. · Pasal 46: Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurus personalia dan atau jabatan-jabatan tertentu. Perusahaan wajib melaporkan segala hal mengenai ketenagakerjaan di dalam perusahaan termasuk tentang penggunaan tenaga kerja, baik lokal maupun asing sebagaimana ketentuan UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan . Undang-undang ini tidak mensyaratkan adanya pembatasan atau perbandingan antara tenaga kerja asing (karyawan asing) dan tenaga kerja lokal. Dari hasil penelusuran terhadap peraturan-peraturan di bidang ketenagakerjaaan terkait tenaga kerja asing di Indonesia, yakni : a. Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan Penyusunan serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja ; b. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang; c. Kepmenakertrans: 1. No. 708 Tahun 2012 tentang Jabatan yang dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori Kesenian, Hiburan dan Kreasi Golongan Pokok Kegiatan Hiburan, Kesenian, dan Kreatifitas dan Golongan Pokok Olahraga dan Rekreasi Lainnya; 2. No. 707 Tahun 2012 tentang Jabatan yang dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori Transportasi dan Pergudangan Golongan Pokok Angkutan Udara; 3. No. Kep 247/MEN/X/2011 tentang Jabatan yang dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori Konstruksi; 4. No. 462 Tahun 2012 tentang Jabatan yang dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori Jasa Pendidikan; 5. No. 464 Tahun 2012 tentang Jabatan yang dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori Perdagangan Besar dan Eceran serta Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor; 6. No. 463 Tahun 2012 tentang Jabatan yang dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing pada Kategori Industri Pengolahan Golongan Pokok Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia; 7. No. 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-jabatan tertentu yang dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing. Dari keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, tidak ada satupun yang mengatur tentang adanya perbandingan jumlah karyawan asing dan karyawan lokal dalam satu kantor atau satu perusahaan. Terhadap penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia yang menjadi tolak ukurnya adalah hanya terhadap jabatan tertentu, waktu tertentu, masuk dalam RPTKA perusahaan pemberi pekerjaan (perusahaan sponsor), dan harus ada alih teknologi dan alih keahlian kepada karyawan lokal (tenaga pendamping tenaga kerja asing). Demikian dari kami, semoga bermanfaat. uu ketenagakerjaan tenaga kerja asing"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Permenaker atau Kepmenaker, yang mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk memberikan tunjangan/bantuan berupa uang kepada karyawan apabila dimutasikan wilayah kerja lain dalam satu grup perusahaan tersebut? Misal, si A tadinya lokasi kerja di daerah Kalsel kemudian karena kebutuhan perusahaan si A suatu saat dimutasikan ke daerah Kaltim? Mohon bantuan jawaban dan terima kasih atas penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kami asumsikan bahwa penempatan kerja atau mutasi tersebut hanya dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia dan hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan dibuat secara tertulis dengan perjanjian. Berdasarkan Pasal 54 ayat (1) huruf d UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), perjanjian kerja sekurang-kurangnya memuat tempat pekerjaan. Apabila tempat karyawan bekerja memiliki cabang di beberapa daerah di Indonesia, ada kemungkinan ia dipindahkan tempat kerjanya ke daerah lain. KLINIK TERKAIT Berhakkah Karyawan BUMN Menolak Mutasi? 26 Sep 2023 Perusahaan Spin Off , Bagaimana Status Karyawan? 18 Jul 2023 Langkah Hukum Jika Serikat Pekerja Diintervensi Pengusaha 19 Jun 2012 Mekanisme Pelaksanaan Pasal 163 UU No. 13/2003 03 Jun 2010 Setiap wilayah provinsi atau kabupaten/kota dapat menetapkan besaran upah minimum di daerahnya yang ditetapkan oleh Gubernur (lihat Pasal 89 UUK ). Upah minimum ini biasanya dikenal dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Besarnya UMP di tiap daerah biasanya berbeda-beda tergantung kebutuhan hidup layak di daerahnya. Saat seorang karyawan dipindahkan tempat kerjanya (mutasi) dari wilayah Provinsi Kalimantan Selatan ke wilayah Provinsi Kalimantan Timur, maka yang disesuaikan adalah besaran upah minimum karyawan tersebut yaitu harus mengikuti besaran jumlah upah minimum di wilayah Kalimantan Timur. Pengusaha dilarang membayarkan upah karyawan dibawah besaran upah minimum di wilayah karyawan bekerja (lihat Pasal 90 ayat (1) UUK ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mengenai kewajiban perusahaan untuk memberikan tunjangan kepada karyawan yang dimutasi ke daerah lain, tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Akan tetapi, hal ini bisa saja diatur di dalam dalam peraturan perusahaan (“PP”), perjanjian kerja (“PK”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”). Karena itu, sebaiknya Anda melihat kembali pada PP, PK, atau PKB, khususnya ketentuan mengenai mutasi karyawan ke daerah lain. Lebih lanjut, Saudara dapat membaca artikel Bolehkah Karyawan Menolak Penempatan Kerja/Mutasi? Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, tidak diatur kewajiban perusahaan untuk memberi tunjangan kepada karyawan yang mengalami mutasi ke daerah lain. Mengenai hal ini dapat diatur dalam PP, PK, atau PKB. Perusahaan wajib membayarkan upah karyawan sesuai dengan besaran upah minimum di wilayah tujuan karyawan tersebut dimutasi. Saudara dapat pula membaca artikel-artikel berikut ini: - Penerapan Peninjauan Upah yang Pekerja yang Upahnya di Atas UMP - Jika Upah Pokok di Bawah UMP Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sahabat saya bekerja pada salah satu PMA besar dari Korea. Saat ini dia akan ditugaskan ke luar negeri untuk membantu project di cabang perusahaan di luar Indonesia. Bagaimana peraturan uang saku dan lain-lain untuk pekerja Indonesia yang ditugaskan di luar negeri? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berkenaan dengan pertanyaan Saudara atas permasalahan -yang dialami- sahabat Saudara, dapat saya sampaikan, bahwa ketentuan mengenai uang saku , mungkin dapat dikat e gorikan sebagai salah satu bentuk kebijakan pengupahan ( salary ). Namun -sepengetahuan saya-, undang-undang belum –atau bahkan mungkin tidak akan– mengatur mengenai kebijakan uang saku bagi perusahaan. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13 Tahun 2003”), khususnya Pasal 88 ayat (3) , memang mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menetapkan beberapa kebijakan pengupahan guna memberikan perlindungan kepada -para- pekerja/buruh . Akan tetapi, tentunya tidak semua hal harus diatur undang-undang atau ditetapkan oleh Pemerintah. KLINIK TERKAIT Dapatkah Uang Saku Disamakan dengan Upah? 17 Jul 2024 Apakah Magang Digaji? Cari Tahu di Sini 29 Mei 2023 Bolehkah Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum? 02 Feb 2021 Adakah Ketentuan Standar Gaji bagi Lulusan S1? 26 Jan 2021 Ada beberapa kebijakan pengupahan dalam undang-undang dan/atau Peraturan Pemerintah, termasuk peraturan menteri, yakni: a. Kebijakan upah minimum yang tertuang dalam Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP No. 8 Tahun 1981”) dan Permenaker No . Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan Kepmenakertrans No. Kep-226/Men/2000 ; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. Kebijakan upah kerja lembur , sebagaimana diatur dalam Kepmenakertrans No . Kep-102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur sebagai amanat Pasal 78 jo Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003 ; c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan ( vide Pa s al 81 dan 82 jo Pasal 93 ayat [ 4 ] jo ayat [ 2 ] dan Pasal [ 3 ] UU No . 13 T a h un 2003 ); d. Upah tidak masuk bekerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya ( vide Pa s al 25 ayat [ 1 ] huruf e UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh jo Pasal 93 ayat [ 2 ] huruf h UU No . 13 T a h un 2003 ); e. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya ( vide Padal 79 ayat [ 2 ] huruf b, huruf c dan huruf d UU No . 13 T ahun 2003 ); f. Bentuk dan cara pembayaran upah ( vide Pasal 12 s/d Pasal 19 PP No . 8 Tahun 1981 ); g. Kebijakan mengenai denda dan potongan upah ( vide Pasal 20 PP No . 8 Tahun 1981 ); h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah (antara lain, kebijakan pemberian tunjangan hari raya [ THR ] atau fasilitas kesejahteraan) i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional ( vide Pasal 92 UU No . 13 T ahun 2003 dan Kepmenakertrans No. Kep-49/Men/IV/2004 ); j. Upah untuk pembayaran pesangon ( vide Pasal 157 jo Pasal 156 ayat [ 2 ] UU No . 13 T ahun 2003 ); dan k. Upah untuk perhitungan P ajak P enghasilan ( vide PP No. 5 Tahun 2003 tentang PPh atas Penghasilan yang Diterima Oleh Pekerja Sampai dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota jo Kepmenkeu No. 70/KM.03/2003 tentang PPh atas Penghasilan yang diterima Oleh Pekerja Sampai dengan Sebesar UMP atau UMKK ) Berdasarkan Pasal 88 ayat (3) U U No . 13 Tahun 2003 seperti tersebut di atas, salah satu item yang diamanatkan oleh undang-undang untuk ditetapkan oleh Pemerintah, adalah membuat kebijakan mengenai hal-hal tertentu yang dapat diperhitungkan dengan upah (sebagaimana tersebut pada huruf h) . N amun demikian , tentu tidak semua hal dapat dan harus diatur oleh Pemerintah/Menteri. Sebab sifat pengaturan peraturan perundang-undangan (termasuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri), secara umum ada 4 (empat) macam, yakni: a. ada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa ( dwangenrechts ) yang disertai dengan sanksi-sanksi atau ancaman pidana dan/atau denda; b. ada juga peraturan perundang-undangan yang bersifat administratif ( administratief ) yang –lazimnya– disertai juga dengan sanksi administratif; c. demikian juga, ada peraturan perundang-undangan yang bersifat pelengkap ( aanvullenrechts ) yang hanya menjadi aturan atau rujukan dan mengikat manakala para pihak tidak mengatur/memperjanjikannya -tanpa disertai dengan sanksi-sanksi atau ancaman pidana dan/atau denda-; d. ada peraturan perundang-undangan yang bersifat terbuka yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memperjanjikannya -berdasar prinsip-prinsip keperdataan- sesuai a s as kebebasan berkontrak ( freedom o f contract , beginzel der contract vrijeheid ) dan a s as mengikatnya perjanjian –sebagai undang-undang– bagi para pihak ( pacta sun servanda ). Dengan demikian, Pemerintah tidak akan -mungkin- mengatur semua hal dan segala persoalan dalam peraturan perundang-undangan. Ada wilayah-wilayah tertentu yang memang merupakan dom a in para pihak untuk mengatur dan memperjanjikannya secara terbuka (dalam arti, tidak harus diatur undang-undang). Maksudnya, apabila semua hal (akan) diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka tentu hilanglah kemerdekaan dan kebebasan para pihak untuk memperjanjikan apa saja dan dengan siapa saja -berdasarkan prinsip consensualism - ( Pasal 1321 jo Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ). Sehubungan dengan permasalahan yang Saudara tanyakan (berkenaan dengan uang saku ) -hemat saya- tentu itu merupakan kebijakan internal manajemen perusahaan (Direksi dan/atau jajarannya), termasuk jika harus mendapat persetujuan -misal dari Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham (RUPS). Jadi, kebijakan uang saku bukan merupakan kebijakan yang bersifat umum (dom a in publik). Cukup diatur di internal manajemen secara wajar dan pantas serta proporsional. Oleh karena n ya , tidak perlu diatur oleh dan menjadi kewenangan (dan dom a in ) Pemerintah. Yang mungkin menjadi permasalahan penting dalam hal ini , adalah bagaimana sifat penugasan sahabat Saudara tersebut? Apakah hanya sekedar tugas projec t di “cabang”, atau merupakan perjalanan dinas biasa -seperti halnya pada installer , after sales service officer , ataukah berpindah entity (seperti halnya rotasi pada Trans Nationa l Company dalam suatu holding atau group melalui program intra corporate transfer -. Hal-hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap hukum yang berlaku ( governing law ) di negara mana ia ditugaskan, termasuk ketentuan mengenai upahnya, hukum apa yang diterapkan dan berlaku baginya ( applicable law ). Demikian jawaban saya, semoga memuaskan. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh 3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 4. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah 5. Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2003 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang Diterima Oleh Pekerja Sampai dengan Sebesar Upah Minimum Propinsi atau Upah Minimum Kabupaten/Kota 6. Per aturan M en teri Tenaga K er ja No . Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan Kepmenakertrans No. Kep-226/Men/2000 7. Kep utusan M en teri Tenaga K er ja dan T rans migrasi No . Kep-102/Men/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur 8. Kep utusan M en teri Tenaga K er ja T rans migrasi No. Kep-49/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah 9. Keputusan Menteri Keuangan No. 70/KM.03/2003 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima Oleh Pekerja Sampai dengan Sebesar UMP atau UMKK uu ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah peraturan pemerintah tentang kenaikan upah sundulan bagi karyawan di atas 1 tahun? Dan bagaimana jika perusahaan menetapkan upah tanpa melibatkan Serikat Pekerja?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih sebelumnya kami ucapkan atas pertanyaan Anda . Untuk menjawab pertanyaan A nda , maka akan kami coba jelaskan sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Apakah Cuti Bersama Memotong Cuti Tahunan? 05 Apr 2024 Jika Sudah Lama Bekerja Tapi Gaji Setara Karyawan Baru 13 Jan 2022 UU Cipta Kerja Terbit, Masih Adakah Penangguhan Pembayaran Upah Minimum? 25 Feb 2021 Aturan Kenaikan Upah Secara Berkala 17 Nov 2020 1. Pada dasarnya , upah sundulan adalah upah yang diberikan perusahaan kepada pekerja apabila ada kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah, yang mana penetapannya dilakukan agar pekerja yang tadinya sudah mendapat upah di atas upah minimum tidak mendapat upah sebesar upah minimum setelah adanya kenaikan . Namun , berbeda dengan upah minimum yang ditetapkan pemerintah, h al ini tidak terjadi pada upah sundulan. Aturan tertulis mengenai upah sundulan sebenarnya tidak ada . H anya saja hal tersebut sudah menjadi kebiasaan apabila upah minimum naik, maka sundulannya ke atas juga mengalami kenaikan secara proposional. 2. Terkait pertanyaan Anda selanjutnya, jika perusahaan menetapkan upah tanpa melibatkan Serikat Pekerja/ serikat buruh, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat buruh menyatakan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja dan buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.” Dari ketentuan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan serikat pekerja atau serikat buruh mengemban tugas sebagai perwakilan atau repres e ntatif dari pekerja/buruh pada perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang secara umum berdampak luas bagi kesejahteraan pekerja/buruh harus melibatkan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dalam pembahasannya. Apabila terjadi perselisihan antara Serikat Pekerja/ Serikat Buruh dalam penentuan besarnya upah gaji maka perselisihan tersebut merupakan perselisihan kepentingan. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”), perselisihan Hubungan Industrial yang salah satunya adalah perselisihan kepentingan harus menempuh proses perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat terlebih dahulu. Apabila upaya bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak melakukan pengaduan ke Dinas Ketenagakerjaan. Kemudian, Dinas Ketenagakerjaan mencatatkan pengaduan tersebut dengan menyediakan formulir pengaduan untuk diisi oleh para pihak. Salah satu atau kedua belah pihak yang mengadukan perselisihannya untuk dicatat oleh Dinas Ketenagakerjaan harus melampirkan bukti-bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian bipartit telah dilakukan ( Pasal 4 ayat [1] UU PPHI ). Selanjutnya, jika masih belum tercapai kesepahaman antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mengajukan gugatan kepada pengusaha di Pengadilan Hubungan Industrial dengan dasar perselisihan kepentingan. Demikianlah jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat buruh 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial upah minimum serikat pekerja serikat buruh"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada aturan hukum yang mengatur tentang larangan bagi bioskop untuk tidak mengizinkan anak di bawah umur menonton film dengan rating dewasa? Karena di bioskop, saya sering menemukan anak-anak SMP dapat menonton film dengan rating dewasa."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah Membuat Usaha Pemutaran DVD Original? 02 Des 2015 Memprotes Stasiun Televisi yang Mengambil Gambar Rumah Tanpa Izin 23 Jul 2014 Adakah Sanksi Jika Memparodikan Figur Negarawan? 10 Jul 2014 Persaingan Usaha dalam Industri Bioskop 18 Mar 2011 Intisari: Berdasarkan penelusuran kami, tidak ada aturan eksplisit tentang larangan pihak bioskop membiarkan anak di bawah umur untuk membeli tiket/menonton film dengan rating ‘dewasa’. Yang ada adalah sanksi bagi pelaku usaha perfilman (dalam hal ini pengusaha bioskop) yang melalaikan ketentuan tentang pencantuman penggolongan usia penonton film. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pada dasarnya, setiap film yang ditayangkan/diedarkan/dipertunjukkan di bioskop itu wajib lulus sensor. Lulus sensor ini dibuktikan dengan adanya surat tanda lulus sensor . [1] Surat tanda lulus dikeluarkan oleh Lembaga Sensor Film (“LSF”) dan ditandatangani oleh Ketua LSF. [2] LSF bertugas melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum. [3] Terkait dengan pertanyaan Anda, Film dan iklan film yang sudah selesai disensor digolongkan ke dalam usia penonton film sebagai berikut: [4] a. untuk penonton semua umur; b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih; c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Film dan iklan film yang telah disensor disertai pencantuman penggolongan usia penonton yang meliputi: [5] a. untuk penonton semua umur; b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih; c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Tugas dan fungsi LSF tidak berhenti hanya pada penyensoran film dan iklan film. Tapi juga memantau hasil penyensoran tersebut. Terkait ini, Pasal 41 ayat (1) huruf b PP LSF berbunyi: “Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, LSF dibantu oleh Tenaga Sensor yang memiliki tugas penyensoran memantau hasil penyensoran yang dipertunjukkan, ditayangkan, dan/atau diedarkan kepada khalayak umum melalui layar lebar , televisi, dan jaringan teknologi informatika.” Pengusaha Bioskop Pengusaha bioskop itu sendiri dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (“UU Perfilman”) dikenal dengan sebutan pelaku usaha perfilman. Pelaku usaha perfilman ini salah satunya meliputi pelaku usaha pertunjukan film . [6] Film yang menjadi unsur pokok usaha perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film: [7] a. untuk penonton semua umur; b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih; c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. L SF dapat mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan di atas. [8] Berdasarkan penelusuran kami, tidak ada aturan eksplisit tentang sanksi bagi pihak bioskop yang membiarkan anak di bawah umur untuk membeli tiket/menonton film dengan rating ‘dewasa’. Oleh karena itu menurut hemat kami, perlu ada kesadaran dari orang tua untuk lebih bersikap bijak memilih film saat mengajak anaknya me nonton di bioskop. Di samping itu, diperlukan juga kerja sama pihak pengelola bioskop untuk bantu memantau penayangan film dengan rating dewasa agar tepat sasaran, yakni dengan memperjualbelikan tiket film dengan rating dewasa kepada orang yang cukup umur. Contoh Memang dalam praktiknya, ada bioskop yang melarang anak di bawah umur untuk menonton film dengan kategori usia dewasa. Namun, ada pula bioskop yang membolehkannya. Di lain kasus, bahkan orang tuanya ditegur karena mengajak anaknya nonton film tersebut, tetapi justru orang tua yang marah dan merasa “Saya bapaknya, boleh sama saya”. Demikian yang disampaikan oleh Coorporat Secretary Cinema 21 Catherine Keng dalam artikel Banyak Orangtua Biarkan Anaknya Nonton Film Dewasa di Bioskop yang kami akses dari laman media detik.com . Dalam laman LSF yang memuat surat pembaca tentang film kategori dewasa yang ditonton anak di bawah umur. Diinformasikan oleh redaksinya bahwa sangat diharapkan tidak ada penonton remaja, apalagi anak-anak, saat diputar film dengan klasifikasi “dewasa” di bioskop. Apabila ternyata bioskop masih menerima penonton remaja dan anak-anak, maka akan menerima sanksi dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Namun, berdasarkan penelusuran kami, KPI tidak berwenang untuk memberikan sanksi bagi pengusaha bioskop yang membiarkan anak di bawah umur untuk menonton film dengan rating dewasa. Sanksi yang dapat diberikan oleh KPI adalah sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran yang disiarkan oleh lembaga penyiaran yang memberikan jasa penyiaran baik radio maupun televisi. [9] Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman ; 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film . REFERENSI:\n1. 1. detik.com , diakses pada 25 Februari 2016 pukul 16.17 WIB. 2. http://www.lsf.go.id/suratpembaca/188 , diakses pada 25 Februari 2016 pukul 16.35 WIB. [1] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film (“PP LSF”) [2] Pasal 27 ayat (1) PP LSF [3] Pasal 6 huruf a PP LSF [4] Pasal 28 ayat (1) PP LSF [5] Pasal 32 PPLSF [6] Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Perfilman [7] Pasal 7 UU Perfilman [8] Pasal 60 ayat (5) UU Perfilman [9] Pasal 8 ayat (2) huruf d jo. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UU Penyiaran”) hukumonline penyiaran hukum media & penyiaran klinik klinik hukumonline perlindungan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apabila kita melaporkan sesuatu kepada Kepolisian, misalnya laporan tindakan penganiayaan, dan sudah beberapa hari laporan tersebut belum ditindak lanjuti, apakah ada aturan dalam KUHAP mengenai batas waktu untuk menindaklanjuti laporan tersebut? Dan apa upaya hukum yang bisa dilakukan apabila kepolisian tidak menindaklanjuti laporan tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran yang kedua kali oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dari artikel dengan judul Batas Waktu Penyelesaian Perkara di Kepolisian yang dibuat oleh Flora Dianti, S.H., M.H. dari DPC AAI Jakarta Pusat dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 05 Desember 2011 kemudian dimutakhirkan oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pada Rabu, 28 Februari 2018 . Intisari : Tidak ada aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai batas waktu Kepolisian untuk menindaklanjuti laporan. Namun dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana disebutkan bahwa waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara . Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria: perkara mudah; perkara sedang; perkara sulit; dan perkara sangat sulit. Dalam rancah hukum pidana, daluwarsa diatur untuk mengajukan pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana dan upaya hukum lainnya, tetapi tidak diatur daluwarsa untuk menindaklanjuti laporan . Dalam hal Kepolisian tidak menindaklanjuti laporan, atau jika ada ketidakpuasan atas hasil penyidikan, Anda dapat menyampaikan p engaduan m asyarakat (“Dumas”). Dumas dapat disampaikan secara langsung atau tidak langsung berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sumber diketahui adanya suatu Tindak Pidana bisa melalui: Laporan, Pengaduan, atau Tertangkap Tangan. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan seorang karena hak/kewajiban berdasar undang-undang kepada pejabat berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana. [1] Berbeda dengan pengaduan, pemberitahuan laporan bersifat umum, meliputi seluruh jenis tindak pidana yang diberitahukan, sehingga laporan bisa dilakukan oleh semua orang yang mengalami, melihat dan mendengar suatu peristiwa pidana, dan tidak dapat dicabut kembali oleh si pelapor. Walaupun jika pada akhirnya terjadi perdamaian antara pelapor dan terlapor sebelum tahap persidangan, penegak hukum tetap bisa meneruskan pemeriksaan hingga persidangan. Adapun pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan Tindak Pidana aduan yang merugikannya. [2] Pengaduan bersifat khusus, hanya bisa dilakukan oleh pihak tertentu yang berkepentingan, sehingga dapat dicabut sebelum sampai ke persidangan apabila terjadi perdamaian antara pengadu dan teradu. Jika terjadi pencabutan pengaduan, maka perkara tidak dapat diproses lagi. Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. [3] Batas Waktu Kepolisian Menindaklanjuti Laporan Tindak Pidana Seperti diketahui, Kepolisian di sini bertindak sebagai Penyidik. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan . [4] Mengenai pertanyaan tentang apakah ada aturan dalam KUHAP mengenai batas waktu Kepolisian untuk menindaklanjuti laporan tersebut, maka jawabannya adalah tidak ada. Akan tetapi, dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”) disebutkan bahwa waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara . [5] Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria: [6] Perkara mudah , kriterianya: [7] saksi cukup; alat bukti cukup; tersangka sudah diketahui atau ditangkap; dan proses penanganan relatif cepat. Perkara sedang , kriterianya: [8] saksi cukup; terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka; identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap; tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir; tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya; dan tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan ahli mudah didapatkan. Perkara sulit , kriterianya: [9] saksi tidak mengetahui secara langsung tentang tindak pidana yang terjadi; tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu; tersangka dilindungi kelompok tertentu atau bagian dari pelaku kejahatan terorganisir; barang bukti yang berhubungan langsung dengan perkara sulit didapat; diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung pengungkapan perkara; diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya; tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempat; dan memerlukan waktu penyidikan yang cukup. Perkara sangat sulit , kriterianya: [10] belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana; saksi belum diketahui keberadaannya; saksi atau tersangka berada di luar negeri; TKP di beberapa negara/lintas negara; tersangka berada di luar negeri dan belum ada perjanjian ekstradisi; barang bukti berada di luar negeri dan tidak bisa disita; tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu; dan memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang. Penanganan perkara sesuai kriteria tersebut ditentukan sebagai berikut: [11] tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit; tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang dan sulit; dan tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang. Jadi menjawab pertanyaan Anda, tidak ada aturan dalam KUHAP mengenai batas waktu (daluwarsa) Kepolisian untuk menindaklanjuti laporan. Akan tetapi, dalam Perkapolri 14/2012 disebutkan bahwa waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara sebagaimana yang kami uraikan di atas. Sebagai informasi, dalam rancah hukum pidana, daluwarsa diatur untuk mengajukan pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana dan upaya hukum lainnya, tetapi tidak diatur daluwarsa untuk menindaklanjuti laporan. Menurut Pasal 74 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , masa daluwarsa mengajukan pengaduan ke kepolisian adalah: 6 (enam) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia; 9 (sembilan) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan itu dilakukan, bila ia berada di luar negeri. Sedangkan kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa dalam hal: [12] mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah 1 (satu) tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, sesudah 6 (enam) tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun, sesudah 12 tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun. Upaya Jika Laporan Tidak Ditindaklanjuti Menjawab pertanyaan Anda lainnya, dalam hal Kepolisian tidak menindaklanjuti laporan, atau jika ada ketidakpuasan atas hasil penyidikan, Anda dapat menyampaikan p engaduan m asyarakat. Pengaduan masyarakat (“Dumas”) adalah bentuk penerapan dari pengawasan masyarakat yang disampaikan oleh masyarakat, Instansi Pemerintah atau pihak lain kepada Polri berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan atau keluhan/pengaduan yang bersifat membangun. [13] Dumas dapat disampaikan secara langsung atau tidak langsung. [14] Dumas secara langsung , merupakan pengaduan yang disampaikan oleh pelapor secara langsung melalui: [15 bagian pelayanan Dumas; sentra pelayanan Dumas; atau unit pelayanan Dumas. Dumas secara tidak langsung , merupakan pengaduan yang disampaikan oleh pelapor melalui: [16] komunikasi elektronik dengan menggunakan aplikasi; dan/atau surat-menyurat. Dumas dapat disampaikan terkait dengan: [17] pelayanan Polri; penyimpangan perilaku Pegawai Negeri pada Polri; dan/atau penyalahgunaan wewenang. Penanganan Dumas ditangani oleh pihak-pihak yaitu: [18] Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri, untuk lingkungan Polri; Biro Pengawasan Penyidikan (Rowassidik) Bareskrim Polri, untuk lingkungan Bareskrim Polri; Bagian Pelayanan Pengaduan (Bagyanduan) Divpropam Polri, untuk lingkungan Divpropam Polri; Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda), untuk lingkungan Polda . ; Bagian Pengawasan Penyidikan, di lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Umum/Khusus/Narkoba (Bagwassidik) Polda, untuk lingkungan Ditreskrim Polda; Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda, untuk lingkungan Bidpropam Polda; dan Seksi Pengawasan (Siwas), untuk lingkungan Polres dan Polsek. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam artikel Cara Menyampaikan Komplain atas Pelayanan Polisi , laman Layanan Pengaduan Masyarakat (Dumas) POLRI , yang bisa diadukan lewat layanan ini adalah: Pelayanan yang buruk Penyalahgunaan wewenang Kekeliruan diskresi Tindakan diskriminasi Adanya korupsi Adanya pelanggaran HAM Di luar hal tersebut, mohon untuk dapat menghubungi Polsek, Polres atau Polda terdekat; atau hubungi call center 110. Masih dari sumber yang sama, proses pengaduan pada Dumas dapat dilakukan dengan tahapan: Mengisi form pengaduan dan identitas Anda nantinya akan mendapatkan kode / nomor referensi pengaduan, dimana Anda dapat melacak sejauh mana proses pengaduan Anda. Analisa permasalahan oleh tim khusus Propam Mabes Polri dan Itwasum Polri Setiap pengaduan yang masuk akan dikaji apakah relevan dengan institusi Polri dan apakah relevan dengan ketentuan pengaduan. Proses penyelidikan dan penyidikan Dengan prosedur tetap dan terukur, pengaduan ditindaklanjuti. Analisa kesimpulan dan pelaporan Fakta-fakta hasil penyidikan disimpulkan dan dilaporkan kepada pimpinan dan Kompolnas. Jawaban / tanggapan resmi kepada pengadu Melalui email, hasil tanggapan pengaduan akan diberikan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia [1] Pasal 1 angka 24 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Pasal 1 angka 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”) [2] Pasal 1 angka 25 KUHAP dan Pasal 1 angka 15 Perkapolri 14/2012 [3] Pasal 1 angka 19 KUHAP dan Pasal 1 angka 18 Perkapolri 14/2012 [4] Pasal 1 angka 1 KUHAP [5] Pasal 17 ayat (2) huruf e Perkapolri 14/2012 [6] Pasal 17 ayat (4) Perkapolri 14/2012 [7] Pasal 18 ayat (1) Perkapolri 14/2012 [8] Pasal 18 ayat (2) Perkapolri 14/2012 [9] Pasal 18 ayat (3) Perkapolri 14/2012 [10] Pasal 18 ayat (4) Perkapolri 14/2012 [11] Pasal 19 Perkapolri 14/2012 [12] Pasal 78 ayat (1) KUHP [13] Pasal 1 angka 8 Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 9/2018”) [14] Pasal 4 ayat (1) Perkapolri 9/2018 [15] Pasal 4 ayat (2) Perkapolri 9/2018 [16] Pasal 4 ayat (3) Perkapolri 9/2018 [17] Pasal 5 Perkapolri 9/2018 [18] Pasal 21 Perkapolri 9/2018 acara peradilan hukumonline kepolisian hukum klinik klinik hukumonline polisi pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya, apakah ada regulasi yang mengatur tentang jarak kantor notaris yang satu dengan kantor notaris yang lainnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Tidak ada aturan yang secara eksplisit yang mengatur larangan kantor notaris untuk berdekatan. Karena pada prinsipnya kantor notaris itu didirikan pada tempat kedudukannya. Jika ada dua notaris yang wilayah jabatannya sama dan mempunyai tempat kedudukan (kantor) yang berdekatan, maka hal tersebut boleh saja. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Wewenang Notaris Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU 30/2004”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU 2/2014”) atau berdasarkan undang-undang lainnya. Demikian pengertian notaris yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU 2/2014 . Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. [1] Selain itu, Notaris berwenang pula: [2] mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi); membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau membuat akta risalah lelang. Selain kewenangan-kewenangan tersebut, Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. [3] Tempat Kedudukan Sebelum melaksanakan jabatannya, pasca (dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal) pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, notaris harus menyampaikan alamat kantor , contoh tanda tangan, dan paraf, serta stempel jabatan kepada kepada Menteri Hukum dan HAM dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat Notaris diangkat. [4] Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota. Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya . [5] Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor , yaitu di tempat kedudukannya . Tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris. Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya. [6] Sepanjang penelusuran kami, tidak ada aturan yang secara eksplisit yang mengatur larangan kantor notaris untuk berdekatan. Karena pada prinsipnya kantor notaris itu didirikan pada tempat kedudukannya, yakni di daerah kabupaten atau kota. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, jika ada dua notaris yang wilayah jabatannya sama dan mempunyai tempat kedudukan (kantor) yang berdekatan, maka hal tersebut boleh saja. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 62 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris [1] Pasal 15 ayat (1) UU 2/2014 [2] Pasal 15 ayat (2) UU 2/2014 [3] Pasal 15 ayat (3) UU 2/2014 [4] Pasal 7 ayat (1) huruf c UU 2/2014 [5] Pasal 18 UU 30/2004 [6] Pasal 19 ayat (1), (2), dan (3) UU 2/2014 pertanahan hukumonline google jabatan notaris kantor profesi hukum hukum klinik klinik hukumonline notaris"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya mengenai masa kontrak dosen dalam universitas swasta. Dalam Pasal 60 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa masa percobaan adalah paling lama 3 (tiga) bulan. Namun bagaimana dengan di perguruan tinggi swasta? Apakah masa percobaannya dapat melebihi waktu 3 (tiga) bulan? Karena takutnya jika dosen keluar dalam waktu 3 (tiga) bulan, akan sulit untuk mencari dosen lain dan juga bagi mahasiswa karena ganti-ganti dosennya. Terima kasih atas perhatian dan jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Kewajiban Mahasiswa Mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) 27 Sep 2017 Syarat Perpindahan Mahasiswa Antar Perguruan Tinggi 06 Sep 2017 Bolehkah Kampus Melarang Mahasiswanya Berambut Gondrong? 23 Agt 2017 Apakah Liburan Guru dan Dosen PNS Memotong Cuti Tahunan? 24 Jul 2017 Intisari: Kami berasumsi bahwa dosen pada perguruan tinggi swasta (“PTS”) yang dimaksud adalah dosen tetap pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Dosen tetap pada PTS itu diangkat berdasarkan perjanjian kerja yang dibuat untuk kurun waktu paling sedikit 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang sampai batas usia pensiun dosen tetap non Pegawai Negeri Sipil (“PNS”). Dilihat dari jangka waktu perjanjian kerjanya, maka perjanjian kerja tersebut adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”). Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada masa percobaannya karena dalam PKWT tidak dikenal adanya ketentuan mengenai masa percobaan karena masa percobaan hanya ada pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (\"PKWTT\"). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda . Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa dosen pada Perguruan Tinggi Swasta (“PTS”) yang dimaksud adalah dosen tetap pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Status dan Jenis Dosen Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”) . Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap. [1] Dosen tetap adalah dosen yang bekerja penuh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu. Dosen tidak tetap adalah dosen yang bekerja paruh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tidak tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu. [2] Ada dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dan diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian ada juga dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat (PTS) diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. [3] Pengangkatan Dosen Menurut Pasal 6 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tetap Non Pegawai Negeri Sipil Pada Perguruan Tinggi Negeri dan Dosen Tetap Pada Perguruan Tinggi Swasta (“Permendikbud 84/2013”) . Tata cara pengangkatan dosen tetap PTS: 1. PTS menyusun kebutuhan dosen tetap; 2. PTS mengusulkan kebutuhan dosen tetap kepada badan penyelenggara PTS; 3. Badan penyelenggara PTS melakukan verifikasi dan validasi kebutuhan dosen tetap; 4. Badan penyelenggara PTS menyetujui atau menolak usul kebutuhan dosen tetap kepada pemimpin PTS; 5. Apabila badan penyelenggara PTS menyetujui usul kebutuhan dosen tetap, pimpinan PTS melakukan seleksi dan mengusulkan pengangkatan dosen tetap kepada badan penyelenggara PTS. Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [4] Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama . Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. [5] Perjanjian Kerja Dosen Tetap PTS Dosen tetap non Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) membuat perjanjian kerja dengan badan penyelenggara PTS sesuai kewenangan masing-masing. Perjanjian kerja memuat antara lain: [6] a. identitas para pihak; b. hak dan kewajiban para pihak; c. mekanisme penilaian kinerja; d. mekanisme mutasi dan promosi; e. kerja lembur dan cuti; f. gaji pokok, penghasilan yang melekat pada gaji, penghasilan lain, dan jaminan kesejahteraan sosial, serta maslahat tambahan; g. pengembangan dan pembinaan; h. penyelesaian sengketa antarpara pihak; i. sanksi pelanggaran perjanjian kerja; j. pengakhiran perjanjian kerja. Perjanjian kerja dibuat untuk kurun waktu paling sedikit 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang sampai batas usia pensiun dosen tetap non PNS . Penilaian kinerja dosen tetap non PNS dilakukan setiap tahun melalui mekanisme evaluasi kinerja dosen tetap non PNS dan/atau mekanisme lain sesuai perjanjian kerja dan ketentuan peraturan perundang undangan. [7] Dilihat dari jangka waktu perjanjian kerja di atas, maka perjanjian kerjanya adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”). Ketentuan masa percobaan sebagaimana Anda sebutkan dalam pertanyaan hanya berlaku pada Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”). Ketentuan tentang masa percobaan dapat kita temukan dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang menyatakan: Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan paling lama 3 (tiga) bulan. Jadi menjawab pertanyaan Anda, dosen tetap pada PTS itu diangkat berdasarkan PKWT dan PKWT itu dibuat untuk kurun waktu paling sedikit 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang sampai batas usia pensiun dosen tetap non PNS. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada masa percobaan karena dalam PKWT tidak dikenal adanya ketentuan mengenai masa percobaan, masa percobaan hanya ada pada PKWTT. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat . DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ; 3. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tetap Non Pegawai Negeri Sipil Pada Perguruan Tinggi Negeri dan Dosen Tetap Pada Perguruan Tinggi Swasta . [1] Pasal 48 ayat (1) UU 14/2005 [2] Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU 14/2005 [3] Pasal 52 ayat (3) UU 14/2005 [4] Pasal 63 ayat (1) UU 14/2005 [5] Pasal 63 ayat (3) dan (4) UU 14/2005 [6] Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permendikbud 84/2013 [7] Pasal 10 ayat (3) dan (4) Permendikbud 84/2013 kampus hukumonline google ketenagakerjaan mahasiswa universitas klinik hukum ptn dosen klinik hukumonline pendidikan dan kebudayaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya apakah ada hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang pelarangan/penundaan eksekusi mati dikarenakan terpidana mengalami gangguan jiwa (gangguan jiwa baru dialami setelah putusan hukuman mati diputuskan dan bukan saat melakukan perbuatan tersebut)? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kematian dalam KUHP dan UU 1/2023 09 Jul 2024 Dasar Hukum dan Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia 04 Jul 2024 Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP 20 Feb 2024 Unsur-unsur dalam Pasal Pembunuhan Berencana 05 Okt 2023 Terima kasih atas pertanyaan Anda. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Intisari: Pada prinsipnya penyakit kejiwaan tidak menjadi alasan ditunda atau dibatalkannya eksekusi hukuman mati. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan dalam undang-undang yang memerintahkan menunda atau membatalkan eksekusi terhadap terpidana mati yang sedang sakit. Eksekusi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun karena itu adalah perintah Pengadilan dan tidak memandang apakah terpidana mati itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit lain. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Mengenai pemidanaan bagi seseorang yang memiliki gangguan jiwa, dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana, salah satunya adalah alasan pemaaf sebagaimana dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu ( Pasal 44 KUHP ). Pasal 44 (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Penjelasan lebih lanjut soal alasan pemaaf dapat Anda simak dalam artikel Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana? Hal di atas merupakan alasan-alasan yang dapat dikemukakan oleh penasehat hukum terdakwa dalam proses persidangan sehingga apabila terbukti terdakwa kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya, maka hakim harus memerintahkan terdakwa ke dalam rumah sakit jiwa selama satu tahun untuk pemeriksaan. Dari keterangan yang Anda berikan, terpidana mati tersebut mengalami gangguan jiwa setelah ada putusan hukuman mati dan bukan saat ia melakukan tindak pidana. Ini artinya, alasan pemaaf tidak dapat diterapkan kepada terpidana mati yang bersangkutan. Hal ini karena proses persidangan telah selesai sehingga terpidana yang dijatuhi hukuman mati telah dipandang sah melakukan perbuatan (tindak pidana) saat itu secara sadar dengan akal sehatnya sehingga gangguan jiwa yang ia alami setelah adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ia bersalah tidak serta merta menghapus pidananya. Jika dilihat dari aturan soal hukuman mati itu sendiri, yang menjadi alasan-alasan penundaan eksekusi hukuman mati antara lain adalah jika terpidana hamil. Ini diatur dalam Pasal 7 Penetapan Presiden No. 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yang ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 (“Perpres 2/PNPS/1964”) : “Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.” Artinya, eksekusi hukuman mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil. Penjelasan lebih lanjut tentang alasan-alasan penundaan ekekusi hukuman mati lainnya dapat Anda simak dalam artikel Alasan-Alasan Penundaan Eksekusi Hukuman Mati dan Eksekusi Hukuman Mati Bagi Terpidana yang Hamil. Jadi pada dasarnya kesehatan kejiwaan seseorang tidak mempengaruhi proses eksekusi pidana mati. Sebagai contoh, dalam artikel Sakit Jiwa dan Penundaan Eksekusi Terpidana Hukuman Mati yang kami kutip dari situs gatra.com, Dr. Reda Manthovani,.SH,. LLM (Konsul Kejaksaan pada Konsulat Jenderal RI di Hong Kong) menc eritakan bahwa terpidana mati asal Curitiba Brasil bernama Rodrigo Gularte disebut telah mengidap penyakit skizofrenia paranoid dan bipolar (manik depresif), yakni gangguan kejiwaan yang bersifat berat dan kronis. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly , menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi mati tak terpengaruh situasi jika ada terpidana mati yang sakit . Begitu juga eksekusi terhadap Rodrigo Gularte yang dikabarkan mengalami gangguan jiwa. Menteri menjelaskan, pada prinsipnya, tak ada ketentuan dalam undang-undang yang memerintahkan menunda atau membatalkan eksekusi terhadap terpidana mati yang sedang sakit. Eksekusi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun karena itu adalah perintah Pengadilan. Senada dengan pendapat Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, HM Prasetyo menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi mati itu tidak memandang apakah terpidana mati itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit lain. Pelaksanaan eksekusi mati dapat ditunda apabila terpidana itu wanita yang sedang hamil atau anak di bawah umur. Masih bersumber dari artikel yang sama, isu soal terpidana mati yang mengalami gangguan jiwa pernah setidaknya disebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945 akan tetapi di masa datang seharusnya perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting, yakni: 1. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; 2. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; 3. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; 4. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil itu melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh . Namun, berdasarkan penelusuran kami, hingga kini belum ada penyesuaian peraturan perundang-undangan terkait hukuman mati terhadap terpidana mati yang memiliki gangguan kejiawaan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , 2. Penetapan Presiden Nomor 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yang ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945. REFERENSI:\n1. http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/138262-sakit-jiwa-dan-penundaan-eksekusi-terpidana-hukuman-mati.html , diakses pada 17 Maret 2015 pukul 13.37 WIB. hukuman mati"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pengendara sepeda listrik diwajibkan pakai helm? Soalnya saya sering ditegur oleh satlantas untuk pakai helm dan saya jadi bingung?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Kecelakaan karena Mabuk Saat Berkendara 11 Jul 2023 Aturan Pelarangan Sepeda Motor di Jalan Tertentu 12 Jul 2018 Kewajiban Pengendara Sepeda Motor Jika Terlibat Kecelakaan dengan Pesepeda 11 Nov 2014 Bolehkah Memakai Helm Produksi Negara Lain yang Tidak Ber-SNI? 16 Jul 2014 Intisari: Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), yang diwajibkan untuk mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia adalah pengendara sepeda motor, penumpang sepeda motor, serta pengendara dan penumpang kendaraan bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di jalan. Sumber tenaga sepeda listrik berasal dari baterai. Karena tidak dijalankan dengan mesin motor, maka sepeda listrik bukanlah termasuk sepeda motor yang pengendara serta penumpangnya diwajibkan untuk menggunakan helm sebagaimana dimaksud dalam UU LLAJ. Oleh karena itu, menurut hemat kami, jika berdasar pada UU LLAJ, maka sebenarnya tidak ada kewajiban menggunakan helm bagi pengendara sepeda listrik. Meski demikian, untuk alasan keamanan dan keselamatan di jalan, beralasan jika petugas lalu lintas menegur Anda untuk mengenakan helm. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sepeda Listrik Sepeda listrik adalah sepeda yang digerakkan dengan tenaga baterai yang dapat diisi ( rechargable ). Berikut antara lain adalah poin-poin penting yang perlu diketahui tentang sepeda listrik: 1. Sumber tenaga murni dari baterai. Kebanyakan pakai tipe lithium-ion dengan kapasitas beragam menggunakan satuan KWh. Semakin besar KWh semakin jauh pula jarak yang bisa ditempuh. 2. Pengisian ulang. Rata-rata bisa menggunakan listrik rumah 220 volt biasa. Untuk sepeda motor Zero, daya yang dibutuhkan sebesar 1.300 watt untuk pengisian. 3. Lama pengisian baterai. Hal ini juga bergantung pada kapasitas baterai yang dibawa. Rata-rata pengisian normal antara 4-8 jam (dari kosong sampai penuh). Waktu pengisian akan lebih cepat jika pakai charger khusus. 4. Jarak tempuh. Ini juga bergantung kapasitas baterai. Semakin besar baterai semakin lama waktu tempuh dan semakin jauh jarak yang bisa dijelajahi. Rata-rata untuk sepeda motor listrik premium minimal 150-300 km. Demikian sekilas informasi tentang sepeda listrik yang kami akses dari laman Kompas Otomotif Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), yang diwajibkan untuk mengenakan helm yang memenuhi standar nasional Indonesia adalah pengendara sepeda motor, penumpang sepeda motor, serta pengendara dan penumpang kendaraan bermotor beroda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di jalan. [1] Karena tidak dijalankan dengan mesin motor, melainkan dengan baterai,, maka sepeda listrik bukanlah termasuk sepeda motor yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 20 UU LLAJ : Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. Oleh karena itu, menurut hemat kami, jika berdasar pada UU LLAJ, maka sebenarnya tidak ada kewajiban menggunakan helm bagi pengendara sepeda listrik. Sebagai referensi, Anda bisa juga menyimak artikel Undang-Undang yang Mewajibkan Penggunaan Helm Standar . Alasan Keamanan Meski secara tegas dan eksplisit kewajiban pesepeda listrik untuk menggunakan helm tidak diatur oleh UU LLAJ, menurut hemat kami, beralasan jika petugas lalu lintas menegur Anda untuk mengenakan helm karena alasan keamanan dan keselamatan berlalu lintas di jalan. Walaupun dalam undang-undang tidak diatur secara tegas soal kewajiban mengenakan helm bagi pesepeda, kami menyarankan agar pesepeda listrik tetap mengenakan helm saat melintas di jalan demi keselamatannya. Berikut antara lain manfaat helm yang kami rangkum dari artiikel Manfaat/Kegunaan/Fungsi Helm Bagi Pengendara Sepeda Motor di Jalan Raya yang kami akses dari situs web Belajar Online - www.organisasi.org : 1. melindungi kepala dari benturan saat kecelakaan 2. melindungi mata dari angin, debu dan kotoran serta benda keras lainnya 3. melindungi kepala dari panasnya terik matahari 4. melindungi kepala dari basah air hujan Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan REFERENSI:\n1. 1. Kompas Otomotif , diakses pada 7 Juni 2016 pukul 16.44 WIB 2. http://www.organisasi.org/1970/01/manfaat-kegunaan-fungsi-helm-bagi-pengendara-sepeda-motor-di-jalan-raya.html , diakses pada 23 Mei 2016 pukul 14.17 WIB [1] Pasal 106 ayat (7) dan (8) UU LLAJ sepeda hukumonline sni standar nasional indonesia hukum klinik lalu lintas klinik hukumonline sepeda motor"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kami ingin bertanya perihal regulasi pendirian perusahaan rental alat berat oleh PMA, mohon dapat dibantu menginformasikan beberapa hal berikut:\n\nApakah PMA bisa mendirikan anak perusahaan dengan komposisi saham kepemilikan 100% atau mesti ada perusahaan lokal yang bergabung?\nBerapa jumlah komposisi kepemilikan saham yang dipersyaratkan oleh pemerintah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah penanam modal asing yang berbentuk perusahaan asing akan mendirikan anak perusahaan yang bergerak di bidang rental/sewa alat berat, seperti buldozer, excavator , dan/atau traktor, di Indonesia. KLINIK TERKAIT Kewajiban Pelaku Usaha Membuat dan Menyampaikan LKPM 12 Agt 2021 Kewajiban Pelaku Usaha Membuat dan Menyampaikan LKPM 12 Agt 2021 Aturan Batasan Modal Asing untuk Perkebunan Kelapa Sawit 05 Agt 2021 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kemudahannya 09 Jun 2021 Bolehkah PT PMA Melakukan Ekspor? 07 Mei 2021 Aturan Modal PT PMA Penanaman Modal Asing (“PMA”) adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing , baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun berpatungan dengan penanam modal dalam negeri . [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Yang dimaksud dengan penanam modal asing adalah pelaku usaha perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di Indonesia. [2] Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal dalam negeri adalah pelaku usaha perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di Indonesia. [3] PMA wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas (“PT”) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, kecuali undang-undang menentukan lain, [4] yang dilakukan dengan: [5] mengambil bagian saham pada saat pendirian PT ; membeli saham; dan melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, PMA hanya dapat melakukan kegiatan usaha pada usaha besar dengan investasi lebih dari Rp10 miliar di luar nilai tanah dan bangunan. [6] Sehingga, anak perusahaan yang akan didirikan oleh penanam modal asing yang Anda tanyakan wajib didirikan dalam bentuk PT dan nilai investasinya harus lebih dari Rp10 miliar di luar tanah dan bangunan. Selanjutnya, dikarenakan yang didirikan berupa PT persekutuan modal, maka PT tersebut harus didirikan oleh minimal 2 orang pendiri dan setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat PT didirikan. [7] Bagaimana dengan ketentuan batasan modalnya? Jika merujuk pada ketentuan yang kami jelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, PMA dapat dilakukan dengan menggunakan modal dari penanam modal asing sepenuhnya atau berpatungan dengan penanam modal dalam negeri . Jadi, tidak wajib berpatungan dengan penanam modal dalam negeri, sepanjang penanam modal asing tersebut mampu memenuhi ketentuan minimum modal, yakni lebih dari Rp10 miliar di luar nilai tanah dan bangunan, serta memenuhi ketentuan pendirian PT di atas. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi sejumlah bidang usaha yang dipersyaratkan untuk memenuhi persyaratan batas kepemilikan modal asing [8] sebagaimana diatur dalam Lampiran III Perpres 49/2021 dan Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”) . Adakah Batasan Modal Asing bagi Bidang Usaha Rental Alat Berat? Lalu, kembali ke pertanyaan Anda, jika merujuk pada lampiran kedua peraturan tersebut, apakah bidang usaha rental alat berat termasuk bidang usaha yang memiliki persyaratan batas kepemilikan modal asing? Sepanjang penelusuran kami, bidang usaha rental/sewa alat berat tidak termasuk sebagai bidang usaha dengan persyaratan tertentu sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran III Perpres 49/2021. Ketentuan mengenai batasan modal bidang usaha rental alat berat juga tidak diatur dalam Lampiran II PP 5/2021. Namun, meski tidak diatur persyaratan batas kepemilikan modalnya, perlu diketahui bahwa merujuk pada Lampiran II Perpres 49/2021 (hal.21), aktivitas penyewaan dan sewa guna usaha tanpa hak opsi , yang meliputi alat transportasi darat ( rental without operator ) dengan kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”) 77311 , mesin pertanian dan peralatannya dengan kode KBLI 77392, mesin kantor dan peralatannya dengan kode KBLI 77394, dan mesin lainnya dan peralatannya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain (pembangkit tenaga listrik, tekstil, pengolahan/pengerjaan logam/kayu, percetakan, dan las listrik) dengan kode KBLI 77399 merupakan bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar yang bermitra dengan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (“UMKM”) . Terhadap ketentuan tersebut, Legal Analyst & Content Easybiz , Syarief Toha menerangkan, dikarenakan PT PMA merupakan usaha besar, maka PT PMA dapat menjalankan bidang usaha tersebut di atas jika bermitra dengan koperasi dan UMKM Indonesia . Adapun pola kemitraan yang dapat dilakukan menurut Pasal 106 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“ PP 7/2021”) , di antaranya dapat dilaksanakan melalui pola: Perdagangan umum Dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama pemasaran dan penyediaan lokasi usaha dari UMKM oleh usaha besar yang dilakukan secara terbuka. [9] Bentuk kemitraan lain : Bagi hasil Dalam hal ini, UMKM berkedudukan sebagai pelaksana yang menjalankan usaha yang dibiayai atau dimiliki oleh usaha besar/PT PMA. [10] Besar pembagian keuntungan yang diterima atau kerugian yang ditanggung para pihak didasarkan pada perjanjian yang disepakati. [11] Kerja sama operasional Dalam hal ini UMKM dengan usaha besar menjalankan usaha yang sifatnya sementara sampai dengan pekerjaan selesai. [12] Usaha patungan ( joint venture ) Dalam hal ini UMKM lokal dapat melakukan kemitraan usaha dengan usaha besar asing, di mana para pihak berbagi secara proporsional dalam pemilikan saham, keuntungan, risiko, dan manajemen perusahaan. [13] Penyumberluaran ( outsourcing ) Dalam hal ini UMKM dapat bermitra dengan usaha besar untuk mengerjakan pekerjaan atau bagian pekerjaan di luar pekerjaan utama usaha besar. [14] Yang mana usaha besar berkedudukan sebagai pemilik pekerjaan dan UMKM berkedudukan sebagai penyedia dan pelaksana jasa pekerjaan. [15] Dalam ketentuan di atas, diatur 1 pola kemitraan yang hanya diperuntukkan bagi usaha besar asing, yakni usaha patungan ( joint venture ). Jika PT PMA memilih pola kemitraan berupa usaha patungan ( joint venture ) dengan UMKM, maka PT PMA dan UMKM yang bersangkutan akan menjalankan aktivitas ekonomi bersama dengan mendirikan badan usaha baru berbentuk badan hukum, dalam hal ini yaitu PT . Dengan kata lain, PT PMA yang telah didirikan tersebut berpatungan dengan UMKM lokal selaku penanam modal dalam negeri untuk mendirikan anak perusahaan baru berbentuk PT. Berapa komposisi modalnya? Menurut hemat kami, karena batasan kepemilikan modal asing tidak diatur, maka komposisi modal tersebut tergantung kesepakatan PT PMA dengan UMKM lokal yang bersangkutan. Selanjutnya, apakah PT PMA yang bersangkutan wajib memilih joint venture ? Toha menegaskan bahwa jika merujuk pada definisi usaha besar menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UU 20/2008”) , seharusnya pola kemitraan lainnya juga berlaku bagi usaha besar asing, mengingat yang termasuk sebagai usaha besar salah satunya ialah usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia . Sehingga, PT PMA selaku usaha besar asing dapat memilih pola kemitraan lainnya selain joint venture . Sebagai catatan, jika kode KBLI usaha rental alat berat yang Anda maksud berbeda dengan KBLI yang kami jelaskan di atas, kami sarankan Anda untuk memastikan lebih lanjut aturan terkait modalnya dalam Lampiran II dan III Perpres 49/2021 dan Lampiran PP 5/2021. Baca juga: Aturan Batasan Modal Asing untuk Perkebunan Kelapa Sawit . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Jika mengalami kesulitan untuk mendirikan dan mengurus perizinan PT Perorangan, PT Persekutuan Modal, CV, Firma atau badan usaha lainnya, silakan kontak Easybiz di [email protected] untuk solusi terbaik pendirian badan usaha dan perizinan berusaha yang legal dan tepat. Bingung menentukan keterkaitan pasal dan kewajiban bisnis Anda, serta keberlakuan peraturannya? Ketahui kewajiban dan sanksi hukum perusahaan Anda dalam satu platform integratif dengan Regulatory Compliance System dari Hukumonline, klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Syarief Toha, Legal Analyst & Content Easybiz, via WhatsApp pada 7 Oktober 2021, pukul 09.02 WIB. [1] Pasal 1 angka 13 Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal (“Peraturan BKPM 4/2021”) [2] Pasal 1 angka 11 Peraturan BKPM 4/2021 [3] Pasal 1 angka 10 Peraturan BKPM 4/2021 [4] Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”) dan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (“Perpres 10/2021”) [5] Pasal 5 ayat (3) UU 25/2007 [6] Pasal 7 Perpres 10/2021 [7] Pasal 109 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) [8] Pasal 6 ayat (1) huruf b Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (“Perpres 49/2021”) [9] Pasal 110 ayat (1) dan (2) PP 7/2021 [10] Pasal 113 ayat (1) huruf a PP 7/2021 [11] Pasal 113 ayat (3) PP 7/2021 [12] Pasal 114 huruf a PP 7/2021 [13] Pasal 115 ayat (1) huruf a dan ayat (2) [14] Ppasal 116 ayat (1) huruf a PP 7/2021 [15] Pasal 116 ayat (3) huruf a PP 7/2021 hukumonline penanaman modal pma pmdn pasar modal investasi asing perusahaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sehubungan dengan rencana perusahaan kami untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing sebagai Direktur, ada beberapa hal yang akan kami tanyakan: 1. Apakah ada batasan usia dari TKA yang akan kami gunakan tersebut? 2. Tolong sebutkan peraturan mengenai pembatasan usia TKA tersebut."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Batas usia tenaga kerja asing sebagai pekerja maupun sebagai direktur diatur secara internal dalam bentuk peraturan perusahaan dan anggaran dasar perseroan. Penjelasan selengkapnya silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Sahabat hukumonline, terima kasih atas pertanyaannya. Dalam hubungan perburuhan, tidak ada tenaga kerja tanpa ada pemberi kerja. Untuk itu, sebelum menerangkan tentang tenaga kerja, terlebih dahulu kami menerangkan arti tenaga kerja dan pemberi kerja tersebut. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Demikian yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . KLINIK TERKAIT Sejauh Mana Wewenang Direksi Asing dalam PT PMA? 03 Okt 2023 Bolehkah TKA Menjabat Sebagai Presiden Direktur? 16 Jun 2020 Wajibkah Pengusaha Mengurus RPTKA Jika TKA Tidak Bekerja di Indonesia? 30 Jul 2018 Larangan TKA Menduduki Jabatan Direktur Personalia 19 Jul 2018 Sedangkan pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ( Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan ). Filosofi ketenagakerjaan Indonesia adalah melindungi tenaga kerja berkewarganegaraan Indonesia yang bekerja di Indonesia. Sehingga, jika ada kebutuhan yang khusus dan sangat membutuhkan untuk memakai tenaga kerja asing, harus dibuat persyaratan yang ketat agar tenaga kerja Indonesia terhindar dari kompetisi yang tidak sehat. Salah satu persyaratan yang dibuat sebagai syarat untuk penggunaan tenaga kerja asing adalah wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Juga dibatasi, perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing, dll. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kembali kepada batasan usia, Bab VIII yang terdiri dari Pasal 42 sampai Pasal 49 UU Ketenagakerjaan, tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang batasan usia bagi tenaga kerja asing. Namun kembali kepada yang diuraikan di atas, ada tenaga kerja asing tentu karena ada pemberi kerja. Sehingga, jika si pemberi kerja mau memberikan pekerjaan kepada tenaga kerja asing, si pemberi kerja harus mencantumkan adanya batas umum atau usia dalam peraturan perusahaannya atau perjanjian kerjanya. Misalnya dalam persyaratan kerja, dicantumkan secara tegas batas usia tenaga kerja adalah berusia 23 sampai 60 tahun. Dengan demikian, ditafsirkan, batas usia bekerja di perusahaan tersebut adalah 60 tahun, berlaku kepada pekerja berkewarganegaraan Indonesia dan juga berlaku kepada tenaga kerja asing. Demikian juga jika si tenaga kerja asing akan ditempatkan sebagai salah satu direktur di perusahaan. Jika mengacu kepada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) , diterangkan bahwa direksi adalah organ perusahaan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan anggaran dasar. Kemudian mengenai tata cara pengangkatan, penggantian dan pemberhentian direksi diatur dalam anggaran dasar perseroan (lihat Pasal 15 ayat (1) huruf h UUPT ). “Angaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat sekurang-kurangnya: ..... f. nama jabatan dan jumlah anggota direksi dan dewan komisaris; g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan rapat umum pemegang saham; h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota direksi dan dewan komisaris ….” Berdasarkan ketentuan di atas, Pasal 15 huruf h UUPT tidak mengharuskan anggaran dasar mencantumkan tentang batas usia bagi tenaga kerja (termasuk asing) yang akan menjadi direktur. Dengan demikian, undang-undang memberi keleluasaan kepada si pemilik perseroan untuk menentukan sendiri batas usia bagi calon direkturnya, termasuk jika calon tersebut berasal dari tenaga kerja asing . Dengan demikian, baik UU Ketenagakerjaan maupun UUPT tidak membatasi usia bagi tenaga kerja yang akan dipakai sebagai tenaga kerja di perusahaan maupun akan dipakai sebagai direktur perseroan. Undang-undang memberikan kebebasan kepada internal perusahaan pemakai tenaga kerja asing untuk menentukan sendiri batas usia tenaga kerja asing yang akan dipekerjakan baik sebagai pekerja asing maupun sebagai direksi perseroan. Demikian jawaban dan pendapat kami. Semoga membantu. Terima kasih. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . usia"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kapan nafkah iddah dan nafkah mutah dibayarkan? Adakah tenggat waktunya? Apakah saya bisa menunda pembayaran sampai enam bulan baru dilakukan ikrar talak? Saya harus membayar dengan total Rp26 juta kepada mantan istri saya, tapi di satu sisi saya masih berstatus mahasiswa."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dalam artikel Belum Diatur Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Cerai Gugat dijelaskan mengenai pengertian nafkah iddah adalah nafkah yang wajib diberikan kepada istri yang ditalak. Nafkah ini berlangsung selama 3 hingga 12 bulan tergantung kondisi haid istri yang dicerai. Sedangkan nafkah mutah adalah pemberian dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda lainnya.\n\nKewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah iddah dan nafkah mutah kepada istri yang ditalaknya didasarkan pada putusan hakim. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c UU Perkawinan yang menerangkan ketentuan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.\nBatas Pembayaran Nafkah Iddah dan Mutah\n\nDalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat ketentuan mengenai batas waktu pembayaran nafkah iddah dan nafkah mutah.\n\nNamun, merujuk pada artikel Masa Pembayaran Beban Mutah Dan Nafkah Iddah Kaitannya dengan Hak Pengucapan Ikrar Talak menguraikan bahwa urusan ikrar talak dan beban kewajiban membayar mutah maupun nafkah iddah harus diperlakukan sebagai peristiwa hukum yang saling berkaitan juga. Keberadaan talak merupakan syarat mutlak atau conditio sine qua non yang harus ada terlebih dahulu sebelum keberadaan mutah maupun nafkah iddah. Seorang suami harus dinyatakan terlebih dahulu telah menceraikan istrinya sebelum ia dibebani/dihukum untuk membayar nafkah iddah atau mutah.\n\nApabila dikaitkan dengan permasalahan eksekusi, maka eksekusi nafkah iddah dan nafkah mutah setelah diucapkan ikrar talak akan menjadi lebih sukar. Hal ini terjadi apabila suami telah mengucapkan ikrar talak namun tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar nafkah iddah dan nafkah mutah.\n\nHal tersebutlah yang menyebabkan hakim pengadilan agama umumnya menyarankan agar pembayaran nafkah iddah dan nafkah mutah dilakukan terlebih dahulu kepada istri yang hendak ditalak. Bahkan dalam praktik, tidak jarang dijumpai hakim yang menunda pengucapan ikrar talak dan memberikan batas waktu pembayaran nafkah iddah dan nafkah mutah terlebih dahulu.\n\nBatasnya kemudian disesuaikan dengan ketentuan KHI terkait pengucapan ikrar talak, yakni enam bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 131 angka 4 KHI yang berbunyi:\n\nBila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang tetap utuh.\n\nOleh karena itu, menurut hemat kami, Anda dapat menunda pembayaran nafkah idah dan nafkah mutah hingga maksimal enam bulan. Hal ini disesuaikan dengan batas waktu ikrar talak yang umum dipraktikkan oleh hakim pengadilan agama di Indonesia. Kemudian, apabila ikrar talak tidak diucapkan setelah enam bulan, ikatan perkawinan Anda akan tetap utuh.\n\nDemikian jawaban kami terkait pembayaran nafkah iddah dan nafkah mutah sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.\n\nReferensi:\n\nMasa Pembayaran Beban Mutah Dan Nafkah Iddah Kaitannya dengan Hak Pengucapan Ikrar Talak: Kajian Putusan Perkara Cerai Talak yang Memuat Beban Mut’ah dan Nafkah Iddah, yang diakses pada 16 Desember 2019, pukul 10.45 WIB."
