0
dict | 1
dict |
---|---|
{
"from": "human",
"value": "Apa sebab peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat dilakukan berkali-kali tanpa batas waktu? Dan apa dasar alasan yang terkuat sehingga peninjauan kembali tetap berlaku tanpa batas waktu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan anaknya sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali. Namun, Mahkamah Agung (MA) akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana, yang mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, MA telah mengukuhkan bahwa PK hanya dapat dilakukan satu kali. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Peninjauan Kembali (“PK”) adalah salah satu tugas Mahkamah Agung yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 yang berbunyi: KLINIK TERKAIT Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi? 13 Mei 2024 Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap? 21 Sep 2023 Derden Verzet, Begini Arti dan Prosedurnya 16 Mar 2023 Syarat Pengajuan Actio Pauliana oleh Kurator Kepailitan 16 Nov 2022 “MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. “ Namun, kami meluruskan pula di sini bahwa kini PK hanya dapat dilakukan sekali, bukan berkali-kali seperti yang Anda sebutkan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.” Ketentuan di atas juga dipertegas dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) menyebut terhadap putusan PK tidak dapat diajukan PK kembali. Memang, Mahkamah Konstitusi (“MK”) pernah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali yang dimohonkan mantan ketua KPK Antasari Azhar beserta istri dan anaknya sehingga PK dapat dilakukan berkali-kali. Adapun yang menjadi alasan bagi MK untuk membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP) itu antara lain yaitu (baca artikel MK Batalkan Aturan PK Hanya Sekali ) : 1. Dengan dalih keadilan, MK membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya satu kali. 2. MK berpendapat upaya hukum luar biasa PK secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. 3. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan saat PK sebelumnya belum ditemukan. 4. Syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait kebenaran dan keadilan dalam proses peradilan pidana seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP . 5. PK sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. MK menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun, tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum. Selengkapnya baca MK Batalkan Aturan PK Hanya Sekali dan Putusan MK tentang PK Mengkhawatirkan . Namun, di penghujung akhir tahun kemarin, Mahkamah Agung (“MA”) akhirnya menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana , yang mengatur bahwa PK hanya bisa dilakukan satu kali. SEMA ini sekaligus mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi. Pertimbangan MA saat itu adalah ketentuan yang melarang PK lebih dari sekali tidak hanya terdapat di KUHAP yang pasalnya sudah dibatalkan MK. Tetapi juga di peraturan lain seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Meski demikian, MA mengakui PK dapat diajukan lebih dari sekali apabila ada dua atau lebih putusan PK yang isinya saling bertentangan atas obyek perkara yang sama. Selengkapnya silakan baca MA Kukuhkan PK Hanya Sekali. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, kini PK dalam perkara pidana tidak dapat dilakukan berkali-kali seperti yang Anda katakan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 ; 4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ; 5. Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali (PK) Hanya Satu Kali. pk"
} |
{
"from": "human",
"value": "Keluarga saya tersangkut kasus Pasal 303 Perjudian, sudah menjadi tahanan kepolisian selama 30 hari. Dia sudah tiga tiga kali mengajukan surat penangguhan, bahkan jika diizinkan untuk satu haripun jika disetujui dia sudah cukup senang tapi semua nihil.\nYang menjadi pertanyaan adalah: 1.\nApa yang menjadi dasar seseorang bisa memperoleh penangguhan? Padahal letak rumah pemohon dan kantor polisi hanya berjarak 3 km. 2.\nApakah dalam kasus tersebut karena tersangkanya empat orang, tidak akan bisa mengajukan Penangguhan jika hanya satu orang yang memohon? 3.\nJika memang Penanggguhan adalah hak seorang tahanan, mengapa dalam kasus ini permohonan tersangka tidak pernah disetujui? Perlu diketahui sudah empat kali tersangka mengajukan Penangguhan"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Secara subyektif, permohonan penangguhan penahanan dikabulkan jika: 1. Adanya permintaan atau permohonan penangguhan penahanan dari tersangka atau terdakwa; 2. Permintaan atau permohonan tersebut disetujui oleh penyidik, penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan; 3. Adanya persetujuan atau kesanggupan dari tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Penangguhan Penahanan Bagi Tersangka Ibu yang Menyusui 12 Jan 2015 Fungsi Penangkapan dan Penahanan dalam Proses Penyidikan 27 Mar 2014 Kapan Tersangka Dapat Meminta Penangguhan Penahanan? 