} |
{
"from": "human",
"value": "Dengan masa Kerja lima tahun lebih, saya mengundurkan diri dengan baik-baik dari perusahaan per 2 Januari 2009 dan telah memenuhi segala yang tercantum dalam UU 13/2003 Pasal 162 ayat 3. Saya juga telah mendapatkan surat penetapan PHK maupun surat referensi kerja dari perusahaan. Hingga Mei 2009, perusahaan belum membayar apapun terkait pengunduran diri saya sesuai UU 13/2003 Pasal 156 ayat 4 butir a,b dan d dan juga Uang Pisah sesuai SK Direksi. Saya direkrut di Malang untuk bertugas di luar pulau (dibuktikan dengan surat pemanggilan kerja), di mana saat pulang ke daerah asal saya menggunakan uang pribadi karena hingga kini belum diganti oleh perusahaan. Saya telah beberapa kali mengingatkan via telepon maupun email sejak pertengahan Januari hingga akhir Maret, namun tidak mendapatkan tanggapan. Hal ini membuat saya dan keluarga menderita karenanya, dimana saya memiliki tanggungan dua orang anak dan seorang istri. Adakah sanksi atas perlakukan perusahaan terhadap saya? Dapatkah perusahaan dituntut berdasarkan UU 13/2003 Pasal 169 ayat 1 butir c dan d, yang memiliki konsekuensi Pasal 169 ayat 2?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bagi Anda yang melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri maka, Anda akan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU yang meliputi: a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. Biaya pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Di dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur batas waktu pembayaran Uang Penggantian Hak. Menurut hemat kami, hal tersebut seharusnya merupakan sudah menjadi kesepakatan antara Anda dan perusahaan. Bila Anda sudah melakukan usaha untuk menyelesaikan masalah ini dan tidak ada tanggapan dari perusahaan, Anda dapat saja mengajukan persoalan ini kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja setempat untuk diperantarai atau memilih penyelesaian melalui konsiliator atau arbiter yang terdaftar. Bila tidak dicapai kesepakatan penyelesaian, salah satu pihak (Anda atau perusahaan) dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam pasal 162 ayat (1) c dan d UU Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih dan tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada buruh. Dari uraian yang Anda sampaikan, kami simpulkan bahwa Anda telah mengundurkan diri dari perusahaan tersebut dengan baik sehingga, menurut pemahaman kami, Anda telah menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja Anda dengan Perusahaan dan Anda tidak dapat menuntut permasalahan keterlambatan pembayaran Uang Penggantian Hak berdasarkan pasal tersebut. Kami menyarankan agar Anda menghubungi konsultan hukum anda untuk membahas hal ini lebih lanjut. Demikian, semoga bermanfaat. Baca juga: Uang Jasa atas pengunduran diri . Peraturan perundang-undangan terkait: UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika akun medsos disita penyidik, apakah ada batas waktu penyitaan sama halnya dengan barang sitaan yang lainnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Hukumnya Mengunggah Foto Kue Berbentuk Organ Intim ke Medsos 31 Jan 2024 Posting Foto Editan Mesra Suami Orang di Medsos, Bisa Dijerat UU ITE 2024? 17 Jan 2024 Netizen Anonim Sebar Fitnah di Medsos, Ini Sanksinya dalam UU ITE 2024 09 Jan 2024 Pemerasan dan Pengancaman Berkedok Open BO dan VCS, Ini Jerat Hukumnya 12 Des 2023 Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami kemukakan terlebih dahulu pengaturan umum tentang penyitaan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Penyitaan dalam KUHAP Penyitaan sendiri merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang dikenal dalam hukum acara pidana. Definisi penyitaan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP yang berbunyi: Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Sehubungan dengan definisi tersebut, Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana Indonesia (hal. 147), menegaskan bahwa poin penting dari definisi penyitaan dalam pasal di atas ialah penyitaan dilakukan hanya terbatas untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan . Berkenaan dengan apa saja yang dapat dilakukan penyitaan, telah ditentukan secara expressive verbis dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Sehubungan dengan pertanyaan Anda mengenai batas waktu penyitaan, pada dasarnya KUHAP tidak mengatur secara terperinci batas waktu penyitaan . Adapun sampai kapan upaya paksa penyitaan dapat dilakukan, Anda dapat membacanya pada Pasal 46 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila: kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Berpijak pada ketentuan a quo , maka berakhirnya upaya paksa penyitaan tidak ditentukan oleh jangka waktu tertentu, melainkan ditentukan oleh 4 keadaan yang bersifat alternatif , yakni: kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau ditutup demi hukum, kecuali jika benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana; atau perkara sudah diputus, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda itu masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Penyitaan Akun Media Sosial Pada prinsipnya semua bentuk upaya paksa dalam acara pidana harus dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. Hal ini merupakan perwujudan dari dianutnya asas legalitas dalam hukum acara pidana yang secara normatif tertuang dalam Pasal 3 KUHAP : Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini . Adanya kata “ini” pada akhir rumusan pasal a quo merupakan penegasan bahwa segala tindakan dan prosedur dalam acara pidana harus sesuai dengan apa yang telah diatur di dalam KUHAP. Kendati demikian, KUHAP memberikan peluang adanya pengecualian bilamana dalam undang-undang yang bersifat lex specialis menentukan hukum acara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan KUHAP. Pengecualian ini dapat dilihat dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi . Berkaitan dengan penyitaan akun media sosial, Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) menyebutkan: Penggeledahan dan/ atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana . Sehubungan dengan ini, perlu dipahami yang dimaksudkan dengan “sistem elektronik” menurut Pasal 1 angka 5 UU 19/2016 berbunyi: Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Sementara itu, disarikan dari Tanggung Jawab Platform Media Sosial Atas Konten ‘Berbahaya’ , platform media sosial disebut sebagai sistem elektronik yang disediakan oleh penyelenggara sistem elektronik, sedangkan kontennya disebut informasi elektronik. Secara implisit, hal ini juga dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: Penyelenggara Sistem Elektronik yang diatur atau diawasi oleh Kementerian atau Lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan Penyelenggara Sistem Elektronik yang memiliki portal, situs, atau aplikasi dalam jaringan melalui internet yang dipergunakan untuk : menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan penawaran dan/atau perdagangan barang dan/ atau jasa; menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan layanan transaksi keuangan; pengiriman materi atau muatan digital berbayar melalui jaringan data baik dengan cara unduh melalui portal atau situs, pengiriman lewat surat elektronik, atau melalui aplikasi lain ke perangkat pengguna; menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan layanan komunikasi meliputi namun tidak terbatas pada pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan percakapan dalam jaringan dalam bentuk platform digital, layanan jejaring dan media sosial ; layanan mesin pencari, layanan penyediaan Informasi Elektronik yang berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, dan permainan atau kombinasi dari sebagian dan/ atau seluruhnya; dan/ atau pemrosesan Data Pribadi untuk kegiatan operasional melayani masyarakat yang terkait dengan aktivitas Transaksi Elektronik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akun yang dibuat melalui platform media sosial merupakan bagian dari sistem elektronik yang dapat menjadi objek penyitaan dalam Pasal 43 ayat (3) UU 19/2016 . Kendati demikian, UU ITE tidak mengatur lebih lanjut secara khusus dan terperinci mengenai prosedur penyitaan terhadap sistem elektronik, melainkan penyitaan itu dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP. Oleh karena itu, mengingat KUHAP tidak mengatur secara terperinci batas waktu penyitaan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi penyitaan terhadap akun media sosial. Sampai kapan upaya paksa penyitaan terhadap akun media sosial berakhir? Ini bergantung pada kondisi alternatif dalam Pasal 46 KUHAP sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik REFERENSI:\n1. Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia . Jakarta: Sinar Grafika, 2014 . penyitaan acara pidana kuhap pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah batasan waktu atau kedaluwarsa jika RUU tidak kunjung disahkan menjadi UU dari tahun ke tahun? Berapa lama proses RUU bisa disahkan menjadi UU?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Tahapan Pembentukan UU\n\nPertama-tama kami uraikan secara singkat terlebih dahulu bagaimana proses pembentukan undang-undang (“UU”). Proses pembentukan suatu UU dapat dilihat dari definisi pembentukan peraturan perundang-undangan yakni terdiri dari lima tahap yaitu tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.[1]\n\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPutusan MK Tak Dilaksanakan, Harus Bagaimana? 02 Des 2021Hak Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Kepala Daerah18 Nov 2021Anggota DPR Walkout, Apakah Pengambilan Keputusan Tetap Sah? 24 Mei 2021Yang Harus Diperhatikan Saat Penyusunan Prolegnas10 Des 2020\n\nBaca juga: Proses Pembentukan Undang-Undang\n\nSepanjang pemahaman kami, jangka waktu dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan hanyalah pada tahap perencanaan dan tahap pengesahan.\nDalam tahap perencanaan, DPR dan Pemerintah menyusun Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) jangka menengah (5 tahun) dan Prolegnas prioritas tahunan (1 tahun).[2] Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.[3]\n\nArtinya, sebagai dokumen perencanaan, Prolegnas seharusnya berisi daftar Rancangan Undang-Undang (“RUU”) yang secara terukur disusun oleh DPR dan pemerintah untuk direncanakan selesai menjadi UU dalam jangka waktu 1-5 tahun, tergantung masuk dalam prolegnas jangka menengah atau prolegnas prioritas tahunan.\nTahapan lain yang secara eksplisit disebutkan jangka waktunya adalah tahapan pengesahan yakni 7 hari untuk jangka waktu penyampaian RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden untuk disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU dan 30 hari untuk jangka waktu Presiden mengesahkan dengan membubuhkan tanda tangan pada RUU terhitung sejak disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.[4]\n\nSelain dari pada kedua tahapan (tahap perencanaan dan tahap pengesahan), tahapan lain dalam pembentukan UU tidak ditentukan secara eksplisit jangka waktunya oleh UU 12/2011 dan perubahannya.\nAdakah Batas Waktu RUU Disahkan jadi UU?\n\nKemudian menjawab pertanyaan Anda, adakah batasan waktu atau kedaluwarsa jika RUU tidak kunjung disahkan menjadi UU dari tahun ke tahun? Hal ini telah diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 69 ayat (3) UU 12/2011 yakni:\n\nDalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.\n\nAdapun, perlu Anda ketahui bahwa persetujuan bersama ini merupakan bagian dari tahapan pembahasan.\n\nNamun dalam praktiknya, seringkali proses pembentukan RUU tidak mendapat persetujuan bersama, namun juga tertunda di proses penyusunan dan pembahasan yang tidak dibatasi jangka waktunya oleh UU.\n\nTerkait ini, UU 15/2019 memperkenalkan mekanisme carry over yakni jikalau proses pembahasan RUU telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya.[5]\n\nArtinya, bisa jadi RUU tersebut tidak kunjung selesai dibahas dan kembali menjadi RUU di Prolegnas tahun mendatang, tanpa adanya kepastian dan batasan waktu.\nSehingga, jika mengacu pada pemahaman Prolegnas sebagai dokumen perencanaan yang disusun oleh pemerintah dan DPR, maka seharusnya RUU yang ada dalam Prolegnas dapat diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 5 tahun.\n\nSayangnya, dalam kenyataannya, jarang sekali DPR dan pemerintah menyelesaikan target yang dibuat sendiri tersebut. Sebut saja RUU KUHP yang hingga artikel ini ditulis belum juga disahkan jadi UU. Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menganggap perdebatan RUU KUHP yang terjadi puluhan tahun itu berlebihan. Demikian yang dikutip dari Perdebatan Puluhan Tahun Soal RUU KUHP, Mahfud MD: Ini Berlebihan.\n\nLain halnya dengan UU Cipta Kerja yang terhitung cepat untuk disahkan pada tahun 2020 lalu. Namun kemudian, disarikan dari MK: Jika Tak Diperbaiki selama 2 Tahun, UU Cipta Kerja Inkonstitusional, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan bahwa UU Cipta Kerja perlu diperbaiki selama kurun waktu dua tahun. Jika tidak diperbaiki, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional.\n\nDengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa cepat atau lambatnya suatu RUU menjadi UU bukan semata dilihat dari prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, namun juga aspek nonhukum seperti proses politik di parlemen, atau political will pemerintah untuk menyelesaikan pembentukan UU.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n3. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_15_2019)\nREFERENSI:\n1. MK: Jika Tak Diperbaiki selama 2 Tahun, UU Cipta Kerja Inkonstitusional, diakses pada 7 Juni 2022, pukul 14.20 WIB\n2. Perdebatan Puluhan Tahun Soal RUU KUHP, Mahfud MD: Ini Berlebihan, diakses pada 7 Juni 2022, pukul 14.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”)[2] Pasal 20 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[3] Pasal 1 angka 9 UU 12/2011[4] Pasal 72 dan 73 UU 12/2011[5] Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya memiliki pertanyaan seputar gratifikasi, yaitu:\n\nApa itu gratifikasi?\nAdakah batasan gratifikasi? Bagaimana kriteria gratifikasi yang dilarang dan tidak boleh diterima?\nApa pebedaan suap dan gratifikasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu gratifikasi, kami akan merujuk pada dasar hukum UU Tipikor sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.\n\nMenurut Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.\n\nSelain itu, menurut KBBI, gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.\n\nDari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gratifikasi merupakan pemberian secara luas di luar gaji, baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.\nAdakah Batasan Gratifikasi?\n\nMenurut literatur berjudul Memahami Gratifikasi yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”), pengertian gratifikasi dalam Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan tersebut dihubungkan dengan rumusan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 saja (hal. 5). Sehingga, untuk mengetahui kriteria gratifikasi yang bertentangan dengan hukum (merupakan kejahatan korupsi), perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 sebagai berikut:\n\nSetiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:\n\nYang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.\n\nAdapun ketentuan pidana gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan pidana denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.[1]\n\nSebagai informasi, ketentuan pidana gratifikasi tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, yaitu wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.[2]\n\nMelihat pada uraian Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 di atas, terlihat bahwa tidak diatur mengenai batasan gratifikasi yang boleh diterima. Pasal tersebut hanya mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.\n\nLebih lanjut, dalam Frequently Asked Questions Gratifikasi Online juga ditegaskan bahwa kriteria gratifikasi yang dilarang yaitu:\n\ngratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan;penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut/tidak wajar.\n\nUntuk memudahkan pemahaman Anda, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima:\n\nterkait dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah;terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah;terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar penerimaan yang sah;terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari instansi;dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya;sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain;sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa;merupakan hadiah atau souvenir bagi pegawai/pengawas/tamu selama kunjungan dinas;merupakan fasilitas hiburan, fasilitas wisata, voucher oleh pejabat/pegawai dalam kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan pemberi gratifikasi yang tidak relevan dengan penugasan yang diterima;dalam rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan /perlakuan pemangku kewenangan;dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugas pejabat/pegawai; dan lain sebagainya.\n\nOleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima penyelenggara negara atau pegawai negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya penyelenggara negara atau pegawai negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut.\nApa Perbedaan Suap dan Gratifikasi?\n\nMenjawab pertanyaan Anda terkait apa perbedaan suap dan gratifikasi? Disarikan dari artikel Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi, suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas dan bukan janji.\n\nKemudian, dalam suap ada unsur intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam pengambilan kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.\n\nSelain itu, Prof. Eddy Omar Syarif, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menerangkan perbedaan suap dan gratifikasi terletak pada ada atau tidaknya meeting of minds pada saat penerimaan. Pada tindak pidana suap, terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima. Meeting of minds sendiri adalah istilah lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional.[3]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.\n\nReferensi:\n\nKPK. Memahami Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi RI, 2021;KPK. Pengantar Gratifikasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015;Frequently Asked Questions Gratifikasi Online, diakses pada hari Jumat, 14 Juni 2024, Pukul 16.33 WIB;KBBI, gratifikasi, diakses pada hari Jumat, 14 Juni 2024, Pukul 17.00 WIB.\n\n[1] Pasal 12B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”)[2] Pasal 12C ayat (1), (2), dan (3) UU 20/2001[3] KPK. Pengantar Gratifikasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015, hal. 16"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mempunyai tanah yang luasnya kurang dari 5000 m2. Saya ingin melakukan pemecahan tanah menjadi 25 bidang yang nantinya akan dijual. Tetapi dari pihak BPN menginformasikan bahwa pemecahan itu maksimal 5 bidang saja. Benarkah demikian? Mohon solusinya."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITMengenal Apa Itu PPJB dalam Proses Jual Beli Tanah14 Sep 2023Tak Hanya Jual Beli Tanah, Ini Layanan yang Mensyaratkan Kepesertaan BPJS Kesehatan 23 Feb 2022Pembangunan Properti Tak Sesuai Jadwal, DP Boleh Diminta Kembali?22 Feb 2022AJB Hilang? Lakukan Langkah Ini31 Jan 2022\n\nSecara singkat, jawabannya adalah tidak ada ketentuan yang membatasi secara tegas maksimal pemecahan bidang tanah. Namun demikian, Pasal 48 ayat (1) PP Pendaftaran Tanah menyebutkan pada intinya:\n\nAtas permintaan pemegang hak yang bersangkutan satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.\nSelanjutnya dalam penjelasan disebutkan pemecahan bidang tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dan tidak boleh mengakibatkan tidak terlaksananya peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya ketentuan landreform.[1]\n\nKemudian, untuk tiap bidang tanah yang sudah dipecah itu dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertifikat asalnya.[2]\nMenyambung pertanyaan Anda, apabila kepemilikan tanah Anda adalah seluas 5.000 m2 dan ingin dipecah menjadi beberapa bidang yang lebih kecil yaitu menjadi 25 bidang, maka kepemilikan akan menjadi lebih dari 5 bidang, hal ini yang dilarang menurut Kepmen Agraria/BPN 6/1998.\n\nMerujuk Pasal 2 ayat (1) Kepmen Agraria/BPN 6/1998 yang selengkapnya berbunyi:\n\nPermohonan pendaftaran Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat dengan surat sesuai bentuk sebagaimana contoh dalam Lampiran I Keputusan ini dengan disertai:\n\n……\n\npernyataan dari pemohon bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohon pendaftarannya itu yang bersangkutan akan mempunyai Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal tidak lebih dari 5 bidang tanah seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5000 m2, dengan menggunakan contoh sebagaimana Lampiran II Keputusan ini.\n\nDi lain sisi, jika Anda bermaksud memecah bidang tanah melebihi 5 bidang untuk dijual kembali, kami menyarankan, sebaiknya Anda membuat surat pernyataan dengan menyebutkan alasan pemecahan bidang tanah, yaitu akan dialihkan kepada pihak lain.\n\nDengan adanya surat pernyataan ini, diharap ke depannya tidak ada masalah mau berapa jumlah bidang tanah yang dipecah, karena alasan sudah terakomodasi dari surat pernyataan ini.\n\nBaca juga: Prosedur dan Syarat Pemecahan Tanah Induk\nPerubahan Hak Milik Menjadi HGB\n\nAlternatif lainnya adalah jika tanah hak milik akan dipecah menjadi kaveling dengan jumlah lebih dari 5 bidang tanah, kami menyarankan, Anda bisa melakukan perubahan jenis hak atas tanah misalnya menjadi Hak Guna Bangunan (HGB).\n\nPerubahan hak milik menjadi HGB atau hak pakai dengan jangka waktunya masing-masing 30 tahun dan 25 tahun, di mana diajukan ke Kepala Kantor Pertanahan setempat disertai dengan:[3]\n\nSertifikat Hak Milik atau HGB yang dimohon perubahan haknya, atau bukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal Hak Milik yang belum terdaftar;Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat lelang apabila hak yang bersangkutan dimenangkan oleh badan hukum dalam suatu pelelangan umum;Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah tersebut dibebani Hak Tanggungan;Bukti identitas pemohon.\n\nSebagai tambahan informasi, untuk perubahan hak milik menjadi HGB atau hak pakai, si pemohon tidak dikenakan kewajiban membayar uang pemasukan kepada negara.[4]\nBaca juga: Mengapa Tanah Hak Milik yang Dibeli PT Statusnya Menjadi HGB?\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11693/peraturan-pemerintah-nomor-24-tahun-1997)\n2. [Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25150/keputusan-menteri-negara-agrariakepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-16-tahun-1997)\n3. [Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25218/keputusan-menteri-negara-agrariakepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-6-tahun-1998/document)\n[1] Penjelasan Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”)[2] Pasal 48 ayat (2) PP Pendaftaran Tanah[3] Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai (“Kepmen Agraria/BPN 16/1997”)[4] Pasal 1 ayat (2) Kepmen Agraria/BPN 16/1997"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah mengurus surat keterangan belum menikah dikenakan biaya administrasi? Saya 22 tahun, belum menikah, saya mengurus surat keterangan di KUA untuk persyaratan melaksanakan pernikahan di luar negeri. Saya dikenakan tarif Rp 100 ribu ketika mengambil dokumen saya, dan petugas KUA menyatakan bahwa saya tidak mendapat kwitansi atas biaya administrasi tersebut. Ketika saya tetap ngotot minta kwitansi, petugas menyatakan saya diharuskan mentransfer uang Rp 600 ribu ke bank kepada Kementerian Agama. Namun saya rasa ini tidak ada kaitannya dengan keperluan dokumen saya, karena saya hanya meminta surat keterangan belum menikah. Apakah tindakan yang dilakukan petugas termasuk dalam tindakan pungutan liar? Dan pada saat saya konfirmasi kepada Kepala KUA, beliau membenarkan, dan dengan santai menjawab \"biaya kanggo kangelan ngetik mbak\" kata Kepala KUA tersebut."
} | {
"from": "gpt",
"value": "NAYARA Advocacy merupakan lawfirm yang mengkhususkan keahliannya dalam bidang hukum perorangan dan hukum keluarga. Untuk berdiskusi lebih lanjut, silakan hubungi +6221 - 22837970 atau email ke: [email protected] Website : http://www.nayaraadvocacycom KLINIK TERKAIT Pembuatan Daftar Harta Pribadi Sebelum Menikah 22 Sep 2017 Akta Kelahiran untuk Anak Hasil Kawin Siri 01 Sep 2016 Daluarsa Gugatan Hak Waris Anak Luar Kawin 26 Feb 2014 Perbedaan Perkawinan Beda Agama Secara ‘Siri’ dan di Luar Negeri 18 Nov 2013 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Intisari: Biaya adminitrasi yang dikenakan oleh KUA adalah hanya biaya peristiwa nikah atau rujuk gratis atau Rp. 600 ribu sesuai dengan kondisinya (proses nikah di KUA atau di luar KUA). Lain daripada itu, tidak ada biaya administrasi lain yang dikenakan kepada calon mempelai. Oleh karena itu biaya tersebut dapat dikatakan sebagai biaya tidak resmi atau pungutan liar. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Kami akan mencoba menjawab permasalahan Anda dari perspektif hukum yang berlaku sebagai berikut: Fakta: Anda bermaksud meminta surat keterangan belum menikah dari Kantor Urusan Agama (“ KUA ”) dalam rangka rencana pernikahan Anda di luar negeri. Oleh petugas KUA, Anda dikenakan biaya sebesar Rp. 100 ribu ketika akan mengambil surat keterangan tersebut namun tidak akan diberikan kuitansi apabila sudah membayar. Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama (“ PP Tarif PNBP ”) hanya mengatur dua jenis biaya perkawinan pada KUA, yaitu: a. Jenis biaya pertama yaitu GRATIS atau NOL rupiah apabila proses perkawinan dilakukan di KUA dan pada hari dan jam kerja; dan b. Jenis biaya kedua yaitu Rp 600 ribu apabila proses perkawinan dilakukan di luar KUA dan/atau dilakukan di KUA namun di luar hari dan jam kerja. Selain daripada itu, tidak ada jenis biaya administrasi lain yang harus dikeluarkan calon mempelai. Begitu pula terkait dengan pembuatan surat keterangan belum menikah. Dalam PP Tarif PNBP tidak diatur ada biaya pembuatan surat keterangan belum menikah. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa biaya sebesar Rp. 100 ribu yang dibebankan dengan alasan sebagai biaya pembuatan surat keterangan belum menikah tersebut merupakan biaya yang tidak resmi. Demikian kami sampaikan, semoga dapat membantu Anda. Terima kasih. DASAR HUKUM: Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama . hukumonline kua pernikahan hukum klinik perkawinan klinik hukumonline keluarga dan perkawinan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah jika melapor ke polisi harus ada uang pelaporan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi?13 Mei 2024Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya21 Des 2022Polisi Menyamar Jadi Pembeli Minuman Beralkohol Ilegal, Bolehkah?02 Des 2021Prosedur Bila Polisi Tidak Menindaklanjuti Laporan Perkara09 Mar 2020\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda terkait biaya lapor polisi, kami jelaskan sedikit arti laporan suatu peristiwa pidana, yakni pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP.\n\nLaporan dilakukan secara lisan maupun tertulis, setelah itu pelapor berhak mendapatkan surat tanda penerimaan laporan dari penyelidik atau penyidik. Hal ini disebut dalam Pasal 108 ayat (1) dan ayat (6) KUHAP:\n\nSetiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan;…;…;…;…;Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.\nSelanjutnya tentang bagaimana cara melapor ke polisi dapat Anda simak dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.\n\nLaporan itu disampaikan kepada pihak kepolisian selaku penyelidik, yang karena kewajibannya mempunya wewenang untuk menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.[1]\nMasih terkait cara melapor ke polisi, perlu Anda ketahui pula Pasal 103 KUHAP yang berbunyi:\n\nLaporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu;Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik;Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.\nAdakah Biaya Lapor Polisi?\n\nLalu adakah biaya lapor polisi yang harus dikeluarkan oleh pelapor agar laporan bisa diproses polisi? Sepanjang penelusuran kami, tidak ada dasar hukum yang mengatur adanya biaya lapor polisi. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban bagi masyarakat untuk membayar sejumlah biaya tertentu dalam mengajukan laporan polisi.\n\nHal ini karena sudah menjadi kewajiban polisi dalam menanganinya dan polisi yang bersangkutan telah diberikan gaji sesuai PP 29/2001 dan perubahannya. Di samping itu, sebagaimana pula diulas dalam artikel cara melapor ke polisi, melapor adanya dugaan tindak kejahatan itu tidak dipungut biaya. Kalaupun ada yang meminta bayaran itu adalah oknum yang sepatutnya dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (“Propam”) Polri.\n\nSebagai tambahan informasi, dikutip dari laman Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, berikut tips singkat cara melapor ke polisi:\n\nLaporkan sesegera mungkin bila telah terjadi suatu tindak pidana bila terjadi pada diri sendiri/orang lain.Ajak orang lain yang mengetahui kejadian tersebut.Amankan tempat kejadian perkara (TKP)/barang bukti sebisa mungkin bilamana ada.Jelaskan secara jelas tentang kronologis kejadian.Usahakan membawa identitas diri (KTP/SIM/Kartu Keluarga/Paspor).Membawa identitas kendaraan apabila menjadi korban pencurian kendaraan bermotor.\n\nPada laman yang sama, ditegaskan kembali bahwa tidak ada biaya lapor polisi sebagaimana Anda tanyakan.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang biaya lapor polisi, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/1327/node/pp-no-29-tahun-2001-peraturan-gaji-anggota-kepolisian-negara-republik-indonesia)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5cac60fdd040d)\nREFERENSI:\n1. Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, diakses pada 22 Februari 2022, pukul 22.00 WIB.\n\n[1] Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1 KUHAP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapa biaya untuk urus surat cerai? Mohon informasinya dan terima kasih atas bantuannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perceraian Bagi Pemeluk Agama Islam\nBagi pemeluk agama Islam, perceraian dianggap telah terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.[1]\n\nPanitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermeterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.[2]\nApabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.[3]\n\nApabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan putusan disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.[4]\nPanitera wajib memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.[5]\n\nSesudah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, perceraian itu harus dicatatkan di catatan sipil. Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi, dan pegawai pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.[6]\n\nPencatatan ini dilakukan dalam register pencatatan sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.[7] Kemudian, setelah melalui tahapan demi tahapan pencatatan sipil, kemudian diterbitkanlah akta perceraian sebagai dokumen kependudukan.[8]\n\nJadi, setelah panitera pengadilan agama atau pengadilan tinggi agama itu mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada pegawai pencatat nikah/cerai, pegawai pencatat nikah/cerai tersebut kemudian mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu dan menerbitkan akta cerai. Lalu, akta cerai itu diberikan langsung kepada masing-masing suami dan istri yang bercerai melalui panitera.[9]\nPerceraian Bagi Pemeluk Agama Selain Islam\n\nSedangkan, bagi pemeluk agama selain Islam, perceraian beserta segala akibat-akibatnya baru dianggap terjadi terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat. Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi, dan pegawai pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.[10]\n\nSetelah putusan perceraian yang berkekuatan hukum tetap telah dikeluarkan, perceraian tersebut masih harus dilaporkan oleh yang bersangkutan paling lambat 60 hari sejak putusan pengadilan tentang perceraian yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada instansi pelaksana.[11] Berdasarkan laporan tersebut, pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta perceraian dan menerbitkan kutipan akta perceraian.[12]\nKutipan Akta Perceraian\n\nJadi, surat cerai yang anda maksud disebut juga kutipan akta perceraian. Akta cerai bagi pemeluk agama Islam diberikan oleh panitera Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama kepada para pihak atau diberikan langsung kepada para pihak (masing-masing suami dan istri yang bercerai). Perceraian dianggap telah terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap.\n\nSedangkan kutipan akta perceraian dalam perceraian selain pemeluk agama islam ini diterbitkan oleh pejabat pencatatan sipil. Perceraian dianggap telah terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.\nPelayanan Pencatatan Perceraian\n\nPersyaratan pencatatan perceraian menurut informasi yang kami peroleh dari laman Disdukcapil Kabupaten Sekadau adalah sebagai berikut.\n\nFotokopi salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;Kutipan akta perkawinan asli;KTP-el asli; danKK asli.\n\nMasih dari sumber yang sama, mekanisme pencatatan perceraian adalah sebagai berikut.\n\nMengambil nomor antrian;Mengisi dan menandatangani formulir permohonan akta perceraian;Menyerahkan berkas persyaratan;Menerima bukti penyerahan atau pengambilan berkas dalam bentuk slip.\n\nBerapa lama proses pembuatan akta cerai? Bersumber dari laman yang sama, disebutkan jangka waktu penyelesaian adalah 5 hari.\n\nSelanjutnya menjawab pertanyaan Anda, berapa biaya untuk urus surat cerai? Pelayanan penerbitan akta perceraian atau kutipan akta perceraian merupakan salah satu kutipan akta pencatatan sipil yang termasuk dokumen kependudukan ini tidak dipungut biaya.[13] Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 79A UU 24/2013 yang berbunyi pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya.\nBaca juga: Biaya Perceraian yang Perlu Dikeluarkan dalam Proses Cerai\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17803/undangundang-nomor-7-tahun-1989/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_1989)\n2. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25602?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2006)\n3. [Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt546457ffe3747?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_50_2009)\n4. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26195/undangundang-nomor-23-tahun-2006/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2006)\n5. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8dd4cb6d80/node/758/uu-no-24-tahun-2013-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2006-tentang-administrasikependudukan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_24_2013)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/1700/node/18/pp-no-9-tahun-1975-pelaksanaan-undang-undang-nomor-1-tahun-1974-tentang-perkawinan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_9_1975)\n7. [Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5bd96b5e9e94d/peraturan-presiden-nomor-96-tahun-2018?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_96_2018)\nREFERENSI:\n1. Disdukcapil Kabupaten Sekadau, yang diakses pada 28 Oktober 2022, pukul 14.28 WIB.\n\n[1] Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”)[2] Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 7/1989”) [3] Pasal 84 ayat (2) UU 7/1989[4] Pasal 84 ayat (3) UU 7/1989[5] Pasal 84 ayat (4) UU 7/1989[6] Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) jo. Pasal 42 ayat (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”)[7] Pasal 1 angka 2 Perpres 96/2018[8] Pasal 63 Perpres 96/2018[9] Pasal 84 ayat (4) UU 7/1989[10] Pasal 34 ayat (2) jo. Pasal 35 ayat (1) PP 9/1975[11] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 23/2006”)[12] Pasal 40 ayat (2) UU 23/2006[13] Pasal 68 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan jo. Pasal 59 ayat (1) huruf e UU 23/2006"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pengurusan kartu kuning untuk mencari kerja dipungut biaya? Bagaimana aturannya biar saya tidak dikelabui petugas? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Pencari Kerja yang akan bekerja di dalam atau di luar negeri harus mendaftar di Dinas Kabupaten/Kota atau di kecamatan sesuai domisili untuk mendapatkan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) atau yang sering disebut dengan kartu kuning. Akan tetapi, Pencari Kerja juga dapat memperoleh kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) di luar kabupaten/kota domisilinya. Untuk mendapatkan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I), Pencari Kerja mengajukan secara manual atau melalui online system dengan melampirkan: copy KTP yang masih berlaku; pas foto terbaru berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar; copy ijazah pendidikan terakhir; copy sertifikat Kompetensi Kerja bagi yang memiliki; dan/atau copy surat keterangan pengalaman kerja bagi yang memiliki Pengurusan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) atau kartu kuning tidak dipungut biaya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kartu Tanda Bukti Pendaftaran Pencari Kerja Kartu kuning untuk mencari kerja yang Anda maksudkan adalah kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I), sebagaimana disebutkan dalam artikel Pembuatan Kartu Kuning Tidak Dikenakan Biaya . Mengenai kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) dapat dilihat ketentuannya dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Penempatan Tenaga Kerja (“Permenaker 39/2016”). Pencari Kerja yang akan bekerja di dalam atau di luar negeri harus mendaftar di Dinas Kabupaten/Kota atau di kecamatan sesuai domisili untuk mendapatkan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I). [1] Akan tetapi, Pencari Kerja juga dapat memperoleh kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) di luar kabupaten/kota domisilinya. Kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) ini berlaku secara nasional dan dapat diperpanjang. [2] Kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) berlaku selama 2 (dua) tahun. [3] Untuk mendapatkan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I), Pencari Kerja mengajukan secara manual atau melalui online system dengan melampirkan: [4] copy KTP yang masih berlaku; pas foto terbaru berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar; copy ijazah pendidikan terakhir; copy sertifikat Kompetensi Kerja bagi yang memiliki; dan/atau copy surat keterangan pengalaman kerja bagi yang memiliki Berikut aturan pelayanan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I): Pelayanan kepada Pencari Kerja untuk mendapatkan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I), dilakukan oleh fungsional Pengantar Kerja atau Petugas Antarkerja di Dinas Kabupaten/Kota atau di kecamatan. [5] Pengantar Kerja atau Petugas Antarkerja harus melakukan pengisian data Pencari Kerja (AK/II) melalui wawancara langsung untuk mengetahui bakat, minat, dan kemampuan Pencari Kerja. [6] Pengesahan atas kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja ditandatangani oleh fungsional Pengantar Kerja. [7] Dalam hal belum mendapatkan pekerjaan, Pencari Kerja harus melapor kepada Dinas Kabupaten/Kota setiap 6 (enam) bulan sekali terhitung sejak tanggal pendaftaran. [8] Dalam hal telah mendapatkan pekerjaan, Pencari Kerja harus melapor kepada Dinas Kabupaten/Kota paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak tanggal penempatan. [9] Adakah Pungutan Biaya dalam Pengurusan “Kartu Kuning” Untuk Pencari Kerja? Sepanjang penelusuran kami, untuk mendapatkan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) tidak ada aturan yang mengatur mengenai biayanya. Begitu pula jika kita merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (“PP 65/2012”). Pada peraturan serta lampiran peraturan tersebut, biaya pembuatan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) tidak termasuk dalam jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi meliputi penerimaan yang berasal dari: [10] Jasa Pelatihan Kerja; Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Jasa Pengujian dan Pemeriksaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja; Jasa Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja; dan Jasa Pendidikan dan Pelatihan. Sebagaimana informasi yang kami dapatkan dari laman Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta , untuk pengurusan kartu pencari kerja tidak dipungut biaya/gratis (Rp. 0 ). Hal yang sama juga disampaikan dalam laman LAPOR Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat , menurut Abu Bakar Camat Kecamatan Duren Sawit Wilayah Jakarta Timur, pengurusan Kartu Kuning di Kecamatan Duren Sawit tidak dipungut biaya (gratis) dan Petugas Pelayanan Kartu Kuning tidak dibenarkan meminta atau menerima uang dari Pencari Kerja yang mengurus Kartu Kuning, karena Pelayanan kepada Pencari Kerja tentang pengurusan Kartu Kuning adalah Tugas Pokok Seksi Disnakertrans di Kecamatan Duren Sawit. Jadi menjawab pertanyaan Anda, pengurusan kartu tanda bukti pendaftaran Pencari Kerja (AK/I) atau kartu kuning tidak dipungut biaya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Penempatan Tenaga Kerja Referensi : Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta , diakses pada Rabur, 28 Februari, pukul 11.15 WIB; LAPOR Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat , diakses pada Rabu, 28 Februari 2018, pukul 11.44 WIB. [1] Pasal 38 ayat (1) Permenaker 39/2016 [2] Pasal 40 Permenaker 39/2016 [3] Pasal 39 ayat (3) Permenaker 39/2016 [4] Pasal 38 ayat (2) Permenaker 39/2016 [5] Pasal 38 ayat (3) Permenaker 39/2016 [6] Pasal 38 ayat (4) Permenaker 39/2016 [7] Pasal 39 ayat (1) Permenaker 39/2016 [8] Pasal 39 ayat (4) Permenaker 39/2016 [9] Pasal 39 ayat (5) Permenaker 39/2016 [10] Pasal 1 ayat (1) PP 65/2012 hukumonline pekerja ketenagakerjaan hukum klinik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Salam hangat semuanya, saya Diana ingin menanyakan satu hal yang mana saya saat ini sudah melaporkan seseorang atas pasal pencemaran nama baik. Sedangkan, proses pemanggilan tersangka akan berlangsung dalam minggu depan. Sebenarnya saya sudah berdamai dengan tersangka, tetapi pihak keluarga saya ingin dilanjutkan ke persidangan. Tetapi kalau dari saya sendiri ingin perdamaian dan mencabut perkara. Biasanya berapa nominal yang diminta untuk mencabut perkara yang ada di polres tersebut? Sebelumnya terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh polisi jika ada pengaduan dari orang atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan. KLINIK TERKAIT Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran 03 Jun 2024 Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi? 13 Mei 2024 Adakah Aturan tentang Daluwarsa Penyelesaian Perkara di Kepolisian? 19 Sep 2018 Apakah Tersangka Berhak Tahu Siapa yang Mengadukannya? 03 Jul 2012 Pasal 75 KUHP berbunyi: Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pasal 75 KUHP ini hanya bisa berlaku untuk kejahatan–kejahatan yang sifat deliknya adalah delik aduan, sehingga bila pengaduan dicabut maka akan menghentikan proses hukum yang berjalan. Kalau tak memenuhi syarat Pasal 75 KUHP, maka pencabutan pengaduan itu tak bisa menghentikan perkara pidana. Tetapi Mahkamah Agung (“MA”) memperbolehkan pencabutan pengaduan yang tak memenuhi syarat itu melalui putusan No. 1600 K/Pid/2009 . Dalam putusan tersebut, MA berargumen bahwa salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP, MA menilai pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. MA mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan. Proses pelaksanaan pencabutan pengaduan dapat dilakukan pada tahap penyidikan, pemeriksaan berkas perkara (Pra Penuntutan) dan pemeriksaan di muka persidangan. Akibat hukum yang ditimbulkan apabila pengaduan itu dicabut ialah maka penuntuta n nya pun menjadi batal. Pencabutan pengaduan terhadap delik aduan menjadi syarat mutlak untuk tidak dilakukan penuntutan. Mengenai biaya yang diperlukan untuk mencabut suatu pengaduan, sebenarnya tidak ada aturan yang menyatakan bahwa pencabutan pengaduan tersebut memerlukan biaya. Tetapi, pada penerapannya di lapangan terkadang terjadi praktik-praktik yang tidak sejalan dengan hal tersebut. Terkadang ulah “oknum” polisi yang meminta “uang pelicin” agar suatu pengaduan bisa dicabut . Hal ini kemudian membuat kesan bahwa pencabutan pengaduan atau perkara memerlukan biaya, padahal tidak begitu aturannya. Normalnya, A nda sebagai pe ngadu dapat mengirimkan surat permohonan pencabutan perkara disertai dengan kesepakatan perdamaian antara para pihak, apabila memang semua syarat terpenuhi, maka seharusnya tidak ada “biaya-biaya pelicin” untuk hal tersebut. Namun, apabila terdapat penyelewangen terhadap hal tersebut maka Anda dapat melaporkan hal tersebut kepada Div. Propam atau Kompolnas untuk ditindak lanjuti. Demikian jawaban yang dapat kami berikan, semoga dapat membantu permasalahan yang Anda hadapi. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek Van Strafrecht , Staatsblad 1915 No. 732). PUTUSAN Putusan Mahkamah Agung No 1600 K/Pid/2009"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ass Wb. Bagaimana prosedur informasi publik di lingkungan pengadilan, apakah kita harus membayar sejumlah uang kepada petugas pengadilan untuk meminta Putusan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Waalaikum salam wr. wb . Informasi lengkap mengenai prosedur permohonan informasi publik ini dapat Anda lihat pada situs resmi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan . KLINIK TERKAIT Upaya Hukum atas Putusan Praperadilan, Adakah? 12 Jul 2024 Memahami Arti Putusan MK Bersifat Final 06 Sep 2022 Arti Gugatan Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima 12 Nov 2011 Dasar Hukum dan Pelaksanaan Putusan Serta Merta 30 Jul 2011 Pada dasarnya, bagi para pihak yang berperkara, berlaku Pasal 52A UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum : (1). “Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2). Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan. (3). Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.\" Sementara, bagi masyarakat umum (publik), prosedur memperoleh informasi publik di lingkungan pengadilan ini sudah diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No 1-144/Kma/Sk/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan (“SK KMA 1-144/Kma/Sk/I/2011”). Berdasarkan pengaturan tersebut, kategori informasi dalam pelayanan Pengadilan terdiri dari: 1. Informasi yang wajib diumumkan secara berkala; 2. Informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik; dan 3. Informasi yang dikecualikan. Sedangkan seluruh putusan dan penetapan Pengadilan, baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang belum berkekuatan hukum tetap (dalam bentuk fotokopi atau naskah elektronik, bukan salinan resmi) adalah termasuk sebagai informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik ( Huruf C. 2. 1 Lampiran I SK KMA 1-144/Kma/Sk/I/2011 ). Memang bagi para pihak yang berperkara, seharusnya dapat memperoleh salinan putusan tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk memperolehnya. Karena hal tersebut secara normatif teoritis adalah menjadi kewajiban dari pengadilan untuk menyampaikan putusan kepada para pihak. Akan tetapi, bagi masyarakat publik, ada biaya yang akan dibebankan jika ingin memperoleh informasi (dalam hal ini putusan) dari pengadilan. Hal ini diatur dalam Huruf D Lampiran I SK KMA 1-144/Kma/Sk/I/2011 mengenai Biaya Perolehan Informasi yang menyatakan: 1. Biaya perolehan informasi dibebankan kepada Pemohon . 2. Biaya perolehan informasi sebagaimana dimaksud butir 1 terdiri atas biaya penggandaan (misalnya fotokopi) informasi yang dimohonkan serta biaya transportasi untuk melakukan penggandaan tersebut . 3. Biaya penggandaan sebagaimana dimaksud butir 2 adalah biaya riil yang ditetapkan oleh penyedia jasa pelayanan penggandaan. 4. Atasan PPID menetapkan biaya riil transportasi untuk melakukan penggandaan informasi sebagaimana dimaksud butir 2 dengan memperhatikan kondisi wilayah, dalam hal biaya tersebut diperlukan (misalnya lokasi penyedia jasa pelayanan penggandaan jauh dari Pengadilan). 5. Terhadap permohonan informasi mengenai penggandaan putusan atau penetapan tidak dikenakan biaya leges ( meterai tempel, red ) karena yang dapat diberikan kepada pemohon bukan merupakan salinan resmi. Dengan demikian, berdasarkan pengaturan SK KMA 1-144/Kma/Sk/I/2011 tersebut, jika Anda sebagai pemohon informasi hendak memperoleh suatu informasi dari pengadilan, misalnya Anda ingin mendapatkan fotocopi putusan pengadilan, memang Anda akan dikenakan biaya penggandaan dan biaya transportasi dalam rangka melakukan penggandaan tersebut. Sekian jawaban dari kami, semoga membantu. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum ; 2. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No 1-144/Kma/Sk/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi Di Pengadilan."
} |
{
"from": "human",
"value": "Ayah sudah meninggal sedangkan Ibu masih hidup. Ibu memiliki harta bawaan dan harta bersama ayah. Dari pernikahan mereka dikaruniai tiga anak perempuan. Pertanyaan saya: 1. ibu tidak menginginkan anak pertama mendapatkan harta sepeserpun karena dianggap durhaka. Ibu hanya ingin memberikan semuanya kepada 2 anak lainnya. Bagaimana cara pemindahan kepemilikan harta dari ibu kepada 2 anaknya yang tidak menimbulkan masalah di kemudian hari? (hibah, jual beli, atau yang lainnya) 2. Sepeninggal ayah, ibu masih membiayai anak-anaknya. Apakah boleh harta bersama tersebut kemudian dianggap harta ibu saja (karena ibu masih membiayai anak-anaknya menggunakan uangnya sendiri)? Mohon dijawab ya. Terima kasih banyak."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Anda tidak menyebutkan agama dari pewaris (si Ayah), oleh karena itu kami akan menjelaskan dalam hal pewaris tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) . Kami akan menjawab pertanyaan Anda sebagai berikut: 1. Sebelumnya, kami akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan hibah. Menurut Pasal 1666 KUHPer , hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. KLINIK TERKAIT Sebab Penghalang Waris dalam Hukum Islam 30 Agt 2023 Masalah Pembagian Warisan Berdasarkan Musyawarah Para Ahli Waris 10 Sep 2013 Bolehkah Memberi Warisan Hanya Kepada Salah Seorang Anak? 28 Mei 2013 Hak Waris Anak yang Berstatus WNA 08 Feb 2013 Sedangkan jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan ( Pasal 1457 KUHPer ) . Pada dasarnya seorang anak dilindungi hak warisnya oleh KUHPer dengan adanya pengaturan mengenai bagian mutlak ( legitieme portie ), sebagaimana diatur dalam Pasal 913 KUHPer : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat. ” Sehubungan dengan hibah, memang dikatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali. Akan tetapi, untuk memenuhi bagian mutlak para ahli waris dalam garis lurus, hibah dapat ditarik kembali. Hal ini diatur dalam Pasal 924 KUHPer : “ Hibah-hibah semasa hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, kecuali bila ternyata bahwa semua harta benda yang telah diwasiatkan tidak cukup untuk menjamin legitieme portie. Bila hibah-hibah semasa hidup pewaris harus dikurangi, maka pengurangan harus dimulai dan hibah yang diberikan paling akhir, ke hibah-hibah yang dulu-dulu. ” Oleh karena itu, sekalipun si Ibu menggunakan hibah untuk mengalihkan harta peninggalan si Ayah kepada anak yang lain atau pihak yang lain, hibah tersebut dapat ditarik kembali jika bagian mutlak anak yang pertama tidak terpenuhi. Sedangkan jika melalui jual beli, uang hasil penjualan tersebut akan masuk juga ke dalam bagian harta peninggalan si Ayah, sehingga pada akhirnya anak pertama juga akan mendapatkan bagian dari harta peninggalan tersebut. Akan tetapi, sebagaimana yang Anda katakan, anak pertama tersebut dianggap durhaka. Anda tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dilakukan oleh anak tersebut. Perlu Anda ketahui bahwa ahli waris bisa menjadi tidak pantas untuk menjadi ahli waris dan tidak mendapatkan warisan karena beberapa hal di bawah ini ( Pasal 838 KUHPer ): a. dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu; b. dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi; c. dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; d. dia yang telah menggelapkan. memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal itu. Jika anak pertama tersebut melakukan salah satu dari hal di atas, maka ia tidak pantas dan tidak mendapat warisan. Oleh karena itu, harus diperjelas terlebih dahulu apa yang dilakukan oleh anak pertama tersebut. 2. Hukum keluarga dan waris pada dasarnya tidak mengatur secara rinci mengenai penggunaan harta warisan untuk pembiayaan kehidupan sehari-hari keluarga. Yang diatur adalah bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) . Selain itu juga diatur bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya ( Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan ). Oleh karena itu, dalam hal para ahli waris semuanya setuju agar harta warisan digunakan untuk biaya kehidupan sehari-hari, maka hal tersebut dapat dilakukan. Akan tetapi, jika para ahli waris tidak setuju dan menuntut bagian mereka atas harta warisan, maka harta warisan tersebut harus dibagikan kepada para ahli waris menurut hukum yang berlaku. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . hibah"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kasus masalah perceraian: istri menggugat suami ke Pengadilan Agama setempat, dengan alasan KDRT yang dilakukan suaminya. Pengadilan telah memanggil suami sebagai tergugat untuk hadir di persidangan, namun suami tidak hadir. Usut punya usut, ketidakhadiran suami tersebut karena ia berkeyakinan bahwa talak hanya dapat dijatuhkan jika suami berniat menjatuhkan talak kepada Istri dan pengadilan tidak punya kewenangan itu. Menurut anda bagaimana penjelasan di atas dan apakah talak tersebut layak jatuh atau tidak?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat 31 Mei 2024 Talak Tiga Karena Emosi, Lalu Ingin Rujuk Lagi 19 Jun 2023 Perbedaan Talak Satu, Dua, dan Tiga 30 Nov 2021 Talak Menurut Hukum Islam atau Hukum Negara, Mana yang Berlaku? 01 Apr 2014 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas NAYARA Advocacy merupakan lawfirm yang mengkhususkan keahliannya dalam bidang hukum perorangan dan hukum keluarga. Untuk berdiskusi lebih lanjut, silakan hubungi +6221 - 22837970 atau email ke: [email protected] Website : http://www.nayaraadvocacycom Intisari: Pendapat suami tersebut salah karena perceraian dapat terjadi karena gugatan perceraian, bukan hanya karena talak dari suami. Dalam hal ini KHI memberikan kesempatan bagi istri untuk mengajukan gugatan perceraian selama alasan-alasan perceraian terpenuhi. Ketidakhadiran suami sebagai tergugat selama persidangan tidak menghambat proses gugatan perceraian yang diajukan oleh si istri. Selanjutnya apabila suami telah dipanggil secara layak dan patut oleh Pengadilan Agama namun suami tetap tidak menghadiri persidangan maka majelis Hakim dapat melanjutkan proses persidangan tanpa kehadiran suami. Tetapi perlu diingat ketidakhadiran suami tersebut tidak serta merta dapat mengabulkan gugatan perceraian istri. Istri harus tetap dapat membuktikan alasan-alasan perceraian. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami akan mencoba memberikan jawaban terbaik atas pertanyaan yang Anda ajukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Namun demikian sebelum kami menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan memberikan penjelasan mengenai putusnya ikatan perkawainan. Ketentuan mengenai putusnya ikatan perkawinan dan akibat-akibatnya, secara umum diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“ UU No. 1/1974 ”), yang kemudian diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“ PP No. 9/1975 ”). Lebih khusus bagi orang-orang yang beragama Islam, ketentuan mengenai putusnya ikatan perkawinan dan akibat-akibatnya diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (“ KHI ”). Menurut Pasal 38 UU No. 1/1974 putusnya ikatan perkawinan dapat disebabkan karena kematian, perceraian , dan keputusan pengadilan. Sedangkan putusnya ikatan perkawinan yang disebabkan karena perceraian berdasarkan Pasal 114 KHI, dapat terjadi karena talak atau karena gugatan perceraian. Pengertian talak berdasarkan Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Berdasarkan Pasal 115 KHI , perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (suami-istri). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka pendapat suami tersebut salah. Ini karena perceraian dapat terjadi karena gugatan perceraian, bukan hanya karena talak dari suami. Dalam hal ini KHI memberikan kesempatan bagi istri untuk mengajukan gugatan perceraian selama alasan-alasan perceraian terpenuhi. Apa sajakah alasan perceraian tersebut? Perceraian dapat terjadi karena satu atau lebih alasan berikut: [1] a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain ; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami melanggar taklik talak; h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Jadi, ketidakhadiran suami sebagai tergugat selama persidangan tidak menghambat proses gugatan perceraian yang diajukan oleh si istri. Selanjutnya apabila suami telah dipanggil secara layak dan patut oleh Pengadilan Agama namun demikian suami tetap tidak menghadiri persidangan maka majelis Hakim dapat melanjutkan proses persidangan tanpa kehadiran suami. Tetapi perlu diingat ketidakhadiran suami tersebut tidak serta merta dapat mengabulkan gugatan perceraian istri. Istri harus tetap dapat membuktikan alasan-alasan perceraian. Apabila gugatan perceraian dikabulkan oleh Pengadilan maka perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . [1] Pasal 116 KHI dan Pasal 19 PP No. 9/1975 hukumonline cerai klinik hukumonline hukum klinik gugatan cerai keluarga dan perkawinan perceraian"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan mengenai cuti melahirkan. Jika karyawan hamil dan statusnya belum menikah, apakah yang bersangkutan berhak mendapatkan cuti melahirkan beserta tunjangannya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Intisari: Aturan soal hak cuti hamil dan melahirkan memfokuskan pada keadaan pekerja perempuan yang hamil, tidak memandang apakah ia hamil di luar nikah (belum menikah) atau tidak. Selama karyawati itu memenuhi syarat untuk mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, maka ia berhak mendapatkannya. Soal tunjangan, khususnya tunjangan tidak tetap, pelaksanaan hak cuti hamil dan melahirkan dapat meniadakan hak-hak yang terkait dengan tunjangan tidak tetap , khususnya yang didasarkan pada kehadiran. Sedangkan jika yang Anda maksud adalah tunjangan melahirkan, pada dasarnya, tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan tunjangan melahirkan kepada karyawannya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aturan Cuti Hamil dan Melahirkan Hak cuti hamil dan melahirkan adalah hak yang timbul dan diberikan oleh undang-undang spesial bagi pekerja perempuan yang memenuhi syarat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Umar Kasim dalam artikel Ketentuan THR untuk Pekerja yang Cuti Melahirkan , hak cuti hamil dan melahirkan tersebut tidak memutus hubungan kerja, tidak menghilangkan dan mengurangi masa kerja. KLINIK TERKAIT Apakah Karyawan yang Cuti Melahirkan Tetap Dapat THR? 04 Apr 2024 Aturan Cuti Melahirkan bagi Pekerja dengan Persalinan Prematur 12 Apr 2023 Adakah Aturan Pemberian Cuti Suami untuk Mengasuh Anak? 25 Okt 2022 Legalitas Surat Pernyataan Tak Digaji Selama Cuti Melahirkan 25 Mei 2021 Pengaturan mengenai cuti hamil ini diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) : (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Dari aturan di atas terlihat bahwa hak cuti hamil dan melahirkan ini memfokuskan pada kondisi pekerja perempuan yang hamil saja, yakni sebelum dan sesudah ia melahirkan, tidak memandang apakah ia hamil di luar nikah (belum menikah) atau tidak. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, selama karyawati itu memenuhi syarat untuk mendapatkan cuti hamil dan melahirkan, maka ia berhak mendapatkannya. Penjelasan lebih lanjut tentang hak cuti hamil dan melahirkan ini dapat Anda simak dalam artikel Penerapan Cuti Melahirkan dan Cuti Keguguran . Tunjangan Bagi Peke r ja yang Cuti Melahirkan Selama pekerja perempuan itu melaksanakan hak cutinya, ia tetap berhak mendapat upah penuh . [1] Jadi, meski karyawati itu cuti hamil dan melahirkan, ia tetap berhak dibayar gajinya secara penuh. Lalu bagaimana dengan tunjangan-tunjangannya? Apakah pekerja yang bersangkutan tetap memperoleh tunjangan? Sebelumnya, perlu diketahui bahwa prinsipnya dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dikenal tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Tunjangan tetap adalah suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Istri; Tunjangan Anak; Tunjangan Perumahan; Tunjangan Kematian; Tunjangan Daerah dan lain-lain. Tunjangan Makan dan Tunjangan Transport dapat dimasukan dalam komponen tunjangan tetap apabila pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan. [2] Menjawab pertanyaan Anda, dari sini dapat kita ketahui bahwa karena pembayaran tunjangan tetap ini dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan upah pokok dan diterima secara tetap, maka pekerja yang cuti hamil dan melahirkan tetap berhak atas tunjangan tetap. Sedangkan tunjangan tidak tetap adalah suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Transport yang didasarkan pada kehadiran. Tunjangan makan dapat dimasukkan ke dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan bisa dalam bentuk uang atau fasilitas makan). [3] Terkait tunjangan tidak tetap ini, m asih besumber dari artikel Ketentuan THR untuk Pekerja yang Cuti Melahirkan , Umar menjelaskan bahwa walaupun demikian, pelaksanaan hak cuti hamil dan melahirkan dapat meniadakan hak-hak yang terkait dengan tunjangan tidak tetap , khususnya yang didasarkan pada kehadiran, seperti tunjangan transport, uang makan, insentif/bonus produktivitas, biaya komunikasi dan lain-lain. Jadi, pekerja yang cuti hamil dan melahirkan bisa saja tidak memperoleh tunjangan tidak tetap. Hal ini karena tunjangan tidak tetap dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok dan diberikan berdasarkan kehadiran. Jika yang Anda maksud adalah tunjangan melahirkan, pada dasarnya, tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan tunjangan melahirkan kepada karyawannya. Ini dapat dilihat dari Pasal 94 UU Ketenagakerjaan dan SE-07/MEN/1990 , yang tidak mengatur secara terperinci mengenai kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan tunjangan melahirkan kepada karyawannya. Apalagi setelah ada kewajiban bagi perusahaan untuk mengikutkan karyawannya ke dalam program BPJS Kesehatan. Karena BPJS Kesehatan meng- cover juga tindakan persalinan seperti melahirkan. Selengkapnya dapat dilihat dalam artikel Kewajiban Perusahaan atas Biaya Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Pekerja . Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah. [1] Pasal 84 UU Ketenagakerjaan [2] Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah (“SE-07/MEN/1990”) [3] SE-07/MEN/1990 tunjangan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kapan masa kadaluarsa seorang lawyer boleh menagih atas jasa yang telah diberikan? Jadi, ada suatu law firm, menagih atas jasa-jasanya, untuk pekerjaan yang telah dilakukan 3 tahun lalu. Bolehkah kita menolaknya karena sudah terlalu lama? Mengingat sudah tutup tahun neraca keuangan perusahaan dan tidak ada budgeting untuk hal ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, dari peraturan perundang-undangan yang ada, tidak ada ketentuan mengenai daluarsa dari pembayaran honorarium advokat. KLINIK TERKAIT Tahapan Menjadi Advokat di Indonesia 14 Des 2023 Fee yang Wajar untuk Advokat (Success Fee) 12 Jan 2012 Tarif Advokat di Jakarta 22 Mar 2011 Seputar Profesi Pengacara (Pengertian Senior Lawyer, Associate, dan Junior Lawyer) 27 Agt 2010 Dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih jauh mengenai honorarium advokat ini diatur dalam Pasal 21 UU Advokat yang berbunyi: 1) “ Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya . 2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.” Hubungan antara advokat dengan kliennya ini biasanya dituangkan dalam bentuk suatu kontrak/perjanjian untuk mengatur kesepakatan/persetujuan yang terjadi di antara advokat dan kliennya. Kontrak ini menjelaskan hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk lingkup kerja yang harus dilakukan oleh advokat dan besarnya honorarium yang akan diterima advokat. Di dalam Kontrak tersebut juga bisa diatur mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari antara klien dengan advokat, juga tentang uang jasa dan kerugian yang mungkin ditanggung oleh klien. Atas dasar kontrak tersebut, klien dapat menggugat advokat apabila di kemudian hari advokat tersebut tidak melaksanakan atau lalai dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana ditentukan dalam kontrak sehingga akhirnya mengakibatkan kerugian bagi klien. Demikian pula sebaliknya, jika klien tidak memenuhi prestasinya untuk membayar honorarium yang telah disepakati, advokat dapat menggugat kliennya ( Pasal 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata – “ KUHPerdata”). Lebih jauh simak artikel Perjanjian Jasa Pengacara Terhadap Klien . Jadi, jika advokat telah memenuhi prestasinya sebagaimana telah diatur dalam kontrak penggunaan jasa advokat, namun kemudian klien (dalam hal ini perusahaan yang Anda sebutkan) tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar honorarium advokat, hal ini dapat menjadi dasar bagi advokat untuk menggugat atas dasar wanprestasi (lihat Pasal 1243 KUHPerdata ) tanpa melihat berapa lama telah lewat waktu sejak pekerjaan tersebut dilakukan. Simak juga artikel kami Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH . Biaya honorarium advokat yang terutang ini sifatnya seperti utang-piutang pada hukum perdata karena didasarkan pada kesepakatan, sehingga memang harus dibayar/dilunasi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23); 2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Ayah saya dipensiunkan sejak Juli 2022, namun hingga sekarang belum dibayarkan hak pesangonnya oleh perusahaan. Apakah ada masa kadaluwarsa untuk menuntut hak pesangon tersebut secara hukum? Lalu bagaimana prosedur untuk menuntut hak pesangon tersebut pada perusahaan secara hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITSimulasi Perhitungan Uang Pensiun Karyawan Swasta28 Mei 2024Usia Pensiun Diatur Berbeda dari Peraturan Pemerintah, Bolehkah?26 Jun 2023Apakah Dana Pensiun Termasuk Hitungan Kompensasi PHK? 19 Jul 2021Hak Karyawan Pensiun dalam Peraturan Perusahaan Berbeda dengan Peraturan Pemerintah, Mana yang Berlaku?31 Mar 2021\n\nPerlu Anda ketahui sebelumnya, bahwa pensiun adalah salah satu bentuk dari pemutusan hubungan kerja (“PHK”) terhadap karyawan atau pekerja. Adapun, pengertian PHK adalah berakhirnya hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.[1]\n\nMenurut Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang menambah ketentuan Pasal 154A ayat (1) huruf n UU Ketenagakerjaan, ‘suatu hal tertentu’ tersebut salah satunya ketika pekerja memasuki usia pensiun.\nTerkait dengan ketentuan usia pensiun karyawan, selengkapnya dapat dibaca dalam Aturan Usia Pensiun Pekerja dan PNS Serta Manfaat yang Diterima.\n\nKetika terjadi PHK, Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.\nAdapun ketentuan besaran uang pesangon adalah sebagai berikut.[2]\n\nmasa kerja kurang dari 1 tahun: pesangon 1 bulan upah;masa kerja 1 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 tahun: pesangon 2 bulan upah;masa kerja 2 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 tahun: pesangon 3 bulan Upah;masa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 tahun: pesangon 4 bulan upah;masa kerja 4 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 tahun: pesangon 5 bulan upah;masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun: pesangon 6 bulan upah;masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 tahun: pesangon 7 bulan upah;masa kerja 7 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 tahun: pesangon 8 bulan upah;masa kerja 8 tahun atau lebih: pesangon 9 bulan upah.\n\nSementara, perhitungan besaran uang penghargaan masa kerja yaitu:[3]\n\nmasa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun: uang penghargaan 2 bulan upah;masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 tahun: uang penghargaan 3 bulan upah;masa kerja 9 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 tahun: uang penghargaan 4 bulan upah;masa kerja 12 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 tahun: uang penghargaan 5 bulan upah;masa kerja 15 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18 tahun: uang penghargaan 6 bulan upah;masa kerja 18 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21 tahun: uang penghargaan 7 bulan upah;masa kerja 21 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24 tahun: uang penghargaan 8 bulan upah;masa kerja 24 tahun atau lebih: uang penghargaan 10 bulan upah.\n\nKemudian uang penggantian hak untuk karyawan yang terkena PHK ditentukan berdasarkan:[4]\n\nCuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/ buruh diterima bekerja;Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\n\nKhusus untuk karyawan yang pensiun, berdasarkan Pasal 56 PP 35/2021 berhak mendapatkan uang pesangon sebanyak 1,75 kali, uang penghargaan masa kerja1 kali, dan uang penggantian hak.\nDengan demikian, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak adalah hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh ayah Anda sebagai pekerja yang pensiun.\nDaluwarsa Penuntutan Uang Pesangon Karyawan Pensiun\n\nMenjawab pertanyaan Anda terkait dengan adakah masa daluwarsa untuk menuntut hak pesangon ayah Anda, jawabannya adalah tidak ada.\nSebelumnya, dalam Pasal 96 UU Ketenagakerjaan, mengatur bahwa tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 tahun sejak timbulnya hak.\n\nNamun, ketentuan tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan MK No. 100/PUU-X/2012 (hal. 63 – 63) yang menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan juga dihapus oleh Pasal 81 angka 37 Perppu Cipta Kerja.\nLangkah Hukum Menuntut Hak-hak Karyawan yang Pensiun\n\nLalu, bagaimana langkah hukum yang dapat ditempuh untuk menuntut pesangon karyawan yang belum diberikan?\n\nBerdasarkan kronologi yang Anda sampaikan, maka perkara tuntutan atas hak-hak karyawan yang pensiun termasuk sebagai perselisihan hak yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[5]\n\nPertama, ayah Anda sebaiknya menyelesaikan hal tersebut dengan melakukan perundingan bipartit atau perundingan antara pekerja dengan pengusaha.[6] Sebab, perselisihan yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha wajib diupayakan penyelesaiannya melalui perundingan bipartit untuk mencapai musyawarah mufakat.[7]\n\nKedua, bila perundingan bipartit gagal maka dibuat berita acara atas tidak tercapainya kesepakatan dan dilanjutkan dengan dicatat ke Dinas Ketenagakerjaan, untuk dilangsungkan mediasi atas kesepakatan kedua belah pihak.[8]\n\nKetiga, jika mediasi gagal, maka ayah Anda dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial yang daerah hukumnya meliputi tempat ayah Anda bekerja dengan melampirkan risalah mediasi.[9]\n\nSelengkapnya mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hak antara ayah Anda dengan tempatnya bekerja dapat disimak dalam 3 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/undangundang-nomor-2-tahun-2004/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2004)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\n[1] Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 47 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan[5] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)[6] Pasal 1 angka 10 UU PPHI[7] Pasal 3 ayat (1) UU PPHI[8] Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 11 UU PPHI[9] Pasal 81 dan Pasal 81 ayat (1) UU PPHI"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan mosi tidak percaya? Serta diatur dimana hal tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia online (“KBBI”), mosi adalah keputusan rapat, misal parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat. Dalam KBBI juga diberikan penjelasan mengenai mosi kepercayaan dan mosi tidak percaya. Mosi kepercayaan adalah mosi yang menyatakan wakil rakyat percaya kepada kebijakan pemerintah (pengurus organisasi dsb), sedangkan mosi tidak percaya (dalam politik) adalah pernyataan tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah . Sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur mengenai mosi tidak percaya. Akan tetapi melihat pada pengertian “mosi” di atas, pada dasarnya “mosi” adalah pendapat atau pernyataan mengenai sesuatu. KLINIK TERKAIT Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia 11 Apr 2024 Mengenal 7 Hubungan Presiden dengan Mahkamah Konstitusi 23 Feb 2024 Adakah Hak Prerogatif Kepala Desa atau Kepala Daerah? 15 Feb 2024 Tugas dan Wewenang MPR 20 Jun 2023 Sehubungan dengan politik, jika dikaitkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) maka ini terkait dengan hak-hak dari DPR. Hak-hak DPR dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 27/2009”) adalah hak: a. interpelasi b. angket Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas c. menyatakan pendapat Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ( Pasal 77 ayat (2) UU 27/2009 ). Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ( Pasal 77 ayat (3) UU 27/2009 ). Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas ( Pasal 77 ayat (4) UU 27/2009 ): a. kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional ; b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), bila DPR menemukan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti diatur dalam Pasal 77 ayat (4) UU 27/2009 huruf c, maka perkara itu akan dibawa ke MK. Setelah MK memutus, maka akan diserahkan lagi ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk melakukan eksekusi. MPR dimungkinkan untuk melakukan eksekusi yang berbeda dengan putusan MK. Dari uraian di atas, mosi tidak percaya merupakan dari hak DPR untuk menyatakan pendapatnya atas ketidakpercayaan kepada pemerintah . Walaupun tidak ada peraturan yang secara tegas menyebutkan tentang mosi tidak percaya, namun ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai hak menyatakan pendapat atas ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Dan juga peraturan yang mengatur mengenai bagaimana prosedur ‘mosi tidak percaya’ itu harus dilakukan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemakzulan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah dalam jawaban tergugat dalam gugatan sederhana boleh diajukan eksepsi kewenangan absolut? Dalam Pasal 17 Perma 2/2015 disebutkan tidak bisa mengajukan eksepsi. Bagaimana jika ada putusan akhir hakim yang mengadili menerima eksepsi tergugat mengenai kewenangan absolut? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Eksepsi Kewenangan Absolut Dikutip dari artikel Apa Saja yang Harus Dimasukkan dalam Jawaban Gugatan? , eksepsi kewenangan absolut adalah bantahan tergugat mengenai penggugat yang dinilai salah mendaftarkan gugatannya di pengadilan yang tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Ini berkaitan dengan pembagian lingkungan peradilan dan peradilan khusus. Masih bersumber dari artikel yang sama, misalnya dalam kasus mengenai sengketa pembagian warisan orang yang beragama Islam yang diajukan ke pengadilan negeri (peradilan umum). Tergugat mengajukan eksepsi bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara warisan bagi yang beragama Islam sebab itu berada dalam yurisdiksi pengadilan agama. Disarikan dari buku M. Yahya Harahap yang berjudul Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, eksepsi kewenangan absolut menurut Pasal 134 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechtsvorderin (“Rv”) dapat diajukan kapan saja, sebelum putusan dijatuhkan. Pengajuannya tidak dibatasi hanya pada sidang pertama, tetapi terbuka dalam segala tahap proses pemeriksaan (hal. 420). Pasal 134 HIR sendiri memungkinkan hakim secara ex-officio menyatakan diri tidak berwenang mengadili: Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, dapat di minta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib pula mengakuinya karena jabatannya. Masih dari buku yang sama, M. Yahya Harahap menjelaskan hakim wajib menyatakan tidak berwenang mengadili secara absolut terhadap perkara yang sedang diperiksanya bersifat imperatif, meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi mengenai hal itu (hal. 421). Dengan demikian, dengan ada atau tidaknya eksepsi, hakim wajib menyatakan diri tidak berwenang apabila cukup alasan objektif bahwa perkara yang dikemukakan dalam gugatan penggugat, termasuk dalam yurisdiksi absolut lingkungan peradilan lain (hal. 421). Eksepsi Kewenangan Absolut dalam Gugatan Sederhana Terkait pertanyaan Anda, persidangan gugatan sederhana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (“Perma 2/2015”) sebagaimana diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (“Perma 4/2019”) . Perlu Anda ketahui, hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap materi gugatan sederhana berdasarkan syarat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Perma 4/2019 . Hakim menilai sederhana atau tidaknya pembuktian. [1] Apabila dalam pemeriksaan, hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana , maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat. [2] Menjawab pertanyaan Anda, dalam proses pemeriksaan gugatan sederhana, memang tidak dapat diajukan tuntutan provisi, eksepsi , rekonvensi, intervensi, replik, duplik, atau kesimpulan. [3] Adapun putusan gugatan sederhana terdiri dari: [4] kepala putusan dengan irah-irah yang berbunyi \"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa\"; identitas para pihak; uraian singkat mengenai duduk perkara; pertimbangan hukum; dan amar putusan. Sehingga bila ada kondisi putusan atas gugatan sederhana yang menerima eksepsi yang diajukan tergugat, hal ini dapat menimbulkan putusan yang cacat hukum. Namun bila hakim menyatakan diri secara ex-officio tidak berwenang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ini bukanlah suatu putusan yang cacat hukum. Ini dikarenakan apa yang diputus hakim justru berdasar pada ketentuan hukum acara perdata yang tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Perma 2/2015 dan Perma 4/2019. Sehingga menurut hemat kami, perlu ditelisik lebih mendalam proses persidangan, muatan jawaban tergugat, pertimbangan hukum, dan amar dari putusan gugatan sederhana, hingga berujung pada pernyataan hakim tidak berwenang mengadili tersebut. Upaya Hukum Keberatan Adapun apabila penggugat tidak menerima putusan gugatan sederhana dengan dalih adanya cacat hukum seperti yang dimaksud di atas, penggugat bisa mengajukan upaya hukum keberatan . [5] Keberatan diajukan kepada ketua pengadilan dengan menandatangani akta pernyataan keberatan di hadapan panitera disertai alasan-alasannya . [6] Permohonan keberatan diajukan paling lambat tujuh hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. [7] Kepaniteraan menerima dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan keberatan disertai dengan memori keberatan . [8] Permohonan keberatan yang diajukan melampaui batas waktu pengajuan dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan berdasarkan surat keterangan panitera. [9] Putusan terhadap permohonan keberatan diucapkan paling lambat tujuh hari setelah tanggal penetapan majelis hakim. [10] Putusan keberatan merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali. [11] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagaimana diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana . Referensi: M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan . Jakarta: Sinar Grafika. 2013. [1] Pasal 11 ayat (1) dan (2) Perma 2/2015 [2] Pasal 11 ayat (3) Perma 2/2015 [3] Pasal 17 Perma 2/2015 [4] Pasal 20 ayat (1) Perma 2/2015 [5] Pasal 21 ayat (1) Perma 2/2015 [6] Pasal 21 ayat (2) Perma 2/2015 [7] Pasal 22 ayat (1) Perma 2/2015 [8] Pasal 23 ayat (1) Perma 2/2015 [9] Pasal 22 ayat (3) Perma 2/2015 [10] Pasal 27 Perma 2/2015 [11] Pasal 30 Perma 2/2015 gugatan perdata gugatan sederhana wanprestasi acara peradilan hukumonline eksepsi pmh sidang acara perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya saat ini saya bekerja part time online, lantas apakah saya sebagai pekerja part time berhak atas cuti tahunan? Mohon pencerahannya"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perlu diketahui bahwa ketentuan mengenai cuti tahunan ini dapat kita temui dalam Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.\n\nSelanjutnya, ketentuan perundang-undangan yang berlaku membagi beberapa waktu istirahat dan cuti yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja, meliputi:\n\nistirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;[1]istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu;[2]cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus;[3] dan\n\nAdapun ketentuan cuti tahunan diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[4]\nDari ketentuan tersebut jelas bahwa cuti tahunan diberikan kepada pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus yang mana pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\nBaca juga: Kapan Hak Cuti Tahunan Bisa Digunakan?\nAdakah Cuti Tahunan untuk Pekerja Part Time?\n\nMenjawab pertanyaan Anda, terkait dengan cuti tahunan untuk Anda sebagai pekerja part time (paruh waktu), perlu dilihat bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan belum mengaturnya secara tersendiri. Namun, jika dilihat dari ketentuan cuti tahunan tersebut di atas, kewajiban pengusaha memberikan cuti adalah kepada pekerja yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.\n\nDengan kata lain, pengusaha tidak wajib memberikan cuti tahunan bagi pekerja yang tidak bekerja secara terus menerus selama 12 bulan. Kecuali pelaksanaan hak cuti tahunan tersebut diatur secara berlainan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama sepanjang hal yang diatur tidak merugikan hak pekerja yang telah bekerja secara terus menerus selama 12 bulan untuk mendapatkan cuti tahunan. Jadi, misalnya pengusaha bisa saja memberikan cuti 1 hari dalam 1 bulan kepada pekerja paruh waktu yang kemudian diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n[1] Pasal 81 angka 25 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 79 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (4) UU Ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa sebenarnya yang disebut hak prerogatif menurut hukum? Siapa saja yang memiliki hak tersebut? \nApakah seorang Kepala Desa berhak memecat bawahannya dengan beralasan hak prerogatif tersebut? Karena Kepala Desa yang mengeluarkan SK pengangkatan aparatur desa di bawahnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bila merujuk pengertian hak prerogatif tersebut, hak prerogatif adalah hak yang dimiliki oleh presiden dan tercantum dalam beberapa pasal dalam UUD 1945. Hak yang dimaksud, antara lain:\n\nPasal 10 UUD 1945: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;Pasal 11 ayat (1) UUD 1945: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain;Pasal 12 UUD 1945: Presiden menyatakan keadaan bahaya;Pasal 13 UUD 1945: Presiden mengangkat duta dan konsul;Pasal 14 UUD 1945: Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA); Presiden juga memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);Pasal 15 UUD 1945: Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur UU; danPasal 17 UUD 1945: Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.\nHak Prerogatif Presiden: Grasi, Rehabilitasi, Amnesti, dan Abolisi\n\nSebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Pasal 14 UUD 1945 menerangkan bahwa presiden memiliki hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA; serta amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Sehubungan dengan ini, mari simak contoh hak prerogatif yang dimaksud.\nGrasi dan Rehabilitasi\n\nKetentuan grasi diatur dalam UU Grasi dan perubahannya dalam UU 5/2010. Adapun grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.[1]\n\nTerkait grasi, Penjelasan Umum UU Grasi menegaskan bahwa pemberian grasi bukanlah campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif untuk memberikan ampunan. Kemudian, meski pemberiannya dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana, grasi tidak berarti menghilangkan kesalahan dan bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.\n\nPenting untuk diketahui bahwa grasi merupa grasi hanya dapat diajukan satu kali.[2] Setelah diajukan oleh terpidana, presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.[3] Bentuk yang diberikan dapat berupa keringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana, atau penghapusan pelaksanaan pidana.\nSementara itu, perihal rehabilitasi diatur dalam KUHAP yang menerangkan bahwa rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.[4]\nAmnesti dan Abolisi\n\nHak prerogatif presiden lainnya, adalah amnesti dan abolisi diatur dalam UU Darurat 11/1945. Berdasarkan Kamus Hukum, amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana (hal. 14).\n\nKemudian, abolisi berarti suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan (hal. 10).\n\nTerkait pemberian amnesti dan abolisi, Pasal 4 UU Darurat 11/1945 menerangkan bahwa pemberian amnesti membuat hukuman pidana akan seseorang dihapuskan. Lalu, untuk pemberian abolisi, penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan.\nHak Prerogatif Kepala Desa\nMenjawab pertanyaan Anda perihal dikeluarkannya SK (Surat Keputusan) oleh seorang kepala desa dengan alasan hak prerogatif untuk memecat aparatur desa atau bawahannya, penting untuk diketahui bahwa hal tersebut kurang tepat.\n\nSebelum membahasnya, kami asumsikan apa yang dimaksud aparatur desa sebagai bawahan seorang kepala desa adalah perangkat desa. Tugas dari perangkat desa adalah untuk membantu kepala desa dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintah desa.\nSebagai informasi, PP 43/2014 dan perubahannya memang menyebutkan bahwa seorang perangkat desa dapat diberhentikan dari jabatannya.\nNamun, pemberhentian yang dimaksud harus dilakukan dengan mekanisme khusus:[5]\n\nkepala desa melakukan konsultasi dengan camat mengenai pemberhentian perangkat desa;camat atau sebutan lain memberikan rekomendasi tertulis yang memuat pemberhentian perangkat desa yang telah dikonsultasikan dengan kepala desa; danrekomendasi tertulis camat atau sebutan lain dijadikan dasar oleh kepala desa dalam pemberhentian perangkat desa dengan keputusan kepala desa.\nMenurut hemat kami, istilah memecat perangkat desa tidak tepat jika disebut sebagai hak prerogatif. Pengangkatan dan pemecatan seorang perangkat desa adalah wewenang dari kepala desa sebagaimana diatur dalam undang-undang. Perlu kami tekankan sekali lagi, wewenang dan hak prerogatif adalah hal yang berbeda.\nHak prerogatif sebagaimana didefinisikan KBBI adalah hak istimewa yang dimiliki kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Merujuk definisi tersebut, yang memiliki hak prerogatif hanyalah seorang kepala negara atau presiden.\nLebih lanjut disebutkan dalam Putusan MK No. 22/PUU-XIII/2015 menimbang bahwa secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara pada saat ini, hak tersebut dimiliki oleh kepala negara baik raja, presiden, atau kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi sehingga menjadi kewenangan konstitusional (hal. 72).\n\nKepala daerah, bupati, gubernur, dan pemimpin daerah otonom lainnya tidak memiliki hak prerogatif, namun dibekali oleh sejumlah kewenangan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Dapat disimpulkan bahwa hak prerogatif kepala desa dan hak prerogatif bupati adalah tidak ada.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19300/undang-undang-darurat-no-11-tahun-1954-amnesti-dan-abolisi?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_1954)\n3. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n4. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17452/undangundang-nomor-22-tahun-2002/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_22_2002)\n5. [](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17452/node/21/uu-no-22-tahun-2002-grasi)\n6. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c85eaa36031f/undangundang-nomor-5-tahun-2010?r=0&p=1&q=undang-undang%20nomor%205%20tahun%202010&rs=1847&re=2022)\n7. [tentang Perubahannya Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c85eaa36031f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_5_2010)\n8. [Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt53a7ff51a08a7/peraturan-pemerintah-nomor-43-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_43_2014)\n9. [Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt55a468898a282/peraturan-pemerintah-nomor-47-tahun-2015?r=0&p=1&q=Peraturan%20Pemerintah%20Nomor%2047%20Tahun%202015%20&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_47_2015)\n10. [Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5c8f79c1ddd72?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_11_2019)\nREFERENSI:\n1. M. Marwan dan Jimmy P. Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher, 2009\n2. Hak prerogatif, yang diakses pada 15 Februari 2024, pukul 17.00 WIB.\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIII/2015.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”)[2] Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahannya Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi[3] Pasal 4 UU Grasi[4] Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana[5] Pasal 69 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau tanya soal harta bersama nikah siri. Pada perkawinan siri, seorang suami membelikan rumah untuk tinggal bersama istri yang dinikahi siri tersebut selama 7 tahun. Di tahun ke-8, mereka nikah resmi di KUA. Dua tahun kemudian mereka bercerai. Apakah rumah yang dibelikan untuk istri dengan atas namanya itu juga menjadi harta gono gini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kami mengasumsikan bahwa pasangan dan perkawinannya tunduk pada hukum Islam. Oleh karenanya, kami akan merujuk pada UU Perkawinan dan perubahannya, serta KHI.\n\nHarta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.[1] Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.[2]\n\nSelanjutnya, KHI menambahkan bahwa harta bersama adalah harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah, yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.[3]\n\nMengenai harta bawaan, harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.[4]\n\nSuami dan istri pun mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya.[5]\n\nLantas, perkawinan apa yang dimaksud dalam konteks ini? Pasal 2 UU Perkawinan menekankan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.\n\nBaca juga: Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia\nHarta Bersama Nikah Siri\n\nAgar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat yang beragama Islam, setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[6]\nUntuk mewujudkan hal tersebut, maka setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[7]\n\nPerkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[8] Meskipun nikah siri tidak dilarang secara implisit dalam agama, namun pernikahan ini tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam nikah siri tidak ada pencatatan menurut peraturan perundang-undangan yang mana tidak dapat diterbitkan akta nikah.\nKetiadaan akta nikah inilah yang menyebabkan anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum di hadapan negara. Adapun salah satu akibat hukumnya adalah tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum atas hak-hak istri dan anak-anak hasil dari perkawinan siri, begitu pula untuk harta bersama.\n\nDalam hukum, tidak dikenal harta bersama nikah siri. Begitu juga untuk melakukan gugatan cerai, tidak ada lembaga negara yang bisa menanganinya dan memberi perlindungan atas hak-hak anak dan istri.\n\nBerdasarkan uraian di atas, bahwa perkawinan siri tidak diakui secara hukum, maka rumah yang diperoleh dalam perkawinan siri tersebut tidak termasuk harta bersama yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, karena secara hukum tidak pernah ada perkawinan di antara pasangan.\n\nKami asumsikan, setelah pasangan tersebut melangsungkan pernikahan di KUA, maka perkawinan tersebut menjadi sah secara hukum. Sehingga, menurut hemat kami, harta bersama baru timbul setelah ikatan perkawinan yang dicatatkan ini yaitu di tahun ke-8 dan seterusnya.\n\nTerhadap rumah yang Anda maksud, berarti adalah harta bawaan sang pemilik dan bukan harta bersama, sehingga ketika terjadi perceraian, maka secara hukum rumah tidak diperhitungkan dalam pembagian harta bersama.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait pertanyaan harta bersama nikah siri, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.\n\n[1] Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)[2] Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan[3] Pasal 1 huruf f Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[4] Pasal 87 ayat (1) KHI[5] Pasal 87 ayat (2) KHI[6] Pasal 5 KHI[7] Pasal 6 KHI[8] Pasal 7 ayat (1) KHI"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sudah mencari di internet, tapi saya belum menemukan larangan seorang WNI untuk membuat tato atau batasan-batasan seseorang untuk membuat tato. Apakah bisa diperjelas, ada atau tidak undang-undang yang mengatur hal tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan kepada kami. Sejauh ini, kami belum menemukan peraturan perundang-undangan yang secara tegas melarang Warga Negara Indonesia untuk membuat tato atau merajah bagian tubuhnya. KLINIK TERKAIT Bukti Tes DNA untuk Pengakuan Anak Luar Kawin 15 Jul 2024 Tetangga Berisik Setel Musik Keras-keras, Adakah Pidananya? 23 Feb 2023 Ketentuan Waris Anak Hasil Incest Menurut Hukum Islam 09 Mei 2012 Hukum Menikah dengan Anak dari Kakaknya Kakak Ipar 06 Jan 2012 Namun, berkaitan dengan tato ada beberapa peraturan yang sebaiknya Anda juga harus perhatikan, yaitu: A. Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah (“PP 7/2011”), yang berbunyi sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (3) Pendonor darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan kesehatan. (4) Pendonor darah harus memberikan informasi yang benar perihal kesehatan dan perilaku hidupnya Dan kita lihat lagi di ketentuan penjelasan Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4) PP 7/2011 , yaitu : (3) Yang dimaksud dengan “persyaratan kesehatan” antara lain keadaan umum calon pendonor darah tidak tampak sakit, tidak dalam pengaruh obat-obatan, memenuhi ketentuan umur, berat badan, suhu tubuh, nadi, tekanan darah, hemoglobin, ketentuan setelah haid, kehamilan dan menyusui, jarak penyumbangan darah dan persyaratan lainnya meliputi keadaan kulit, riwayat transfusi darah, penyakit infeksi, riwayat imunisasi dan vaksinasi, riwayat operasi, riwayat pengobatan, obat-obat narkotika dan alkohol serta ketentuan tato , tindik, dan tusuk jarum. (4) Yang dimaksud dengan “perilaku hidupnya” adalah kebiasaan yang berdampak buruk bagi kesehatan seperti penyalahgunaan obat dengan jarum suntik, seks bebas termasuk homoseksualitas, biseksualitas, melakukan pelukaan kulit, tato , dan upacara dengan darah (melukai). B. Pasal 4 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam , yang berbunyi sebagai berikut: (1) Setiap pemeluk Agama Islam wajib menaati, mengamalkan/menjalankan Syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna. (2) Kewajiban menaati dan mengamalkan/menjalankan Syariat Islam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari melalui diri pribadi, keluarga, masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (3) Setiap warga Negara RI atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Daerah Istimewa Aceh, wajib menghormati pelaksanaan Syariat Islam di daerah. Peraturan ini menjadi penting untuk dicermati dan diperhatikan apabila Anda pemeluk Agama Islam. Karena, dalam sepengetahuan penulis, ajaran Agama Islam melarang penganutnya untuk melakukan tato atau merajah tubuhnya sebagaimana penulis kutip dari laman Majalah Islam Asy Syariah Online yaitu : “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” (Q.S. An-Nisa`: 119) Makna mengubah ciptaan Allah, menurut seorang tabi’in Al-Hasan Al-Bashri adalah dengan mentato (lihat : Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, 4/285, Tafsir Ibnu Katsir, 1/569). Kendati demikian, sejauh kami meneliti dan mempelajari Peraturan-Peraturan Daerah Provinsi Aceh setelah diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000, kami belum menemukan peraturan daerah di Provinsi Aceh yang di dalam muatannya secara tegas melarang setiap pemeluk Agama Islam untuk membuat tato atau merajah bagian tubuhnya. C. Beberapa Peraturan Daerah yang berkaitan dengan Penanggulangan HIV dan AIDS , sebagaimana tercatat dalam “ Daftar Perda Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS ” dalam laman Sistem Informasi Kementerian Bidang Kesejahteraan Rakyat yang dalam isi pasalnya mewajibkan orang yang menggunakan jarum suntik, jarum tato atau jarum akupuntur pada tubuhnya sendiri dan/atau tubuh orang lain untuk menggunakan jarum steril. Dalam perda-perda tersebut tidak dicantumkan larangan bagi seseorang untuk melakukan tato , melainkan sebagai peringatan dan mewajibkan seseorang untuk menggunakan jarum yang steril. D. Selain itu, Anda juga perlu memperhatikan dampak dari penggunaan tato tubuh apabila Anda memutuskan untuk berkarir menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil, termasuk menjadi anggota Tentara Negara Indonesia (TNI) . Anda bisa melihat beberapa artikel di bawah ini: - Tato dan Karier Hukum - Eks Taruna Polisi Curhat ke DPR - Test Kesehatan dan Kesamaptaan CPNS Kemenkumham DKI Jakarta Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah 2. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Aplikasi dubsmash belakangan ini sangat populer, yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana pandangan hukum mengenai video dubsmash yang menggunaan klip audio yang berasal dari film/lagu? Dan apakah seseorang bisa dituntut karena penggunaan video dubsmash? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Ciptaan yang Belum Didaftarkan 29 Okt 2015 Perbedaan Jangka Waktu Hak Cipta di Indonesia dan Negara Lain, Mana yang Dipakai? 12 Okt 2015 Rekan Kerja Menjual Karya Arsitektur Tanpa Izin 10 Agt 2015 Menggunakan Buku Ciptaan Orang Lain untuk Mengajar Tanpa Melanggar UU Hak Cipta 28 Mei 2015 Terima kasih atas pertanyaan Anda. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Intisari: Pihak yang mengunggah video ke Dubsmash dapat digugat jika ia menggunakan audio populer karena penggunaan audio populer dalam video Dubsmash merupakan bentuk modifikasi ciptaan dan dapat menimbulkan dampak bagi nilai intrinsik audio tersebut. Terlebih lagi, pengguna dapat menyebarkan video yang dibuatnya di Dubsmash ke media jejaring sosial. Ketika video Dubsmash yang disebarkan di jejaring sosial tersebut menjadi populer, bukan tidak mungkin terjadi perubahan persepsi publik terhadap audio yang digunakan dalam video tersebut, yang mungkin saja bertentangan dengan persepsi yang pada awalnya ingin dimunculkan oleh pencipta audio. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Secara hukum, seluruh hasil karya kreatif seseorang, termasuk di dalamnya klip audio yang berasal dari film atau lagu, secara otomatis telah terlindungi hak cipta, bahkan tanpa perlu ada proses pendaftaran. Hal tersebut karena perlindungan hak cipta muncul seketika setelah pencipta mengkonkretkan ide kreatif yang dimilikinya ke dalam bentuk berwujud. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) mengatur sebagai berikut: Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak eksklusif berarti pemegang hak cipta memiliki kewenangan penuh untuk memberikan izin terkait penggunaan karya cipta miliknya, dan hanya pernyataan secara eksplisit dari pemegang hak cipta yang dapat membebaskan seseorang untuk dapat menggunakan karya cipta tersebut. Lalu bagaimana dengan video Dubsmash , yang pada praktiknya memungkinkan pengguna untuk mengunggah klip audio dari film atau lagu populer? Sebelum lebih jauh membahas terkait Hak Cipta, mari kita analisis terlebih dahulu cara kerja dari aplikasi Dubsmash ini. Pada dasarnya aplikasi ini memberikan wadah kepada para penggunanya untuk membuat video mereka saat melakukan lip-sync (sinkronisasi bibir) menggunakan audio atau rekaman suara populer yang berdurasi maksimum 10 detik. Untuk lebih mudah mencermati aplikasi Dubsmash ini, kita dapat menyederhanakan cara kerja dari aplikasi Dubsmash ini sebagai berikut: 1. Dalam membuat video, para pengguna aplikasi ini dapat menggunakan audio yang telah disediakan oleh Dubsmash ataupun audio lain yang diunggah sendiri. Pengguna yang mengunggah audio mereka sendiri dapat membiarkan pengguna lain menggunakan audio tersebut dalam video mereka. 2. Setelah video dibuat, para pengguna aplikasi ini kemudian dapat memilih untuk menyimpan hasil video tersebut untuk kepentingan pribadi atau menyebarkannya melalui media sosial. Dari poin pertama, kita dapat menganalisis secara hukum tindakan pengguna dalam mengunggah audio ke aplikasi Dubsmash . Ketika pengguna mengunggah audio milik pribadinya ke aplikasi Dubsmash , maka pengguna tersebut telah memberikan lisensi kepada Mobile Motion selaku pemilik aplikasi Dubsmash untuk menggunakan audio tersebut dalam aplikasi Dubsmash , seperti disebutkan dalam poin 6.2 dalam Terms of Service sebagai berikut: By uploading any Sound Recordings to the Service, you grant Mobile Motion a worldwide, unrestricted, non-exclusive, royalty-free, transferable licence to use any Sound Recordings that you upload to the Servi ce, along with your username, in connection with the Service, subject to these Terms and our Privacy Policy. Sehingga, pengguna tidak dapat menuntut Mobile Motion atas pelanggaran hak cipta jika pihak Mobile Motion menggunakan audio yang mereka unggah untuk kepentingan yang berkaitan dengan aplikasi Dubsmash . Pada praktiknya, rekaman suara yang diunggah oleh pengguna inilah yang menjadi persoalan, karena banyak dari rekaman suara tersebut merupakan potongan suara dari lagu atau film populer yang dilindungi oleh hak cipta. Ketika seseorang mengunggah karya cipta yang bukan miliknya ke sebuah media elektronik yang dapat diakses publik, apakah telah terjadi pelanggaran hak cipta? Dalam UUHC, hak yang dimiliki oleh pencipta berdasarkan UUHC dapat dikategorikan ke dalam dua jenis: Hak Moral dan Hak Ekonomi. Hak Ekonomi diatur dalam Pasal 8 UUHC sebagai berikut: Hak Ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Pasal 9 UUHC lebih lanjut mengatur sebagai berikut: (1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan. (2) Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Namun, terdapat pengecualian dalam Pasal 43 UUHC yang mengatur perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, salah satunya sebagai berikut: Pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut. Sehingga, berdasarkan UUHC, kegiatan mengunggah rekaman suara ke Dubsmash tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran atas hak ekonomi dari pencipta karena pengunggah tidak mendapatkan keuntungan secara komersial dari tindakan tersebut. Namun, selain dari hak ekonomi, terdapat pula hak moral dari pencipta. Hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk: [1] a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum; b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya; c. mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; d. mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Melihat ketentuan pasal tersebut, pencipta dapat menggunakan hak eksklusifnya untuk melarang pengguna Dubsmash menggunakan audio miliknya tanpa izin. Khususnya terkait dengan poin (e), karena penggunaan audio populer dalam video Dubsmash merupakan bentuk modifikasi ciptaan dan dapat menimbulkan dampak bagi nilai intrinsik audio tersebut. Terlebih lagi, seperti dijelaskan dalam poin kedua terkait cara kerja aplikasi Dubsmash di atas, pengguna dapat menyebarkan video yang dibuatnya di Dubsmash ke media jejaring sosial. Ketika video Dubsmash yang disebarkan di jejaring sosial tersebut menjadi populer, bukan tidak mungkin terjadi perubahan persepsi publik terhadap audio yang digunakan dalam video tersebut, yang mungkin saja bertentangan dengan persepsi yang pada awalnya ingin dimunculkan oleh pencipta audio. Untuk memastikan hak eksklusif pencipta terlindungi, Dubsmash sendiri sudah menyiapkan klausula baku terkait hak cipta yang harus dipenuhi oleh setiap pengguna aplikasi tersebut. Dalam poin 7.1 dari Terms of Service Dubsmash disebutkan bahwa Mobile Motion menghargai hak cipta dari para pemegang hak cipta dan mengharapkan para penggunanya melakukan hal yang sama. Selain itu, Mobile Motion juga memberikan jalan kepada pemegang hak cipta yang ingin mempertahankan hak ciptanya atas konten baik audio ataupun video yang diunggah ke Dubsmash . Poin 7.2 dalam Terms of Service Dubsmash menjelaskan langkah yang dapat diambil oleh pencipta untuk melaporkan pelanggaran hak cipta kepada Mobile Motion , dengan menyiapkan surat tertulis yang berisi informasi sebagai berikut: 1. Pernyataan bahwa pemegang hak cipta telah mengidentifikasi konten di Dubsmash yang telah melanggar hak cipta miliknya (atau pihak lain yang telah memberikan kuasa kepadanya); 2. Deskripsi karya cipta yang dilanggar; 3. Deskripsi konten di Dubsmash yang melanggar hak cipta dan keterangan di mana konten tersebut dapat ditemukan; 4. Informasi kontak pemegang hak cipta yang terdiri dari nama jelas, alamat, nomor telepon dan alamat surat elektronik yang dapat dihubungi; 5. Pernyataan bahwa pemegang hak cipta memiliki itikad baik; dan 6. Pernyataan bahwa surat laporan tersebut dibuat dengan akurat dan penulis surat adalah pemegang hak cipta atau orang yang telah diberikan kuasa. Selain itu, dalam Terms of Service Dubsmash terdapat ketentuan bahwa dengan menggunakan aplikasi Dubsmash , pengguna telah berjanji bahwa konten yang diunggahnya ke aplikasi Dubsmash tidak melanggar hak cipta, sebagaimana disebutkan dalam poin 12.1 sebagai berikut: You promise to us that: a. your User Content will not infringe the rights of any third party , including any intellectual property rights, rights in confidential information or rights in privacy; b. you have obtained all necessary permissions and consents from any persons appearing in User Content; and your User Content will comply with these Terms. c. your User Content will comply with these Terms. Dengan demikian, seseorang yang menggunakan aplikasi Dubsmash untuk membuat video dengan menggunakan audio populer yang dilindungi hak cipta bisa saja digugat oleh pemegang hak cipta atas pelanggaran hak cipta, setidaknya terkait dengan hak moral pencipta. [2] Pasal 98 UUHC mengatur sebagai berikut: Pengalihan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak dan tanpa persetujuan Pencipta yang melanggar hak moral Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. (i) Fakta-fakta terkait aplikasi Dubsmash diperoleh penulis dari pengalaman pribadi menggunakan aplikasi tersebut dalam perangkat ponsel pintar yang menggunakn sistem operasi Android. (ii) Terms of Service dari aplikasi Dubsmash dapat diakses secara daring di https://www.dubsmash.com/terms/ (Iii) Untuk penjelasan lebih lanjut terkait klausula baku dapat dilihat dalam artikel “Klausula Baku: Take it or leave it!” DASAR HUKUM: Undang-undang Hak Cipta No 28 tahun 2014 [1] Pasal 5 ayat (1) UUHC [2] Pasal 99 dan Pasal 98 UUHC hukum hak cipta klinik hukumonline hak eksklusif hak kekayaan intelektual haki hki plagiat karya hukumonline klinik video"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya punya usaha, akan tetapi beberapa waktu lalu saya dilaporkan ke kepolisian karena merek usaha saya sama dengan merek orang lain. Sejujurnya saya tidak pernah tahu menahu tentang hal ini. Apa yang harus saya lakukan apabila saya tidak pernah tahu bahwa merek tersebut adalah merek orang lain? Apakah saya tetap dipidana? Berapa lama jangka waktu penahanan saya apabila saya terbukti melanggar merek orang tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. yang pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 6 Agustus 2014. Merek Terdaftar Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 dimensi dan/atau 3 dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. [1] Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. [2] Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. [3] Untuk menjawab pertanyaan Anda, di sini kami asumsikan bahwa merek milik orang lain yang Anda maksud telah terdaftar. Baca juga: Cara Menghindari ‘Persamaan Pada Pokoknya’ dalam Merek Langkah Hukum Perdata Patut Anda ketahui terlebih dahulu makna dari istilah ‘ persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya ’ yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG , yaitu: Yang dimaksud dengan \"persamaan pada pokoknya\" adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam merek tersebut . Pemilik merek terdaftar dan/atau penerima lisensi merek terdaftar dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Niaga atas penggunaan tanpa hak atas merek dengan persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis, berupa gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan penggunaan merek tersebut . [4] Selain penyelesaian gugatan melalui Pengadilan Niaga, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. [5] Sanksi Pidana Tak hanya itu, atas penggunaan tanpa hak atas merek yang sama dengan merek terdaftar, dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 100 ayat (1) dan (2) UU MIG yang berbunyi: Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar. Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 miliar . Berdasarkan kronologi yang diterangkan, Anda memiliki usaha, sehingga patut diperhatikan pula bunyi Pasal 102 UU MIG , yaitu: Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta . Patut Anda catat, tindak pidana di atas merupakan delik aduan , sehingga hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari pemilik merek terdaftar dan/atau penerima lisensi merek terdaftar. [6] Menyambung pertanyaan Anda, dalam hal dilakukan secara tidak sengaja, bunyi rumusan tindak pidana di atas tidak mengatur eksplisit tentang unsur kesengajaan sama sekali, namun hanya menerangkan bahwa perbuatan dilakukan ‘dengan tanpa hak’, sehingga berlaku bagi siapa saja yang melanggar. Agar Tidak Menimbulkan Sengketa Hukum Sebagai informasi, sebelum menggunakan merek untuk barang atau jasa yang akan diperdagangkan, agar tidak timbul masalah di kemudian hari, Anda bisa mengajukan pendaftaran merek secara online dengan mengikuti Panduan Penggunaan Permohonan Pendaftaran Merek Melalui Aplikasi Merek . Kemudian, Anda juga dapat menelusuri merek yang telah terdaftar pada laman Pangkalan Data Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melihat apakah merek yang Anda gunakan atau akan daftarkan sudah terlebih dahulu didaftarkan orang lain atau belum. Kami juga telah merangkum proses pendaftaran merek pada artikel Proses Pendaftaran Merek . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Baca juga: Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis . Referensi : Panduan Penggunaan Permohonan Pendaftaran Merek Melalui Aplikasi Merek , diakses pada 4 Agustus 2020, pukul 14.00 WIB; Pangkalan Data Kekayaan Intelektual , diakses pada 4 Agustus 2020, pukul 14.10 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) [2] Pasal 1 angka 5 UU MIG [3] Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU MIG [4] Pasal 83 UU MIG [5] Pasal 93 UU MIG [6] Pasal 103 UU MIG hukumonline uu merek persamaan pada pokoknya merek kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon informasinya, di saat aturan PPKM ini diterapkan ada beberapa kategori sektor usaha yang ditetapkan persentase operasionalnya, untuk bidang industri bisa download izin operasional dan mobilitas kegiatan industri pada web SIINAS Kemenperin sebagaimana terlampir. Namun yang kami tanyakan, bagaimana dengan bidang perdagangan? Izin apa yang dapat pelaku usaha ajukan, yang termasuk ke dalam sektor kritikal tunjukan untuk penerapan PPKM ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Pembayaran THR Tak Boleh Dicicil, Ini Dasar Hukumnya 20 Mar 2024 THR Belum Dibayar, Bisakah Jadi Dasar untuk Mempailitkan Perusahaan? 26 Nov 2021 Hanya Pihak Ini yang Boleh Melakukan Rapid Tes Antigen 22 Jun 2021 Bolehkah Memotong Gaji Karyawan karena Perusahaan Terdampak COVID-19? 06 Mei 2021 Pelaksanaan Kegiatan Sektor Kritikal Selama PPKM Darurat Diktum Ketiga Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali (“Instruksi Mendagri 15/2021”) mengatur selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat COVID-19 di Wilayah Jawa dan Bali (“PPKM Darurat”), pelaksanaan kegiatan pada sektor diatur sebagai berikut: [1] Sektor non esensial diberlakukan 100% work from home (“WFH”); Sektor esensial seperti keuangan dan perbankan, pasar modal, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non penanganan karantina, industri orientasi ekspor, diberlakukan maksimal 50% staf. Di mana khusus untuk keuangan dan perbankan untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional adalah sebesar 25%. Kemudian khusus untuk industri orientasi ekspor sebesar 10% untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional. Sektor esensial pada sektor pemerintahan yang memberikan pelayanan publik yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya, diberlakukan 25% maksimal staf WFO dengan protokol kesehatan secara ketat; Sektor kritikal , seperti kesehatan, keamanan dan ketertiban masyarakat, penanganan bencana, energi, logistik, dan transportasi dan distribusi, makanan dan minuman serta penunjangnya, pupuk dan petrokimia, semen dan bahan bangunan, objek vital nasional, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (listrik, air dan pengelolaan sampah) diberlakukan 100% maksimal sta f . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun khusus untuk penanganan bencana sampai dengan utilitas dasar diberlakukan maksimal 25% staf haya pada fasilitas produksi/konstruksi/pelayanan kepada masyarakat dan untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bagi sektor kritikal sebagaimana Anda maksud diberlakukan 100% maksimal staf seperti yang telah dikemukakan di atas. Izin Operasional Sektor Kritikal Selama PPKM Darurat Sebelumnya perlu dipahami, memang benar bahwa pelaku usaha di bidang perindustrian harus memiliki Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (“IOMKI”) dari Kementerian Perindustrian, sebagaimana diterangkan oleh Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita pada laman Kementerian Perindustrian Republik Indonesia . Dalam laman tersebut, Agus menuturkan, dalam rangka pelaksanaan PPKM Darurat, maka hanya perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri yang memiliki IOMKI dan tergolong dalam sektor esensial dan kritikal yang dapat beroperasi sesuai dengan jumlah staf maksimal yang telah ditetapkan dalam Instruksi Mendagri 15/2021. Lantas menyambung pertanyaan Anda, untuk sektor usaha di bidang perdagangan, adakah izin tertentu yang perlu dimohonkan kepada Kementerian Perdagangan (“Kemendag”) selama pelaksanaan PPKM Darurat ini? Ani Mulyati , Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemendag, menegaskan selama PPKM darurat, tidak ada perizinan khusus dari Kemendag yang harus dimiliki pelaku usaha agar dapat menjalankan kegiatan operasionalnya. Adapun perizinan berusaha yang harus dimiliki pelaku usaha dalam bidang perdagangan berupa izin usaha dan izin komersial atau operasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Perdagangan dan perubahannya. Hal demikian juga diterangkan oleh M. Syafi Asmarullah dari Unit Pelayanan Terpadu Perdagangan (“UPTP”) Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, bahwa perizinan operasional bagi pelaku usaha selama PPKM Darurat diberikan oleh pejabat yang berwenang , dalam hal ini yaitu pihak yang mengeluarkan aturan mengenai PPKM Darurat itu sendiri, dan bukan Kemendag. Sebagai informasi tambahan, dikutip dari laman Kementerian Perdagangan Republik Indonesia , selama penerapan PPKM Darurat pada 3 - 20 Juli 2021, Kementerian Perdagangan membuka layanan konsultasi daring di sektor perdagangan, menggantikan konsultasi tatap muka oleh UPTP menggunakan aplikasi Zoom . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Perdagangan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 08 Tahun 2020 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Perdagangan REFERENSI:\n1. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia , diakses pada Senin, 12 Juli 2021 pukul 10.00 WIB\n2. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia , diakses pada Senin, 12 Juli 2021 pukul 10.00 WIB. Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan M. Syafi Asmarullah dari UPTP Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan via layanan konsultasi daring yang disediakan oleh Kementerian Perdagangan pada Senin, 12 Juli 2021 pukul 11.30 WIB dan Ani Mulyati selaku Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Perdagangan via telepon pada Senin, 12 Juli 2021 pukul 12.00 WIB . [1] Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali perusahaan ppkm ppkm darurat"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa pidana bagi orang yang menghina Pancasila? Apa bisa dikatakan menghina lambang Negara?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Perusahaan Memaksa Karyawan Menggunakan Bahasa Asing 23 Jul 2018 Bolehkah Ormas Ikut Kegiatan Politik? 25 Jan 2017 Sanksi Bagi Sekolah yang Tidak Menggelar Kegiatan Upacara Bendera 22 Agt 2016 Hal-hal yang Harus Diketahui Seputar Bendera Negara 01 Jun 2016 Intisari: Pancasila bukanlah lambang Negara, melainkan merupakan dasar Negara . Yang disebut dengan lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Tidak ada ketentuan soal pidana bagi pelaku penghinaan terhadap Pancasila sebagai dasar Negara. Jadi, mengusut atau mempidana penghina Pancasila sebagai dasar Negara dengan pasal penghinaan terhadap lambang Negara adalah salah. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pidana Bagi Penghina Lambang Negara Perlu kami luruskan bahwa Lambang Negara Indonesia bukanlah Pancasila , melainkan Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. [1] Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. [2] Penghinaan terhadap lambang Negara diatur dalam Pasal 154a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “Barang siapa menodai Bendera Kebangsaan Republik Indonesia dan Lambang Negara Republik Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamnya empat tahun atau denda setinggi-tingginya tiga ribu rupiah .” R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Beserta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.133) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menodai adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghina. Pasal 57 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”) juga mengatur larangan bagi setiap orang untuk mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara. Sanksi pidana bagi yang melanggar ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 68 UU 24/2009 : “Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Penjelasan lebih lanjut soal tindak pidana penghinaan terhadap lambang Negara dapat Anda simak artikel Jerat Pidana Bagi Penghina Lambang Negara . Pancasila Sebagai Dasar Negara Dalam Pasal 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara (“TAP MPR 1998”) ditetapkan bahwa pancasila sebagai dasar Negara, pasal tersebut berbunyi: “ Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. ” Oleh karena itu, kami luruskan bahwa Pancasila bukanlah lambang Negara, melainkan merupakan dasar Negara. Lalu adakah ancaman pidana bagi penghina Pancasila sebagai dasar Negara? Berdasarkan wawancara kami via telepon pada 1 Februari 2017 dengan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura , Pancasila merupakan dasar Negara bukan lambang Negara. Ini karena yang disebut dengan lambang Negara dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana juga telah dijelaskan di atas berdasarkan UU 24/2009. Pidana Bagi Orang Yang Menghina Pancasila Sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, Pancasila merupakan dasar Negara. Lantas apa pidana bagi orang yang menghina Pancasila sebagai dasar Negara? Berdasarkan hasil wawancara kami pada 2 Februari 2017 dengan Arsil Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) , Pancasila bukan lambang Negara, melainkan dasar Negara. Tidak ada ketentuan yang dapat mempidana penghinaan terhadap dasar Negara. Jadi mengusut atau mempidana penghina Pancasila sebagai dasar Negara dengan pasal penghinaan terhadap lambang Negara adalah salah. Jadi menjawab pertanyaan Anda, Pancasila adalah dasar Negara, bukan lambang Negara. Oleh karena itu tidak ada pengaturan pidana bagi pelaku penghinaan terhadap Pancasila sebagai dasar Negara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan ; 4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara . Catatan: Kami telah melakukan wawancara via telepon dengan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Charles Simabura pada 1 Februari 2017 pukul 14.43 WIB untuk meminta pendapatnya soal penghinaan terhadap Pancasila sebagai dasar Negara. [1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”) [2] Pasal 46 UU 24/2009 hukumonline google bahasa pancasila bendera kewarganegaraan tata negara klinik hukum lambang negara klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah terdapat kesamaan antara hak kebendaan dan hak perorangan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Hak kebendaan dan hak perorangan tidak memiliki kesamaan , sebab sifat, ciri-ciri dan cara dalam melaksanakan hak tersebut berbeda. Hak kebendaan adalah hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Sedangkan hak perseorangan secara sederhana adalah suatu hak yang melekat pada seseorang. Hak seseorang sebenarnya merupakan kewajiban bagi pihak lainnya yang dalam hal ini hukum memainkan perannya agar menjamin bahwa kepentingan seseorang akan diperhatikan oleh pihak yang lainnya. Perbedaan antara kedua hak tersebut yang mana tidak dapat disamakan , antara lain yaitu: Hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang, sedangkan hak perorangan bersifat relatif, artinya hanya dapat dipertahankan terhadap pihak tertentu. Hak kebendaan memberikan wewenang yang sangat luas kepada pemiliknya. Hak ini dapat dijual, dijaminkan, disewakan, atau dapat dipergunakan sendiri, sedangkan hak perorangan memberikan wewenang yang terbatas. Pemilik hak perorangan hanya dapat menikmati apa yang menjadi haknya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum kami menjawab pada inti pertanyaannya, maka kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dari hak kebendaan dan hak perorangan. Pengertian Hak Kebendaan dan Hak Perorangan Hak Kebendaan Menurut Abdulkadir Muhammad dalam bukunya Hukum Perdata Indonesia (hal. 136), hak kebendaan adalah hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Setiap orang harus menghormati hak tersebut. Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 62) menyatakan bahwa suatu hak kebendaan adalah sesuatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Hak kebendaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dapat dibedakan: pertama , hak kebendaan yang memberikan jaminan atau zakelijk zekenheidsrecht, contoh: gadai, hipotek, hak tanggungan, fidusia; Kedua , hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atau zakelijk genotsrecht, contoh: hak milik, bezit. [1] Hak Perorangan Sementara menurut Ronald Saija dan Roger F.X.V. Letsoin dalam Buku Ajar Hukum Perdata (hal. 45), pengertian hak perseorangan secara sederhana adalah suatu hak yang melekat pada seseorang. Hak seseorang sebenarnya merupakan kewajiban bagi pihak lainnya yang dalam hal ini hukum memainkan perannya agar menjamin bahwa kepentingan seseorang akan diperhatikan oleh pihak yang lainnya. Dikutip dari Ronald Saija dan Roger F.X.V. Letsoin dalam buku yang sama, dalam hal ini, ketika seseorang melakukan hubungan hukum dengan pihak lain, maka timbullah suatu perikatan antara orang-orang tersebut dan ketika perikatan (Subekti, 1982:122) itu berkaitan dengan untuk memenuhi suatu prestasi ( Pasal 1234 KUHPer ) berupa melakukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, maka di sinilah muncul hak perseorangan tersebut. Subekti menjelaskan bahwa suatu hak kebendaan, memberikan kekuasaan atas suatu benda , sedangkan suatu hak perseorangan ( persoonlijkrecht) memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seorang . Suatu hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak perseorangan hanyalah dapat dipertahankan sementara terhadap orang tertentu saja atau terhadap sesuatu pihak. [2] Perbedaan Hak Kebendaan dengan Hak Perorangan Melihat penjelasan di atas, menurut kami secara esensi , hak kebendaan dan hak perorangan tidak memiliki kesamaan , sebab sifat, ciri-ciri dan cara dalam melaksanakan hak tersebut berbeda. Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Mencari Sistem Hukum Benda Nasional (hal. 30) menjelaskan perbedaan antara kedua hak tersebut yang mana tidak dapat disamakan , yaitu: Hak kebendaan adalah absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang, sedangkan hak perorangan bersifat relatif, artinya hanya dapat dipertahankan terhadap pihak tertentu. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terbatas, sedangkan hak perorangan jangka waktunya terbatas. Hak kebendaan mempunyai droit de suite (zaaksgevolg), artinya mengikuti bendanya di manapun benda itu berada. Dalam hal ada beberapa hak kebendaan di atas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan berdasarkan urutan terjadinya ( asas prioritas/droit de preference). Sedangkan pada hak perorangan mana lebih dulu terjadi tidak dipersoalkan, karena sama saja kekuatannya (asas kesamaan /asas pari passu/asas paritas creditorium ) Hak kebendaan memberikan wewenang yang sangat luas kepada pemiliknya. Hak ini dapat dijual, dijaminkan, disewakan, atau dapat dipergunakan sendiri, sedangkan hak perorangan memberikan wewenang yang terbatas. Pemilik hak perorangan hanya dapat menikmati apa yang menjadi haknya. Hak ini hanya dapat dialihkan dengan persetujuan pemilik. Hal di atas ini yang dapat menjelaskan ketidaksamaan hak kebendaan dan hak perorangan. Hak kebendaan lebih memiliki bentuk yang spesial dibandingkan hak perorangan, ditambah hak kebendaan ada pada suatu benda tersebut, sementara hak perorangan terbatas atas subjek hukum (orang tertentu saja atau terhadap sesuatu pihak). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Referensi: Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya, 2014; Djaja S. Meliala. Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2015; Mariam Darus Badrulzaman. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni, 1983. Ronald Saija dan Roger F.X.V. Letsoin. Buku Ajar Hukum Perdata . Yogyakarta: Deepublish, 2016; Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa, 2003. [1] Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2015, hal. 8 [2] Subekti, hal. 63 hak hukumonline perdata hukum perikatan benda jaminan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya pernah mengurus pergantian KBLI di SIUP suatu CV, ternyata KBLI yang saya ajukan tidak bisa untuk CV yaitu untuk outsourcing. Ketika saya bertanya kepada dinas penanaman modalnya apakah ada ketentuan yang mengatur jelas apa-apa saja yang boleh atau tidak, pihak dinas tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan saya, apakah ada ketentuan jelas untuk pembagian KBLI CV dan PT? Lalu jika saya tetap melanggar, apa sanksinya? Terima kasih. Mohon bantuannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Badan Usaha yang Aman untuk Penyelenggara E-Marketplace 10 Des 2020 Cara Menghidupkan Kembali CV yang Vakum 20 Feb 2017 Bolehkah CV Bergerak di Beberapa Lapangan Usaha? 20 Mar 2014 Bolehkah CV Bergerak di Beberapa Lapangan Usaha? 20 Mar 2014 Easybiz adalah anak perusahaan hukumonline.com yang menawarkan solusi kemudahan, kenyamanan dan legalitas dalam berbisnis di Indonesia. Kami memberikan layanan pendirian badan usaha dan perizinan untuk UKM dan startup di Indonesia. Mulai dari proses pendirian PT, domisili, hingga pengurusan izin-izin yang diperlukan untuk memulai usaha. www.easybiz.id Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Intisari: Pertama , tidak ada pembagian Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia ( KBLI ) yang bisa digunakan untuk badan usaha berbentuk PT atau CV. Kedua , berdasarkan pendelegasian dari Menteri Perdagangan , ada kegiatan usaha yang bisa dijalankan dengan Surat Izin Usaha Perdagangan ( SIUP ) dan ada yang memerlukan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah atau instansi teknis tertentu. Untuk mengetahui apakah di suatu daerah untuk kegiatan usaha bisa menggunakan SIUP atau izin lain , maka Anda harus mempelajari peraturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha yang dijalankan dan mendatangi kantor dinas atau pemerintah daerah setempat. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan penggolongan bentuk usaha berbadan hukum, bentuk perusahaan CV memang tidak diperkenankan untuk menjalankan kegiatan usaha outsourcing . Lebih jauh lagi, izin usaha nya harus diajukan ke Kementerian Ket enaga k erja an , bukan dengan SIUP. Untuk di daerah maka diajukan ke Kantor Dinas Ketenagakerjaan . Kalau perusahaan Anda masih berbentuk CV tapi berniat mengajukan izin kegiatan usaha outsourcing, maka kemungkinan besar ditolak. Kami menyarankan Anda untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar bisnis Anda berjalan dengan lancar. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia ( “ KBLI ” ) adalah salah satu klasifikasi baku yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk aktivitas ekonomi. [1] Menurut informasi yang kami akses dari laman Badan Koordinasi Penanaman Modal (“ BKPM ”) , pada awalnya KBLI dirancang untuk keperluan analisis ekonomi, pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Dengan semakin strategisnya peranan dan penggunaan KBLI, klasifikasi ini juga digunakan untuk penentuan kualifikasi jenis kegiatan usaha dalam surat permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan ( “ SIUP ” ), Tanda Daftar Perusahaan ( “ TDP ” ), dan penentuan kualifikasi perizinan investasi. Surat Izin Usaha Perdagangan Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag 36 /2007 ”) , SIUP merupakan surat izin/ legalitas usaha di bidang perdagangan. [2] Jadi siapapun yang akan melakukan kegiatan perdagangan, baik pe se orangan ataupun perusahaan, harus memiliki SIUP. Pengecualian untuk memiliki SIUP diberikan kepada salah satunya, perusahaan kecil pe se orangan yang tidak berbentuk badan hukum atau persekutuan , diurus, dijalankan, atau dikelola sendiri oleh pemiliknya atau anggota keluarganya , dan memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. [3] Dengan demikian , untuk perusahaan berbentuk CV (Persekutuan Komanditer) tidak dikecualikan dari keharusan memiliki SIUP untuk legalitas usaha perdagangannya dan kode bidang usaha yang dicantumkan di SIUP acuannya adalah KBLI. Tapi apakah hanya SIUP yang bisa dijadikan legalitas usaha untuk CV dan apakah ada perbedaan atau pembagian KBLI untuk perusahaan berbentuk PT (Perseroan Terbatas) ( Baca juga: Prosedur dan Syarat Pendirian PT di Tahun 2017 yang Wajib Anda Ketahui ) atau CV ? Untuk menjawabnya, a da beberapa peraturan yang bisa dijadikan rujukan: a. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No mor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“ UU Perdagangan”) menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memiliki perizinan di bidang perdagangan yang diberikan oleh menteri. Perizinan di bidang perdagangan termasuk izin usaha, izin khusus, pendaftaran, pengakuan, dan persetujuan. [4] Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan pemberian perizinan kepada pemerintah daerah atau instansi teknis tertentu. [5] Dari peraturan ini, dapat ditafsirkan bahwa berdasarkan delegasi dari menteri, pemerintah daerah dan instansi teknis dapat menentukan aturan pemberian perizinan, termasuk SIUP, izin khusus, pendaftaran, pengakuan, dan persetujuan. Jadi, SIUP bukan satu-satunya izin untuk melakukan kegiatan usaha. b. Pasal 5 huruf C Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/Per/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag 46 /2009 ”) menyatakan bahwa SIUP dilarang digunakan untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan lainnya yang telah diatur melalui ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri. Dari ketentuan ini dapat ditafsirkan bahwa untuk menentukan apakah suatu kegiatan memerlukan SIUP atau izin yang lain harus melihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha tersebut. Sebagai contoh untuk kegiatan usaha layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi ( financial technology ) acuannya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No mor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”) . Di peraturan ini disebutkan bahwa bentuk perusahaan untuk menjalankan kegiatan yang adalah PT atau Koperasi dan perizinannyapun diajukan ke dan dikeluarkan oleh OJK. [6] c. Keputusan Kepala BPTSP No mor 50 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Nomor 120 Tahun 2015 tenta ng Penetapan Penggunaan Kode KBLI pada Perizinan Perdagangan (“Keputusan Kepala BPTSP 5 0 /2016”) . Di Lampiran Keputusan Kepala BPTSP 5 0 /2016 , Pemda DKI sudah menentukan kode bidang atau kegiatan usaha yang bisa menggunakan SIUP . Dari ringkasan beberapa peraturan diatas, menurut hemat kami ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama , tidak ada pembagian KBLI yang bisa digunakan untuk badan usaha berbentuk PT atau CV. Kedua , berdasarkan pendelegasian dari Menteri Perdagangan , ada kegiatan usaha yang bisa dijalankan dengan SIUP dan ada yang memerlukan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah atau instansi teknis tertentu. Untuk mengetahui apakah di suatu daerah untuk kegiatan usaha bisa menggunakan SIUP atau izin lain , maka Anda harus mempelajari peraturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha yang dijalankan dan mendatangi kantor dinas atau pemerintah daerah setempat. Kemudian untuk mengetahui atau memastikan apakah untuk suatu kegiatan usaha bentuk perusahaannya harus PT atau CV kembali lagi harus dipelajari peraturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut. Bahkan, untuk lebih pastinya sebaiknya datang langsung ke kementerian, pemerintah daerah, atau instansi terkait untuk mengetahui aturan main terbaru terkait dengan kegiatan usaha yang akan dijalankan karena tidak semua peraturan terbaru langsung dipublikasikan oleh kementerian atau pemerintah daerah. Badan Usaha yang Menjalankan Kegiatan Outsourcing Menjawab pertanyaan Anda di atas, untuk kegiatan usaha outsourcing kita harus mengacu ke Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi : Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Menurut Chidir Ali dalam bukunya Badan Hukum , yang digolongkan sebagai bentuk usaha berbadan hukum adalah: 1. Perseroan Terbatas 2. Koperasi 3. Persero (PT yang modalnya dari pemerintah) 4. Yayasan Jadi berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan penggolongan bentuk usaha berbadan hukum, bentuk perusahaan CV memang tidak diperkenankan untuk menjalankan kegiatan usaha outsourcing . Lebih jauh lagi, izin usaha nya kemungkinan besar harus diajukan ke Kementerian Ket enaga k erja an , bukan dengan SIUP. Untuk di daerah maka diajukan ke Kantor Dinas Ketenagakerjaan . Jika perusahaan Anda masih berbentuk CV tapi berniat mengajukan izin kegiatan usaha outsourcing , maka kemungkinan besar ditolak. Kami menyarankan agar Anda memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar bisnis Anda berjalan dengan lancar. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Easybiz adalah anak perusahaan hukumonline.com yang membantu pendirian perusahaan untuk UKM dan startup di Indonesia. Untuk informasi mengenai prosedur, syarat dan biaya pendirian PT, pendirian CV, serta perizinan usaha hubungi Easybiz di Tel: 0812 9875 5257 atau email: [email protected] Untuk mengetahui penawaran dan promo kami terbaru silakan cek http://easybiz.id/paket-promo-pembuatan-pt-di-jakarta/ DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No mor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan ; 2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan sebagaimana yang telah diubah terakhir kali oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07/M-DAG/PER/2/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-Dag/Per/9/2007 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan ; 3. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 95 Tahun 2015 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 95 Tahun 2015 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia ; 4. Keputusan Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu No mor 50 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Nomor 120 Tahun 2015 tenta ng Penetapan Penggunaan Kode KBLI pada Perizinan Perdagangan ; 5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No mor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi . REFERENSI:\n1. http://www.bkpm.go.id/id/prosedur-investasi/klasifikasi-baku-lapangan-usaha , diakses pada 12 Juni 2017 pukul 10.58 WIB [1] Bagian Pendahuluan Lampiran Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 95 Tahun 2015 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“Peraturan BPS 95/2015”) [2] Pasal 1 angka 4 Permendag 36/2007 [3] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/Per/9/2007 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag 46/2009”) [4] Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU Perdagangan [5] Pasal 24 ayat (2) UU Perdagangan [6] Pasal 7 POJK 77/2016 alih daya bisnis pt hukumonline google bkpm tdp perseroan terbatas hukum klinik investasi perusahaan klinik hukumonline outsourcing siup cv"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah diperkenankan jika seseorang yang sudah melaksanakan kerja selama 1 bulan full akan tetapi perusahaan membayar upahnya di tanggal 10 bulan berikutnya? Terkadang, perusahaan juga membayar upah lebih dari tanggal 10 setiap bulan. Sehingga seakan-akan tenaga kerja harus kerja selama 40 hari baru akan mendapatkan upah selama 1 bulan. Lalu, adakah ketentuan soal tanggal pembayaran gaji?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, upah merupakan hak dari seorang pekerja/buruh. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan yaitu pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.\nAdapun yang dimaksud upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.[1]\n\nBerdasarkan pengertian upah di atas, artinya upah harus ditetapkan dan dibayarkan sesuai perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan.\n\nSelain itu, penting untuk diketahui juga bahwa upah wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang bersangkutan, sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.[2]\nKetentuan Tanggal Pembayaran Gaji\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, maka perlu diketahui bahwa upah ditetapkan berdasarkan:[3]\n\na.\nsatuan waktu; dan/atau\n\nb.\nsatuan hasil.\n\nUpah berdasarkan satuan waktu ditetapkan secara per jam, harian, atau bulanan.[4] Sementara, upah berdasarkan satuan hasil ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati.[5] Lalu, upah berdasarkan satuan hasil dilakukan oleh pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.[6]\n\nAdapun mengenai pembayaran upah dapat dibayarkan dengan cara harian, mingguan, atau bulanan.[7] Selain itu, jangka waktu pembayaran upah oleh pengusaha tidak boleh lebih dari 1 bulan.[8]\n\nMengenai pengertian harian, dapat merujuk pada Pasal 1 angka 28 UU Ketenagakerjaan, yaitu waktu selama 24 jam. Sementara pengertian seminggu dapat merujuk pada Pasal 1 angka 29 UU Ketenagakerjaan yaitu waktu selama 7 hari. Sayangnya, pengertian dari “sebulan” atau “sebulan sekali” tidak terdapat pada UU Ketenagakerjaan maupun PP Pengupahan dan perubahannya secara eksplisit.\n\nNamun, ada ketentuan soal pembayaran pesangon bagi pekerja yang penghasilannya dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 dikalikan upah sehari.[9]\n\nHal ini bisa dimaknai bahwa yang dimaksud satu bulan dalam sistem pembayaran gaji bulanan yaitu terhitung 30 hari kerja.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, fakta bahwa Anda bekerja dan baru dibayar upahnya setelah 40 hari, menurut hemat kami pengusaha/perusahaan telah melanggar aturan Pasal 55 ayat (4) PP Pengupahan. Hal ini karena upah seorang pekerja/buruh tidak boleh dibayarkan lebih dari 1 bulan.\n\nBerdasarkan Pasal 61 ayat (1) PP Pengupahan, jika pengusaha membayar upah lebih dari 1 bulan, maka dapat dianggap telat membayar upah dan berpotensi dikenai denda dengan ketentuan:[10]\n\nmulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% untuk setiap hari keterlambatan dari upah yang seharusnya dibayarkan;sesudah hari kedelapan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditambah 1% untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan; dansesudah sebulan, apabila masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga tertinggi yang berlaku pada bank pemerintah.\n\nJadi, bagi perusahaan yang baru membayar upah pekerjanya setelah 40 hari, berpotensi dikenai denda dengan ketentuan di atas. Kenyataan bahwa Anda bekerja seakan-akan selama 40 hari karena tanggal pembayaran upah adalah tanggal 10 bulan berikutnya, mungkin hanya akan dirasakan pada bulan pertama, karena bila tanggal pembayaran upah adalah setiap tanggal 10 maka pada tanggal 10 bulan berikutnya lagi secara matematis akan genap sebulan (kurang lebih 30 hari). Adapun dalam keadaan Anda yang bekerja selama 40 hari, menurut hemat kami, Anda berhak atas tambahan upah yang dihitung secara pro rata sesuai jumlah tambahan hari kerja lewat dari sebulan.\n\nSelain itu, kami menyarankan agar Anda meninjau kembali isi perjanjian kerja untuk mengetahui apakah memang disebutkan bahwa pembayaran upah dilakukan setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Bila memang diatur demikian dan Anda menyepakati ketentuan tersebut, berarti Anda sudah harus memahami keadaan tersebut.\nAdakah Ketentuan Soal Tanggal Pembayaran Gaji?\n\nSebagaimana telah kami jelaskan di atas, hal pokok yang diatur adalah pengusaha wajib membayar upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.\n\nKemudian, apabila hari atau tanggal gajian yang telah disepakati jatuh pada hari libur, hari yang diliburkan, atau hari istirahat mingguan, maka pelaksanaan pembayaran upah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[11]\n\nSehingga dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menjawab pertanyaan adakah ketentuan soal tanggal pembayaran gaji? Penentuan kapan tanggal gajian seharusnya diatur dalam kesepakatan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\n\nUntuk menambah pemahaman, Anda dapat membaca artikel Hukumnya Jika Perusahaan Mengubah Tanggal Gajian.\n\nBaca juga: Slip Gaji, Wajibkah?\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6551988895cb1?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_51_2023)\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)[2] Pasal 55 ayat (1) PP Pengupahan[3] Pasal 14 PP Pengupahan[4] Pasal 15 PP Pengupahan[5] Pasal 18 ayat (1) PP Pengupahan[6] Pasal 18 ayat (2) PP Pengupahan[7] Pasal 55 ayat (3) PP Pengupahan[8] Pasal 55 ayat (4) PP Pengupahan[9] Pasal 67 ayat (1) huruf a PP Pengupahan[10] Pasal 61 ayat (1) PP Pengupahan[11] Pasal 55 ayat (2) PP Pengupahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau menanyakan apakah standar gaji untuk lulusan S1 itu diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan? Jika tidak, maka apakah perusahaan bisa memberikan gaji yang tidak layak untuk lulusan S1 dengan pekerjaan accounting? Mengapa yang diatur hanya gaji minimum untuk buruh sementara yang diketahui buruh itu rata-rata pendidikan SMP atau SMA? Terus bagaimana jika pekerja sudah bekerja selama 3 tahun, apakah gaji yang didapatkan bisa sama dengan karyawan/pegawai baru? Berhubung karena saya sudah bekerja selama hampir 3 tahun dan saya saat ini hanya memperoleh gaji Rp1.840.000, sedangkan untuk karyawan baru yang jabatannya sebagai kasir itu memperoleh gaji Rp1.560.000. Tolong dibantu, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Adakah Ketentuan Standar Gaji Karyawan Lulusan S1? yang dibuat oleh Umar Kasim dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 10 Juni 2013. Sebelumnya, meluruskan pernyataan Anda, sebenarnya pengaturan mengenai hak-hak pekerja/buruh mengenai pengupahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) berlaku untuk setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, sesuai dengan definisi pekerja/buruh itu sendiri pada Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan . Dengan demikian, maka ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan juga berlaku bagi Anda selaku pekerja/buruh yang bekerja dengan menerima upah, terlepas dari status dan latar belakang pendidikan Anda. Pengaturan Upah secara Umum Pada dasarnya, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. [1] Untuk itu, pemerintah menetapkan sejumlah kebijakan pengupahan untuk melindungi hak pekerja/buruh tersebut, [2] yang di antaranya meliputi kebijakan upah minimum serta struktur dan skala upah . [3] Kebijakan Upah Minimum Pada dasarnya, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum . [4] Upah minimum yang dimaksud di sini yaitu Upah Minimum Provinsi (“UMP”) dan/atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (“UMK”). [5] Pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum dikenai pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta. [6] Dalam pertanyaan Anda, Anda tidak menyebutkan di mana lokasi Anda bekerja. Padahal, hal tersebut penting untuk mengetahui berapa besaran UMP dan/atau UMK di tempat kerja Anda mengingat besaran UMP di masing-masing provinsi berbeda. Sebagai contoh, merujuk pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 103 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2021 , UMP DKI Jakarta tahun 2021 sebesar Rp4.416.186,548 per bulan. Sebagai contoh lain, merujuk pada Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 562-600-2020 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat Tahun 2021 , UMP Provinsi Sumatera Barat tahun 2021 sebesar Rp.2.484.041 per bulan. Untuk itu, kami menyarankan Anda untuk mengecek kembali besaran UMP di provinsi tempat Anda bekerja agar Anda dapat mengetahui apakah upah yang Anda dapatkan selama ini sudah sesuai dengan UMP yang ditetapkan oleh gubernur di daerah Anda bekerja atau belum. Selain itu, perlu dicatat bahwa upah minimum berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan. [7] Sedangkan upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan. [8] Karena Anda telah bekerja lebih dari 1 tahun, maka Anda dapat merundingkan secara bipartit dengan pengusaha yang mempekerjakan Anda mengenai upah Anda. Di sisi lain, apabila besaran upah Anda ternyata dibawah UMP, maka Anda bisa mengambil langkah hukum sebagaimana diterangkan dalam Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum . Besaran Gaji Pekerja Lama yang Hampir Sama dengan Pekerja Baru Di dalam pertanyaan Anda, Anda menyatakan bahwa Anda bekerja sebagai akuntan. Kemudian, Anda membandingkan besaran gaji Anda sebagai akuntan selama 3 tahun dengan besaran gaji pekerja baru yang dipekerjakan sebagai kasir. Dalam hal ini, pada dasarnya peraturan perundang-undangan memang tidak mengatur pembedaan besaran upah bagi posisi-posisi tertentu . Adapun, sebagaimana yang telah kami singgung di atas, pemerintah hanya mengatur kebijakan pengupahan agar tidak berada di bawah standar minimum sebagai jaring keamanan sosial sehingga diharapkan tidak terjadi eksploitasi pekerja. Sedangkan, upah di atas upah minimum adalah murni merupakan domain dan wilayah perdata yang harus menghargai kesepakatan di antara para pihak. Artinya, pemerintah tidak bisa terlalu jauh ikut campur mengenai pengupahan pada aspek privat (perdata), khususnya upah di atas upah minimum tersebut. Selain itu, yang juga dilakukan oleh pemerintah melalui undang-undang dan peraturan pelaksananya adalah mewajibkan pemberi kerja untuk menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, [9] sebagai pedoman perusahaan dalam menentukan upah [10] sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. [11] Penyusunan struktur dan skala upah tersebut dilakukan dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan , dan kompetensi . [12] Berdasarkan penjelasan di atas, kami berpendapat bahwa seharusnya gaji pekerja/buruh sudah bekerja selama 3 tahun atau lebih, tidak dapat diperlakukan sama atau setara dengan gaji pekerja/buruh yang masa kerjanya baru/lebih singkat. Akan tetapi dalam hal ini juga perlu diperhatikan faktor-faktor lain seperti kompentensi, tingkat produktivitas dan profesionalisme buruh/pekerja yang bersangkutan. Ketentuan Standar Gaji bagi Lulusan S1 Sehingga dapat kami sampaikan bahwa sepanjang penelusuran kami, tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai standar gaji bagi lulusan S1 (strata-1). Namun perlu dipahami bahwa dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (“Perpres KKNI”) , kualifikasi tenaga kerja di Indonesia tidak akan hanya dinilai dan dihargai dari jenjang pendidikan formalnya, tetapi juga pelatihan kerja dan pengalaman kerja. [13] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 103 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2021 Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 562-600-2020 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Provinsi Sumatera Barat Tahun 2021 [1] Pasal 81 angka 24 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [2] Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 ayat (3) huruf a dan b UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88E ayat (2) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88C ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan [6] Pasal 81 angka 63 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [7] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88E ayat (1) UU Ketenagakerjaan [8] Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan [9] Pasal 81 angka 30 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [10] Pasal 81 angka 30 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [11] Penjelasan Pasal 81 angka 30 UU Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [12] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah (“Permenaker 1/2017”) [13] Pasal 3 Perpres KKNI struktur dan skala upah upah minimum ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada ketentuan yang menyebutkan bahwa bagi pekerja difabel perjanjian kerjanya berbeda dengan kontrak kerja bagi karyawan yang sehat dan normal? Apakah ada contoh template kontrak untuk pekerja difabel? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Adakah Kontrak Kerja Khusus Bagi Pekerja Difabel yang pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 7 April 2015. Istilah Penyandang Disabilitas Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan , d ifabel berarti penyandang cacat. Kemudian pada laman Kementerian Pertahanan dalam artikel Kebijakan Penanganan Penyandang Disabilitas Personel Kemhan dan TNI , dijelaskan bahwa difabel merupakan akronim dari different ability atau different ability people , yaitu manusia dengan kemampuan yang berbeda. Masih dari artikel yang sama, istilah disabilitas merupakan sebuah istilah yang netral dan tidak menyimpan potensi diskriminasi dan stigmatisasi. Definisi yang diberikan oleh International Classification of Functioning for Disability and Health , yang kemudian disepakati oleh World Health Assembly dan digunakan oleh World Health Organization , yaitu “ disability serves as an umbrella term for impairments, activity limitations or participation restrictions ” (disabilitas adalah “payung” terminologi untuk gangguan, keterbatasan aktivitas atau pembatasan partisipasi). Sedangkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (“UU 8/2016”) , menyatakan: Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak . Patut dicatat, istilah penyandang cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU 8/2016 berlaku, harus dibaca dan dimaknai sebagai penyandang disabilitas , sepanjang tidak bertentangan dengan UU 8/2016. [1] Hak-hak Pekerja Penyandang Disabilitas Menjawab pertanyaan Anda, penyandang disabilitas memiliki hak pekerjaan , kewirausahaan, dan koperasi, meliputi : [2] memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta tanpa diskriminasi ; memperoleh upah yang sama dengan pekerja yang bukan penyandang disabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama ; memperoleh akomodasi yang layak dalam pekerjaan; tidak diberhentikan karena alasan disabilitas; mendapatkan program kembali bekerja; penempatan kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat; memperoleh kesempatan dalam mengembangkan jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya; dan memajukan usaha, memiliki pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri. Pemberi kerja dalam proses rekrutmen pekerja penyandang disabilitas dapat : [3] melakukan ujian penempatan untuk mengetahui minat, bakat, dan kemampuan; menyediakan asistensi dalam proses pengisian formulir aplikasi dan proses lainnya yang diperlukan; menyediakan alat dan bentuk tes yang sesuai dengan kondisi disabilitas; dan memberikan keleluasaan dalam waktu pengerjaan tes sesuai dengan kondisi penyandang disabilitas. Pemberi kerja dalam penempatan pekerja penyandang disabilitas dapat : [4] memberikan kesempatan untuk masa orientasi atau adaptasi di awal masa kerja untuk menentukan apa yang diperlukan, termasuk penyelenggaraan pelatihan atau magang; menyediakan tempat bekerja yang fleksibel dengan menyesuaikan kepada ragam disabilitas tanpa mengurangi target tugas kerja; menyediakan waktu istirahat; menyediakan jadwal kerja yang fleksibel dengan tetap memenuhi alokasi waktu kerja; memberikan asistensi dalam pelaksanaan pekerjaan dengan memperhatikan kebutuhan khusus penyandang disabilitas; dan memberikan izin atau cuti khusus untuk pengobatan. Pemberi kerja juga wajib memberi upah kepada pekerja penyandang disabilitas yang sama dengan pekerja yang bukan penyandang disabilitas dengan jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama . [5] Selain itu, pemberi kerja wajib menyediakan akomodasi yang layak dan fasilitas yang mudah diakses serta membuka mekanisme pengaduan atas tidak terpenuhinya hak penyandang disabilitas. [6] Pemberi kerja juga wajib menjamin agar penyandang disabilitas dapat melaksanakan hak berserikat dan berkumpul dalam lingkungan pekerjaan. [7] Setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak yang dimaksud dalam Pasal 11 UU 8/2016 dipidana penjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp200 juta. [8] Perjanjian Kerja bagi Penyandang Disabilitas Berdasarkan penelusuran kami, pada dasarnya tidak ada perbedaan khusus tentang perjanjian kerja yang diperuntukkan bagi pekerja pada umumnya dengan perjanjian kerja pekerja penyandang disabilitas. Hal ini karena aturan ketenagakerjaan menganut prinsip perlakuan yang sama (tanpa diskriminasi) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi: Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Prinsip ini memiliki arti bahwa setiap pekerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan pekerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang disabilitas . [9] Prinsip tanpa diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan ini juga tercantum dalam Pasal 11 huruf a UU 8/2016 yang kami terangkan di atas dan kembali ditekankan dalam Pasal 45 UU 8/2016 : Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin proses rekrutmen, penerimaan, pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlanjutan kerja, dan pengembangan karier yang adil dan tanpa Diskriminasi kepada Penyandang Disabilitas Ada hal-hal khusus yang perlu diperhatikan dalam mempekerjakan pekerja penyandang disabilitas, antara lain: Pelatihan kerja bagi pekerja penyandang disabilitas dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat disabilitas, dan kemampuan pekerja penyandang disabilitas yang bersangkutan; [10] Pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat disabilitasnya. Misalnya penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat disabilitasnya; [11] Pemberi kerja harus memerhatikan hak-hak pekerja penyandang disabilitas dalam Pasal 48 UU 8/2016 yang kami terangkan di atas. Menjawab pertanyaan Anda, soal perjanjian kerja bagi pekerja penyandang disabilitas, pada Bab IX UU Ketenagakerjaan mengenai hubungan kerja, tidak terdapat pasal-pasal yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan hak-hak pekerja penyandang disabilitas . Adapun perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan . Untuk perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, antarkerja antardaerah, antarkerja antarnegara, dan perjanjian kerja laut. [12] Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat: [13] nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja; jabatan atau jenis pekerjaan; tempat pekerjaan; besarnya upah dan cara pembayarannya; syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja; mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Selain memuat hal-hal di atas, pemberi kerja perlu menuangkan hal-hal khusus yang perlu diperhatikan pada Pasal 19 UU Ketenagakerjaan (tentang p elatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas) , Pasal 67 UU Ketenagakerjaan (tentang perlindungan penyandang disabilitas di tempat kerja), dan Pasal 48 UU 8/2016 (tentang penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas) dalam perjanjian kerja dengan pekerja penyandang disabilitas yang bersangkutan . Kami mencontohkan perjanjian kerja bagi pekerja penyandang disabilitas tuna netra. Dalam hal yang dimaksud adalah perjanjian kerja waktu tertentu, perjanjian itu wajib dibuat secara tertulis. [14] Perjanjian kerja ini juga dibuat atas dasar: [15] kesepakatan kedua belah pihak ; kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, perjanjian kerja bagi pekerja penyandang disabilitas tuna netra yang dipekerjakan untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis. Kami menyarankan sebaiknya perjanjian kerja dibuat juga menggunakan huruf braille agar pekerja mengetahui pasti apa yang telah disepakatinya, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan pekerja penyandang disabilitas. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Referens i: Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan , diakses pada 22 Juli 2020, pukul 13.11 WIB; Pusat Rehabilitasi Kementerian Pertahanan , diakses pada 22 Juli 2020, pukul 13.11 WIB. [1] Pasal 148 UU 8/2016 [2] Pasal 11 UU 8/2016 [3] Pasal 47 UU 8/2016 [4] Pasal 48 UU 8/2016 [5] Pasal 49 UU 8/2016 [6] Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU 8/2016 [7] Pasal 51 UU 8/2016 [8] Pasal 145 jo. Pasal 143 huruf b UU 8/2016 [9] Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan [10] Pasal 19 UU Ketenagakerjaan [11] Pasal 67 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya [12] Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya [13] Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [14] Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [15] Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan penyandang cacat perjanjian hukumonline ketenagakerjaan pekerja perjanjian kerja kontrak kerja buruh tenaga kerja hukum klinik difabel klinik hukumonline cacat kontrak"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah larangan terhadap pengadilan yang memeriksa saksi dalam keadaan sakit? Dan diatur di undang-undang mana? Thanks."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. KLINIK TERKAIT Sahkah Keterangan Anak sebagai Saksi Tindak Pidana? 19 Sep 2023 Sumpah Saksi di Pengadilan, Begini Aturannya 14 Jul 2022 Definisi Saksi Mahkota 20 Agt 2019 Adakah Aturan Khusus yang Melindungi Anak sebagai Saksi? 20 Nov 2013 Sedangkan, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu ( Pasal 1 angka 27 KUHAP ). Kemudian kami akan menjelaskan perihal kehadiran saksi di muka sidang pengadilan untuk memberikan keterangannya. Menurut Pasal 152 ayat (2) KUHAP, hakim dalam menetapkan hari sidang memerintahkan penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perihal pemberian keterangan saksi di sidang pengadilan juga ditegaskan dalam Pasal 185 KUHAP: “ keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Dari pasal di atas diketahui bahwa saksi dalam memberikan keterangannya memang harus datang di sidang pengadilan. Adapun dalam praktik dan seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini saksi bisa memberikan keterangannya melalui teleconference. Selengkapnya mengenai pemberian keterangan saksi melalui teleconference ini dapat Anda simak dalam artikel Tentang Pemeriksaan Saksi Lewat Teleconference . Lalu apakah hakim di pengadilan boleh memeriksa saksi yang sedang sakit? Sepanjang penelusuran kami, tidak ada ketentuan dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang melarang hakim di pengadilan untuk memeriksa saksi yang sedang sakit. Akan tetapi jika saksi tersebut tidak dapat memberikan keterangan karena sakit, saksi harus memberikan alasan yang jelas. Ini karena jika saksi tidak hadir padahal telah dipanggil dengan sah, dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan ( Pasal 159 ayat (2) KUHAP ). Dalam KUHAP sendiri tidak di sebutkan secara tegas dan eksplisit b il a saksi tidak dapat menghadiri sidang karena sakit. Yang diatur dalam KUHAP adalah jika saksi meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara. Alasan \"halangan yang sah\" itu akhirnya juga bisa diartikan sebagai sakit dengan catatan ada surat keterangan dari dokter. Dalam keadaan demikian, jika saksi sudah memberikan keterangan dalam penyidikan, keterangan yang diberikannya itu dibacakan dalam sidang pengadilan ( Pasal 162 ayat (1) KUHAP ). Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang ( Pasal 162 ayat (2) KUHAP ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana saksi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon dijelaskan apakah ada aturan yang mengatur penggunaan borgol untuk sipil? Apakah sipil diperbolehkan memiliki dan menggunakan borgol? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Adakah Alat Pertahanan Diri yang Diperbolehkan di Indonesia? 10 Jul 2023 Bolehkah Membawa Keris? 31 Okt 2015 Bisakah Dipidana Jika Kedapatan Membawa Parang di Dalam Mobil? 09 Mei 2014 Hukum Memiliki Stun Gun 11 Jun 2013 Intisari: Sepanjang penelusuran kami, tidak ada aturan khusus soal larangan penggunaan borgol bagi warga sipil. Meski demikian, ada aturan pemilikan dan penggunaan borgol bagi anggota satpam sebagai kelengkapan pengamanan atau bagi anggota Polri sebagai salah satu perlengkapan dalam memberikan perlindungan khusus untuk pihak pelapor, saksi, dan keluarga pada tindak pidana pencucian uang. Bahkan pernah ada kasus di suatu daerah dimana Kapolrestabesnya punya cara unik demi menjaga keamanan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat, yakni dengan membagi-bagikan hadiah borgol, pentungan 'letter T', dan senter sebagai alat penerangan untuk masyarakat yang secara sukarela menjadi petugas siskamling. Jadi pada dasarnya, pemilikan borgol oleh warga sipil ini tidak dilarang. Namun, berbeda halnya apabila borgol tersebut kemudian digunakan sebagai alat melakukan tindak pidana. Pelakunya dapat dijerat pasal pidana bergantung pada tindak pidana yang dilakukannya dengan menggunakan borgol itu. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Borgol adalah belenggu tangan terbuat dari besi, berbentuk bulat, dapat ditutup dan dibuka dengan memakai kunci. Demikian penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI . Sepanjang penelusuran kami, tidak ada aturan khusus soal larangan penggunaan borgol bagi sipil. Meski demikian, aturan soal kepemilikan borgol sebagai kelengkapan pengamanan dapat kita lihat dalam Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah (“Perkapolri 24/2007”) . Kelengkapan anggota Satuan Pengamanan (Satpam), antara lain: a. kelengkapan perorangan yang melekat, seperti tongkat polisi, borgol , pisau, senjata api, dan radio komunikasi, spesifikasinya berpedoman kepada ketentuan yang ada pada Polri. b. kelengkapan peralatan keamanan ( security devices ) Satpam diberikan sesuai dengan tuntutan standar kebutuhan perlengkapan yang harus digunakan pada suatu area tugas. Selain sebagai kelengkapan untuk anggota Satpam, borgol juga digunakan anggota Kepolisian RI (Polri) dalam memberikan perlindungan khusus untuk pihak pelapor, saksi, dan keluarga dalam tindak pidana pencucian uang. Borgol merupakan salah satu perlengkapan yang diperlukan oleh anggota Polri. [1] Jadi, berdasarkan uraian kami di atas dapat diketahui bahwa aturan kepemilikan borgol yang ada sebatas oleh pihak yang berwenang saja, sedangkan bagi masyarakat sipil tidak ada aturannya. Bahkan Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Rusdi Hartono punya cara unik untuk menyambut Natal dan pergantian tahun 2015 demi menjaga keamanan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat di Kota Makassar, yakni dengan membagi-bagikan hadiah borgol, pentungan 'letter T', dan senter sebagai alat penerangan untuk masyarakat yang secara sukarela menjadi petugas siskamling dan tergabung dalam Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Demikian informasi dalam artikel Jelang Natal, Warga Dibekali Borgol dan Pentungan yang kami akses darilaman Liputan6.com. Sehingga memang tidak ada ketentuan yang melarang masyarakat untuk memiliki borgol. Namun, berbeda halnya apabila borgol tersebut kemudian digunakan sebagai alat melakukan tindak pidana. Pelakunya dapat dijerat pasal pidana bergantung pada tindak pidana yang dilakukannya dengan menggunakan borgol itu. Contoh Kasus Seperti yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Rembang Nomor 52/Pid.B/2015/PN Rbg Tahun 2015 . Terdakwa merupakan warga sipil yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara Bersama – Sama Dengan Sengaja dan Melawan Hukum Merampas Kemerdekaan Seseorang”. Alat yang dipergunakan oleh terdakwa dalam melakukan aksi kejahatannya salah satunya adalah borgol. Terdakwa memborgol kedua tangan saksi korban ke arah belakang serta menutupi kedua mata saksi korban menggunakan lakban warna hitam. Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang; 2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah. REFERENSI:\n1. Liputan6.com. , diakses pada 12 Mei 2016 pukul 17.35 WIB. PUTUSAN Putusan Pengadilan Negeri Rembang Nomor 52/Pid.B/2015/PN Rbg Tahun 2015 . [1] Pasal 13 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang borgol hukumonline hukum klinik klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah kepolisian berwenang untuk melarang mahasiswa berdemonstrasi karena adanya kegiatan kenegaraan tertentu, semisal pelantikan Presiden?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tanggung Jawab Demonstran Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami jelaskan tentang apa itu demonstrasi. Pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”) diuraikan pengertian unjuk rasa atau demonstrasi. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi: Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Di Indonesia, warga negaranya diberikan hak dan kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal 2 ayat (1) UU 9/1998 menguraikan bahwa: Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. W arga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: [1] menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Demonstrasi yang Dilarang Selain itu, pelaksanaan demonstrasi juga perlu memerhatikan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (“Perkap 7/2012”) . Beberapa tindakan yang dilarang dalam demonstrasi di antaranya: [2] Menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia; Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia; Lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana atau kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan; Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan. Selain itu, terdapat pula beberapa waktu dan tempat pelaksanaan demonstrasi yang dilarang, yaitu: Pada hari besar nasional dan hari besar lainnya yang ditentukan oleh pemerintah; [3] Di luar ketentuan : [4] di tempat terbuka antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00, waktu setempat; dan di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00, waktu setempat Di tempat ibadah, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat; [5] Objek-objek vital nasional dalam radius kurang dari 500 meter dari pagar luar; [6] Instalasi militer dalam radius kurang dari 150meter dari pagar luar; [7] Di lingkungan istana kepresidenan (Presiden dan Wakil Presiden) dalam radius kurang dari 100meter dari pagar luar. [8] Tempat yang rutenya melalui atau melintasi wilayah Istana Kepresidenan dan tempat-tempat ibadah pada saat ibadah sedang berlangsung. [9] Ketentuan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya tidak ada larangan spesifik bagi demonstrasi yang dilakukan pada hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden . Pun demikian, polisi tidak berwenang untuk melarang pelaksanaan demonstrasi. Pihak yang patut diduga mencoba untuk menghalangi warga negara melakukan demonstrasi bahkan dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 18 ayat (1) UU 9/1998 menguraikan bahwa: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Demonstrasi dengan Niat Makar Namun demikian, situasinya menjadi berbeda apabila demonstrasi tersebut dilakukan dengan tujuan makar. Para demonstran yang melakukan makar, akan terkena sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal. 108), perbuatan ini ditujukan kepada Presiden atau Wakil Presiden. Jadi objeknya harus kepala negara, dan penjahat harus tahu dan bersengaja, bahwa perbuatan itu ditujukan kepada kepala negara. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan “meniadakan kemampuan Presiden dan Wakil Presiden memerintah” dapat dilakukan dengan macam-macam cara, misalkan saja dengan kekerasan, atau memberikan obat atau bahan-bahan yang merugikan kesehatan. Lebih lanjut, Pasal 107 KUHP menguraikan bahwa: Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Masih menurut R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 109), yang dimaksud dengan menggulingkan pemerintah yaitu merusak atau mengganti dengan cara yang tidak sah susunan pemerintahan yang berdasarkan pada Undang-Undang Dasar di Negara Republik Indonesia. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum Referensi: R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994. [1] Pasal 6 UU 9/1998 [2] Pasal 8 huruf d, e, f, g, dan h Perkap 7/2012 [3] Pasal 7 ayat (2) huruf a dan b Perkap 7/2012 [4] Pasal 7 ayat (2) huruf c jo. Pasal 7 ayat (1) Perkap 7/2012 [5] Pasal 7 ayat (3) huruf a Perkap 7/2012 [6] Pasal 7 ayat (3) huruf b Perkap 7/2012 [7] Pasal 7 ayat (3) huruf c Perkap 7/2012 [8] Pasal 7 ayat (3) huruf d Perkap 7/2012 [9] Pasal 7 ayat (3) huruf e Perkap 7/2012 demonstrasi tata negara hukumonline pelantikan presiden"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa konsekuensi hukum bagi pengacara yang membuka kantor hukumnya secara virtual office? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Jika Advokat Meminta Imbalan Saat Memberikan Bantuan Hukum Cuma-cuma 24 Feb 2017 Cara Menghidupkan Kembali CV yang Vakum 20 Feb 2017 Ketentuan Perpanjangan Masa Jabatan Direksi dan Komisaris 03 Jan 2017 Adakah Aturan Jumlah Advokat yang Boleh Mendampingi Klien dalam Suatu Perkara? 15 Des 2016 Intisari: Jika merujuk pada Kode Etik Advokat pun, tidak ada ketentuan yang melarang kantor advokat berupa virtual office . Kantor Advokat pada dasarnya hanya sebagai alamat surat menyurat atau alamat kontak saja , sehingga apabila kantor Advokat tersebut menggunakan fasilitas virtual office , maka hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Karena Anda tidak menyebutkan wilayah pembuatan virtual office , maka kami berasumsi bahwa wilayah yang Anda maksud adalah DKI Jakarta dan yang Anda maksud sebagai kantor hukum adalah kantor Advokat. Syarat Seseorang dapat Berpraktik Sebagai Advokat Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) memang tidak mengatur mengenai kriteria sebuah kantor Advokat. Seseorang dapat menjalankan praktiknya sebagai Advokat jika sudah memenuhi sejumlah persyaratan yakni: [1] 1. warga negara Republik Indonesia; 2. bertempat tinggal di Indonesia; 3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; 4. berusia sekurang-kurangnya 25 tahun; 5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum; 6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; 7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; 8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi. Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan di atas dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. [2] Dengan merujuk pada ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa izin seorang advokat merupakan izin yang terikat di perorangan , sehingga tidak memerlukan izin lain berupa Surat Izin Usaha Perdagangan (“ SIUP ”) dan Tanda Daftar Perusahan (“ TDP ”) layaknya sebuah badan hukum . Karena tidak memerlukan izin pendirian kantor seperti SIUP dan TDP, maka menurut kami tidak ada kendala apabila kantor advokat bersifat virtual office . Kantor Hukum Sebagai Alamat Surat-Menyurat Jika merujuk pada Kode Etik Advokat pun, tidak ada ketentuan yang melarangnya. Ketentuan mengenai kantor advokat di atur dalam Pasal 8 butir c Kode Etik Advokat Indonesia sebagai berikut: Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat. Kami berpandangan bahwa sebuah kantor hukum atau kantor Advokat pada dasarnya hanya sebagai alamat surat menyurat atau alamat kontak saja , sehingga apabila kantor Advokat tersebut menggunakan fasilitas virtual office , maka hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, dalam hal ini adalah UU Advokat dan Kode Etik Advokat. Sebagai tambahan informasi untuk Anda, Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) DKI Jakarta telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 41/SE/Tahun 2015 tanggal 2 November 2015 tentang Surat Keterangan Domisili Badan Usaha yang Berkantor Virtual yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut: 1. Surat Keterangan Domisili Badan Usaha (SKDBU) pada Badan Usaha yang berkantor virtual ( virtual office ) dapat diterbitkan dengan ketentuan penandatanganan dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember 2015; 2. Izin lanjutan Badan Usaha yang berkantor virtual hanya SIUP dan TDP yang dapat diterbitkan dengan ketentuan penandatanganan dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember 2015. Jadi, sebagaimana telah kami sampaikan di atas, sebuah kantor Advokat tidak memerlukan SIUP dan TDP karena izinnya bersifat pribadi yakni izin Advokat yang melekat pada pribadi Advokat sehingga pada dasarnya kantor Advokat dapat menggunakan virtual office . Dengan demikian, menurut kami surat edaran tersebut tidak berdampak pada pendirian kantor Advokat yang dilakukan di virtual office . Penjelasan lebih lanjut tentang virtual office dapat Anda simak artikel Ini Beleid tentang Virtual Office di Jakarta . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ; 2. Surat Edaran Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) Jakarta No. 41/SE/Tahun 2015 tanggal 2 November 2015 tentang Surat Keterangan Domisili Badan Usaha yang Berkantor Virtual; 3. Kode Etik Advokat Indonesia . [1] Pasal 3 ayat (1) UU Advokat [2] Pasal 3 ayat (2) UU Advokat gedung hukumonline google kode etik advokat virtual office konsultasi hukum tdp advokat kantor hukum profesi hukum hukum klinik rumah klinik hukumonline pengacara siup"
} |
{
"from": "human",
"value": "Banyak pengalaman unik dan menarik ketika kita menggunakan fasilitas barang/jasa yang tergolong barang mewah. Salah satu yang unik adalah harganya. Misalnya, A pergi karaoke, di tempat karaoke disediakan air mineral satu botol ukuran sedang dengan harga sampai 2 kali bahkan tiga kali lipat dari harga biasanya. Pertanyaan saya, apakah ada dasar hukum terkait pengaturan harga seperti ini? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Harga merupakan suatu komponen penting yang berpengaruh terhadap laba/keuntungan produsen (pelaku usaha) dalam menjual barang dan/jasa. Di sisi lain, harga juga menjadi pertimbangan konsumen sebelum membeli barang dan/jasa yang dibutuhkannya.\nTinggi atau rendahnya suatu harga ditetapkan berdasarkan beberapa faktor seperti: permintaan, biaya, pemasaran, dan sebagainya.\nPenetapan harga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi tujuan pemasaran perusahaan, strategi pemasaran, biaya, dan metode penetapan harga. Sedangkan faktor eksternal meliputi sifat pasar dan permintaan, persaingan, dan elemen lingkungan yang lain.\nHal-Hal yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha dalam Penetapan Harga\nHarga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.[1]\n\nBeberapa larangan mengenai penetapan harga antara lain:\n\nPelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.[2]Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.[3]Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.[4]Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.[5]\n\nMenurut Ningrum Natasya Sirait dkk, penetapan harga yang diatur dalam Pasal 5, 6, 7, dan 8 UU 5/1999 ini yang dilarang per se hanya perjanjian harga (Pasal 5) horizontal dan diskriminasi (Pasal 6). Sedangkan perjanjian harga lain yaitu Pasal 7 dan 8 diatur secara rule of reason. Artinya, tidak semua perjanjian harga pasti menyebabkan hambatan persaingan.[6]\n\nBaca juga: Pentingnya prinsip \"per se\" dan \"rule of reason\" di UU Persaingan Usaha\n\nMerujuk pada ketentuan soal larangan-larangan dalam UU 5/1999 tersebut, maka tidak ada ketentuan yang melarang pelaku usaha menetapkan harga tinggi jika tidak melanggar larangan-larangan di atas.\n\nSebagai catatan, pelanggaran terhadap larangan di atas dapat dijatuhkan sanksi administratif berupa pembatalan perjanjian sebagaimana tertera dalam Pasal 118 angka 3 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 47 ayat (2) huruf a UU 5/1999.\n\nBaca juga: Yang Harus Diperhatikan dalam Menentukan Harga untuk Reseller\nKetentuan Menaikkan Harga Menurut UU Perlindungan Konsumen\nKetentuan mengenai harga juga diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, larangan yang diatur adalah menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral bagi pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang.[7]\nPelaku usaha tersebut diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.[8]\n\nSelain itu, jika pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), maka pelaku usaha juga dilarang menjual barang kepada konsumen melebihi HET, sebagaimana dijelaskan dalam Sanksi Pelaku Usaha yang Langgar Ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET).\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda mengenai perilaku menaikkan harga menjadi sangat tinggi oleh pelaku usaha secara eksplisit tidak diatur sebagai hal yang dilarang dalam melakukan usaha. Yang dilarang adalah antara pelaku usaha yang satu dengan yang lainnya melakukan perjanjian harga tertentu, menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral, dan/atau menjual barang melebih HET.\n\nBaca juga: Isu Persaingan Usaha Tidak Sehat Notaris di Bank\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai dasar hukum pengaturan harga. Semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/104/undangundang-nomor-5-tahun-1999?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_1999)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen](Data Kepolisian /pusatdata/detail/447/undangundang-nomor-8-tahun-1999/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Perlindungan_Konsumen)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\nREFERENSI:\n1. Ningrum Natasya Sirait dkk. Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha. (Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program), 2010.\n[1] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”)\n\n[2] Pasal 5 ayat (1) UU 5/1999\n\n[3] Pasal 6 UU 5/1999\n\n[4] Pasal 7 UU 5/1999\n\n[5] Pasal 8 UU 5/1999\n\n[6] Ngigrum Natasya Sirait dkk, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, (Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program), 2010, hal. 19\n\n[7] Pasal 11 huruf f UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 5/1999”)\n\n[8] Pasal 62 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Baru-baru ini diberitakan sejumlah PNS yang ketahuan memiliki gaya hidup mewah dan bergelimang harta. Hal ini tentu mengundang kecemburuan sosial hingga dugaan penyimpangan. Lantas benarkah ada larangan PNS hidup mewah atau PNS dilarang pamer harta di media sosial?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Aparatur Sipil Negara (“ASN”) adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah.[1] PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.[2]\n\nBelakangan ini banyak diberitakan PNS hidup mewah dan keluarganya pamer sejumlah harta di jejaring media sosial. Sepanjang penelusuran kami, aturan PNS dilarang pamer harta di media sosial ataupun yang berkaitan dengan gaya hidup PNS diatur dalam SE Menteri PANRB 13/2014 tentang gerakan hidup sederhana.\n\nDalam rangka mendorong kesederhanaan hidup bagi seluruh penyelenggara negara guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), agar dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.[3]\n\nMembatasi jumlah undangan resepsi penyelenggaraan acara seperti pernikahan, tasyakuran dan acara sejenis lainnya maksimal 400 undangan dan membatasi jumlah peserta yang hadir tidak lebih dari 1000 orang.Tidak memperlihatkan kemewahan dan/atau sikap hidup yang berlebihan serta memperhatikan prinsip-prinsip kepatutan dan kepantasan sebagai rasa empati kepada masyarakat.Tidak memberikan karangan bunga kepada atasan atau sesama pejabat pemerintahan.Membatasi publikasi advertorial yang menggunakan biaya tinggi.Meneruskan SE Menteri PANRB 13/2014 ini kepada seluruh jajaran instansi di bawahnya sampai dengan unit organisasi terkecil untuk melaksanakan dan mematuhi ketentuan dalam ini secara konsisten dan sungguh-sungguh.\n\nMenurut hemat kami, larangan pamer hidup mewah bagi PNS tersirat dalam poin kedua yang mana PNS selaku bagian dari penyelenggara negara tidak diperkenankan memperlihatkan kemewahan dan/atau sikap hidup yang berlebihan dengan memperhatikan prinsip kepatutan dan kepantasan sebagai rasa empati ke masyarakat.\n\nNamun demikian, sepanjang penelusuran kami baik berdasarkan UU ASN maupun PP 94/2021 tidak mengatur sanksi yang dapat dikenakan bagi PNS hidup mewah dan memamerkan harta kekayaannya di media sosial.\nKode Etik Gaya Hidup PNS Sederhana\n\nSelanjutnya, apabila merujuk PP 42/2004 tentang kode etik PNS dapat diketahui bahwa etika dalam bermasyarakat meliputi salah satunya adalah mewujudkan pola hidup sederhana.[4] Kemudian terdapat pula etika terhadap diri sendiri yaitu salah satunya berpenampilan sederhana, rapi, dan sopan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 huruf h PP 42/2004.\n\nPNS yang melanggar kode etik dikenai sanksi moral yang dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh pejabat pembina kepegawaian berupa pernyataan secara tertutup atau terbuka, dengan menyebutkan jenis pelanggaran kode etik yang dilakukan.[5]\n\nSelain sanksi moral, PNS yang melanggar kode etik bisa dikenai hukuman disiplin atau tindakan administratif sesuai peraturan perundang-undangan atas rekomendasi Majelis Kode Etik yang dibentuk pada setiap instansi dan ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian yang bersangkutan.[6]\nKewajiban Lapor Harta Kekayaan\n\nNamun demikian, masih berkaitan dengan isu larangan PNS hidup mewah, pada dasarnya PNS wajib melaporkan harta kekayaan kepada pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[7] Jika harta kekayaan yang dimiliki PNS itu tidak dilaporkan, ia dapat dikenakan sanksi. Di sisi lain, asal-usul harta kekayaan PNS yang bersangkutan pun turut dipertanyakan.\n\nBaca juga: LHKPN dan Sanksi Jika Pelaporan Harta Tidak Lengkap\n\nAdapun PNS yang merupakan pejabat administrator dan pejabat fungsional yang tidak melaporkan harta kekayaan kepada pejabat berwenang dikenakan hukuman disiplin sedang, berupa:[8]\n\npemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama 6 bulan;pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama 9 bulan; ataupemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama 12 bulan.\n\nSedangkan bagi PNS yang merupakan pejabat pimpinan tinggi dan pejabat lainnya yang tidak melaporkan harta kekayaan ke pejabat berwenang dikenakan hukuman disiplin berat, berupa:[9]\n\npenurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan;pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; danpemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.\n\nSebagai tambahan informasi, pelaksanaan pelaporan harta kekayaan yang telah berjalan selama ini dilakukan melalui penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (“LHKPN”) untuk penyelenggara negara dan jabatan tertentu yang ditetapkan, Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN) terhadap ASN selain wajib LHKPN, dan SPT Tahunan yang dilaporkan oleh setiap aparatur negara sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP).[10]\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang larangan PNS hidup mewah sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65434c1b078b9/undang-undang-nomor-20-tahun-2023/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_asn)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/21563/peraturan-pemerintah-nomor-42-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_42_2004)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt614026bbc3945/peraturan-pemerintah-nomor-94-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_94_2021)\n4. [Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54913d068a703/node/lt52c238d2aac6e/se-menteri-pendayagunaan-aparatur-negara-dan-reformasi-birokrasi-no-13-tahun-2014-gerakan-hidup-sederhana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=se_menpanrb_13_2014)\n5. [Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 02 Tahun 2023 tentang Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Negara (LHKAN)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63e22f7dd7bf1/surat-edaran-menteri-pendayagunaan-aparatur-negara-dan-reformasi-birokrasi-nomor-02-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=se_menpanrb_2_2023)\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”)[2] Pasal 1 angka 3 UU ASN[3] Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana[4] Pasal 10 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (“PP 42/2004”)[5] Pasal 15 ayat (1), (2), (3), dan (4) PP 42/2004[6] Pasal 16 dan Pasal 17 PP 42/2004[7] Pasal 4 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 94/2021”)[8] Pasal 10 ayat (2) huruf e dan Pasal 8 ayat (3) PP 94/2021[9] Pasal 11 ayat (2) huruf c dan Pasal 8 ayat (4) PP 94/2021[10] Huruf E angka 1 Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 02 Tahun 2023 tentang Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Negara (LHKAN)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Belakangan ini banyak dikabarkan di sejumlah daerah terjadi politik dinasti seperti suami/istri/anak/menantu ikut mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Apa sebenarnya politik dinasti itu dan sudah adakah aturannya di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Putusan MK Tak Dilaksanakan, Harus Bagaimana? 02 Des 2021 Jika Kotak Kosong Menang, Pilkada Akan Diulang? 05 Nov 2020 Kades Ingkar Janji Politik, Bisakah Digugat? 23 Okt 2020 Bentuk Kampanye Pilkada yang Dilarang di Tengah Pandemi COVID-19 01 Okt 2020 Politik Dinasti Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki kaitan dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak dan seterusnya, agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga. Dengan kata lain, jika ditanya politik keluarga disebut apa, jawabannya adalah politik dinasti. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Politik dinasti menjadi masalah serius ketatanegaraan kita karena dianggap menjadi salah satu penyebab korupsi. Praktik politik dinasti dinilai berdampak negatif bagi masyarakat, sebab cenderung membuat marak korupsi, tidak demokratis, dan lebih mementingkan politik daripada kepentingan rakyat, sebagaimana disarikan dari Legislator Jelaskan Rasio Legis Larangan Politik Dinasti . Adakah Larangan Politik Dinasti di Indonesia? Terkait aturan tentang politik dinasti, sesungguhnya negara pernah mengatur larangan tumbuhnya politik dinasti, yakni dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (“UU 8/2015”) menyebutkan: Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana . Penjelasan pasal tersebut menyebutkan yang dimaksud “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yakni tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. [1] Namun Pasal 7 huruf r UU 8/2015 di atas telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 , dan menjadikan ketentuan pasal ini dibatalkan. Dengan dibatalkannya pasal tersebut, sepanjang penelusuran kami tidak ada lagi ketentuan larangan politik dinasti di Indonesia. Lebih lanjut, disarikan dari Ini Alasan MK Hapus Pembatasan Politik Dinasti , Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat pada waktu itu menerangkan terdapat persoalan mengenai belum efektifnya pengawasan dalam penyelenggaraan pilkada terutama ketika pencalonan melibatkan keluarga petahana. Terkait ini, tidak setiap pembedaan serta-merta dianggap diskriminasi. Namun, kasus a quo , tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata mencegah kelompok orang tertentu (anggota keluarga kepala daerah petahana untuk menggunakan hak konstitusionalnya). Hal serupa juga disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof Saldi Isra dalam Ahli: Larangan Politik Dinasti Tidak Proporsional menilai membatasi hak politik keluarga petahana dalam kontestasi pilkada merupakan pengaturan yang jauh dari proporsional dan berlebihan sekalipun hanya satu periode. Sebab, seharusnya objek yang dibatasi petahana yang memegang jabatan politiknya kepala daerah atau wakilnya, bukan keluarga petahana (hal. 1). Sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih ( right to vote and right to be candidate ) merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Di sisi lain, pengaturan larangan terhadap politik dinasti justru dianggap bertentangan dengan: Pasal 21 angka 1 Universal Declaration of Human Rights : Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives. Arti terjemahan bebasnya adalah setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) : Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum . Pasal 15 UU HAM : Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya , baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 43 ayat (1) UU HAM : Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 . REFERENSI:\n1. Universal Declaration of Human Rights , diakses pada 3 Januari 2022 pukul 12.00 WIB. [1] Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 walikota bupati kepala daerah gubernur tata negara politik pilkada"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada aturan yang melarang suami istri bekerja di tempat yang sama?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Ada Larangan Suami-Istri Bekerja di Tempat yang Sama? yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 14 November 2012. Intisari: Pada dasarnya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur mengenai boleh-tidaknya suami istri bekerja di tempat yang sama. Yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja mempunyai ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan: Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja Bersama (PKB) . Namun kemudian Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 menyatakan bahwa frasa “ kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama ” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat . Itu artinya, pengusaha tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan ikatan perkawinan. Atau dengan kata lain, pengusaha dilarang memberlakukan larangan pernikahan antar sesama pekerja dalam suatu perusahaan . Apabila tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan tidak berlaku. Penjelasan lebih lanjut, silakan simak ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pada dasarnya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur mengenai boleh-tidaknya suami istri bekerja di tempat yang sama. Yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) adalah ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja mempunyai ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan: Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja Bersama (PKB) . Namun kemudian Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 (\"Putusan MK 13/2017”) menyatakan bahwa frasa “ kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama ” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat . Itu artinya, pengusaha tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan ikatan perkawinan. Atau dengan kata lain, pengusaha dilarang memberlakukan larangan pernikahan antar sesama pekerja dalam suatu perusahaan . Apabila tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan tidak berlaku. Mengenai larangan melakukan pemutusan hubungan kerja karena adanya ikatan perkawinan, dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pertalian darah atau hubungan perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan maupun dielakkan. Oleh karena itu, menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan hak asasi manusia, dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga, adalah tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional. Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Hakim ad hoc PHI Jakarta periode 2006-2016, Juanda Pangaribuan dalam artikel Buruh Boleh Menikah dengan Rekan Sekantor, Poin-Poin Ini yang Perlu Diperhatikan . Juanda Pangaribuan , menilai Putusan MK 13/2017 terkait Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan sudah selayaknya begitu karena menikah adalah hak asasi setiap orang. Perusahaan yang melarang pekerjanya menikah dengan teman kerjanya merupakan bentuk pembatasan terhadap perjodohan dan sumber rejekinya. Putusan MK itu bisa langsung dilaksanakan karena sifatnya mengikat dan tidak ada persoalan teknis yang menghambat. Menurut Juanda, langkah yang perlu dilakukan pengusaha dalam menyikapi putusan tersebut yakni tidak menjalankan aturan yang melarang pekerja menikah atau memiliki pertalian darah dengan rekan kerja di satu perusahaan. Jika ketentuan itu sudah tercantum dalam perjanjian kerja, demi hukum itu tidak berlaku lagi sejak Mahkamah Konstitusi membacakan putusan tersebut. Jika ketentuan itu diatur dalam Peraturan Perusahaan (“PP”) atau Perjanjian Kerja Bersama (”PKB”), maka tidak perlu dijalankan. Saat PP atau PKB itu direvisi, putusan MK itu harus dimasukkan dalam amandemen. Lebih lanjut dijelaskan oleh Juanda, pengusaha juga perlu mengatur agar pasangan pekerja yang menikah itu tidak dalam satu divisi yang sama. Pemindahan pekerja ke divisi lain itu dilakukan dengan memperhatikan keterampilan, kemampuan, dan latar belakang pendidikan pekerja. Tetapi jangan pula dipindahkan pada jabatan yang tingkatnya lebih rendah, misalnya dari akuntan menjadi office boy . Simak pula artikel jawaban kami sebelumnya Larangan Pernikahan Sesama Pekerja dalam Satu Perusahaan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 . keluarga hukumonline google ketenagakerjaan pekerja karyawan kantor buruh hukum klinik pengusaha hukum keluarga perselisihan hubungan industrial perusahaan klinik hukumonline hubungan industrial keluarga dan perkawinan perburuhan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah sebuah piutang mempunyai masa daluarsa untuk ditagihkan menurut hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, akan kami jelaskan terlebih dahulu pengertian dari daluwarsa (verjaring). Dalam Pasal 1946 KUH Perdata disebutkan bahwa, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.\nMengenai lewat waktu atau daluwarsa ini diatur dalam Pasal 1946 sampai dengan Pasal 1993 KUH Perdata. Adapun, ketentuan mengenai daluwarsa yang menjadi alasan untuk dibebaskan dari suatu kewajiban diatur secara rinci pada Pasal 1967 s.d. 1977 KUH Perdata.\nJangka Waktu Daluwarsa dalam KUH Perdata\n\nMenurut Pasal 1967 KUH Perdata, semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada iktikad buruk.\nDengan lewatnya waktu 30 tahun itu maka hapuslah perikatan hukum dan tinggallah perikatan bebas (natuurlijk verbintenis), yaitu suatu perikatan yang boleh dipenuhi oleh debitur, tetapi tidak dapat dituntut oleh kreditur melalui pengadilan.[1]\n\nLebih rinci diatur dalam KUH Perdata mengenai daluwarsa yang mengakibatnya seseorang dibebaskan dari perikatan, yaitu:\n\nPasal 1968 KUH Perdata, tuntutan para ahli dan pengajar, tuntutan para penguasa rumah penginapan, rumah makan, tuntutan buruh akan daluwarsa dengan lewatnya 1 tahun.Pasal 1969 KUH Perdata, tuntutan para dokter dan ahli obat-obatan, tuntutan para juru sita, tuntutan para pengelola sekolah berasrama, tuntutan pada buruh akan daluwarsa dengan lewatnya 2 tahun.Pasal 1970 KUH Perdata, tuntutan para advokat untuk pembayaran jasa mereka dan tuntutan para pengacara untuk pembayaran persekot dan upah mereka, hapus karena lewat waktu 2 tahun, terhitung sejak hari diputusnya perkara, hari tercapainya perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, atau hari dicabutnya kuasa pengacara itu. Dalam hal perkara yang tidak selesai, tak dapat mereka menuntut pembayaran persekot dan jasa yang telah ditunggak lebih dari 10 tahun. Tuntutan para notaris untuk pembayaran persekot dan upah mereka, lewat waktu juga dengan lewatnya waktu 2 tahun, terhitung sejak hari dibuatnya akta yang bersangkutan.Pasal 1971 KUH Perdata, tuntutan tukang kayu, tukang batu, tukang lain, tuntutan para pengusaha toko, daluwarsa dengan lewatnya waktu 5 tahun.\nPencegahan Daluwarsa dalam KUH Perdata\n\nDaluwarsa dapat dicegah dalam keadaan tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1978 s.d. 1985 KUH Perdata, yaitu:\n\nBila pemanfaatan barang itu dirampas selama lebih dari 1 tahun dari tangan orang yang menguasainya, baik oleh pemiliknya semula maupun oleh pihak ketiga.[2]Dicegah dengan suatu peringatan, suatu gugatan, dan tiap perbuatan-perbuatan berupa tuntutan hukum, masing-masing dengan pemberitahuan dalam bentuk yang telah ditentukan, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu atas nama pihak yang berhak, dan disampaikan kepada orang yang berhak dicegah memperoleh daluwarsa itu.[3]Gugatan di muka hakim yang tidak berkuasa.[4]Pengakuan akan hak seseorang yang terhadapnya daluwarsa berjalan, yang diberikan dengan kata-kata atau dengan perbuatan oleh orang yang menguasainya atau debitur.[5]Pemberitahuan menurut Pasal 1979 KUH Perdata kepada salah seorang debitur dalam perikatan tanggung menanggung, atau pengakuan orang tersebut, mencegah daluwarsa terhadap para debitur lain, bahkan pula terhadap para ahli waris mereka.[6] Pemberitahuan yang dilakukan kepada debitur utama atau pengakuan yang diberikan oleh debitur utama mencegah lewat waktu terhadap penanggung utang.[7]Pencegahan lewat waktu yang dilakukan oleh salah seorang kreditur dalam suatu perikatan tanggung menanggung berlaku bagi semua kreditur lainnya.[8]\nSebab-sebab yang Menangguhkan Daluwarsa dalam KUH Perdata\n\nSelanjutnya, terdapat sebab-sebab yang menangguhkan daluwarsa, yaitu:\n\nDaluwarsa berlaku terhadap siapa saja, kecuali terhadap mereka yang dikecualikan oleh undang-undang.[9]Daluwarsa tidak dapat mulai berlaku terhadap anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang.[10]Daluwarsa tidak dapat terjadi di antara suami istri.[11]Daluwarsa tidak berlaku terhadap seorang istri selama ia berada dalam status perkawinan:[12]\n\nbila tuntutan istri tidak dapat diteruskan, kecuali setelah ia memilih akan menerima persatuan atau akan melepaskannya;bila suami, karena menjual barang milik pribadi istri tanpa persetujuannya, harus menanggung penjualan itu, dan tuntutan istri harus ditujukan kepada suami.\n\nDaluwarsa tidak berjalan terhadap piutang yang bersyarat, selama syarat ini tidak dipenuhi. Dalam hal suatu perkara untuk menanggung suatu penjualan, selama belum ada putusan untuk menyerahkan barang yang bersangkutan kepada orang lain. Terhadap suatu piutang yang baru dapat ditagih pada hari yang telah ditentukan, selama hari itu belum tiba.[13]Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan, tidak dapat dikenakan lewat waktu mengenai piutang-piutangnya terhadap harta peninggalan. Daluwarsa berlaku terhadap suatu warisan yang tak terurus, meskipun tidak ada pengampu warisan itu.[14]Daluwarsa itu berlaku selama ahli waris masih mengadakan perundingan mengenai warisannya.[15]\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, berapa tahun utang bisa kedaluarsa atau daluwarsa? Jawabannya adalah 30 tahun, kecuali yang diatur rinci dalam KUH Perdata. Lewat dari masa daluwarsa 30 tahun, maka piutang tidak dapat dituntut di pengadilan, namun debitur tetap boleh memenuhi perikatan yaitu membayar utangnya.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata.\n\nREFERENSI:\n1. Riduan Syahrani. Seluk Beluk dan Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 1989.\n\n[1] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1989, hal. 299[2] Pasal 1978 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)[3] Pasal 1979 KUH Perdata[4] Pasal 1980 KUH Perdata[5] Pasal 1982 KUH Perdata[6] Pasal 1983 KUH Perdata[7] Pasal 1984 KUH Perdata[8] Pasal 1985 KUH Perdata[9] Pasal 1986 KUH Perdata[10] Pasal 1987 KUH Perdata[11] Pasal 1988 KUH Perdata[12] Pasal 1989 KUH Perdata[13] Pasal 1990 KUH Perdata[14] Pasal 1991 KUH Perdata[15] Pasal 1992 KUH Perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya mengenai rencana penggantian tanda tangan saya. Saya sudah menggunakan tanda tangan saya ini sejak SD hingga sekarang. Sudah banyak dokumen penting yang saya tandatangani dengan tanda tangan ini. Mulai dari ijazah, buku tabungan bank, dan beberapa dokumen penting lainnya. Saya berencana untuk mengubah tanda tangan saya dengan alasan berhubungan dengan pekerjaan saya saat ini. Tanda tangan saya saat ini sangat mudah untuk dipalsukan atau ditiru. Mohon bantuan penjelasan dari segi hukum bagaimana, apakah saya bisa mengganti tanda tangan saya? Jika bisa, bagaimana legalitas dokumen-dokumen yang selama ini sudah saya tandatangani? Seperti ijazah misalnya. Mohon penjelasannya. Terima kasih. Salam."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Apakah PIN ATM = Tanda Tangan Elektronik? 21 Mar 2013 Jerat Hukum untuk Pelaku Pemalsuan Tanda Tangan 02 Mar 2012 Perjanjian Gadai Deposito Tanpa Tanda Tangan Istri 09 Mar 2011 Surat Pernyataan Bermeterai 22 Des 2010 Intisari: Keabsahan suatu tanda tangan dilihat dari adanya pengakuan untuk membenarkan dari orang yang membuat tanda tangan. Apabila suatu tanda tangan berubah-ubah, maka sepanjang yang membuat tanda tangan telah membenarkan , hal itu tidak menjadi permasalahan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda . Tanda Tangan Tanda tangan adalah ta nda sebagai lambang nama yang dituliskan dengan tangan oleh orang itu sendiri sebagai penanda pribadi (telah menerima dan sebagainya) . Demikian definisi tanda tangan yang disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang kami akses dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI . Tanda tangan merupakan suatu tulisan yang dijadikan seseorang untuk mengesahkan atau mendeklarasikan sesuatu yang bentuknya dibuat sesuai keinginan masing-masing orang tersebut dengan suatu susunan (huruf) tanda berupa tulisan serta lengkungan-lengkungan yang layaknya seperti sebuah tulisan. Tanda tangan pun belum tentu merujuk kepada suatu tanda tangan yang hanya “tertulis”, melainkan sebagai suatu penandaan dimana tanda tangan tersebut merujuk pada si pembuat tanda tangan. Menurut pengertiannya, maka tanda tangan merupakan suatu bukti yang bila diidentifikasi menjadi identitas seseorang secara tertulis. Jika Mengganti Tanda Tangan Walaupun tanda tangan sebelumnya sudah dipakai pada dokumen-dokumen penting lainnya , penggantian tanda tangan yang baru dapat dilakukan . Berikut kami uraikan dalam ulasan di bawah ini. Tanda tangan menurut Tan Thong Kie dalam bukunya Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris , yaitu : Suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penandatanganan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri (si pembuat tanda tangan). Perlu kami jelaskan terlebih dahulu, mengenai tanda tangan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( “ KUH Perdata ” ) pada Buku Keempat dalam Bab II tentang Pembuktian dengan Tulisan yaitu pada Pasal 186 7 -1894 KUH Perdata . Pasal 1875 KUH Perdata menjelaskan suatu keabsahan tanda tangan sebagai berikut : Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya , menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya , ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka ; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu. Jadi, keabsahan suatu tanda tangan dilihat dari adanya pengakuan untuk membenarkan dari orang yang membuat tanda tangan . D ari pengertian tersebut , apabila suatu tanda tangan berubah-ubah, maka sepanjang yang membuat tanda tangan telah membenarkan , hal itu tidak menjadi permasalahan. Hal di atas pun diperkuat dengan pendapat G.H.S. Lumban Tobing dalam bukunya Peraturan Jabatan Notaris yang menjelaskan : Salah satu kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendinge bewijsracht) yang mana dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUH Perdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan, akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menandatangani mengakui kebenaran dari tandatangannya itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Jika Tanda Tangan Tidak Diakui oleh Si Pembuat Tanda Tangan Perlu ditegaskan juga soal apabila tanda tangan tidak diakui oleh si pembuat tanda tangan , dengan merujuk pada Pasal 1876 dan 1877 KUH Perdata yaitu: Pasal 1876 KUH Perdata : Barangsiapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas , tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Pasal 1877 KUH Perdata : Jika seseorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya , ataupun jika para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan . Penjelasan secara hukum perdata memberikan ketegasan akan legalitas ataupun keabsahan dari tanda tangan pada sebuah dokumen, dimana orang tersebut mengganti tanda tangannya untuk dokumen lain . Di sini perlu adanya pengakuan oleh si pembuat tanda tangan terhadap tanda tangannya yang berbeda . Oleh sebab itu, tidak ada permasalahan mengenai pergantian tanda tangan yang dilakukan si pembuat. Lain halnya jika si pembuat tanda tangan memungkiri akan tanda tangan yang dibuat terlebih dahulu, maka langkah hukum yang dapat dilakukan untuk menguji keabsahan tanda tangan tersebut adalah melakukan pemeriksaan tanda tangan di Pengadilan untuk menentukan kebenarannya . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . REFERENSI:\n1. 1. Tan Thong Kie , Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2007. 2. Tobing Lumban G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga: Jakarta, 1980. hukumonline perdata hukum pidana tanda tangan hukum klinik masalah hukum klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dapatkah seseorang membeli dan membawa pulang dalam jumlah yang banyak minuman beralkohol golongan B dengan dalih untuk konsumsi pribadi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Kecelakaan karena Mabuk Saat Berkendara 11 Jul 2023 Ketentuan Penjualan dan Promosi Minuman Beralkohol 27 Nov 2020 Sanksi Bagi Minimarket yang Masih Menjual Minuman Beralkohol 21 Sep 2015 Hal yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Pemasangan Reklame Billboard 15 Jun 2015 Intisari: Minuman beralkohol golongan B ini ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Yang diawasi di sini adalah terkait penjualan dan/atau peredaran Minuman Beralkohol. Sedangkan mengenai pembelian, untuk pembelian dalam negeri tidak ada pembatasannya. Sementara, jika orang tersebut membawa minuman beralkohol (termasuk membeli) dari luar negeri, ada pembatasan jumlah. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Minuman Beralkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi. [1] Sementara itu, Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen). [2] Dasar hukum lain soal pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol (“Permendag 20/2014”) sebagaimana yang telah diubah terakhir oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 Tahun 2015 (“Permendag 06/2015”) . B erdasarkan penelusuran kami dalam kedua permendag di atas, tidak diatur mengenai batasan jumlah bagi konsumen dalam membeli minuman beralkohol . Soal pembelian, antara lain yang diatur adalah sebagai berikut: 1. pengecer (seperti minimarket; supermarket, hypermarket; atau toko pengecer lainnya) berkewajiban melarang pembeli Minuman Beralkohol meminum langsung di lokasi penjualan dan hanya dapat dilayani oleh petugas/pramuniaga. [3] 2. minuman beralkohol hanya dapat diberikan kepada konsumen yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih dengan menunjukkan kartu identitas kepada petugas/pramuniaga. [4] 3. Setiap orang dilarang membawa Minuman Beralkohol dari luar negeri sebagai barang bawaan, kecuali untuk dikonsumsi sendiri paling banyak 1000 ml (seribu mililiter) perorang dengan isi kemasan tidak kurang dari 180 ml (seratus delapan puluh mililiter). [5] Perlu Anda ketahui bahwa minuman beralkohol golongan B ini ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. [6] Yang diawasi dalam peraturan-peraturan di atas adalah mengenai penjualan dan/atau peredaran Minuman Beralkohol. Sedangkan mengenai pembelian, untuk pembelian dalam negeri tidak ada pembatasannya. Sementara, jika orang tersebut membawa minuman beralkohol (termasuk membeli) dari luar negeri, ada pembatasan jumlah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol; 2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/4/2014 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol sebagaimana yang telah diubah terakhir oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 Tahun 2015. [1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol (“Perpres 74/2013”) [2] Pasal 3 ayat (1) huruf b Perpres 74/2013 [3] Pasal 16 ayat (2) dan (3) Permendag 20/2014 [4] Pasal 15 Permendag 20/2014 [5] Pasal 27 Permendag 20/2014 [6] Pasal 3 ayat (2) Perpres 74/2013 minuman beralkohol"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya, apakah ada pembatasan wilayah kerja Notaris dalam rangka pembuatan akta pendirian sebuah PT? Kondisinya sebagai berikut: ada PT xx yang berdiri di wilayah Kota Medan sementara itu akta pendiriannya dibuat oleh Notaris di Kabupaten Cianjur. Apakah risiko hukumnya dari perbuatan ini dan peraturan yang mendasarinya apa kalau boleh/tidak boleh?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 29 Desember 2011. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“ UU 2/2014 ”) , khususnya pada Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa wilayah kerja/wilayah jabatan notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Artinya, notaris tersebut berwenang untuk membuat akta sepanjang perbuatan hukum tersebut dilakukan masih dalam wilayah kerjanya, yang meliputi seluruh provinsi di tempat kedudukan notaris yang bersangkutan. Sebagai contoh: Seorang notaris yang berkedudukan di Bekasi, berhak untuk membuat akta di Bandung, Cirebon, Sukabumi, dan lain sebagainya. Karena daerah-daerah tersebut masih masuk dalam wilayah kerjanya (provinsi Jawa Barat). Namun, dia tidak berhak untuk membuat akta di Tangerang. Walaupun kalau secara jarak, lebih dekat dengan Bekasi. Karena Tangerang sudah masuk dalam Provinsi Banten. Yang dimaksud dengan “membuat akta” di sini adalah hadir di hadapan para penghadap (subjek perjanjian), membacakan dan menanda-tangani akta tersebut. Sekarang kembali ke pertanyaan semula Anda yaitu bagaimana jika akta yang ditanda-tangani tersebut adalah akta pendirian Perseroan Terbata (“PT”) yang berkedudukan di Medan, sedangkan pembuat aktanya adalah notaris Kabupaten Cianjur? Seperti pada konsep pembuatan perjanjian pada umumnya, asalkan pada saat pembuatan akta pendirian PT tersebut dilakukan oleh para pendiri, yang hadir dan menandatangani akta pendirian tersebut di hadapan notaris Kabupaten Cirebon, serta para penghadap tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 39 UU 2/2014 , maka akta pendirian tersebut sah dan diperbolehkan. Pasal 39 UU 2/2014 menyebutkan bahwa: Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan cakap melakukan perbuatan hukum. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam Akta. Selanjutnya, demikian pula dalam hal misalnya akan dilaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) yang mengubah anggaran dasar, susunan direksi/komisaris maupun struktur pemegang saham PT yang berkedudukan di Medan tersebut. Hal-hal tersebut juga akan dilakukan oleh Notaris Kabupaten Cianjur, karena memang pelaksanaan RUPS-nya dilaksanakan di Cianjur. Hal tersebut dapat juga dilakukan asalkan memenuhi ketentuan dalam Pasal 76 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yaitu, seluruh pemegang saham hadir dan/atau diwakili dan agenda RUPS-nya sesuai dengan undangan rapat. Dalam hal ada pemegang saham yang tidak hadir dan/atau diwakili, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam Pasal 76 ayat (1) UUPT yaitu harus di tempat kedudukan PT tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pt hukumonline google pendirian pertahanan ppat online akta profesi hukum hukum perusahaan notaris"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tampaknya, di Indonesia sedang tren sekelompok orang yang mendirikan kerajaan-kerajaan baru yang bermacam-macam namanya. Apakah mendirikan kerajaan baru di NKRI saat ini diperbolehkan? Bagaimana kedudukannya di dalam sistem ketatatanegaraan nantinya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bentuk-Bentuk Pemerintahan Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada perlunya kita mengetahui terlebih dahulu bentuk-bentuk pemerintahan yang dikenal dalam kajian ilmu negara. Menurut Jellinek , sebagaimana dikutip Isrok dan Dhia Al Uyun dalam buku Ilmu Negara: Berjalan dalam Dunia Abstrak , bentuk pemerintahan setidaknya terbagi dalam bentuk monarki dan republik . Apabila cara terjadinya karena psikologis atau secara alamiah dalam jiwa sebagai kemauan individu, maka bentuk negaranya monarki. Sedangkan jika terjadinya secara yuridis, sengaja dibuat karena kemauan banyak orang atau dewan, maka bentuk negaranya republik (hal. 51). Terkait pertanyaan Anda, monarki juga diartikan oleh Kranenburg , yang dikutip dalam buku yang sama, sebagai negara yang dikepalai oleh seorang raja atau ratu yang bersifat turun temurun dan menjabat tanpa batas atau seumur hidup (hal. 55). Negara Indonesia telah secara tegas tidak berbentuk monarki. Hal ini tergambar dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik . Berbeda dengan monarki, kekuasaan pemerintahan Indonesia dipegang oleh presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan berkuasa selama periode jabatan 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. [1] Negara Indonesia pun pada dasarnya tidak mengakui dan tidak terbagi ke dalam kerajaan-kerajaan. Alih-alih, Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. [2] Gubernur, bupati, dan walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis . [3] Berdasarkan penelusuran kami, pada dasarnya tidak ada larangan untuk mendirikan kerajaan di Indonesia. Namun apabila merujuk pada uraian di atas, pengakuan formal atas eksistensi kerajaan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia relatif tidak ada karena kekuasaan pemerintahan dipegang oleh presiden dan pembagian pemerintah daerah pun terbatas pada provinsi, kabupaten, dan kota, bukan kerajaan. Kerajaan yang Masih Diakui Secara Formal di Indonesia Namun demikian, masih ada kerajaan yang diakui secara formal eksistensinya di Indonesia, dan masuk dalam hierarki pemerintahan berdasarkan konstitusi. Pengakuan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 , yang berbunyi: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini, kerajaan yang dimaksud adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta (“DIY”) . Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (“UU DIY”) : Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur, kelembagaan pemerintah daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. [4] Contoh kekhasan dalam pengisian jabatan di DIY terletak pada salah satu syarat calon gubernur DIY, yaitu harus bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono . [5] Sultan merupakan pemimpin dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang merupakan warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun . [6] Namun, patut diperhatikan bahwa kewenangan istimewa DIY berada di tingkat provinsi, [7] sehingga meski Kasultanan diakui, namun diberikan keistimewaan dan diakui dalam bentuk provinsi secara formal. Salah satu keistimewaan lain DIY adalah dalam bidang pertanahan. Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan . Tanah Kasultanan meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY. [8] Kasultanan berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat. [9] Tanah keprabon adalah tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti Pagelaran, Kraton, Sripanganti, tanah untuk makam Raja dan kerabatnya (di Kotagede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari, pesanggrahan, dan petilasan. Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak (magersari, ngindung, hak pakai, hutan, kampus, rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak. [10] Uraian selengkapnya mengenai tanah Kasultanan dapat Anda simak dalam artikel Status Hukum Tanah Kasultanan Yogyakarta . Jika Kerajaan Tidak Mengakui NKRI Di sisi lain, apabila sebuah kerajaan yang baru didirikan tidak mengakui dan menyatakan memisahkan diri dari Indonesia, pendirinya dapat dijerat dengan Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara , diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , kedaulatan dapat dirusak dengan dua macam cara (hal. 109): menaklukkan daerah negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintah negara asing yang berarti menyerahkan daerah itu (seluruhnya) atau sebagian kepada kekuasaan negara asing, misalnya daerah Indonesia (seluruhnya) atau daerah kalimantan (sebagian) diserahkan kepada pemerintah Inggris; atau memisahkan sebagian dari daerah negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri , misalnya memisahkan daerah Aceh atau Maluku dari daerah Indonesia untuk dijadikan negara yang berdiri sendiri. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Referensi : Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara: Berjalan dalam Dunia Abstrak. Malang: UB Press. 2012; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 1991. [1] Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 7 UUD 1945 [2] Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 [3] Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 [4] Pasal 7 ayat (2) UU DIY [5] Pasal 18 ayat (1) huruf c UU DIY [6] Pasal 1 angka 4 UU DIY [7] Pasal 6 UU DIY [8] Pasal 32 ayat (2) dan (4) UU DIY [9] Pasal 32 ayat (5) UU DIY [10] Penjelasan Pasal 32 ayat (4) UU DIY hukumonline lembaga pemerintah pemerintahan konstitusi uud 1945 tata negara makar pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau tanya, di perbankan dikenal adanya LPS untuk menjamin simpanan nasabah. Kalau di asuransi yang berbasis unit link apa ada? Tolong jelaskan. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum? 09 Nov 2023 Cara Memilih Produk Asuransi yang Aman 23 Agt 2018 Siapa Saja yang Berwenang Memblokir Rekening Nasabah? 24 Feb 2012 Upaya Nasabah Jika Klaim Asuransi Terlambat atau Tidak Dibayar 21 Feb 2012 Simpanan nasabah di bank memang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”) sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 2009 jo. Perpu No. 3 Tahun 2008 (“UU LPS”). Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan y ang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu untuk setiap nasabah dalam satu bank paling banyak Rp100 juta, dan dapat diubah nilainya melalui Peraturan Pemerintah ( Pasal 4 huruf a jo. Pasal 10 jis. Pasal 11 UU LPS ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Setelah meninjau ketentuan LPS, sekarang kita akan meninjau ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Apabila kita meninjau ketentuan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (“UU 2/1992”) hanya mengenal istilah asuransi kerugian, asuransi jiwa, reasuransi, dan tidak ditemukan istilah asuransi dengan unit link. Istilah unit link diatur dalam Peraturan Usaha Perasuransian No. 2 Keputusan Ketua Bapepam dan LK No. KEP-104/BL/2006 Tahun 2006 tentang Produk Unit Link . Pengertian produk unit link adalah produk asuransi jiwa yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nilai manfaat yang dijanjikan ditentukan oleh kinerja subdana investasi yang dibentuk untuk unit link tersebut; b. nilai manfaat yang diperoleh dari subdana investasi dinyatakan dalam unit; dan c. mengandung pertanggungan risiko kematian alami. Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat diketahui bahwa produk unit link adalah termasuk jenis asuransi jiwa. Jika di usaha perbankan terdapat lembaga LPS, bagaimana dengan usaha asuransi apakah ada lembaga yang serupa dengan LPS untuk usaha asuransi? Berdasarkan penelusuran kami pada lembaga-lembaga yang terkait dengan asuransi seperti Bapepam-LK, yang dibentuk dengan Kepmenkeu No. 606/KMK.01/2005 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Kepmenkeu No. 312/KMK.01/2006 Tahun 2006 , serta Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan UU No. 21 Tahun 2011 fungsinya tidak seperti fungsi lembaga LPS dalam usaha perbankan. Walaupun tidak terdapat lembaga seperti LPS pada usaha perasuransian, perusahaan asuransi jiwa (termasuk yang menggunakan pola unit link) dapat mengasuransikan lagi risiko yang dimilikinya kepada perusahaan reasuransi karena usaha perusahaan reasuransi adalah memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa ( Pasal 3 huruf a angka 3 UU 2/1992 ). Jadi, dalam usaha asuransi jiwa termasuk asuransi jiwa dengan unit link, tidak terdapat lembaga penjamin seperti LPS dalam usaha perbankan. Untuk mengatasi hal ini. perusahaan asuransi jiwa dapat mengasuransikan ulang risikonya ke perusahaan reasuransi. Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 606/KMK.01/2005 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2006 Tahun 2006 5. Peraturan Usaha Perasuransian Nomor 2 - Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-104/BL/2006 Tahun 2006 tentang Produk Unit Link lembaga penjamin simpanan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pidana bersyarat itu sama dengan pidana percobaan? Saya mau bertanya, dimanakah letak perbedaannya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menjawab pertanyaan Anda, mari kita simak ketentuan Pasal 14a KUHP lama yang masih berlaku saat ini, sebagai berikut:\n\nApabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu. Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2. Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan. Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan. Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan- keadaan yang menjadi alasan perintah itu.\n\nWirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 183 – 184) menjelaskan mengenai pidana bersyarat (penghukuman bersyarat) dalam Pasal 14a KUHP, bahwa apabila seseorang dihukum penjara selama-lamanya satu tahun atau kurungan, maka hakim dapat menentukan bahwa hukuman itu tidak dijalankan. Kecuali, kemudian ditentukan lain oleh hakim, apabila si terhukum dalam tenggat waktu percobaan melakukan tindak pidana lagi atau tidak memenuhi syarat tertentu, misalnya tidak membayar ganti kerugian kepada si korban dalam waktu tertentu.\nDengan demikian, dapat diketahui bahwa pidana bersyarat adalah pidana yang memungkinkan terpidana tidak menjalankan hukumannya berdasarkan putusan hakim, dengan syarat si terpidana tersebut dikenakan hukuman kurungan atau pidana penjara paling lama satu tahun.\n\nNamun, pidana bersyarat itu dikecualikan jika misalnya si terpidana melakukan tindak pidana lagi atau tidak memenuhi syarat tertentu selama masa percobaan itu.\n\nLebih lanjut, disarikan dari artikel Hukuman Masa Percobaan, arti dari hukuman masa percobaan adalah terpidana diputus untuk menjalani hukumannya namun tidak dikurung di lembaga pemasyarakatan, melainkan di daerah sendiri untuk diawasi. Apabila terpidana melanggar ketentuan pada masa percobaan, maka akan dikirim ke lembaga pemasyarakatan tanpa menjalani sidang terlebih dahulu.\n\nAdapun, masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam Pasal 492, Pasal 504, Pasal 505, Pasal 506, dan Pasal 536 KUHP paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya paling lama 2 tahun. Masa percobaan ini tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.[1]\n\nLantas, apakah pidana bersyarat itu sama dengan pidana percobaan? Pada dasarnya, pidana bersyarat sering dipersamakan dengan pidana percobaan karena adanya keterkaitan antara pidana bersyarat dengan masa percobaan selama masa pidana bersyarat dilakukan. Seseorang yang menjalani pidana bersyarat haruslah sejalan dengan syarat-syarat tertentu atau ketentuan yang berlaku selama masa percobaan.\n\nApabila masa percobaan tersebut habis, maka berlaku ketentuan Pasal 14f ayat (2) KUHP, yang berbunyi:\n\nSetelah masa percobaan habis, perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat diberikan lagi, kecuali jika sebelum masa percobaan habis, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana di dalam masa percobaan dan penuntutan itu kemudian berakhir dengan pemidanaan yang menjadi tetap. Dalam hal itu, dalam waktu dua bulan setelah pemidanaan menjadi tetap, hakim masih boleh memerintahkan supaya pidananya dijalankan, karena melakukan tindak pidana tadi.\nPidana Pengawasan dalam KUHP Baru\n\nAdapun, dalam KUHP baru yaitu Pasal 75 dan Pasal 76 UU 1/2023yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan yaitu tahun 2026,[2] pidana bersyarat atau hukuman masa percobaan disebut dengan pidana pengawasan.\n\nPidana pengawasan adalah pembinaan di luar lembaga atau di luar lembaga atau di luar penjara, yang serupa dengan pidana penjara bersyarat dalam KUHP lama. Pidana ini merupakan alternatif dari pidana penjara dan tidak ditujukan untuk tindak pidana yang berat sifatnya.[3]\n\nPidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.[4] Penjatuhan pidana pengawasan ini sepenuhnya terletak pada pertimbangan hakim dan dijatuhkan kepada orang yang pertama kali melakukan tindak pidana.[5]\n\nAdapun, pidana pengawasan ini dijatuhkan paling lama sama dengan pidana penjara yang diancamkan yang tidak lebih dari 3 tahun. Dalam putusan pidana pengawasan ditetapkan syarat umum, yaitu terpidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi.[6]\n\nSelain syarat umum, terdapat pula syarat khusus, berupa:[7]\n\nterpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukan; dan/atauterpidana harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama, kemerdekaan menganut kepercayaan, dan/atau kemerdekaan berpolitik.\n\nDengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pidana bersyarat disebut juga dengan pidana percobaan atau hukuman masa percobaan. Sedangkan di dalam KUHP baru, pidana bersyarat ini disebut dengan pidana pengawasan.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023)\nREFERENSI:\n1. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Refika Aditama, 2003.\n\n[1] Pasal 14b ayat (1) dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana\n\n[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)\n\n[3] Penjelasan Pasal 75 UU 1/2023\n\n[4] Pasal 75 UU 1/2023\n\n[5] Penjelasan Pasal 76 ayat (1) UU 1/2023\n\n[6] Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU 1/2023\n\n[7] Pasal 76 ayat (3) UU 1/2023"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah kekhususan dalam proses kepailitan terhadap PT perorangan? Mengingat organ PT perorangan tidak seperti PT biasa. Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBisakah Debitur Dinyatakan Pailit Dua Kali?01 Mar 2024Kewajiban Bayar Ganti Rugi karena Memutus Kontrak Pada Perusahaan Pailit15 Nov 2023Kewenangan Debitur Atas Hartanya yang Bukan Boedel Pailit27 Okt 2023Peran OJK sebagai Pemohon Pailit Perusahaan Asuransi15 Agt 2023\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menyampaikan pengertian perseroan terbatas (”PT”) perorangan yang dapat merujuk ketentuan Pasal 109 angka 1 Perppu Cipta Kerjayang mengubah Pasal 1 angka 1 UU PTyang berbunyi:\n\nPerseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi saham atau Badan Hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.\nDengan demikian, pengertian dari PT perorangan atau perseroan perorangan adalah badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro dan kecil.\n\nAdapun, lingkup perseroan perorangan dibatasi hanya pada kriteria usaha mikro dan kecil (UMK) dan dapat didirikan oleh 1 orang.[1] Pengaturan ini ditujukan untuk melakukan modernisasi masyarakat untuk berkreasi agar dapat memajukan dan menaikkan pendapatannya.\nSedangkan, PT biasa dikenal dengan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Lingkup dari PT biasa ini adalah badan hukum yang modal usahanya diperoleh dari penyetoran saham dan dapat didirikan oleh dua orang atau lebih.[2]\nAdakah Perbedaan Proses Kepailitan PT Perorangan dengan PT Biasa?\n\nApabila perseroan perorangan memiliki utang kepada kreditur, maka terdapat kemungkinan perseroan perorangan tersebut dimohonkan berada dalam kepailitan oleh krediturnya apabila tidak mampu melunasi utang-utangnya.\n\nAdapun, yang dimaksud dengan pailit adalah suatu kondisi debitur tidak mampu lagi melakukan pembayaran utang kepada para kreditur, dikarenakan situasi keuangan debitur.[3]\n\nSementara itu, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalamUU 37/2004.[4]\n\nUntuk dimohonkan dalam keadaan pailit, suatu perseroan harus memenuhi dua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 yaitu:\n\nDebitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;Utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.\n\nBaca juga: 2 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya\n\nKedua syarat tersebut harus dibuktikan secara sederhana[5] seperti diberikan surat teguran kepada debitur yang mana debitur tidak melakukan pembayaran utang atau kreditur dapat membuktikan jika debitur memiliki utang yang telah jatuh tempo.\n\nLantas, siapa yang bertanggung jawab apabila perseroan dimohonkan dalam keadaan pailit? Apabila suatu perseroan melalui proses kepailitan, dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi harus bertanggung jawab secara tanggung renteng atas setiap kesalahan atau kelalaian yang dilakukannya untuk membayar utang atas kekurangan tersebut kepada para kreditur. Hal ini diatur dalam Pasal 104 ayat (2) UU PT. Kondisi ini berlaku jika direksi telah melakukan perbuatan sesuai dengan kewenangan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar (“AD”) perseroan.\n\nNamun, apabila tindakan direksi yang mengakibatkan pailit atas perseroan tersebut dilakukan di luar kewenangan sebagaimana tercantum dalam AD (ultra vires), maka perseroan tidak menanggung perbuatannya dan pembebanannya diletakkan pada harta pribadi direksi. Hal ini diatur di dalam Pasal 97 ayat (3) UU PT sebagai berikut:\n\nSetiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).\n\nBerbeda dengan perseroan biasa yang organnya terdiri atas direksi, komisaris, dan RUPS,[6] perseroan perorangan didirikan oleh 1 orang[7] saja atau owner tunggal yang statusnya sebagai pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham perseroan perorangan.[8]\n\nLantas, dengan adanya perbedaan organ antara perseroan persekutuan modal (PT biasa) dengan perseroan perorangan, apakah proses kepailitannya juga berbeda? Menurut hemat kami, proses kepailitan perseroan perorangan tidak memiliki kekhususan atau perbedaan dengan PT biasa (perseroan persekutuan modal). Hal ini karena semua harta kekayaan debitur sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan dan segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan[9]sama-sama akan diambil alih penguasaan dan pengelolaannya oleh kurator selama proses kepailitan selesai dilakukan.[10]\n\nKetika perseroan mengalami kepailitan, maka organ perseroan tersebut akan tetap berfungsi namun harus sesuai dengan ketentuan. Apabila dalam fungsinya kemudian menimbulkan harta pailit menjadi berkurang, maka pengeluaran uang yang termasuk dalam harta pailit merupakan wewenang dari kurator .[11]\nJadi, perseroan perorangan yang bentuknya adalah badan hukum, proses kepailitannya sama halnya dengan PT biasa (perseroan persekutuan modal). Adapun, yang dijadikan sebagai acuan untuk proses permohonan pailit adalah Pasal 6 ayat (1) UU 37/2004 yaitu permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/20144/undangundang-nomor-37-tahun-2004/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_37_2004)\n2. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_pt)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt603210d8b398b/node/534/peraturan-pemerintah-nomor-8-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_8_2021)\nREFERENSI:\n1. Hadi Subhan. Hukum Kepailitan. Jakarta: Prenada Media, 2018\n2. Rahmadi Indra Tektona dan Dwi Ruli Handoko. Implikasi Hukum Pailitnya Perseroan Perorangan Terhadap Direksi Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Dunia Hukum, Volume 6 Nomor 2, 2022.\n[1] Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil (“PP 8/2021”)\n\n[2] Lihat Pasal 109 angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)\n\n[3] Hadi Subhan. Hukum Kepailitan. Jakarta: Prenada Media, 2018, hal. 12\n\n[4] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”)\n\n[5] Pasal 8 ayat (4) UU 37/2004\n\n[6] Pasal 109 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 2 UU PT\n\n[7] Pasal 2 ayat 1 huruf b PP 8/2021\n\n[8] Lihat Pasal 7 ayat (2) huruf g PP 8/2021\n\n[9] Pasal 21 UU 37/2004\n\n[10] Rahmadi Indra Tektona dan Dwi Ruli Handoko. Implikasi Hukum Pailitnya Perseroan Perorangan Terhadap Direksi Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Dunia Hukum, Volume 6 Nomor 2, 2022, hal. 122\n\n[11]Rahmadi Indra Tektona dan Dwi Ruli Handoko. Implikasi Hukum Pailitnya Perseroan Perorangan Terhadap Direksi Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Dunia Hukum, Volume 6 Nomor 2, 2022, hal. 122"
} |
{
"from": "human",
"value": "Peraturan atau UU mengenai perlindungan hewan sudah ada belum? Misalnya, saya berhasil menciptakan jenis hewan baru hasil perkawinan silang, apakah saya bisa mempatenkan? UU apa yang mengatur?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perkembangan teknologi telah meluas cakupannya meliputi pemanfaatan makhluk hidup sebagai media bahkan produk invensi. Bioteknologi berkembang hingga tahap merekayasa ataupun memodifikasi gen tertentu, sehingga tumbuh-tumbuhan ataupun hewan tertentu memiliki keunggulan dibandingkan tanaman ataupun hewan sejenisnya. Perkembangan bioteknologi telah mampu menghasilkan, seperti tomat yang mampu melalui proses pematangan relatif lama setelah dipanen, sapi yang mampu menghasilkan susu lebih banyak dan domba-domba yang memiliki bulu lebih tebal untuk industri berbahan wol. Alasan kemajuan dalam kesejahteraan umat manusia, peningkatan mutu sandang dan pangan melalui peningkatan kualitas ternak dan pertanian menjadi alasan pembenarannya. Namun, ekses terhadap kemajuan teknologi bersinggungan dengan isu moralitas, agama dan ketertiban umum. Berkaitan dengan pertanyaan Saudara(i) menyoal perlindungan Paten bagi penemuan hewan hasil persilangan, perlu ditilik dahulu ihwal persyaratan perlindungan Paten di Indonesia. Hak Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Pemilik/Pemegang Paten melalui ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (“UU Paten”). Artinya, perolehan hak tersebut harus melalui suatu proses pendaftaran yang ditentukan oleh Negara cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (syarat formal), dan harus memenuhi keseluruhan kriteria perlindungan Paten (syarat substantif). KLINIK TERKAIT Arti Mutatis Mutandis dan Contohnya 23 Jul 2020 Hukumnya Penggunaan Lambang Garuda Pancasila pada Produk Komersial 22 Jun 2020 Kapankah Saat yang Aman Mengungkapkan Sebuah Penemuan? 16 Mei 2012 Mungkinkah Transfer Pendaftaran HKI Antar-Negara? 01 Mar 2012 Syarat-syarat suatu penemuan mendapatkan Patennya ( patentable ), menyangkut 3 (tiga) kriteria, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 2 UU Paten , yaitu: kebaruan ( novelty ) langkah terobosan ( inventive step ) diterapkan dalam industri ( industrial applicable ) Pemberian Paten memberikan perlindungan terhadap invensi, apabila ketiga syarat tersebut terpenuhi tanpa terkecuali. Jadi, bukan syarat yang bersifat alternatif. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Suatu penemuan mungkin saja memenuhi semua persyaratan tersebut, tetapi gagal memperoleh perlindungannya, karena di samping pemenuhan syarat tersebut UU Paten mengenal pembatasan. Di samping syarat perlindungan hukum yang diberikan, undang-undang juga memberikan pengecualian terhadap pemberian Hak Paten, terutama dalam kaitannya dengan public order yang menyoal kepentingan umum dan moralitas (etika). Pasal 7 UU Paten mengatur soal pembatasan pemberian paten sebagai berikut: “ Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang: a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau d. i.\nsemua makhluk hidup, kecuali jasad renik; ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis .” Secara teknis dimungkinkan sebuah penemuan memenuhi syarat substantif sebagaimana disyaratkan UU Paten dan berhak memperoleh perlindungannya. Namun aspek sosial-budaya, etika dan kepatutan juga perlu diperhatikan. Apakah sebuah penemuan apabila diloloskan perlindungannya, bermanfaat bagi kepentingan publik ataupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi? Pertanyaan ini cukup menarik dan kontroversial, apabila dikaitkan dengan ihwal bioteknologi. Rekayasa genetika sudah tentu menimbulkan perdebatan sendiri ditinjau dari sudut etika. Akan tetapi, sudah pasti melalui Pasal 7 huruf d butir i UU Paten , temuan yang patentable tetapi termasuk kategori mahluk hidup, kecuali jasad renik tidak mendapatkan tempat untuk menjadi penemuan yang memperoleh perlindungan hukumnya di Indonesia . Apapun “bentuk” ( end product ) temuan tersebut, terlepas dari jenis cloning atau bukan, khusus untuk mahluk hidup termasuk hewan tidak mendapat perlindungan. Namun, merujuk pada penjelasan Pasal 7 huruf d butir ii UU Paten : “ Yang dimaksud dengan proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan dalam butir ii adalah proses penyilangan yang bersifat konvensional atau alami, misalnya melalui teknik stek, cangkok, atau penyerbukan yang bersifat alami, sedangkan proses non-biologis atau proses mikrobiologis untuk memproduksi tanaman atau hewan adalah proses memproduksi tanaman atau hewan yang bersifat transgenik/rekayasa genetika yang dilakukan dengan menyertakan proses kimiawi, fisika, penggunaan jasad renik, atau bentuk rekayasa genetika lainnya .” Pengertiannya adalah jika menyangkut soal “proses” ataupun teknik-teknik inovatif, termasuk hewan transgenik/rekayasa genetika, termasuk dalam temuan yang tidak dikecualikan dari Paten . Cara-cara atau proses temuan yang bersifat konvensional sudah pasti tidak termasuk dalam kriteria kebaruan ( novelty ) sehingga proses temuan tersebut tidaklah patentable . Ihwal ketentuan proses temuan yang melibatkan rekayasa genetika dalam UU Paten ini, utamanya ditujukan dalam rangka pembedaan perlakuan perlindungan hukum terhadap tanaman transgenic yang “ end-product ”-nya dimasukkan dalam lingkup Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (“UUPVT”). Analoginya, berkenaan dengan ciptaan berupa hewan baru hasil perkawinan silang hanya dimungkinkan untuk memperoleh patennya, sepanjang menyangkut “proses” persilangan yang inovatif (memenuhi 3 kriteria patentable ). Ketentuan pembatasan dalam Pasal 7 UU Paten tersebut per se melarang temuan yang berupa makhluk hidup termasuk hewan. Akan tetapi pada Pasal 7 huruf d butir ii dinyatakan, sepanjang berkenaan dengan proses teknologi penemuannya, dan bukan pada varietas/produk akhirnya, dapat diuji patentability -nya untuk memperoleh perlindungan hukum. Tentunya kontroversi akan menjadi pertimbangan, jika dikaitkan dari sisi moralitas dan ketertiban umum. Kembali lagi kepada pertanyaan kegunaan atau manfaatnya bagi masyarakat luas, juga termasuk apakah menyangkut persoalan hidup mati seseorang. Contoh yang dapat dirujuk adalah kasus Harvard oncomouse , yang pendaftaran Patennya mengundang kontroversi di beberapa Negara tujuan tempat pendaftaran. Walaupun, pada akhirnya beberapa negara meloloskan permohonan patennya dengan beberapa pertimbangan kemanusiaan dan memakan waktu tahunan bahkan puluhan tahun untuk proses pemberian Patennya sendiri. Penelitian oncomouse tersebut menghasilkan objek invensi berupa tikus-tikus percobaan yang berguna bagi pengembangan penelitian mengenai gen atau sel kanker. Kanada semula mengambil sikap menolak temuan tersebut dalam yurisdiksinya, karena tidak termasuk kriteria produk Paten yang sejatinya haruslah berbentuk non-living product . Namun, pada akhirnya Canadian Patent Office meloloskan perolehan Paten terhadap inovasi oncomouse pada 2003 setelah melalui perdebatan yang panjang. Penerapan kasus tentunya berbeda jika dikaitkan dengan penggunaan tikus-tikus transgenik yang digunakan dalam penelitian penghilangan rambut kaki untuk alasan kosmetika ( The Upjohn Case 1992 pada European Patent Office ). Menilik dari historical background (latar belakang historis) dari UU Paten di Indonesia sendiri, merujuk pada Pasal 7 UU Paten terdahulu (Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten), pembatasan dikaitkan dengan produk inovasi yang ditujukan untuk dikonsumsi manusia dan atau hewan ( vide huruf b). Jadi, seandainya ada temuan berupa hewan transgenik, seperti sapi yang melalui rekayasa genetika mampu menghasilkan susu lebih banyak atau daging yang lebih halus seratnya, temuan ini termasuk dalam pengecualian pemberian hak Paten, karena untuk konsumsi manusia. Sementara, apabila ada temuan berupa kuda pacuan yang lebih kuat dan mampu berlari lebih kencang, rekayasa genetika ini termasuk dalam temuan di bidang teknologi yang dapat memperoleh perlindungan Paten. Sementara, dalam ketentuan ataupun penjelasan Pasal UU Paten yang sekarang berlaku, ihwal pembatasan serupa ini tidak ditemukan. Dengan demikian, proses untuk memproduksi tanaman dan hewan melalui bioteknologi modern dan mikrobiologi, seperti rekayasa genetika dan teknik-teknik transgenik dapat memperoleh perlindungan Patennya di Indonesia, sepanjang tidak bertentangan dengan moralitas, agama dan ketertiban umum. Namun, tidak ada penjelasan per se mengenai perlindungan metode persilangan hewan yang memiliki nilai kebaruan, seperti halnya pada tanaman dalam UUPVT. Demikian jawaban saya, semoga dapat memberikan sekilas gambaran mengenai perlindungan hukum terhadap bioteknologi, khususnya hewan di Indonesia. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman 2. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pemilik merek yang belum memiliki nomor pendaftaran bisa menuntut? Kapan dimulai perlindungan merek? Apakah pemilik merek bisa menuntut kegiatan masa lalu (penjualan) setelah memiliki sertifikat merek?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaannya. Saya asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan “merek memiliki nomor pendaftaran” adalah merek terdaftar. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) , perlindungan hak merek memerlukan pendaftaran. Pasal 1 angka 5 UUMIG menyatakan bahwa: Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Pemilik merek terdaftar memiliki hak eksklusif yang berkaitan dengan mereknya. Hal ini memberikan kepadanya hak untuk menggunakan merek tersebut dan mencegah pihak ketiga yang tidak sah menggunakan merek tersebut, atau merek serupa yang membingungkan. Merek juga mencegah konsumen dan publik dari kerancuan akan suatu produk. Selengkapnya mengenai tata cara pendaftaran merek dapat Anda simak dalam artikel Proses Pendaftaran Merek dan Gugatan Pembatalannya . Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan. Jangka waktu pelindungan tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. [1] Menjawab pertanyaan Anda, maka bisa disampaikan bahwa hanya merek yang sudah terdaftar yang berhak atas perlindungan hukum dari negara. Yang dimaksud dengan \"terdaftar\" adalah setelah permohonan melalui proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif serta mendapatkan persetujuan menteri untuk diterbitkan sertifikat. [2] Gugatan terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi sebelum lahirnya perlindungan merek tersebut tidak dapat diajukan. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis . [1] Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU MIG [2] Pasal 3 UU MIG dan Penjelasannya hukumonline perlindungan merek hukum sengketa merek kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah perlindungan hukum bagi orang-orang yang sengaja menerobos sistem keamanan suatu website perusahaan, lalu berhasil menemukan bug dan memberitahukannya kepada perusahaan? Soalnya beberapa perusahaan memang mengapresiasi tindakan ini, tapi sebagian yang lain malah melaporkan pelaku ke polisi."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pengertian Peretas Sebelumnya, kita perlu mengetahui siapa pelaku penerobosan terhadap sistem keamanan suatu website, yang ditemukan pada pengertian peretas ( hacker ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (KBBI) , peretas memiliki makna, di antaranya, orang yang terobsesi untuk mengetahui lebih banyak tentang komputer atau orang yang mengakses komputer orang lain tanpa izin, biasanya dengan bantuan teknologi komunikasi. Aktivitas mengakses suatu jaringan atau sistem komputer, baik secara legal maupun ilegal, diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( “ UU ITE ” ) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) . Pasal 1 angka 15 UU 19/2016 menguraikan bahwa: Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan. Regulasi Terkait Perbuatan Peretasan Dalam konteks masalah keamanan sistem elektronik/informasi, peretas seringkali bersifat aktif atau sengaja, yang bertujuan untuk mengecoh atau bahkan merusak sistem. Meskipun akhirnya melaporkan kepada perusahaan sebagai penyelenggara sistem elektronik, namun aktivitas tersebut ilegal karena dilakukan tanpa hak. Aktivitas tersebut melawan hukum dan secara awam dikategorikan sebagai kejahatan, karena bertentangan dengan Pasal 30 jo. Pasal 46 UU ITE. Pasal 30 UU ITE Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 46 UU ITE Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Subjek yang D iperbolehkan Di sisi lain, dengan alasan waktu dan target, developer (pengembang sistem informasi/elektronik) seringkali hanya melakukan pengetesan terhadap fungsi suatu program dan masalah keamanan kurang menjadi perhatian. Tidak heran bila sering dijumpai banyaknya tambalan yang perlu dilakukan terhadap sebuah software yang sudah digunakan. Ini artinya, proses pengetesan atau quality control tidak berjalan dengan baik karena tidak bisa mendeteksi permasalahan secara dini. Peretas kemudian dapat melakukan hal ini secara etis, dilakukan dengan izin dan sepengetahuan dari pemilik, mendapatkan persetujuan tertulis dan menandatangani perjanjian mengenai apa saja yang dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan. Peretasan semacam itu dilindungi oleh Pasal 34 UU ITE , yang selengkapnya berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki; perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. Adakah Perlindungan Hukum Peretas ? Dengan demikian dapat diringkas, penerobosan tanpa izin terhadap sistem keamanan suatu website perusahaan bukan untuk kegiatan penelitian, pengujian sistem elektronik, atau untuk perlindungan sistem elektronik secara sah, merupakan tindakan yang melawan hukum dan ilegal. Hal ini sekalipun pelakunya berhasil menemukan bug (cacat/celah program) dan memberitahukannya kepada perusahaan. Perbuatan tersebut diancam sesuai ketentuan Pasal 30 jo . Pasal 46 UU ITE yang telah diuraikan sebelumnya. Sayangnya, belum ada pengecualian bagi peretas ilegal meskipun aktivitasnya justru membantu suatu perusahaan. Sekalipun pelakunya memenuhi unsur ethical hacking (peretasan beretika), namun ia tetap berisiko mendapatkan ancaman hukuman bila pihak yang diretas tidak senang dengan tindakan tersebut. Hal yang dapat diharapkan saat ini adalah bagaimana pihak kepolisian dapat menempatkan diskresinya secara proporsional. Apalagi bila tidak ditemukan kerugian, bahkan justru membantu pihak yang diretas. Peretas tersebut dapat dibina untuk membantu negara di kemudian hari. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring , diakses pada 22 Januari 2020, pukul 09.53 WIB. teknologi hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah wartawan yang melakukan pemberitaan keliru dan mengandung unsur fitnah sehingga menimbulkan opini negatif bisa dipidanakan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah Memberitakan Proses Persidangan? 02 Jan 2015 Langkah Jika Menolak Diliput Media 05 Mei 2014 Kebebasan untuk Tidak Menjawab Pertanyaan Pers 09 Jan 2014 Pemberitaan Pers dan Asas Praduga Tak Bersalah 29 Mar 2013 Intisari: Pada dasarnya, Wartawan Indonesia harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu. Bila hak jawab ini tidak dilayani oleh pers, maka perusahaan pers dapat dipidana. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Melalui pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa Anda merupakan pihak yang difitnah secara langsung melalui tulisan dari seorang wartawan yang merupakan bagian dari Perusahaan Pers Nasional. Oleh sebab itu, sebelum masuk pada unsur pidana, sebelumnya kami sampaikan terlebih dahulu bahwa ada upaya lain yang dapat Anda tempuh untuk melindungi hak Anda yang akan kami uraikan lebih lanjut di bawah ini. Berita yang Keliru Soal pemberitaan yang salah, Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) menyatakan: “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.” Di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) . 1. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. [1] 2. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. [2] Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu. Upaya yang Dapat Ditempuh Akibat Pemberitaan Pers yang Merugikan Dalam kasus yang Anda hadapi dan dengan merujuk pada asumsi kami di atas, kami berpandangan bahwa Anda sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Lebih lanjut, langkah berikutnya yang dapat Anda lakukan adalah membuat pengaduan di Dewan Pers . Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen . [3] Dewan Pers Indonesia mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers. [4] Salah satu fungsi Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers . [5] Dengan demikian, kami berpandangan bahwa Anda dapat menjadi pengadu di Dewan Pers untuk mengajukan keberatan atas karya jurnalistik dari wartawan tersebut. Bila Hak Jawab Tak Membuahkan Hasil Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2) UU Pers sebagai berikut: Pasal 5 UU Pers: (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. (2) Pers wajib melayani Hak Jawab. (3) Pers wajib melayani Hak Koreksi. Pasal 18 ayat (2) UU Pers: “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” Sebagai referensi Anda dapat membaca artikel Mekanisme Penyelesaian atas Pemberitaan Pers yang Merugikan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ; 2. Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers ; 3. Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers . [1] Pasal 1 angka 11 UU Pers [2] Pasal 1 angka 12 UU Pers [3] Pasal 15 ayat (1) UU Pers [4] Pasal 1 ayat (1) Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2013 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers (“Peraturan Dewan Pers 3/2013”) yang kami akses dari laman Dewan Pers Indonesia [5] Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers hukumonline pers wartawan hukum klinik klinik hukumonline berita hoax berita bohong pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Pada saat saya mengendarai mobil dan memutar di putaran jalan ada orang-orang yang biasa meminta recehan untuk jasa membantu memutar mobil (yang sering disebut pak ogah). Secara tidak sengaja mereka terserempet mobil yang saya kendarai. Pertanyaan saya: Apakah saya layak disebut sebagai kelalaian? Sedangkan mereka juga bukan petugas yang bertugas untuk membantu memutar mobil di jalan raya. Apakah ada hukum yang mengatur hal tersebut? Mohon dibantu, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Jika Anda memang sengaja ingin menabrak Pak Ogah tersebut, maka Anda dapat dihukum. Akan tetapi, jika Anda tidak sengaja dan memang kecelakaan disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga (si Pak Ogah) yang mana tidak seharusnya Pak Ogah tersebut berdiri di putaran jalan, maka Anda tidak memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan menjelaskan mengenai pengertian kelalaian atau kealpaan ( culpa ). Dalam hal ini kelalaian atau kealpaan ( culpa ) dibedakan atas : KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Pelaku Tabrak Lari dan Seret Motor 23 Okt 2023 Cara Mengajukan Izin Penutupan Jalan untuk Hajatan 08 Mei 2023 Aturan Pelarangan Sepeda Motor di Jalan Tertentu 12 Jul 2018 Pengaturan Lalu Lintas Bagi Pengguna Jalan yang Diprioritaskan 25 Agt 2016 · Kealpaan dengan kesadaran ( bewusteschuld ). Dalam hal ini pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, akan tetapi pelaku berusaha untuk mencegah, tetapi timbul juga akibat tersebut. · Kealpaan tanpa kesadaran ( onbewusteschuld ). Dalam hal ini pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan pelaku seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kemudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) diatur mengenai kelalaian atau kealpaan (culpa) yang menyebabkan orang lain mendapat luka, hal tersebut diatur dalam Pasal 360 ayat (1) dan (2) KUHP , yang berbunyi sebagai berikut : (1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah . Dalam masalah Anda, tidak seharusnya “P ak O gah ” berada di jalan tempat Anda berkendara sebab jalan tersebut merupakan perlintasan kendaraan , tidak untuk melintas orang. M aka sepatutnya tanggung jawab atas kerugian yang timbul tidak dibebankan kepada Anda, kecuali dapat dibuktikan adanya kesengajaan Anda untuk menyerempet atau setidaknya dapat memperkirakan kendaraan yang Anda kendarai mengenai “Pak Ogah” yang tengah berada di jalan perlintasan tersebut dan Anda tidak menghalaukannya. Apabila dapat dibuktikan adanya unsur kesengajaan pada diri Anda sehingga ketika berkendara “menyerempet” si “Pak Ogah” tersebut , maka Anda sebagai pengemudi dapat dikenakan ketentuan Pasal 234 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), yang berbunyi sebagai berikut : “Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi” Menurut ketentuan di atas yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang yang berada di luar kendaraan bermotor atau instansi yang bertanggung jawab di bidang jalan serta sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan [1] . Selanjutnya, mengenai pertanggungjawaban atas kerugian yang timbul akibat kelalaian yang dilakukan oleh pengemudi telah diatur dalam undang-undang dan disesuaikan dengan tingkat kesalahan akibat kelalaian yang ditimbulkan. Pertanggung jawaban atas kerugian tersebut ditentukan berdasarkan putusan pengadilan atau bisa juga dilakukan di luar pengadilan jika terdapat kesepakatan antara para pihak. [2] Namun, terdapat pengecualian dalam hal memberikan pertanggungjawaban atas kerugian yang ditimbulkan tersebut, yaitu jika: [3] a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. Berdasarkan dasar hukum di atas, jika Anda dapat membuktikan bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh perilaku korban atau pihak ketiga itu sendiri (dalam hal ini “P ak O gah ” ) dan tidak terdapat unsur kesengajaan dari Anda , maka Anda dapat dibebaskan dari kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak korban. Tetapi bilamana ternyata Anda terbukti melakukan kelalaian tersebut maka Anda wajib membayar ganti rugi kepada pihak korban. Perlu kami tegaskan bahwa ganti rugi yang diberikan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 235 ayat (1) dan (2) UU LLAJ ,yang berbunyi sebagai berikut: (1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. (2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana . Adapun tuntutan pidana bagi pihak yang mengakibatkan kecelakaan dimana korban mengalami luka-luka diatur dalam Pasal 310 ayat (2) dan (3) UU LLAJ , yang berbunyi sebagai berikut : (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) (3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Kemudian untuk tindakan “P ak O gah ” yang melakukan pengaturan lalu lintas, ini merupakan tindakan yang keliru dan dilarang . Di daerah DKI Jakarta sendiri hal tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”) , yang berbunyi sebagai berikut : Setiap orang yang atau s ekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa. Adapun sanksi larangan terkait hal tersebut terdapat dalam Pasal 61 ayat (2) Perda DKI Jakarta 8/2007 , yang berbunyi sebagai berikut: Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 3 huruf i, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 huruf a, Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 huruf a, huruf e, huruf h, Pasal 14 ayat (1), ayat (2), Pasal 17 ayat (2), ayat (3), Pasal 19 huruf b, Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 25 ayat (2), ayat (3), Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 38 huruf a, huruf b, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 huruf a, huruf c, Pasal 51, Pasal 54 ayat (2) dan Pasal 57 dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 3. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum . [1] Penjelasan Pasal 234 UU LLAJ [2] Pasal 236 ayat (1) dan (2) UU LLAJ [3] Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ jalan hukum mobil klinik hukumonline hukumonline uang klinik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya adalah pemegang saham minoritas di satu perusahaan. Saat ini saya tidak aktif lagi di perusahaan itu. Saya mendapat kabar kalau perusahaan tersebut akan default karena tidak dapat membayar utang perusahaan ke bank. Apakah risiko yang akan saya alami sebagai pemegang saham perusahaan itu jika nantinya default? Apakah saya akan masuk ke daftar hitam debitur di Bank Indonesia? Karena saya pemegang saham minoritas, saya tidak dilibatkan dalam banyak hal yang berhubungan dengan langkah-langkah perusahaan. Mohon pencerahannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pernah dipublikasikan pada Rabu, 30 April 2014. KLINIK TERKAIT Apakah Perusahaan yang Rugi 2 Tahun Berturut-turut Dapat Dipailitkan? 16 Okt 2013 Langkah-Langkah Penyelesaian Kredit Macet 11 Okt 2013 Bolehkah Debitur Bank Menjadi Karyawan di Bank yang Sama? 08 Okt 2013 Penyelesaian Hukum Kasus Mobil Cicilan yang Hilang 09 Mar 2012 Intisari: Pertama-tama perlu Anda ketahui bahwa tidak ada yang dinamakan daftar hitam debitur Bank Indonesia. Yang ada adalah Daftar Hitam Nasional sehubungan dengan cek dan/atau bilyet giro. Terkait kredit perbankan, yang ada adalah Informasi Debitur melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (“SLIK”). Informasi Debitur melalui SLIK dapat dimanfaatkan, salah satunya, untuk penerapan manajemen risiko dan penilaian kualitas debitur. Bank sebagai salah satu pihak pelapor dapat meminta Informasi Debitur. Akan tetapi, yang dapat meminta Informasi Debitur adalah pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan. Jika karena Informasi Debitur, bank tidak memberikan penyediaan dana bagi debitur atau calon debitur, bank wajib memberikan penjelasan tertulis kepada debitur atau calon debitur tersebut dalam hal ada permintaan secara tertulis dari debitur atau calon debitur. Dalam hal PT Anda yang bertindak sebagai debitur Bank, maka ketidakmampuan PT tersebut dalam melunasi utangnya, tidak berdampak secara langsung terhadap Anda. Ini karena yang terdaftar sebagai debitur adalah PT tersebut, sehingga dalam Informasi Debitur, PT Anda-lah yang tercantum sebagai debitur dengan sejarah perkreditan yang kurang baik. Hal ini terkait juga dengan PT sebagai wujud atau entitas ( entity ) yang “terpisah” dan “berbeda” dari pemiliknya dalam hal ini dari pemegang saham ( separate and distinct from its owner ). Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam Informasi Debitur PT Anda, tercantum juga nama Anda sebagai pemilik badan usaha, yang mana informasi pemilik badan usaha termasuk informasi yang dapat diminta oleh Bank. Penjelasan lebih lanjut, silakan simak ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Informasi Debitur Kami berasumsi bahwa perusahaan tersebut berbentuk Perseroan Terbatas (“PT”). Pertama-tama perlu Anda ketahui bahwa tidak ada yang dinamakan daftar hitam debitur Bank Indonesia. Yang ada adalah Daftar Hitam Nasional sehubungan dengan cek dan/atau bilyet giro , sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro Kosong sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/43/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/29/PBI/2006 tentang Daftar Hitam Nasional Penarik Cek Dan/Atau Bilyet Giro Kosong . Terkait kredit perbankan, yang ada adalah Informasi Debitur melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (“SLIK”), sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (“Peraturan OJK 18/2017”) serta Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 50/SEOJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (“SE OJK 50/2017”) . Kemudahan akses perkreditan atau pembiayaan merupakan salah satu aspek penting dalam menciptakan sistem keuangan yang sehat dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kemudahan akses perkreditan atau pembiayaan perlu didukung dengan adanya sistem informasi yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi kredit antar lembaga jasa keuangan. [1] SLIK dapat dimanfaatkan untuk memperlancar proses penyediaan dana, penerapan manajemen risiko, penilaian kualitas debitur , dan meningkatkan disiplin industri keuangan. [2] Kewajiban Pelaporan Informasi Debitur Melalui SLIK Terkait informasi debitur melalui SLIK, Pihak yang wajib menjadi Pelapor [3] adalah: [4] a. Bank Umum yang meliputi: 1) Bank Umum konvensional; 2) Bank Umum Syariah; dan 3) Unit Usaha Syariah dari Bank Umum konvensional induknya; b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR); c. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS); d. Lembaga Pembiayaan yang meliputi: 1) Lembaga Pembiayaan yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana; dan 2) unit usaha syariah dari Lembaga Pembiayaan induknya; e. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang meliputi: 1) Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang memberikan Fasilitas Penyediaan Dana, kecuali lembaga keuangan mikro; dan 2) unit usaha syariah dari Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang menjadi induknya. Pihak yang dapat menjadi Pelapor adalah: [5] a. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang menyediakan layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dan lembaga keuangan mikro; dan b. Lembaga lain bukan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) antara lain koperasi simpan pinjam, yang telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam Peraturan OJK 18/2017 . Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur kepada Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) secara lengkap, akurat, terkini, utuh, dan tepat waktu setiap bulan untuk posisi akhir bulan. [6] Pelapor wajib menyampaikan Laporan Debitur secara bulanan paling lambat tanggal 12 bulan berikutnya setelah bulan Laporan Debitur. [7] Laporan Debitur wajib mencakup informasi mengenai: [8] a. Debitur; b. Fasilitas Penyediaan Dana baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk: [9] 1) kredit atau pembiayaan penyediaan uang, barang dan/atau jasa, atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan; 2) surat berharga surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari Debitur, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang; 3) transaksi rekening administratif kewajiban komitmen dan kontinjensi yang meliputi jaminan, Letter of Credit (L/C), Standby Letter of Credit (SBLC), atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain; dan 4) fasilitas lainnya yang dapat dipersamakan dengan Fasilitas Penyediaan Dana; c. Agunan; d. Penjamin; e. Pengurus dan pemilik ; dan f. Keuangan Debitur . Informasi mengenai keuangan Debitur dilaporkan dalam hal Debitur merupakan perusahaan atau pihak yang menerima Fasilitas Penyediaan Dana dari 1 (satu) Pelapor dan/atau pembiayaan bersama lebih dari 1 (satu) Pelapor, dengan jumlah seluruh Fasilitas Penyediaan Dana paling sedikit sebesar Rp 5 miliar . Pelapor melaporkan informasi mengenai keuangan Debitur yang bersumber dari laporan keuangan tahunan Debitur terkini, paling lambat pada Laporan Debitur bulan Juni tahun berikutnya. [10] Laporan Debitur sebagaimana diuraikan di atas, dilaporkan oleh kantor pusat Pelapor kepada OJK. Laporan Debitur tersebut wajib mencakup informasi dari kantor pusat Pelapor dan seluruh kantor cabang. [11] Selain mempunyai kewajiban melaporkan Laporan Debitur, Pelapor juga wajib memberitahukan kepada Debitur mengenai penyampaian Laporan Debitur yang bersangkutan ke dalam SLIK. [12] Permintaan Informasi Debitur Melalui SLIK Informasi debitur sebagaimana diuraikan di atas, dapat diminta oleh beberapa pihak. Pihak yang dapat meminta Informasi Debitur adalah: [13] a. Pelapor (salah satunya Bank sebagaimana telah disebutkan di atas); b. Debitur; c. Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP); dan d. Pihak lain, yaitu pihak yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan nota kesepahaman dengan OJK berwenang untuk memperoleh Informasi Debitur, misalnya pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta aparat penegak hukum dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. [14] Cakupan Informasi Debitur yang dapat diminta oleh pihak-pihak di atas adalah: [15] a. Identitas Debitur; b. Pemilik dan pengurus bagi Debitur badan usaha ; c. Fasilitas Penyediaan Dana yang diterima Debitur; d. Agunan; e. Penjamin; f. Kualitas Fasilitas Penyediaan Dana ; dan g. Informasi lain. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pelapor yang dapat meminta Informasi Debitur adalah Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan OJK 18/2017 : “Pelapor yang telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat meminta Informasi Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada OJK secara daring (online) melalui SLIK.” Permintaan Informasi Debitur secara daring ( online ) dapat dilakukan melalui kantor pusat Pelapor dan/atau kantor cabang Pelapor. [16] Informasi Debitur yang diperoleh oleh Pelapor dari permintaan tersebut, hanya dapat digunakan untuk: [17] a. Mendukung kelancaran proses pemberian Fasilitas Penyediaan Dana; b. Menerapkan manajemen risiko ; dan/atau c. Mengidentifikasi kualitas Debitur dalam rangka pemenuhan ketentuan OJK atau pihak lain yang berwenang. Jika Bank (sebagai salah satu Pelapor) menolak memberikan Fasilitas Penyediaan Dana kepada Debitur atau calon Debitur atas dasar Informasi Debitur, Pelapor wajib memberikan penjelasan secara tertulis kepada Debitur atau calon Debitur. Penjelasan secara tertulis tersebut diberikan dalam hal terdapat permintaan secara tertulis dari Debitur atau calon Debitur . [18] Dampak Bagi Pemegang Saham Jika PT Berisiko Wanprestasi Sekarang, yang menjadi permasalahan Anda adalah apakah Anda akan masuk ke dalam daftar hitam Bank Indonesia karena PT dimana Anda sebagai pemegang saham minoritas berisiko mengalami wanprestasi. Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam kredit perbankan tidak ada yang dinamakan daftar hitam, yang ada adalah Informasi Debitur. Akan tetapi, ada kemungkinkan calon debitur akan sulit mendapatkan penyediaan dana dari bank jika yang bersangkutan tidak memiliki sejarah kredit yang bagus berdasarkan Informasi Debitur dalam SLIK. Dalam hal PT Anda yang bertindak sebagai debitur bank, maka ketidakmampuan PT tersebut dalam melunasi utangnya, tidak berdampak secara langsung terhadap Anda . Ini karena yang terdaftar sebagai debitur adalah PT tersebut , sehingga dalam Informasi Debitur, PT Anda-lah yang tercantum sebagai debitur dengan sejarah perkreditan yang kurang baik . Hal ini terkait juga dengan PT sebagai wujud atau entitas ( entity ) yang “terpisah” dan “berbeda” dari pemiliknya dalam hal ini dari pemegang saham ( separate and distinct from its owner ). Hal ini terlihat dari perumusan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) : “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.” Menurut penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUPT, ketentuan tanggung jawab terbatas, merupakan penegasan ciri personalitas PT bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Akan tetapi , perlu diingat bahwa dalam Informasi Debitur PT Anda, tercantum juga nama Anda sebagai pemilik badan usaha , yang mana informasi pemilik badan usaha termasuk informasi yang dapat diminta oleh Bank. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan ; 3. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 50/SEOJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan . [1] Penjelasan Umum Peraturan OJK 18/2017 [2] Penjelasan Umum Peraturan OJK 18/2017 [3] Pelapor adalah pihak yang melakukan pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui SLIK kepada Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 1 angka 8 Peraturan OJK 18/2017) [4] Pasal 2 ayat (1) Peraturan OJK 18/2017 dan Romawi II angka 1 SE OJK 50/2017 [5] Romawi II angka 2 SE OJK 50/2017 [6] Pasal 4 ayat (1) Peraturan OJK 18/2017 [7] Pasal 8 ayat (1) Peraturan OJK 18/2017 [8] Pasal 4 ayat (2) Peraturan OJK 18/2017 [9] Romawi IV angka 2 huruf b SE OJK 50/2017 [10] Pasal 5 Peraturan OJK 18/2017 [11] Pasal 4 ayat (3) dan (4) Peraturan OJK 18/2017 [12] Pasal 13 Peraturan OJK 18/2017 [13] Pasal 14 ayat (1) Peraturan OJK 18/2017 [14] Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf d Peraturan OJK 18/2017 [15] Pasal 14 ayat (2) Peraturan OJK 18/2017 [16] Pasal 15 ayat (2) Peraturan OJK 18/2017 [17] Pasal 15 ayat (4) Peraturan OJK 18/2017 [18] Pasal 17 Peraturan OJK 18/2017 ojk jasa keuangan pemegang saham pt hukumonline google saham otoritas jasa keuangan perseroan terbatas hukum bi debitur bank indonesia perusahaan kreditur"
} |
{
"from": "human",
"value": "Pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan disebut rangkap jabatan komisaris di BUMN. Dari kaca mata hukum, apakah pejabat Kemenkeu ini diperbolehkan untuk rangkap jabatan? Jika tidak, adakah sanksinya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dari kacamata hukum, larangan rangkap jabatan bagi pegawai negeri diatur dalam UU 25/2009. Pelaksana pelayanan publik adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.[1]\n\nPelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara (“BUMN”), dan badan usaha milik daerah (“BUMD”).[2]\nBaca juga: Puluhan Pejabat Kemenkeu Rangkap Jabatan di BUMN\n\nLarangan rangkap jabatan berkaitan dengan conflict of interest. Rangkap jabatan akan menimbulkan potensi konflik kepentingan sehingga pejabat tersebut tidak bisa bersikap profesional dan netral jika menduduki dua posisi sekaligus.\n\nPasal 5 ayat (2) UU ASN menyebutkan pegawai Aparatur Sipil Negara (“ASN”) berkewajiban menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugas. Kode etik ini terkait prinsip profesionalitas, agar tidak terjadi konflik kepentingan apalagi jika jabatan yang ditempati merupakan jabatan strategis.\n\nKemudian jika ditinjau berdasarkan larangan yang diatur dalam Pasal 33 UU BUMN menyebutkan anggota komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai anggota Direksi pada BUMN, BUMD, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan, dan/atau jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.\n\nBaca juga: Larangan Rangkap Jabatan Aparatur Negara\nSanksi Rangkap Jabatan ASN\n\nMenjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, pejabat kementerian maupun pegawai ASN yang melakukan rangkap jabatan telah melanggar kode etik, sehingga dapat dikenakan sanksi tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (7) UU 25/2009 yakni diberikan sanksi pembebasan dari jabatan.[3]\n\nPengenaan sanksi di atas jika dilakukan terhadap pimpinan di lingkungan kementerian, dapat dilanjutkan pemrosesan perkaranya ke lembaga peradilan umum apabila yang bersangkutan melakukan perbuatan melawan hukum dan/atau melakukan tindak pidana.[4]\n\nNamun demikian, patut Anda ketahui, disarikan dari Menyoal Rangkap Jabatan Komisaris BUMN (hal. 4), Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga pada saat itu menyebutkan sangat wajar dari kementerian atau lembaga apabila menempati posisi komisaris sebab yang mewakili kepentingan pemegang saham BUMN adalah dari pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa isu larangan rangkap jabatan ASN menjadi komisaris di BUMN ini masihlah menjadi polemik tersendiri.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13588/undangundang-nomor-19-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_19_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a715279424d7/undangundang-nomor-25-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_25_2009)\n3. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e61de937430/undang-undang-nomor-5-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2014)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n5. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n[1] Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU 25/2009”)[2] Pasal 17 huruf a UU 25/2009[3] Pasal 54 ayat (7) UU 25/2009[4] Pasal 58 UU 25/2009"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada hukum atau sanksi yang menghukum anak putus sekolah baik itu SD, SMP, atau SMA? Misalnya seperti di Slovakia orang tua dipenjara karena tidak bisa meneruskan sekolah anaknya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Pada dasarnya Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Anak untuk memperoleh pendidikan. Dalam praktiknya, suami yang karena tidak memberi nafkah kepada keluarganya sehingga menyebabkan anaknya putus sekolah dapat dituntut di muka pengadilan atas dasar penelantaran keluarga. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Mengenal Ragam Hukuman Pidana untuk Anak 30 Apr 2024 Dapatkah Menjerat Pidana Anak yang Lakukan Pencabulan? 04 Feb 2019 Anak 14 Tahun Mencuri Motor, Mungkinkah Dibebaskan? 31 Des 2015 Mungkinkah Dilakukan Penahanan Terhadap Anak yang Dalam Proses Diversi? 05 Feb 2015 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami asumsikan maksud pertanyaan Anda adalah adakah sanksi yang menghukum orang tua yang anaknya putus sekolah. Putus Sekolah dan Dana BOS Pada dasa r nya, anak-anak di Indonesia tidak lagi ada alasan putus sekolah. Hal ini karena secara umum Bantuan Operasional Sekolah (“BOS”) Sekolah Menengah Atas (“SMA”) bertujuan untuk mewujudkan layanan pendidikan menengah khususnya jenjang SMA yang terjangkau dan bermutu bagi semua lapisan masyarakat dan secara khusus, bertujuan untuk mengurangi angka putus sekolah SMA. [1] Secara khusus program BOS Sekolah Dasar (“SD”) dan Sekolah Menengah Pertama (“SMP”) bertujuan untuk: [2] a. membebaskan pungutan bagi seluruh peserta didik SD/SD Luar Biasa negeri dan SMP/SMP Luar Biasa/SD-SMP Satap/SMPT negeri terhadap biaya operasi satuan pendidikan; b. membebaskan pungutan seluruh peserta didik miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di satuan pendidikan negeri maupun swasta; dan c. meringankan beban biaya operasi satuan pendidikan bagi peserta didik di satuan pendidikan swasta. Ini artinya, putus sekolah karena miskin atau tidak mampu bukanlah alasan lagi. Penjelasan lebih lanjut soal program BOS dapat Anda simak dalam artikel Sanksi Bagi Penyalahguna Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) . Peran Orang Tua Agar Anaknya Tak Putus Sekolah Pada dasarnya, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. [3] Di samping itu, Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD 1945”) menjamin: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya Kemudian, Pasal 48 dan Pasal 49 UU 35/2014 juga mengatur: Pasal 48 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua Anak. Pasal 49 Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Keluarga, dan Orang Tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Anak untuk memperoleh pendidikan. Orang tua pun mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai berikut: [4] a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak ; dan d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada pasal soal sanksi pidana bagi orang tua yang mengabaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anaknya untuk memperoleh pendidikan atau sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya putus sekolah. Contoh Kasus Meski tidak ada aturan eksplisit soal orang tua yang membiarkan anaknya putus sekolah, dalam praktiknya, contoh kasus orang tua yang tidak membiayai pendidikan anaknya sehingga anaknya putus sekolah dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Militer I-02 Medan Nomor PUT/74-K/PM I-02/AD/V/2012 . Terdakwa sejak Juni 2010 tidak menafkahi istri dan anak-anaknya. Terdakwa menikah lagi dengan wanita lain padahal masih berstatus sebagai suami dari istrinya. Akibat dari perbuatan terdakwa, anaknya yang kedua berhenti sekolah sehingga anaknya terlantar dan istrinya terpaksa menjual barang-barang rumah tangganya Akhirnya, hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama dua bulan.” Sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Contoh lain dapat kita temukan juga dalam Putusan Pengadilan Negeri Soe No : 158/Pid.Sus/2014/PN.SOE . Berdasarkan fakta yang terungkap di pengadilan diketahui bahwa sejak Terdakwa keluar dari rumah meninggalkan istri dan anak-anaknya Terdakwa tidak pernah memberikan biaya untuk kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya . S ehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya , istri harus bekerja kebun dibantu oleh anak-anaknya dan anaknya yang kedua (13 tahun) sempat putus sekolah dengan bekerja sebagai peng ojek. Terdakwa lalu diadili berdasarkan Pasal 49 huruf a UU PKDRT. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan “Menelantarkan Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga”. Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; 3. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; 4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 80 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah; . REFERENSI:\n1. 1. http://pontianak.tribunnews.com/2013/07/11/wako-terapkan-sanksi-tilang-orangtua-anak-putus-sekolah , diakses pada 29 Maret 2016 pukul 15.46 WIB. 2. http://www.dprd-kaltimprov.go.id/read/news/2015/3073/jangan-ada-anak-putus-sekolah-di-kaltim.html , diakses pada 29 Maret 2016 pukul 16.21 WIB. PUTUSAN 1. Putusan Pengadilan Militer I-02 Medan Nomor PUT/74-K/PM I-02/AD/V/2012 . 2. Putusan Pengadilan Negeri Soe No : 158/Pid.Sus/2014/PN.SOE . [1] Lampiran II Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 80 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah (“Permendikbud 80/2015”) [2] Pasal 4 Permendikbud 80/2015 [3] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) [4] Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014 hukumonline anak orang tua hukum klinik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada sanksi apabila pedagang gerobak, pedagang asongan dan gepeng masuk ke dalam area mall/plaza? Berkali-kali telah dilarang oleh petugas keamanan mall/plaza tetapi tetap saja tidak diindahkan. Terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Sebagai pusat perbelanjaan, mall atau plaza ini adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. Ini berarti mall atau plaza di sini hanya diperuntukkan bagi penjual-penjual yang memang mempunyai hak milik atau memiliki perjanjian sewa untuk berjualan dengan pihak pengelola mall/plaza yang bersangkutan . Sehingga, pedagang gerobak dan pedagang asongan tidak berhak masuk untuk berjualan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Masalah Pungutan untuk Pedagang Kecil oleh Pihak Sekolah 23 Okt 2017 Pasal untuk Menjerat Preman yang Melakukan Pemalakan 19 Agt 2015 Apakah Pengecer Juga Wajib Mencantumkan Label Kedaluwarsa? 02 Sep 2014 Sanksi Berjualan di Fasilitas Umum Perumahan 29 Okt 2013 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya kami asumsikan maksud pedagang gerobak, pedagang asongan, gelandang dan pengemis (“gepeng”) masuk ke dalam areal Mall/Plaza di sini adalah masuk dengan tujuan untuk berdagang/berjualan dan gepeng untuk mengemis. Mall dan Plaza adalah Pasar Mall dan Plaza pada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan disebut sebagai Pasar . Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 70/M-Dag/Per/12/2013 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern sebagaimana diubah oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 Tahun 2014 (“Permendag 70/2013”) berbunyi: Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai Pusat Perbelanjaan, Pasar Tradisional, Pertokoan, Mall, Plasa , Pusat Perdagangan maupun sebutan lainnya. Jadi, baik mall maupun plaza keduanya sama-sama merupakan pasar dan mengandung sebutan yang sama artinya dengan Pusat Perbelanjaan, Pasar Tradisional, Pertokoan, maupun Pusat Perdagangan, yakni pasar. Sebagai pusat perbelanjaan, mall atau plaza ini adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. [1] Pelaku Usaha yang Berhak Berjualan di Mall atau Plaza Terkait dengan pertanyaan Anda, ini berarti mall atau plaza di sini hanya diperuntukkan bagi penjual-penjual yang memang mempunyai hak milik atau memiliki perjanjian sewa untuk berjualan dengan pihak pengelola mall/plaza yang bersangkutan . Sehingga, pedagang gerobak dan pedagang asongan tidak berhak masuk untuk berjualan. Meski demikian, berdasarkan penelusuran kami, Permendag 70/2013 ini tidak mengatur sanksi bagi pedagang gerobak, pedagang asongan, gepeng masuk ke dalam area mall atau plaza. Sanksi di Peraturan Daerah Meskipun Permendag 70/2013 tidak mengatur sanksi bagi pedagang gerobak, pedagang asongan, dan gepeng masuk ke dalam area mall atau plaza, namun kita dapat menemukannya dalam peraturan daerah setempat. Salah satunya, kami mengacu pada peraturan daerah yang mengatur tentang ketertiban umum, yakni Pasal 40 Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”) : Setiap orang atau badan dilarang: a. menjadi pengemis , pengamen, pedagang asongan , dan pengelap mobil; b. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan di atas dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500 ribu dan paling banyak Rp. 30 juta. [2] Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 70/M-Dag/Per/12/2013 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern sebagaimana diubah oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 Tahun 2014; 2. Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. [1] Pasal 1 angka 4 Permendag 70/2013 [2] Pasal 61 ayat (2) Perda DKI Jakarta 8/2007 hukumonline perdata mall hukum klinik pusat perbelanjaan klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah penghisap Lem Kambing dapat dipidanakan? Apakah ada pasal yang mengatur tentang hal itu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan penelusuran kami, tindakan mengisap aroma lem kambing biasanya disebut dengan “ngelem”. Dalam artikel yang berjudul Ngelem Narkoba untuk Anak Jalanan Siapa yang Peduli Mereka? , yang kami akses dari laman Kompasiana , ngelem adalah istilah untuk menghirup aroma dari bahan lem biasanya lem kambing untuk menempel ban sepeda atau untuk merekatkan bahan kayu. Kandungan dari lem kambing ini terdiri dari bahan karet sintetik, resin dan pelarut yang disebut dengan toluene . Lebih lanjut dijelaskan bahwa, toluene dalam industri farmasi sering digunakan untuk pembuatan pemanis buatan sacharin dan anastesi lokal. Senyawa toluene ini dapat merusak saluran pernapasan, menyebabkan kanker dan juga merusak susunan saraf pusat. Bahkan dapat menyebabkan kematian. KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Kecelakaan karena Mabuk Saat Berkendara 11 Jul 2023 Mengapa Alkohol Tidak Digolongkan Sebagai Narkotika? 18 Okt 2022 Pemilik Puntung Ganja = Pengedar Ganja? 30 Jul 2019 Ancaman Pidana Bagi Calo Transaksi Narkotika 05 Sep 2013 Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada peraturan khusus yang memberikan ancaman pidana pada penghisap aroma lem kambing. Yang diatur di Indonesia adalah terkait dengan narkotika dan psikotropika. Toluene , dalam Lampiran II Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) , merupakan salah satu jenis prekursor narkotika. Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam UU Narkotika ( Pasal 1 angka 1 UU Narkotika ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan UU Narkotika, hal-hal terkait prekursor narkotika yang dilarang yaitu setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum ( Pasal 129 UU Narkotika ): a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Oleh karena itu, berdasarkan UU Narkotika, tidak ada sanksi khusus bagi orang yang menggunakan lem kambing yang mengandung toluene untuk dihisap aromanya. Dalam beberapa berita juga dapat kita lihat bahwa oknum-oknum yang mengisap lem kambing, yang pada umumnya dilakukan oleh pelajar, tidak dikenai sanksi pidana. Seperti pada artikel yang berjudul Hirup lem kambing, 5 remaja perempuan diamankan , yang kami akses dari laman Sindonews.com , petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kota Sibolga menjaring lima remaja perempuan, dari kamar salah satu hotel, yang sedang menghirup lem Kambing. Pihak Satpol PP hanya akan memanggil keluarga kelima remaja tersebut untuk menjamin dan membuat pernyataan untuk tidak melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari. Sebagai informasi, sebagaimana diberitakan dalam artikel Pemko Terbitkan Peraturan Penjualan Lem yang kami akses dari laman Metrosiantar.com , terkait lem kambing ini, Walikota Tanjungbalai Drs. H. Thamrin Munthe. M.Hum, akan menerbitkan Peraturan Walikota (Perwa) tentang penjualan lem kambing. Rencananya, peraturan tersebut akan berlaku sampai diterbitkannya Peraturan Daerah (Perda) tentang tata niaga lem kambing. Akan tetapi, hingga September 2013, belum ada draf rancangan peraturan daerah (Ranperda) tata cara penjualan lem cap kambing dari Pemerintah Kota Tanjungbalai, sebagaimana terdapat dalam artikel DPRD Tagih Janji Walikota Terbitkan Perda Penjualan Lem Kambing (Metrosiantar.com). Ini berarti pemerintah pun menyadari bahwa lem kambing ini jika digunakan tidak pada tempatnya, dapat berbahaya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika . Referensi: 1. http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/30/ngelem-narkoba-untuk-anak-jalanan-siapa-yang-perduli-mereka-524105.html , diakses pada 20 Januari 2014, pukul 13.24; 2. http://daerah.sindonews.com/read/2013/02/25/24/721556/hirup-lem-kambing-5-remaja-perempuan-diamankan , diakses pada 20 Januari 2014, pukul 13.24; 3. http://www.metrosiantar.com/2013/pemko-terbitkan-peraturan-penjualan-lem/ , diakses pada 20 Januari 2014, pukul 14.35; 4. http://www.metrosiantar.com/2013/dprd-tagih-janji-walikota-terbitkan-perda-penjualan-lem-kambing/ , diakses pada 20 Januari 2014, pukul 16.49."
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah sanksi jika seorang pengendara motor/mobil mengklakson kepada pengendara di depannya untuk menerobos padahal lampu traffict light-nya masih merah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman resmi Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional , klakson adalah alat (berupa trompet) yang dibunyikan dengan listrik pada mobil atau kendaraan bermotor lainnya, digunakan sebagai tanda peringatan akan keberadaan kendaraan tersebut. Klakson berdasarkan penjelasan Pasal 48 ayat (2) huruf j Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) merupakan salah satu komponen pendukung yang termasuk dalam persyaratan teknis setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan. KLINIK TERKAIT Sanksi Kebut-kebutan di Jalan Hingga Mengakibatkan Kecelakaan 12 Okt 2023 Jerat Pasal Kecelakaan karena Mabuk Saat Berkendara 11 Jul 2023 Bolehkah Menerobos Lampu Merah dalam Keadaan Darurat? 19 Agt 2016 SIM dan STNK Diblokir Karena Tidak Datang Sidang Tilang 24 Feb 2014 Dari penjelasan di atas berarti klakson pada dasarnya merupakan salah satu komponen pendukung kendaraan bermotor yang digunakan sebagai tanda peringatan. Selanjutnya, Traffic light atau lampu merah dikenal sebagai alat pemberi isyarat lalu lintas dalam peraturan perundang-undangan yang ada, di antaranya dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2013 Tentang Jaringan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (“PP 79/2013”) . Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan ( Pasal 1 angka 19 UU LLAJ dan Pasal 1 angka 8 PP 79/2013 ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lampu merah yang Anda maksud adalah alat pemberi isyarat lalu lintas yang terdiri dari lampu tiga warna yang digunakan untuk mengatur kendaraan ( Pasal 42 ayat (1) huruf a PP 79/2013 ). Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan alat pemberi isyarat lalu lintas ( Pasal 106 ayat [4] huruf c UU LLAJ ). Sanksi bagi pelanggarnya adalah pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu ( Pasal 287 ayat [2] UU LLAJ ). Melihat pada ketentuan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam UU LLAJ dan peraturan pelaksananya hanya diatur mengenai sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan alat pemberi isyarat lalu lintas. Ini karena pada dasarnya, sanksi pidana dikenakan terhadap pelaku pidana. Hal ini dalam hukum pidana dikenal prinsip pertanggungjawaban pidana, yakni setiap orang yang melakukan tindak pidana maka ketentuan hukuman pidana akan dikenakan padanya. Salah satunya di atur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “Pelaku tindak pidana yang bisa dikenakan pidana adalah mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.” Ini artinya, yang dapat dikenakan sanksi pidana dalam kasus ini adalah pengendara kendaraan bermotor yang menerobos lampu merah. Selengkapnya mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Prinsip Tanggung Jawab Pidana. Akan tetapi, merujuk juga kepada pasal tersebut, orang yang menyuruh melakukan juga dapat dikenai sanksi pidana. Namun, menurut hemat kami, sulit untuk turut menjerat pengendara kendaraan bermotor di belakangnya sebagai pihak yang “menyuruh melakukan”, karena hal ini memerlukan pembuktian lagi. Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 3. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2013 Tentang Jaringan Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan . REFERENSI:\n1. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php , diakses pada 28 Maret 2014 pukul 15.58 WIB. hukum lampu merah uu lalu lintas uu llaj hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Assalamualaikum. Apa sanksi bagi yang tidak melaksanakan putusan pengadilan dalam praperadilan? Misalnya hakim memutuskan bahwa memerintah Termohon untuk melanjutkan proses penyidikan dan mewajibkan ganti rugi kepada Termohon dalam praperadilan. Mohon jawabannya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP: 1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; KLINIK TERKAIT Upaya Hukum atas Putusan Praperadilan, Adakah? 12 Jul 2024 Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap? 21 Sep 2023 Berikut Ini Pemohon, Termohon, dan Alasan Praperadilan 21 Apr 2023 Seluk Beluk Praperadilan: Dari Objek Hingga Upaya Hukumnya 06 Mar 2023 2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pemeriksaan ketiga hal di atas harus dilakukan oleh hakim secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya dan harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya ,demikian yang disebut dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c dan Pasal 82 ayat (2) KUHAP. Adapun isi putusan praperadilan menurut Pasal 82 ayat (3) KUHAP adalah: a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka; b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya; d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. P erlu di ketahui bahwa terhadap putusan praperadilan tidak bisa diupayakan banding sebagaimana disebut dalam Pasal 83 ayat (1) KUHAP . Hal ini juga dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011 pada 1 Mei 2012. Selengkapnya dapat Anda simak dalam artikel Kejaksaan Patuhi Putusan MK Soal Praperadilan. Anda mengatakan bahwa contoh isi putusan praperadilan adalah hakim memerintahkan Termohon untuk melanjutkan proses penyidikan dan mewajibkan ganti rugi kepada Termohon dalam praperadilan. Kami kurang jelas dengan maksud pertanyaan Anda. Jika isi putusan tersebut adalah melanjutkan proses penyidikan, maka kami berkesimpulan bahwa yang menjadi menjadi Pemohon adalah penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan ( Pasal 80 KUHAP ). Sedangkan jika terkait dengan ganti rugi (akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan), maka diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya ( Pasal 81 KUHAP ). Pada dasarnya KUHAP tidak mengatur adanya sanksi bagi pihak yang tidak melaksanakan putusan praperadilan tersebut. Hal ini juga sesuai dengan sebuah pendapat dalam artikel berjudul Diperlukan, Reformasi Sistem Yang Dianut Kuhap yang kami akses dari laman resmi Perpustakaan Ohio University . Tulisan ini antara lain mengutip pendapat Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta –yang kala itu dijabat oleh- Luhut M.P Pangaribuan yang mengatakan bahwa perlu diatur mengenai wajib tidaknya kehadiran tersangka dalam sidang praperadilan, sanksi bagi pihak yang tak melaksanakan putusan majelis hakim dalam sidang praperadilan yang berhubungan dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) , serta mengatur tahap pelimpahan perkara. Dari sini kita dapat ketahui bahwa belum ada pengaturan mengenai sanksi bagi mereka yang tidak melaksanakan putusan praperadilan. Namun demikian, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa setiap pembangkangan atas putusan pengadilan adalah tindakan yang dapat dijerat dengan Pasal 216 KUHP. Ancaman hukuman maksimalnya adalah penjara empat bulan dua minggu atau denda maksimal Rp90 juta. Sebagai tambahan informasi, jika putusan praperadilan tersebut terkait penghentian penyidikan yang tidak sah, dimana hakim memutuskan bahwa penyidikan harus dilanjutkan, akan tetapi penyidik tidak melaksanakan putusan praperadilan tersebut, maka penyidik dikatakan melanggar kode etik kepolisian. Dalam Pasal 14 huruf j Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”) dikatakan bahwa setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . Jika Polri tersebut sebagai penyidik melanggar ketentuan tersebut, maka dapat dikenai sanksi sebagai berikut ( Pasal 21 ayat (1) Perkapolri 14/2011 ): a. perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; b. kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan; c. kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling lama 1 (satu) bulan; d. dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; e. dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; f. dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun; dan/atau g. PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) sebagai anggota Polri. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Referensi: 1. Harahap, Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. 2. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/01/01/0025.html , diakses pada 20 Januari 2014 pukul 18.07 WIB"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah sanksinya jika seseorang dengan sengaja menunda melaporkan kejadian tindak pidana untuk kepentinApakah sanksinya jika seseorang dengan sengaja menunda melaporkan kejadian tindak pidana untuk kepentingan pribadi? Terima kasihgan pribadi terima kasih"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sepanjang penulus ur an kami, tidak ada peraturan yang secara eksplisit menghukum seseorang yang menunda melaporkan kejadian tindak pidana untuk kepentingan pribadinya. Akan tetapi, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) diatur beberapa tindak pidana mengenai orang yang tidak melaporkan tentang adanya permufakatan jahat serta orang yang menyembunyikan orang yang melakukan tindak pidana. Mengenai orang yang tidak melaporkan bahwa akan ada permufakatan jahat/tindak pidana padahal ia mengetahuinya, diatur dalam Pasal 164 dan Pasal 165 KUHP : Pasal 164 KUHP: KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Jika Merekayasa Kronologi Tindak Pidana 04 Jun 2024 Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya 21 Des 2022 Prosedur Bila Polisi Tidak Menindaklanjuti Laporan Perkara 09 Mar 2020 Cara Menyampaikan Komplain atas Pelayanan Polisi 18 Sep 2018 Barang siapa mengetahui ada sesuatu permufakatan untuk melakukan kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, dan 108, 113, 115, 124, 187 atau 187 bis, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan tentang hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pasal 165 KUHP: (1) Barang siapa mengetahui ada niat untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, dan 108, 110-113, dan 115-129 dan 131 atau niat untuk lari dan tentara dalam masa perang, untuk desersi, untuk membunuh dengan rencana, untuk menculik atau memperkosa atau mengetahui adanya niat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam bab VII dalam kitab undang-undang ini, sepanjang kejahatan itu membahayakan nyawa orang atau untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 224-228, 250 atau salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 264 dan 275 sepanjang mengenai surat kredit yang diperuntukkan bagi peredaran, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2) Pidana tersebut diterapkan terhadap orang yang mengetahui bahwa sesuatu kejahatan berdasarkan ayat 1 telah dilakukan, dan telah membahayakan nyawa orang pada saat akibat masih dapat dicegah, dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pihak-pihak tersebut dalam ayat 1. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 140) mengatakan bahwa menurut Pasal 45 Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) , maka orang yang kena atau mengetahui peristiwa pidana berhak untuk memberitahukan hal itu pada yang berwajib. Ini berarti bahwa hal memberitahukan itu adalah suatu hak, bukan suatu kewajiban yang apabila diabaikan ada ancaman hukumannya. Akan tetapi, dalam hal-hal yang tersebut pada Pasal 164 dan Pasal 165 KUHP, orang yang mengetahui suatu peristiwa pidana yang tidak memberitahukan pada polisi dan justisi diancam hukuman . Lebih lanjut, Soesilo menjelaskan bahwa untuk dapat dituntut pasal ini harus dipenuhi syarat-syarat: 1. Orang itu harus mengetahui ada permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan yang disebutkan dalam pasal itu (kejahatan lain tidak berlaku); 2. Masih ada tempo untuk mencegah kejahatan itu; 3. Sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan cukup pada waktunya pada polisi atau yustisi atau orang terancam; dan 4. Kejahatan itu harus jadi dilakukan (kalau tidak, orang tidak dapat dihukum). Akan tetapi, ada pengecualian atas ketentuan dalam Pasal 164 dan Pasal 165 KUHP, dimana dalam hal tertentu, orang yang mengetahui akan dilakukannya tindak pidana, tidak dihukum. Hal ini diatur dalam Pasal 166 KUHP : “Ketentuan dalam pasal 164 dan 165 tidak berlaku bagi orang yang dengan memberitahukan itu mungkin mendatangkan bahaya penuntutan pidana bagi diri sendiri, bagi seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, bagi suami/atau bekas suaminya, atau bagi orang lain yang jika dituntut. berhubung dengan jabatan atau pencariannya, dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut.” Selain itu, tindak pidana mengenai yang menyembunyikan orang yang melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 221 KUHP : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian; 2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undangundang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. (2) Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya. Sebagai contoh kasus, dapat Anda lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 15/PID/2013/PT.MALUT . Dalam putusan tersebut, Terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 164 KUHP, yang dibuktikan dengan adanya SMS-SMS yang diterima Terdakwa sehubungan dengan akan dilakukannya tindakan anarkis terhadap fasilitas Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Putusan: Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara No. 15/PID/2013/PT.MALUT . hukum hukum pidana tindak pidana klinik hukumonline hukumonline kuhp menghalangi penyidikan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya merekam (kejadian tanpa sengaja) pembicaraan istri tetangga dengan selingkuhannya. Menurut UU ITE apakah saya melanggar hukum jika memberitahukan rekaman tersebut kepada sang suami dari istri yang saya rekam pembicaraannya (bukan disebarluaskan ke umum) ?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Teguh Arifiyadi, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan Jumat, 06 Desember 2013 Intisari: Perekaman atau “merekam” dalam UU ITE sebagaimana penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) merupakan perekaman dalam konteks intersepsi atau penyadapan yang dilakukan secara “ sengaja ” dan “ tanpa hak” atau “melawan hukum” atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam , membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. Pembicaraan istri tetangga dan selingkuhannya sebagaimana pertanyaan Anda, menurut pendapat kami bukan termasuk informasi/dokumen elektronik sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1) maupun ayat (2) UU 19/2016, sehingga tidak dapat dikategorikan “kegiatan intersepsi” sesuai UU 19/2016 dan tidak dapat dipidana. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pengaturan Perekaman dalam UU ITE Merekam pembicaraan langsung tanpa sengaja pada prinsipnya tidak melanggar ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) . UU ITE tidak mengatur khusus ketentuan tentang perekaman. Tetapi, megenai perekaman ini kita dapat merujuk pada Pasa l 31 UU 19/2016 , yakni: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain , baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang Perekaman atau “merekam” dalam UU ITE sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU 19/2016 merupakan perekaman dalam konteks intersepsi atau penyadapan yang dilakukan secara “ sengaja ” dan “ tanpa hak” atau “melawan hukum” atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam , membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. [1] Dapatka h Dipidana Jika Merekam Pembicaraan Perselingkuhan Tetangga? Pembicaraan istri tetangga dan selingkuhannya sebagaimana pertanyaan Anda, menurut pendapat kami bukan termasuk informasi/dokumen elektronik sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1) maupun ayat (2) UU 19/2016, sehingga tidak dapat dikategorikan “kegiatan intersepsi” sesuai UU 19/2016. Secara garis besar unsur pidana intersepsi dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU 19/2016 dapat kami tampilkan sebagai berikut: Sedangkan Pasal 32 UU ITE menambahkan unsur: “tidak bersifat publik” “yang tidak menyebabkan perubahan apapun” maupun “yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan”. Pidana bagi orang yang melanggar ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU 19/16 ini adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800 juta. [2] Jadi menjawab pertanyaan Anda, tindakan Anda yang melakukan perekaman dalam konteks pertanyaan Anda tidak pada prinsipnya tidak melanggar ketentuan pidana pada UU ITE. Tetapi dari sudut pandang berbeda, menurut pendapat kami, sekiranya terjadi perekaman tanpa izin, ranah hukum yang berlaku bisa saja dalam bentuk perdata. Artinya jika seseorang yang direkam pembicaraannya dan mengetahui dirinya direkam dan ia merasa dirugikan secara materiil maupun immateriil atas perbuatan perekaman tersebut, ia dapat menggugat orang yang merekam tanpa hak tersebut ke pengadilan setempat. Konsekuensi hukumnya tergantung gugatan yang dilakukan oleh orang yang merasa dirugikan atas perekaman tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik [1] Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU 19/2016 [2] Pasal 47 UU ITE hukumonline telekomunikasi tetangga merekam informasi dan transaksi elektronik hukum ite sanksi pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tetangga saya ada yang selalu menggunakan pakaian polisi beserta lambang dan pangkatnya. Padahal dia bukan seorang anggota Polri. Ketika ditanya oleh warga di sekitar saya, dia memakai baju itu untuk alasan keamanan. Yang ingin saya tanyakan apakah boleh orang biasa menggunakan baju Polisi lengkap dengan atributnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebenarnya tidak ada peraturan khusus yang mengatur sanksi bagi orang biasa (bukan polisi) yang menggunakan baju (seragam) polisi lengkap dengan atributnya. Hal ini tidak menjadi masalah jika ia mengenakan seragam dan atribut polisi tersebut tidak bertujuan untuk menipu orang lain. Akan tetapi, pada dasarnya penyalahgunaan pemakaian seragam polisi hal itu tidak dibenarkan karena seragam polisi lengkap dengan atributnya hanya diperuntukkan bagi polisi. KLINIK TERKAIT Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran 03 Jun 2024 Jerat Hukum bagi Polisi Gadungan 05 Mei 2023 Konsekuensi Hukum Jika Membayar Biaya Sogok Masuk Polisi 06 Jun 2022 Bisakah Ditangkap Polisi Karena Berduaan dengan Pacar? 24 Jan 2019 Di dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 42/2010”) dikatakan bahwapakaian seragam dinas polisi dikenal dengan sebutan perlengkapan perorangan Polri: “Perlengkapan Perorangan Polri yang selanjutnya disebut dengan Kapor Polri adalah pakaian seragam dinas dan atribut serta kelengkapannya yang melekat pada perorangan anggota Polri selama dalam dinas aktif.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih khusus lagi, pengaturan mengenai seragam dinas kepolisian terdapat dalam SuratKeputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: SKEP/702/IX/2005 tentang Sebutan, Penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polri yang antara lain mengatur mengenai sebutan, penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri yang diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Pakaian Dinas Seragam Polri. 1) Pakaian Dinas Seragam Polri Bersifat Umum: a) Pakaian Dinas Upacara (PDU). b) Pakaian Dinas Harian (PDH). c) Pakaian Dinas Lapangan (PDL). d) Pakaian Dinas Parade (PDP). e) Pakaian Dinas Sipil Harian (PDSH) 2) Pakaian Dinas Seragam Polri Bersifat Khusus: a) Pakaian Dinas Samapta b) Pakaian Dinas Lalu lintas c) Pakaian Dinas Pariwisata d) Pakaian Dinas Reserse e) Pakaian Dinas Intelkam f) Pakaian Dinas Brimob g) Pakaian Dinas Pol Air h) Pakaian Dinas Pol Udara i) Pakaian Dinas Satwa j) Pakaian Dinas Satpamkol k) Pakaian Dinas Satuan Musik l) Pakaian Dinas Provos m) Pakaian Dinas Dokkes n) Pakaian Dinas Gadik o) Pakaian Dinas Pramugari p) Pakaian Dinas Forensik q) Pakaian Dinas Peliputan 2. Pakaian Dinas PNS Polri. 1) Pakaian Dinas PNS Polri Bersifat Umum a) Pakaian Dinas Upacara (PDU) b) Pakaian Dinas Harian (PDH) c) Pakaian Dinas Sipil Harian (PDSH) 2) Pakaian Dinas PNS Polri Bersifat Khusus a) Pakaian Dinas PNS Dokkes. b) Pakaian Dinas PNS Peliputan Kewajiban Polri mengenakan seragam dan atributnya antara lain juga disebut dalam Pasal 15 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”) , yakni petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan wajib menggunakan pakaian seragam dan atribut serta wajib dilengkapi surat perintah tugas. Akan tetapi, apabila seragam dan atribut polisi tersebut dikenakan untuk melakukan penipuan (seperti oknum yang mengaku polisi) dengan serangkaian kebohongan dan memakai nama palsu/martabat palsu dan dibarengi dengan tindakan agar orang lain menyerahkan barang sesuatu kepadanya, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan. Pasal penipuan yang terdapat dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “ Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu , dengan tipu muslihat , ataupun rangkaian kebohongan , menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun” Penjelasan lebih lanjut mengenai penipuan dan contoh kasus yang dilakukan oleh seseorang yang mengaku polisi dapat Anda simak dalam artikel Sanksi Bagi Polisi Gadungan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915 2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 3. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 4. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: SKEP/702/IX/2005 tentang Sebutan, Penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polri Referensi: http://www.polri.go.id/aturan-all/atr/kpol/ , diakses pada 11 Maret 2014 pukul 14.44 WIB hukum hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya baru saja bekerja selama 2 minggu. Saat saya mulai bekerja saya ditawarkan surat penawaran berbahasa Inggris untuk ditandatangani yang isinya hanya memuat posisi, gaji, dan lamanya saya harus bekerja, yakni 2 tahun. Saat ini, saya ingin mengundurkan diri. Apakah dengan menandatangani surat penawaran yang keadaannya demikian dapat dikatakan bahwa saya memiliki keterikatan kerja atau penandatanganan tersebut hanya sebagai tanda bahwa saya mengesahkan adanya penawaran kerja yang demikian keadaannya? Apakah saya dapat terkena sanksi hukum jika mengundurkan diri? Apakah surat tersebut sah sebagai perjanjian kerja sama mengingat ditulis dalam bahasa Inggris?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Surat Penawaran yang ditandatangani sama dengan Perjanjian kerja yang dibuat oleh Si Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada 29 September 2003. KLINIK TERKAIT Aturan PHK karena Sakit Tanpa Surat Dokter 17 Mei 2024 Hukumnya Jika Karyawan Di-PHK dalam Masa Percobaan 16 Mei 2024 Di-PHK karena Kesalahan Berat, Ini Hukumnya 13 Mei 2024 Pekerja Kontrak Berubah Menjadi Tetap karena Ini! 18 Jun 2021 Surat Penawaran Kerja ( Employment Offering Letter ) Dalam praktiknya, sebelum memulai hubungan kerja, perusahaan mengirimkan surat penawaran kerja ( employment offering letter ) yang di antaranya berisi posisi, deskripsi pekerjaan, besaran gaji, serta fasilitas yang akan diberikan kepada calon karyawan yang terpilih setelah melalui beragam proses rekrutmen. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hal tersebut juga diterangkan oleh Aria Mulyapradana dalam buku Jobs Test & Interview Undercover: Tip & Trik Sukses Diterima Kerja (hal.107), bahwa dalam offering letter , calon karyawan akan diberikan rincian komponen gaji yang ditawarkan. Jika calon karyawan sepakat dengan hal-hal yang ditawarkan dalam surat penawaran kerja tersebut, biasanya pihak personalia/ human resource development (HRD) akan meminta karyawan mengirimkan kembali surat penawaran kerja yang telah dibubuhkan tanda tangan. Jika dikaitkan dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya . Dalam hal ini, surat penawaran kerja merupakan suatu persetujuan bagi para pihak yang bersangkutan, sehingga, dengan telah ditandatanganinya surat penawaran kerja tersebut, berarti para pihak telah sepakat dengan posisi yang akan ditempati si karyawan beserta hal-hal lain yang diatur di dalamnya. Senada dengan hal tersebut, Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H., dosen hukum perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menerangkan bahwa surat penawaran kerja merupakan perjanjian jika sudah disepakati dan ditandatangani kedua belah pihak . Sebagai informasi tambahan, dikarenakan perjanjian melibatkan lembaga swasta dan perseorangan warga negara Indonesia, maka perjanjian wajib menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin [1] serta bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris jika melibatkan pihak asing. [2] Meski demikian, sepanjang penelusuran kami, tidak ada sanksi tertentu yang diberlakukan jika perjanjian dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini juga ditegaskan dalam Mengenal Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Bisnis (hal. 2), bahwa tidak terdapat sanksi dan pembatalan perjanjian saat tidak terpenuhinya UU 24/2009. Sehingga, kami berpendapat bahwa perjanjian tersebut tetap sah sepanjang memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata . Tapi, dikutip dari Catatan tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kontrak , perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa nasional pihak asing terkait membuka peluang para pihak memintakan pembatalan perjanjian ke pengadilan dengan berbagai alasan, seperti pelanggaran terhadap kewajiban dalam ketentuan UU 24/2009 atau ketidakmengertian para pihak terhadap isi dari perjanjian dimaksud (hal.2). Apakah Surat Penawaran Kerja Merupakan Perjanjian Kerja? Lalu, apakah penandatanganan surat penawaran kerja tersebut menandakan telah terjadinya hubungan kerja antara pengusaha dengan karyawan? Perlu dipahami bahwa hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. [3] Sehingga, untuk mengetahui apakah ada hubungan kerja di antara Anda dengan pengusaha, harus dilihat terlebih dahulu apakah Anda dan pengusaha telah terikat dalam perjanjian kerja atau tidak. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak . [4] Pada prinsipnya, perjanjian kerja dibuat tertulis, tapi melihat kondisi masyarakat yang beragam, dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. [5] Namun, terdapat beberapa perjanjian kerja yang dipersyaratkan tertulis sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, di antaranya yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (\"PKWT\"). [6] Adapun perjanjian kerja yang dibuat tertulis sekurang-kurangnya memuat : [7] nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja; jabatan atau jenis pekerjaan; tempat pekerjaan; besarnya upah dan cara pembayarannya; syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja; mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Jika dikaitkan dengan kasus Anda, karena dalam surat penawaran kerja diterangkan bahwa lama masa kerja Anda di perusahaan tersebut ialah 2 tahun, berarti Anda dipekerjakan secara kontrak atau dengan PKWT, sehingga perjanjian kerja tersebut wajib dibuat tertulis dan memuat hal-hal sebagaimana diterangkan di atas . Selain itu, PKWT harus dicatatkan oleh pengusaha pada Kementerian Ketenagakerjaan secara daring paling lama 3 hari kerja sejak penandatanganan PKWT. [8] Berdasarkan penjelasan di atas, mengingat surat penawaran kerja yang sudah Anda sepakati tersebut hanya memuat posisi, gaji, dan lamanya Anda harus bekerja di perusahaan tersebut, maka Surat Penawaran Kerja tersebut belum memenuhi poin-poin yang harus dimuat dalam perjanjian kerja tertulis , sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas. Meski demikian, karena Anda telah menyepakati isi surat penawaran kerja yang di dalamnya diatur mengenai hak, kewajiban dan syarat kerja, dan Anda juga telah bekerja di perusahaan tersebut selama 2 minggu, menurut hemat kami dalam hal ini sudah terdapat perjanjian kerja , sehingga Anda dan perusahaan telah terikat dalam hubungan kerja . Sanksi Jika Pekerja Kontrak Mengundurkan Diri Pada dasarnya, jika salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja . [9] Di sisi lain, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan pekerja. [10] Namun, uang kompensasi tersebut hanya diberikan pada pekerja yang telah mempunyai masa kerja minimal 1 bulan terus menerus . [11] Sehingga, dalam kasus Anda, jika Anda mengakhiri kontrak sebelum jangka waktu yang ditetapkan berakhir dan masa kerja Anda belum mencapai 1 bulan secara terus menerus, maka Anda wajib membayar ganti rugi kepada pengusaha sebagaimana diterangkan di atas dan tidak berhak atas uang kompensasi . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja REFERENSI:\n1. Aria Mulyapradana . Jobs Test & Interview Undercover: Tip & Trik Sukses Diterima Kerja. (Jakarta: VisiMedia), 2015. Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Akhmad Budi Cahyono, S.H., M.H., dosen hukum perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia via telepon pada Selasa, 6 Juli 2021 pukul 08.00 WIB. [1] Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”) jo . Pasal 81 angka 13 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 31 ayat (2) UU 24/2009 [3] Pasal 50 UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan [5] Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [6] Penjelasan Pasal 51 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [7] Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [8] Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) [9] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan [10] Pasal 17 PP 35/2021 [11] Pasal 15 ayat (3) PP 35/2021 hukumonline ketenagakerjaan uu cipta kerja perjanjian kerja pkwt uu ketenagakerjaan klinik disnaker omnibus law pkwtt"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau menanyakan mengenai knalpot racing. Apabila knalpot racing yang digunakan adalah knalpot standar pabrik yang dibobok (dibuat racing) bagaimana ya hukumnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Begini Ketentuan Perizinan Industri Motor Listrik 21 Feb 2023 6 Tips Aman Jual Beli Motor Bekas 22 Feb 2022 Langkah Hukum Jika Terganggu Knalpot Berisik di Gang Rumah 31 Des 2015 Ditilang Karena Knalpot Motor Tidak Standar 03 Apr 2014 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Adakah Hukuman Jika Memodifikasi Knalpot Sepeda Motor? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 13 April 2015. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui pengertian dari knalpot terlebih dahulu, menurut KBBI, knalpot adalah bagian motor berbentuk pipa panjang yang berfungsi meredam bunyi letupan tempat saluran buangan gas. Kemudian sepanjang penelusuran kami, knalpot racing biasanya dibuat lebih besar dari pada knalpot standar, memiliki bentuk aneh, dan suara yang lebih bergemuruh, dengan tujuan meningkatkan tenaga mesin dan menambah tarikan makin kencang. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa knalpot racing yang Anda maksud adalah knalpot yang diubah sehingga mengubah fungsi dari knalpot sesungguhnya yaitu salah satunya untuk meredam bunyi. Jadi, knalpot racing bukanlah knalpot standar sebagaimana ditentukan oleh UU LLAJ . Knalpot tidak standar memiliki keterkaitan dengan persyaratan laik jalan. Hal ini diatur dalam Pasal 48 ayat (3) UU LLAJ dan Pasal 6 ayat (3) PP 80/2012 yang berbunyi: Pemeriksaan atas persyaratan laik jalan kendaraan bermotor meliputi: emisi gas buang; kebisingan suara; efisiensi sistem rem utama; efisiensi sistem rem parkir; kincup roda depan; suara klakson; daya pancar dan arah sinar lampu utama; radius putar; akurasi alat penunjuk kecepatan; kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan/atau kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat kendaraan. Menjawab pertanyaan Anda, terkait pemasangan knalpot sepeda motor yang tidak standar, Pasal 285 ayat (1) UU LLAJ telah mengatur sanksi bagi pelanggarnya. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pengendara sepeda motor yang kendaraannya tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan (salah satunya knalpot) dapat ditindak. Berikut ini bunyi selengkapnya Pasal 285 ayat (1) UU LLAJ : Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot , dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250 ribu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan REFERENSI:\n1. Knalpot , yang diakses pada Selasa, 18 April 2023, pukul 11.00 WIB. kendaraan lalu lintas motor sepeda motor uu lalu lintas uu lalu lintas dan angkutan jalan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Iklan-iklan atau acara TV yang sudah \"tidak netral lagi\" (bentuk dukungan atau hiburan saya tidak tahu pasti) banyak menampilkan anekdot atau parodi atau lawakan dan lucu-lucuan yang memerankan tokoh/figur negarawan. Bagaimana mengenai hal tersebut menurut pandangan hukum di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami perlu menjelaskan pengertian istilah negarawan dan parodi yang Anda sebutkan terlebih dahulu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman resmi Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan RI , negarawan memiliki arti ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. KLINIK TERKAIT Apakah Melanggar Hukum Jika Mengubah Bentuk Kaset Menjadi MP3? 19 Nov 2018 Perlukah Izin untuk Gunakan Pidato Presiden dalam Film? 24 Mei 2016 Sanksi untuk Media yang Tak Netral dalam Pemberitaan Capres 25 Jun 2014 Jerat Hukum Penyelenggara Radio Ilegal 03 Jun 2013 Sedangkan parodi adalah karya sastra atau seni yang dengan sengaja menirukan gaya, kata penulis, atau pencipta lain dengan maksud mencari efek kejenakaan. Oleh karena itu, dalam konteks pertanyaan Anda, kami menyimpulkan bahwa negarawan yang Anda maksud dapat pula berupa pemerintah/penguasa, seperti presiden, wakil presiden, dan pejabat negara lainnya sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) . Mengenai siapa saja yang termasuk pejabat negara dalam UU ASN dapat Anda simak dalam artikel Apakah Sekretaris Daerah Termasuk Pejabat Negara? Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selanjutnya, pada dasarnya, tayangan televisi merupakan bagian dari siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak . Oleh karena itu, penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab , demikian antara lain bunyi dari salah satu konsiderans dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UU Penyiaran”) . Lebih lanjut diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Penyiaran bahwa i si siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Mengacu pada hal ini, memang pada prinsipnya, tayangan parodi yang menampilkan orang yang memerankan tokoh atau negarawan tertentu walaupun bertujuan untuk hiburan, sepatutnya tetap memperhatikan unsur moral di dalamnya. Lebih daripada itu, berkaitan dengan pertanyaan yang Anda sampaikan, khususnya pengaturan mengenai netralitas siaran dan konten siaran yang dilarang, kita mengacu pada ketentuan dalam Pasal 36 ayat (4), (5), dan (6) UU Penyiaran yang berbunyi: (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. (5) Isi siaran dilarang: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. (6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU Penyiaran berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Penyiaran dikenai sanksi administratif . Sedangkan berdasarkan Pasal 57 huruf d dan e UU Penyiaran , d ipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 36 ayat (5) dan (6) UU Penyiaran. Untuk menerapkan pasal di atas, khususnya Pasal 36 ayat (6) UU Penyiaran, tentu unsur “ memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan martabat manusia” perlu ada. Oleh karena itu, dalam konteks pertanyaan Anda, apabila tayangan parodi yang menampilkan orang yang memerankan tokoh atau negarawan itu bermaksud memperolok atau merendahkan martabat negarawan yang bersangkutan, maka kepada mereka yang melakukannya dapat dipidana sesuai Pasal 57 huruf d dan e UU Penyiaran. Akan tetapi, jika memang tujuan tayangan parodi itu untuk menghibur tanpa ada unsur merendahkan martabat atau menghina negarawan yang bersangkutan, menurut hemat kami, tidak ada sanksi yang bisa menjerat pelakunya. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) itu sendiri ada pengaturan khusus mengenai sanksi bagi mereka yang menghina penguasa, yakni khususnya presiden atau wakil presiden seperti yang terdapat dalam Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP . Akan tetapi, dalam artikel Pentingkah Mengatur Kembali Penghinaan Presiden? dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi. Masih bersumber dari artikel yang sama, sebagaimana yang kami sarikan, dikatakan bahwa orang yang menduduki jabatan penguasa, dalam kualitas sebagai pribadi, masih dapat mengajukan tuntutan pidana bagi orang-orang yang dianggap telah menghinanya sebagaimana diatur dalam Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP. Namun, menurut hemat kami, penerapan pasal-pasal ini jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda agak sulit karena pelaku parodi yang memerankan tokoh atau negarawan itu belum tentu memiliki maksud untuk menghina dan perlu pembuktian lagi di dalamnya. Penjelasan lebih lanjut mengenai delik penghinaan ini juga dapat Anda simak dalam artikel Pencemaran Nama Baik di Media Sosial, Delik Biasa atau Aduan? dan Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ; 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara . Referensi: 1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 2. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index , diakes pada 8 Juli 2014 pukul 12.07 WIB. radio siaran hukum klinik hukumonline hukumonline negara tokoh kenegaraan televisi penghinaan pencemaran nama baik klinik penyiaran"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin mengajukan pertanyaan mengenai Partai Politik (Parpol). Jika Partai Politik tidak menjalankan fungsinya berdasarkan UU No. 2 tahun 2011 tentang perubahan UU No. 2 tahun 2008, misal Partai Politik tidak memberikan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas, apakah ada hukum atau sanksi bagi partai politik yang bersangkutan? Terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah CPNS Menjadi Anggota Partai Politik? 25 Jul 2019 Tata Cara Pembubaran Ormas 09 Mei 2017 Dasar Hukum Dana Aspirasi Anggota DPR 01 Feb 2017 Bolehkah Ormas Ikut Kegiatan Politik? 25 Jan 2017 Intisari: Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Partai Politik berfungsi sebagai sarana : a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Di samping itu, melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya juga merupakan salah satu kewajiban partai politik. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak melaksanakan fungsi sebagai partai politik atau sanksi bagi partai politik yang tidak melaksanakan kewajiban berupa melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya atau masyarakat luas . Tetapi, jika sebuah partai politik tidak mencantumkan atau tidak memuat pendidikan politik pada Anggaran Dasarnya (AD), maka atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Partai Politik Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (“UU 2/2011”) menjelaskan Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fungsi Partai Politik Mengenai fungsi partai politik, kita mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (“UU Parpol”) yang berbunyi: (1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana : a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional. Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya juga merupakan salah satu kewajiban partai politik. [1] Mengenai pendidikan politik sebuah partai politik, hal tesebut tercantum dalam Anggaran Dasar (“AD”). AD sebuah partai politik memuat paling sedikit: [2] a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik; e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik; h. sistem kaderisasi; i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; j. peraturan dan keputusan Partai Politik; k. pendidikan politik; l. keuangan Partai Politik; dan m. mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik Merujuk pada artikel Fungsi Partai Politik , partai politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan dengan diarahkan pada dua hal utama , yaitu ( Penjelasan Umum UU 2/2011 ): 1. Membentuk sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku partai politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. 2. Memaksimalkan fungsi partai politik baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Pendidikan Politik Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. [3] Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: [4] a. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Pendidikan politik itu dilaksanakan untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila. [5] Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. [6] Pendidikan Politik berkaitan dengan kegiatan: [7] a. pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan c. pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan Adakah sanksi bagi partai politik yang tidak melaksanakan fungsi melaksanakan pendidikan politik? Menjawab pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami tidak ada sanksi bagi partai politik yang tidak melaksanakan fungsi sebagai partai politik. Tetapi, jika sebuah partai politik tidak mencantumkan atau tidak memuat pendidikan politik pada AD, maka atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian . [8] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik [1] Pasal 13 huruf e UU Parpol [2] Pasal 2 ayat (4) UU 2/2011 [3] Pasal 1 angka 4 UU 2/2011 [4] Pasal 31 ayat (1) UU Parpol [5] Pasal 31 ayat (2) UU Parpol [6] Pasal 34 ayat (3a) UU 2/2011 [7] Pasal 34 ayat (3b) UU 2/2011 [8] Pasal 47 ayat (1) UU 2/2011 partai politik hukumonline google ormas parpol organisasi kemasyarakatan sanksi administratif tata negara hukum politik klinik klinik hukumonline sanksi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya seorang karyawan swasta di suatu perusahaan. Hampir 1,5 bulan yang lalu mengundurkan diri (resign) karena sakit. Tiba-tiba sekarang ini kantor perusahaan saya tersebut menyodorkan surat NDA (Non Disclosure Agreement) dan meminta saya untuk menandatanganinya. Apakah saya melanggar hukum jika saya tidak mau menandatangani NDA tersebut, mengingat poin-poinnya sangat merugikan diri saya? Mohon penjelasannya, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terkait arti NDA, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Tips Menjaga Source Code Program Milik Perusahaan, Non-Disclosure Agreement atau NDA adalah perjanjian yang mengatur pembatasan bahkan larangan bagi karyawan untuk men-disclose (membeberkan) informasi penting milik perusahaan.\nNDA dan Rahasia Dagang\n\nBerdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Rahasia Dagang, rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik informasi tersebut adalah merupakan rahasia dagang.\n\nRahasia dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut:[1]\n\nBersifat rahasia, informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.Mempunyai nilai ekonomi, informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi. danDijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya, informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.\n\nSelain itu perusahaan sebagai pemilik rahasia dagang memiliki hak untuk:[2]\n\nmenggunakan sendiri rahasia dagang yang dimilikinya;memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan rahasia dagang atau mengungkapkan rahasia dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.\n\nUntuk menjaga rahasia dagang dapat dilakukan dengan membuat kesepakatan atau membuat kewajiban tertulis atau tidak tertulis.[3]\nLebih lanjut, artikel Klausul Kerahasiaan dalam Perjanjian Kerja menjelaskan bahwa untuk menjaga rahasia dagang atau biasa disebut sebagai rahasia perusahaan ini, pada praktiknya para pengusaha mengatur hal-hal yang menjadi rahasia perusahaan dan mencantumkan klausul kerahasiaan (confidentiality) ini dalam kontrak/perjanjian kerja pekerjanya agar tidak bocor sehingga dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaannya.\n\nMasih bersumber dari artikel yang sama, menurut advokat Ricardo Simanjuntak, pendiri dan partner dari kantor hukum Ricardo Simanjuntak & Partners, walaupun hubungan hukum pemberian kerja berakhir, namun kerahasiaan perusahaan tetap tidak boleh dibuka untuk umum. Confidentiality terhadap informasi atau data yang sepatutnya dirahasiakan ini tidak berakhir saat selesainya/berakhirnya perjanjian kerja. Walaupun telah dilindungi oleh UU Rahasia Dagang dan berdasarkan asas kepatutan, kerahasiaan data perusahaan tersebut tidak boleh dibuka untuk umum, mengenai kerahasiaan data perusahaan ini ada baiknya dituangkan secara tegas dalam perjanjian kerja.\n\nJadi dapat dikatakan bahwa NDA yang Anda maksud dibuat untuk menjaga informasi penting/rahasia dagang milik perusahaan agar tidak disebarkan. Oleh karena itu, perusahaan berhak mengatur secara tegas dalam suatu perjanjian walaupun Anda sudah mengundurkan diri (perjanjian kerja berakhir). Biasanya hal ini diatur langsung dalam perjanjian atau dalam perjanjian kerja.\n\nBerkaitan dengan pertanyaan mengenai apakah Anda dapat dikatakan telah melanggar hukum jika tidak mau menandatangani perjanjian NDA setelah Anda mengundurkan diri karena poin-poin dalam perjanjian tersebut sangat merugikan, perlu diketahui bahwa tidak ada aturan hukum yang mengatur mengenai hal ini. Yang diatur oleh hukum adalah sanksi jika pekerja melanggar kewajiban untuk menjaga rahasia dagang atau membuka rahasia dagang/perusahaan.\nSanksi Jika Membuka Rahasia Dagang\n\nAdapun sanksi jika membuka rahasia dagang, yakni jika sengaja dan tanpa hak menggunakan rahasia dagang pihak lain atau melakukan perbuatan yang mengungkapkan rahasia dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga rahasia dagang, ia dapat dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp300 juta.[4] Tindak pidana tersebut merupakan delik aduan.[5]\n\nSelain menuntut pidana, perusahaan (sebagai pemegang rahasia dagang atau penerima lisensi) dapat menggugat secara perdata mantan karyawan yang membocorkan rahasia dagang perusahaan kepada pihak ketiga (perusahaan lain) untuk kepentingan yang bersifat komersial, berupa:[6]\n\ngugatan ganti rugi; dan/ataupenghentian semua perbuatan menggunakan atau mengungkapkan rahasia dagang.\n\nSelain penyelesaian gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan menggunakan atau mengungkapkan rahasia dagang, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.[7] Yang dimaksud dengan “alternatif penyelesaian sengketa” adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan cara lain yang dipilih oleh para pihak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.[8]\n\nKami menyarankan Anda untuk tetap menandatangani NDA tersebut dengan catatan, terlebih dahulu membicarakan lagi dengan perusahaan Anda mengenai poin-poin yang diatur dalam NDA tersebut agar menguntungkan bagi para pihak.\nDemikian jawaban dari kami terkait NDA yang ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.\n\n[1] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (“UU Rahasia Dagang”)[2] Pasal 4 UU Rahasia Dagang[3] Pasal 13 UU Rahasia Dagang[4] Pasal 17 ayat (1) jo. Pasal 13 UU Rahasia Dagang[5] Pasal 17 ayat (2) UU Rahasia Dagang[6] Pasal 11 ayat (1) jo. Pasal 4 UU Rahasia Dagang[7] Pasal 12 jo. Pasal 11 dan Pasal 4 UU Rahasia Dagang[8] Penjelasan Pasal 12 UU Rahasia Dagang"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah hukumnya bila perusahaan menolak atau meniadakan jaminan pensiun?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Kami berasumsi bahwa menolak atau meniadakan jaminan pensiun yang Anda maksud adalah perusahaan yang bersangkutan tidak mengikutsertakan pekerjanya atau tidak mendaftarkan pekerjanya pada program jaminan pensiun. KLINIK TERKAIT Pengusaha Tak Mendaftarkan Pekerja ke BPJS, Adakah Sanksinya? 20 Mei 2024 Apakah Dana Pensiun Termasuk Hitungan Kompensasi PHK? 19 Jul 2021 Pekerja yang Telah Pensiun Meninggal Dunia, Apa Saja Hak Ahli Warisnya? 14 Apr 2014 Jika Perusahaan Menahan Pencairan Dana Jamsostek 18 Jul 2013 Pada dasarnya, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak, demikian yang disebut dalam Pasal 167 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . Mengacu pada hal di atas, secara implisit pasal itu mengatakan bahwa diikutsertakannya pekerja/buruh pada program pensiun bukanlah suatu kewajiban perusahaan. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, perusahaan tidak wajib mengikutsertakan pekerjanya untuk program jaminan pensiun sehingga tidak ada sanksi bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerjanya atau dengan kata lain meniadakan program jaminan pensiun. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pengaturan lain yang secara implisit juga mengatakan bahwa program jaminan pensiun sifatnya tidak wajib bagi perusahaan adalah pengaturan dalam Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan , yakni dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha. Kemudian, apa hak bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun namun pengusaha tidak mengikutsertakannya dalam program jaminan pensiun? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 167 ayat (5) UU Ketenagakerjaan: Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Perlu Anda ketahui, saat ini telah berlaku Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”). Dengan UU ini dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun , dan jaminan kematian ( Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU BPJS ). Jika perusahaan yang Anda maksud telah mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan pensiun, maka berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU BPJS , pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan tersebut bisa mendapatkan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU BPJS serta Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial , yaitu: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial . pensiun"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan terkait bidang usaha, adakah dampak hukum apabila menjalankan usaha yang sudah tercantum di akta namun belum didaftarkan pada NIB (KBLI)?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda mengenai apa yang terjadi jika tidak memiliki NIB, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu NIB. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disebut NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi pelaku usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.[1]\n\nApakah semua usaha wajib memiliki NIB? Benar, NIB wajib dimiliki oleh setiap pelaku usaha dan hanya memiliki satu NIB yang diterbitkan oleh Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission (“Lembaga OSS”).[2] Jadi, jika ditanya kenapa kita harus punya NIB? Fungsi NIB merupakan identitas bagi pelaku usaha sebagai bukti registrasi/pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha.[3] Selain itu, fungsi NIB juga berlaku sebagai:[4]\n\nangka pengenal impor sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai angka pengenal impor;hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;pendaftaran kepesertaan pelaku usaha untuk jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan; danwajib lapor ketenagakerjaan untuk periode pertama pelaku usaha.\nSetelah memahami aturan kewajiban memiliki NIB dan fungsi NIB, untuk mendapatkan NIB, Anda dapat membaca lebih lanjut uraian artikel Cara Mendapatkan dan Mengecek NIB.\n\nKemudian menyambung pertanyaan Anda terkait KBLI, pada dasarnya NIB mencakup data profil, permodalan usaha, Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”), KBLI, dan lokasi usaha.[5] Adapun yang dimaksud dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”) adalah kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik.[6] Sehingga dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa NIB dan KBLI memiliki fungsi yang berbeda.\nSebagai contoh, bidang usaha mengenai perdagangan besar suku cadang dan aksesori mobil dengan KBLI 45301 termasuk usaha dengan tingkat risiko rendah. Sehingga perizinan berusahanya berupa NIB yang merupakan identitas pelaku usaha sekaligus legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha.[7]\nJika Tidak Memiliki NIB\n\nLalu apa yang terjadi jika tidak memiliki NIB? Sepanjang penelusuran kami, tidak ada sanksi tegas bagi pelaku usaha yang belum memiliki NIB, namun sudah menjalankan usahanya.\n\nWalau demikian, mengingat fungsi NIB adalah identitas bagi pelaku usaha sebagai bukti registrasi/pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha, kami berpendapat ketiadaan NIB dapat mengakibatkan kerugian bagi pelaku usaha itu sendiri.\n\nSebagai contoh, dalam hal bidang usaha Anda adalah terkait Tempat Penimbunan Berikat (“TPB”),[8] untuk mendapatkan izin penyelenggara/pengusaha TPB, pelaku usaha mengajukan permohonan kepada Menteri c.q. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai.[9] Kemudian, pelaku usaha tersebut harus telah mendapatkan NIB dan memiliki izin usaha, serta memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai kawasan berikat, gudang berikat, toko bebas bea, tempat penyelenggaraan pameran berikat, tempat lelang berikat, kawasan daur ulang berikat, atau pusat logistik berikat.[10]\n\nContoh lainnya, untuk menerima Kredit Usaha Rakyat (“KUR”), salah satu syaratnya adalah pelaku usaha harus memiliki NIB terlebih dahulu. Hal ini diatur secara tegas dalam Permenko Perekonomian 1/2022 dan perubahannya.\n\nSehingga, pelaku usaha yang tidak memiliki NIB berpotensi mengakibatkan kesulitan dalam mengurus persyaratan administrasi sebagaimana diterangkan di atas, atau dengan kata lain, pelaku usaha yang memiliki NIB akan mendatangkan kemudahan berbisnis.\n\nBaca juga: Haruskah Perusahaan Update Legalitas Usaha dengan NIB?\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt6032548acffe0/peraturan-pemerintah-nomor-5-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_5_2021)\n2. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2018 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Kepabeanan, Cukai, dan Perpajakan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt5b725b7dbdb53/peraturan-menteri-keuangan-nomor-71-pmk04-2018-tahun-2018/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pmk_71_2018)\n3. [Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt620397ef968c9/peraturan-menteri-koordinator-bidang-perekonomian-nomor-1-tahun-2022/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenko_1_2022)\n4. [Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63db4251251d6?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenko_1_2023)\nREFERENSI:\n1. KBLI 45301, yang diakses pada 21 September 2023, pukul 07.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”).[2] Pasal 176 ayat (1), (2), dan (3) PP 5/2021.[3] Pasal 176 ayat (4) PP 5/2021.[4] Pasal 176 ayat (5) PP 5/2021.[5] Pasal 177 ayat (1) PP 5/2021.[6] Pasal 1 angka 20 PP 5/2021.[7] Pasal 12 ayat (1) PP 5/2021.[8] Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2018 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Kepabeanan, Cukai, dan Perpajakan (“Permenkeu 71/4/2018”).[9] Pasal 9 ayat (1) Permenkeu 71/4/2018.[10] Pasal 9 ayat (2) Permenkeu 71/4/2018."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya dan suami telah menikah siri. Adakah surat bukti nikah siri yang bisa ditunjukkan yang menjelaskan bahwa saya dan suami saya sudah menikah sah secara agama? Tolong jelaskan bagaimana cara mendapatkan bukti surat nikah siri tersebut."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bukti nikah siri adalah salah satu pertanyaan yang kerap diajukan. Menjawab pertanyaan terkait bukti nikah siri ini, pada dasarnya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.[3]\n\nLantas, bagaimana dengan pasangan yang sudah terlanjur menikah siri dan tidak memiliki akta nikah sebagai bukti nikah siri telah dilangsungkan?\n\nPasangan tersebut dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.[4] Itsbat nikah merupakan pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau pegawai pencatat nikah, sebagaimana diterangkan dalam Isbat Nikah: Prosedur, Syarat, dan Implikasi Hukumnya.\n\nPermohonan itsbat nikah tersebut dapat diajukan oleh suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.[5]\n\nNamun, perlu diperhatikan, pengajuan itsbat nikah hanya dimungkinkan jika mengenai hal-hal berikut ini:[6]\n\nAdanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;Hilangnya akta nikah;Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan;Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan menurut UU Perkawinan.\n\nAtas permohonan tersebut, Pengadilan Agama akan memeriksa apakah perkawinan tersebut telah memenuhi persyaratan perkawinan, serta ada/tidaknya halangan perkawinan antara suami-istri, sebagaimana diterangkan dalam Pasangan Nikah Siri Punya KK, Bisakah?\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, surat bukti nikah siri tidaklah dikenal. Sebab, pada dasarnya bukti perkawinan yang sah di mata hukum adalah akta nikah. Karena nikah siri tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak ada akta nikahnya, maka tidak terdapat dokumen yang diakui oleh hukum bahwa Anda dan suami Anda telah menikah dan sah secara agama. Untuk itu, Anda dan suami Anda dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama agar dapat memperoleh akta nikah.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Perkawinan)\n2. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014/undang-undang-nomor-16-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_16_2019)\n3. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\n[1] Pasal 6 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[2] Pasal 6 ayat (2) KHI[3] Pasal 7 ayat (1) KHI[4] Pasal 7 ayat (2) KHI[5] Pasal 7 ayat (4) KHI[6] Pasal 7 ayat (3) KHI"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau tanya syarat dan ketentuan apa saja untuk melapor kasus UU ITE Pasal 27 ayat (1)? Untuk alat bukti, apakah sama dengan KUHAP?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Tidak ada syarat dan ketentuan khusus untuk melaporkan suatu kasus tindak pidana kesusilaan di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik. Mengenai alat bukti, secara umum berlaku alat bukti yang diatur Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana , namun khusus tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya, menggunakan alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penyebaran Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Bermuatan Asusila Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) mengatur mengenai larangan penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bermuatan asusila, yakni: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 , yaitu: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Untuk dapat dipidana berdasarkan pasal di atas, harus memenuhi unsur-unsur: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak; mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik; yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Adakah Syarat dan Ketentuan Khusus Untuk Melapor Kasus UU ITE? Definisi laporan dapat kita lihat di dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , yaitu: Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Dari pengertian di atas, laporan merupakan suatu bentuk pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bahwa telah ada atau sedang atau diduga akan terjadinya sebuah peristiwa pidana/kejahatan. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. [1] Orang yang melihat suatu tidak kejahatan memiliki kewajiban untuk melaporkan tindakan tersebut. Karena tindakan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE merupakan tindak pidana, maka ketentuan untuk melaporkan dugaan suatu tindak pidana tetap mengacu pada KUHAP. Masih seputar laporan tindak pidana, Pasal 108 ayat (1) dan (6) KUHAP mengatur sebagai berikut: Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. UU ITE dan perubahannya tidak mengatur secara khusus tentang pelaporan tindak pidana terkait ITE, maka seseorang dapat melapor apabila mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban dari peristiwa pidana yang diatur dalam UU ITE. Yang diatur secara khusus dalam UU ITE dan perubahannya adalah mengenai penanganan penyidikan. Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU ITE (dalam hal ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE), secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: [2] Pihak yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (“Pejabat Pegawai Negeri Sipil”) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI. Alternatif lain yang dapat dilakukan oleh mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban (penyebaran informasi atau dokumen elektronik bermuatan asusila) dapat membuat pengaduan melalui laman Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link, screenshot tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url, screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti. Selengkapnya mengenai tata cara pelaporan kasus pidana dalam UU ITE dapat Anda simak dalam artikel Langkah Hukum Jika Dicemarkan Lewat Facebook . Alat Bukti Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik Secara umum alat bukti yang berlaku sah adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP , terdiri dari: keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa. Namun, alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam UU ITE adalah, sebagai berikut: [3] alat bukti sebagaimana dimaksud dalarn ketentuan Perundang-undangan (yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP); dan alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU ITE dan perubahannya. Berikut uraian tentang alat bukti lain yang dimaksud: Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 memberikan definisi informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. [4] Kemudian Pasal 1 angka 4 UU 19/2016 menjelaskan yang dimaksud dokumen elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. [5] Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE menyatakan bahwa bukti elektronik sah menurut hukum, pasal tersebut berbunyi: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Namun ketiga pasal di atas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “ Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE dan perubahannya. Maka dari itu, alat bukti hukum yang sah yaitu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus didapatkan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum agar dapat digunakan dalam proses pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 . Referensi : Aduan Konten , diakses pada Rabu, 2 Januari 2019, pukul 14.30 WIB. [1] Pasal 1 angka 5 KUHAP [2] Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143 KUHAP [3] Pasal 44 UU ITE [4] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 [5] Pasal 1 angka 4 UU 19/2016 asusila hukumonline online uu ite hukum klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya adalah seorang pelaku usaha yang bergerak di bidang pariwisata/travel. Usaha saya baru berusia tiga tahun dan sudah memiliki kantor dengan menyewa di salah satu coworking space di Jakarta. Karyawan saya sebanyak tiga orang. Saya ingin bertanya, jika ingin membuat PT, berapakah modal dasarnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Penyediaan Jasa Usaha Pariwisata oleh Swasta di Pelabuhan 28 Des 2021 Bolehkah Konsep Geopark Dibangun di Taman Nasional Komodo? 28 Okt 2020 Langkah Pemerintah Atasi Dampak COVID-19 pada Sektor Pariwisata 09 Apr 2020 Kedudukan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat di Bali 07 Feb 2020 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Easybiz dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 10 Desember 2019. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Usaha Pariwisata Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata . [1] Ruang lingkup usaha pariwisata meliputi: [2] daya tarik wisata; kawasan pariwisata; jasa transportasi wisata; jasa perjalanan wisata ; jasa makanan dan minuman; penyediaan akomodasi; penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; jasa informasi wisata; jasa konsultan pariwisata; jasa pramuwisata; wisata tirta; spa. Berdasarkan informasi yang Anda berikan, kami berpendapat kegiatan usaha yang Anda jalankan termasuk ruang lingkup usaha jasa perjalanan wisata. Adapun jasa perjalanan wisata adalah usaha biro perjalanan wisata dan usaha agen perjalanan wisata, dengan penjelasan sebagai berikut: [3] Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Usaha agen perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan. Bentuk-bentuk Usaha Pariwisata Dalam hal pendirian usaha pariwisata, terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, termasuk peraturan daerah terkait perizinan usaha jasa perjalanan pariwisata setempat juga penting karena bisa jadi ada hal-hal yang lebih rinci dan berbeda-beda dengan daerah lainnya. Sebagai contoh, apabila Anda hendak mendirikan usaha jasa perjalanan wisata di Jakarta, maka Anda dapat mengacu pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata (“Pergub DKI 18/2018”) . Setiap usaha pariwisata dapat diselenggarakan dalam bentuk perseorangan, badan usaha Indonesia berbadan hukum atau tidak berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [4] Lebih lanjut, terdapat beberapa ketentuan bentuk usaha pariwisata dapat digolongkan sebagai berikut: [5] usaha mikro dan kecil dapat berbentuk perseorangan, badan usaha, atau badan usaha berbadan hukum ; usaha menengah dapat berbentuk perseorangan, badan usaha, atau badan usaha berbadan hukum; dan usaha besar berbentuk badan usaha berbadan hukum. Jadi, sebelumnya Anda dapat menentukan dulu bentuk usaha pariwisata yang akan dibentuk dengan mempertimbangkan ketiga bentuk usaha pariwisata di atas. Dalam hal ini, Perseroan Terbatas (“PT”) merupakan badan usaha berbadan hukum. Modal Usaha Jasa Perjalanan Wisata Berbentuk PT Menyambung pertanyaan Anda, dalam rangka memperluas kegiatan usaha, Anda bisa saja mengubah bentuk usaha menjadi PT yang merupakan badan hukum. PT sendiri merupakan persekutuan modal, sehingga pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. [6] Baca juga: Jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya Mengenai modal, dulunya ditetapkan modal dasar PT minimal Rp50 juta, namun kini telah diubah oleh Pasal 109 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 32 ayat (2) UUPT menjadi: Besaran modal dasar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan . Oleh karena itu, tidak ada lagi batasan minimum besaran modal dasar untuk mendirikan sebuah PT, melainkan kini ditentukan berdasarkan keputusan pendiri PT. Kemudian berdasarkan pengalaman Easybiz , jumlah besaran modal untuk kegiatan usaha perjalanan wisata tergantung dari kebijakan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) sesuai domisili PT tersebut. Sebagai informasi tambahan, pada praktiknya DPMPTSP tidak mengizinkan kegiatan usaha perjalanan wisata menggunakan virtual office . Selain itu, dikutip dari Kemudahan Pendirian PT untuk Usaha Mikro dan Kecil , pemerintah telah memberikan kemudahan bagi pengusaha mikro dan kecil untuk mendirikan PT, di mana tidak ada ketentuan minimum modal dasar, dapat didirikan oleh 1 orang, keringanan biaya pendirian badan hukum, dan tidak diperlukan Akta Notaris. [7] Kode KBLI Usaha Pariwisata Patut diperhatikan, bagi PT yang menjalankan usaha jasa perjalanan wisata, sebaiknya akta pendirian PT mencantumkan kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”) dengan merujuk pada: Peraturan Badan Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“PBPS 2/2020”) ; dan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pariwisata (“Permen Pariwisata 10/2018”) . Adapun kode KBLI usaha jasa perjalanan wisata antara lain: [8] Aktivitas Agen Perjalanan Wisata (Kode KBLI 79111) Kelompok ini mencakup usaha yang kegiatannya sebagai perantara penjualan paket wisata, baik secara daring ( online ) maupun luring ( offline ), yang dikemas oleh biro perjalanan wisata; memesan tiket angkutan darat, laut, dan udara, baik untuk tujuan dalam negeri maupun luar negeri; memesan akomodasi, restoran, dan tiket pertunjukan seni budaya, serta kunjungan ke destinasi atau daya tarik wisata; dan mengurus dokumen perjalanan berupa paspor dan visa atau dokumen lain yang dipersamakan. Aktivitas Biro Perjalanan Wisata (Kode KBLI 79121) Kelompok ini mencakup usaha yang kegiatannya melakukan perencanaan dan pengemasan komponen-komponen perjalanan wisata termasuk wisata alam, yang meliputi sarana wisata, destinasi atau daya tarik wisata dan jasa pariwisata lainnya terutama yang terdapat di wilayah Indonesia dalam bentuk paket wisata, melakukan penyelenggaraan dan penjualan paket wisata dengan cara menyalurkan melalui agen perjalanan dan atau menjual langsung kepada wisatawan atau konsumen, melakukan penyediaan layanan pramuwisata yang berhubungan dengan paket wisata yang dijual, baik secara daring ( online ) maupun luring ( offline ), melakukan penyediaan layanan angkutan wisata, melakukan pemesanan akomodasi, restoran, tempat konvensi, dan tiket penjualan seni budaya serta kunjungan ke daya tarik wisata, melakukan pengurusan dokumen perjalanan berupa paspor dan visa atau dokumen lain yang dipersamakan. Selain memenuhi ketentuan di atas, terdapat 2 jenis perizinan berusaha sektor pariwisata, yaitu izin usaha berupa Tanda Daftar Usaha Pariwisata dan izin komersial atau operasional berupa Sertifikat Usaha Pariwisata. [9] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 10 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata Peraturan Badan Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia [1] Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (“UU Pariwisata”) [2] Pasal 67 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 14 ayat (1) UU Pariwisata [3] Penjelasan Pasal 67 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf d UU Pariwisata [4] Pasal 22 Pergub DKI 18/2018 [5] Pasal 23 ayat (1) Pergub DKI 18/2018 [6] Pasal 1 angka 1 dan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) [7] Huruf c Konsiderans UU Cipta Kerja dan Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 153A ayat (1) UU PT, Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 153I ayat (1) UU PT, dan Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 153A ayat (2) dan Pasal 153B ayat (1) UU PT [8] Lampiran PBPS 2/2020, hal. 665 – 667 [9] Pasal 6 ayat (1) Permen Pariwisata 10/2018 hukumonline usaha jasa wisata modal travel modal dasar pariwisata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perusahaan saya bekerja mengharuskan beberapa karyawan staf/non staf melakukan business trip pada hari libur karyawan (biasanya berangkat minggu dan pulang sabtu). Hal tersebut dikarenakan keperluan business trip yang mengharuskan 5 hari kerja (Senin-Jumat). Selama ini perusahaan tidak memberikan kompensasi apapun atas hari libur yang digunakan untuk keperluan bekerja tersebut. Perjanjian kerja kami memang tidak mengatur hal tersebut, tapi apakah tidak ada peraturan pemerintah yang melindungi hak karyawan untuk libur? Terima kasih. Salam."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ketentuan umum mengenai perjanjian kerja dan syarat-syaratnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. [1] Perjanjian itu bisa lisan dan bisa tertulis. [2] Jika perjanjian dibuat secara lisan, perjanjian itu tetap sah, tetapi tidak boleh bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Berkaitan dengan libur , Kamus Besar Bahasa Indonesia Kemendikbud Daring mengartikannya sebagai bebas dari bekerja atau masuk sekolah. Berarti di sini ada hal yang harus dibedakan, yaitu waktunya bekerja dan waktunya tidak bekerja atau libur. Waktu Kerja Ketentuan UU Ketenagakerjaan sendiri telah secara tegas mengatur tentang waktu kerja. Pasal 77 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan menjelaskan: Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Sementara itu, jika pengusaha mempekerjakan karyawannya melebihi waktu kerja di atas, maka berlakulah Pasal 78 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur . Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 85 UU Ketenagakerjaan juga menjelaskan: Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Ketiga pasal tersebut sangat jelas menyatakan bahwa libur sebagai hak pekerja. Jika pekerja bekerja di luar jam kerja, termasuk melakukan perjalanan dinas, pekerja diberikan hak lembur . Hak yang Diterima Pekerja Namun sesuai dengan hakikatnya, bekerja itu didasarkan pada perjanjian. Jenis usaha tertentu mengharuskan pekerjanya bekerja di hari libur. Lebih lanjut, perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya di hari libur memberikan kompensasi dengan memberi hak libur di hari biasa. Misalnya perusahaan di dunia hiburan dan rekreasi, di mana masa ramai pengunjung jatuh pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Akibatnya, perusahaan mewajibkan seluruh pekerja masuk pada hari-hari ramai tersebut, walaupun bertepatan dengan hari libur. Mereka kemudian mengatur jadwal libur para pekerjanya pada hari lain, misalnya pada hari Senin atau Selasa. Selain diberikan libur pada hari biasa, para pekerja juga mendapatkan insentif berupa uang makan dan uang transport. Kami sarankan Anda agar segera berunding dengan perusahaan mengenai permasalahan Anda. Anda bisa merundingkan penambahan insentif yang didapat sebagai hasil perjalanan dinas, adanya uang saku atau naiknya uang saku, uang perjalanan dinas, atau diberikannya uang lembur. Kesimpulan Bekerja didasarkan pada suatu perjanjian, sementara libur di hari “libur resmi” adalah hak pekerja. Jika jenis usaha perusahaan Anda bekerja karena kebutuhannya mengharuskan pekerja bekerja di hari libur resmi, maka tidak menjadi masalah. Tetapi harus bisa disepakati dan diatur agar hari liburnya menjadi hari lain atau bentuk hak lain, seperti insentif hasil pekerjaan, hak lembur, dan tunjangan-tunjangan lain yang sesuai . Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan , diakses pada 8 Agustus 2019, Pukul 13:00 WIB. [1] Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan [2] Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan keluarga hukumonline hak ketenagakerjaan perjalanan dinas libur buruh tenaga kerja liburan lembur"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perusahaan kami telah memenangkan perkara di BANI, atas putusan tersebut telah dilakukan pendaftaran di PN (akta otentik) dan juga telah dilakukan aanmaning oleh ketua PN, yang dihadiri pihak lawan. Tetapi kemudian pihak lawan mengajukan permohonan penolakan putusan BANI ke PN, setelah ada aanmaning dan telah melewati jangka waktu 30 hari sejak didaftarkan. PN menerima permohonan tersebut, tetapi mengabulkan eksepsi kami, karena permohonan telah daluarsa dan menolak permohonan lawan dalam putusannya. Lalu Pihak lawan mengajukan banding ke MA. Pertanyaan pertama, apakah permohonan banding tersebut sesuai degan aturan hukum yang ada? Pertanyaan kedua, pendaftaran putusan BANI dilakukan oleh arbiter dan kuasanya, tentang perintah mendaftarkan juga dituliskan didalam putusan BANI (ada 7 butir isi putusan, butir 7 berisi tentang perintah mendaftarkan akta ke PN) dan sudah diberitahu ke pihak lawan dalam pembacaan putusan maupun dikirim salinan putusan dan diterima pihak lawan. Apakah setelah didaftarkan putusan BANI tersebut ke PN, masih harus diberitahukan ke para pihak? Sebagai catatan tambahan pihak lawan beralasan bahwa belum terjadi lewat waktu karena baru mengetahui bahwa putusan BANI telah didaftarkan ke PN pada saat menerima surat aanmaning."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan 10 Jul 2020 Adakah Upaya Hukum Terhadap Pembatalan Putusan Arbitrase? 20 Sep 2016 Keuntungan Memilih Arbitrase Daripada Pengadilan dalam Penyelesaian Sengketa 24 Agt 2016 Wewenang PN dalam Melaksanakan Putusan Arbitrase 16 Apr 2010 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas BP Lawyers merupakan lawfirm yang memiliki spesialisasi dalam menangani permasalahan melalui badan arbitrase, likuidasi dan commercial litigation. Suatu masalah hukum yang rumit tidak selalu menuntut solusi yang rumit, namun kreatifitas dan kerjasama yang solid lebih diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. \"Delivering Legal Solution with Value\" Untuk berdiskusi lebih lanjut dapat menghubungi [email protected] Website: www.bplawyers.co.id Intisari : Dalam hal adanya permohonan pembatalan putusan arbitrase, UU Arbitrase telah menetapkan secara limitatif jenis putusan yang dapat diajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung. Upaya hukum banding hanya dapat diajukan, apabila majelis hakim membatalkan putusan arbitrase yang menjadi objek dalam permohonan pembatalan tersebut. Pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara terkait telah dilakukannya pendaftaran terhadap suatu putusan arbitrase, merupakan hal yang wajib untuk dilakukan oleh arbiter atau kuasanya. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini Jawaban: Terima kasih atas pertanyaan Anda, berikut beberapa hal yang dapat kami sampaikan: 1. Permohonan pembatalan putusan arbitrase merupakan hal yang umum diajukan oleh pihak yang kalah dalam perkara arbitrase. Dalam beberapa perkara, hal ini dilakukan untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut. Tentunya permohonan pembatalan tersebut harus diajukan atas dasar alasan-alasan yang telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“ UU Arbitrase ”) , yaitu: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Namun ada kalanya putusan dari permohonan pembatalan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pihak pemohon. Sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase , putusan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung. Y ang dimaksud dengan “ banding ” adalah hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase . [1] Dengan demikian menurut UU Arbitrase upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, hanya dapat diajukan dalam hal Majelis Hakim yang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase membatalkan putusan arbitrase tersebut. Sedangkan jika Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dan putusan arbitrase tetap berlaku, maka seharusnya menurut UU Arbitrase tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan . Faktanya berdasarkan preseden yang ada, walaupun putusan pada tingkat pertama menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, bagi pihak yang tidak puas atas putusan tersebut tetap dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang memeriksa permohonan tersebut pada tahap pertama. Namun , hal tersebut tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada, sehingga memberikan celah bagi pihak lawan untuk mengajukan eksepsi atau keberatan dari segi formil atas permohonan banding tersebut. 2. Terkait pendaftaran Putusan BANI ke Pengadilan Negeri setempat , ini merupakan tanggung jawab dari arbiter/lembaga arbitrase atau kuasanya . Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU Arbitrase , yaitu sebagai berikut: “Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.” Dikarenakan perkara arbitrase yang Saudara jelaskan tersebut diselesaikan di BANI, maka pihak BANI berkewajiban untuk melakukan pendaftaran atas putusan arbitrase tersebut. Adapun pengadilan negeri yang dimaksud yaitu pengadilan negeri yang termasuk dalam domisili hukum pihak termohon arbitrase. Setelah BANI melakukan pendaftaran putusan di pengadilan negeri, BANI akan melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara. Pemberitahuan tersebut dilakukan dengan mengirimkan salinan putusan BANI yang telah memuat cap keterangan telah dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan PN dengan memuat tanggal dan nomor pendaftarannya. Setelah pemberitahuan ini dilakukan, barulah pihak yang tidak puas dan ingin membatalkan putusan arbitrase, dapat mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 71 UU Arbitrase yang menyebutkan sebagai berikut: “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.” Dengan demikian walaupun putusan arbitrase tersebut telah dibacakan dalam persidangan dan salinan putusan telah dikirimkan kepada para pihak yang berperkara, BANI tetap berkewajiban untuk melakukan pemberitahuan kepada para pihak yang berperkara, setelah putusan arbitrase tersebut didaftarkan. Demikian penjelasan Kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa . [1] Penjelasan Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase hukumonline hukum klinik perusahaan klinik hukumonline putusan arbitrase"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada aturan hukum tunangan dalam hukum Indonesia? Seperti di luar negeri tunangan itu sudah ada hak dan kewajiban yang diperoleh sebagai tunangan seseorang, contohnya bisa mendapatkan visa tunangan (diakui separuh istri) oleh negara."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perlu Anda ketahui, istilah pertunangan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Pertunangan adalah perbuatan bertunangan, yakni bersepakat (biasanya diumumkan secara resmi atau dinyatakan di hadapan orang banyak) akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Artinya, pertunangan tidak memiliki konsekuensi hukum bagi kedua pasangan tersebut karena pasangan tersebut belum menikah.\nPeminangan dalam Hukum Islam\n\nDalam hukum Islam perbuatan sepakat akan menjadikan istri ini disebut khitbah yang artinya peminangan seorang wanita untuk dijadikan istri.\n\nSelain khitbah, dalam KHI dikenal istilah peminangan yang menurut Pasal 1 huruf a KHI, ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan perantara yang dapat dipercaya.[1]\nPeminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.[2] Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj'i, haram dan dilarang untuk dipinang.[3]\nSelain itu dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan itu belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.[4] Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang meminang menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.[5]\nPerlu diingat bahwa pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.[6]\nMerujuk pada ketentuan di atas, jelas bahwa pertunangan atau peminangan tidak menimbulkan akibat hukum apapun termasuk tidak adanya hak dan kewajiban.\nJenis Visa di Indonesia\n\nMengenai jenis visa yang berlaku di Indonesia, sebelumnya sudah pernah kami ulas dalam Jenis Visa Republik Indonesia dan Kegunaannya. Menurut Pasal 34 UU 6/2011 disebutkan jenis-jenis visa terdiri atas:\n\nVisa diplomatik;Visa dinas;Visa kunjungan; danVisa tinggal terbatas.\n\nJadi berpedoman pada artikel tentang jenis visa sebagaimana disebutkan di atas, di Indonesia tidak dikenal adanya visa tunangan. Sebagai gantinya, kami berpendapat Anda dapat menggunakan visa kunjungan beberapa kali perjalanan. Visa ini adalah jenis visa kunjungan yang diberikan kepada orang asing dengan masa berlaku visa selama 5 tahun untuk tinggal di Indonesia maksimal 60 hari atau 180 hari, yang diberikan dalam rangka tugas pemerintahan, prainvestasi, bisnis dan keperluan keluarga.[7]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4dd0e447183ec/undangundang-nomor-6-tahun-2011/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2011)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2021 tentang Visa dan Izin Tinggal](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt622f4923764d3/peraturan-menteri-hukum-dan-hak-asasi-manusia-nomor-29-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=Permenkumham_29_2021)\n5. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\nREFERENSI:\n1. Khitbah, yang diakses pada 21 Agustus 2023, pukul 13.37 WIB.\n\n[1] Pasal 11 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[2] Pasal 12 ayat (1) KHI[3] Pasal 12 ayat (2) KHI[4] Pasal 12 ayat (3) KHI[5] Pasal 12 ayat (4) KHI[6] Pasal 13 KHI[7] Pasal 10, 11, dan 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2021 tentang Visa dan Izin Tinggal"
} |