07 Mar 2014 Jangka Waktu Maksimal Penahanan di Kepolisian 16 Des 2013 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih untuk pertanyaan A nda . Penahanan Sebelum menjawab pertanyaan Anda lebih lanjut, kita telaah dahulu apa yang dimaksud dengan Penahanan , sebagaimana yang dijelaskan di dalam Pasal 1 angka 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”): “ Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Penahanan dapat dilakukan atas dasar kewenenangan penyidik, penuntut umum dan atau hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 KUHAP yang selengkapnya berbunyi: (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. (2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. (3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan. Dasar Penahanan Ketentuan lain dari KUHAP yang harus diperhatikan terkait dengan penahanan adalah Pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 21 ayat (1) KUHAP: “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”. Pasal 21 ayat (4) KUHAP: Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). M. YAHYA HARAHAP, S.H . dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (hal. 165) menjelaskan bahwa dasar penahanan adalah sebagai berikut: 1. Landasan Dasar atau Unsur Yuridis, diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang disebut dasar hukum atau obyektif, karena undang-undang telah menentukan terhadap pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana penahanan dapat diterapkan. Yaitu terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih diperkenankan oleh undang-undang untuk dilakukan penahanan. 2. Landasan Unsur Keadaan Kekhawatiran, diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa perintah penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan dalam hal: a. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri; b. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti; c. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana. Semua keadaan yang mengkhawatirkan disini adalah keadaan yang meliputi subjektivitas tersangka atau terdakwa, kemudian pejabat atau instansi yang berwenangpun menilai keadaan kekhawatiran tersebut bertitik tolak pada penilaian yang subjektif. Penangguhan Penahanan Berkaitan dengan penanggugan penahanan terhadap seorang dengan status tersangka atau terdakwa diatur dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penanguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang, atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. Dari ketentuan Pasal di atas dapat diketahui bahwasanya penangguhan penahanan itu dimungkinkan jika: 1. Adanya permintaan atau permohonan penangguhan penahanan dari tersangka atau terdakwa; 2. Permintaan atau permohonan tersebut disetujui oleh penyidik, penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan ; 3. Adanya persetujuan atau kesanggupan dari tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Sementara penegasan dan rincian syarat-syarat penangguhan penahanan diperjelas dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yaitu: 1. Wajib lapor; 2. Tidak keluar rumah, atau 3. Tidak keluar kota. Jaminan Penangguhan Penahanan Ada dua jenis jaminan yang disebutkan pada pasal tersebut yaitu jaminan uang dan jaminan orang . Namun perlu diketahui dikabulkan atau tidaknya permohonan penangguhan penahanan itu adalah sepenuhnya kewenangan pejabat atau instansi yang menahan tersangka atau terdakwa. Pejabat atau instansi yang menahan akan menilai secara subjektif apakah tersangka atau terdakwa yang mengajukan permohonan penangguhan penahanan tidak akan menimbulkan kekhawatiran sebagaimana yang didasarkan pada ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Terkait dengan permohonan penangguhan penahanan yang telah 4 (empat) kali diajukan namun tetap hasilnya nihil (ditolak) oleh penyidik, hal tersebut adalah sepenuhnya kewenangan penyidik karena bisa jadi penyidik memiliki kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti serta dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. Anda menerangkan bahwa keluarga Anda ditahan oleh penyidik dengan dugaan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Sebagaimana yang telah dijelaskan, penahanan dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Ancaman hukuman untuk tindak pidana yang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 303 KUHP adalah maksimal 10 (sepuluh) tahun. Artinya, tersangka atau terdakwa yang diduga atau didakwa dengan pasal tersebut dapat saja dilakukan penahanan. Terkait pertanyaan bahwa apakah mesti semua tersangka yang dikabulkan penangguhannya, hal tersebut kembali lagi merupakan penilaian dari pejabat pada masing-masing institusi yang melakukan penahanan, bisa cuma satu tersangka yang dikabulkan atau bisa juga semuanya dikabulkan atau tidak dikabulkan. Tolak ukurnya ialah syarat subjektif pada Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Jika penegak hukum memiliki kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti serta dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana, maka pejabat yang terkait berhak untuk menggunakan kewenangannya melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana . acara peradilan hukumonline penangguhan tersangka klinik hukum klinik hukumonline penangguhan penahanan pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mengapa DKI Jakarta tidak ada DPRD Kabupaten dan kotanya cuma ada DPRD Provinsinya saja. Dan mengapa walikotanya tidak dipilih secara langsung melalui pilkada?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kehususan DKI Jakarta Kedudukan, fungsi, dan peran Provinsi DKI Jakarta tertuang dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (“UU 29/2007”) . Menurut Pasal 1 angka 2 UU 29/2007 menjelaskan bahwa pemerintahan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian Pasal 9 UU 29/2007 menegaskan bahwa: Otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi. Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan menurut asas otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas pembantuan, dan kekhususan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu saja pengaturan ini berbeda dengan daerah-daerah lain yang menempatkan otonomi yang terbatas sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemda”) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 . Sementara itu, mengenai susunan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi DKI Jakarta sekaligus menjawab pertanyaan nomor 1 (satu) bahwa Provinsi DKI Jakarta sebetulnya hanya memiliki satu lembaga perwakilan yaitu DPRD Provinsi DKI Jakarta . Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU 29/2007 yang menjelaskan bahwa DPRD Provinsi DKI Jakarta, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sebab, selain alasan kekhususan Provinsi DKI Jakarta yang dianggap sebagai daerah otonom yang diletakkan pada tingkat provinsi, Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki satu lembaga perwakilan dikarenakan susunan keanggotaan DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125 % (seratus dua puluh lima perseratus) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. [1] Berdasarkan pertimbangan proporsi jumlah anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta tidak sebanding dengan banyaknya jumlah penduduk di DKI Jakarta, maka sistem proporsi tersebut tidak berlaku bagi DPRD Provinsi DKI Jakarta. Itu sebabnya, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka tidak terdapat DPRD pada tingkat kota maupun kabupaten di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Di samping itu, secara yuridis pun menukilkan berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU 29/2007 menjelaskan bahwa : DPRD Provinsi DKI Jakarta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas, wewenang, hak, dan kewajiban DPRD Provinsi DKI Jakarta adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. DPRD Provinsi DKI Jakarta memberikan pertimbangan terhadap calon walikota/bupati yang diajukan oleh Gubernur, Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian, dalam rangka mengakomodir peran serta masyarakat pada wilayah kota administrasi dan kabupaten administrasi dihadirkan dewan kota/kabupaten yang diejawantahkan melaui Pasal 1 angka 12 UU 29/2007 yang menjelaskan bahwa dewan kota/dewan kabupaten adalah lembaga musyawarah pada tingkat kota/kabupaten untuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan pelayanan masyarakat. Alasan Bupati/Walikota Tidak Dipilih Secara Langsung Kemudian menjawab pertanyaan nomor 2 (dua) soal alasan kenapa walikota/bupati di wilayah DKI Jakarta tidak dipilih secara langsung melalui pilkada, bahwa sebagaimana dijelaskan di atas bahwa wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten administrasi. Dengan demikian, tidak ada satupun wilayah kota atau kabupaten di Provinsi DKI Jakarta yang berstatus sebagai daerah otonom. Implikasinya adalah pengisian jabatan walikota dan bupati tidak dilaksanakan secara langsung melalui pemilihan kepala daerah (“pilkada”). [2] Artinya. Walikota/Bupati diangkat oleh Gubernur atas pertimbangan DPRD Provinsi DKI Jakarta yang diambil dari unsur pegawai negeri sipil atau Aparatur Sipil Negara yang memenuhi persyaratan. Pasal 1 angka 3 UU 29/2007 menyatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah Gubernur dan perangkat daerah Provinsi DKI Jakarta sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Adapun juga pada Pasal 1 angka 10 UU 29/2007 menyatakan bahwa Walikota/bupati adalah kepala pemerintahan kota administrasi/kabupaten administrasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagai perangkat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bertanggung jawab kepada Gubernur. Pasal 1 angkat 10 UU 29/2007 sejatinya telah menjelaskan bahwa bagaimana kedudukan walikota/bupati hanya disebut sebagai kepala pemerintahan kota administrasi/kabupaten administrasi di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan juga sebagai perangkat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sehingga bertanggung jawab kepada Gubernur. Hal ini kemudian juga berkonsekuensi pada mekanisme pemilihannya tidak berdasarkan pemilu kepala daerah namun diangkat oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan DPRD. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia [1] Pasal 12 ayat (4) UU 29/2007 [2] Pasal 19 ayat (2) UU 29/2007 uu pemda hukumonline online otonomi tata negara hukum klinik klinik hukumonline otonomi daerah"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya tentang klaim asuransi jiwa yang ditolak. Ceritanya, debitur meninggal dunia karena kecelakaan. Tapi terjadi penolakan oleh pihak asuransi karena debitur meninggal karena kecelakaan yang disebabkan melanggar hukum, yaitu debitur menyalip dari sisi sebelah kiri jalan. Akan tetapi, di perjanjian polis tidak disebutkan hal tersebut dikecualikan. Yang dikecualikan adalah jika debitur meninggal karena bunuh diri. Apakah hal tersebut benar? Alasan apa saja yang bisa menggugurkan asuransi jiwa?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian asuransi. Berdasarkan Pasal 246 KUHD, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti. Kemudian, Pasal 255 KUHD mengatur bahwa pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan akta, yang diberi nama polis.\nAsuransi adalah salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUHD yang tidak terlepas dari syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu:\n\nkesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan untuk membuat suatu perikatan;suatu pokok persoalan tertentu; dansuatu sebab yang tidak terlarang\n\nMeskipun pengaturan tentang isi dari perjanjian asuransi tidak diatur secara spesifik, melainkan atas dasar kesepakatan dan perjanjian kedua belah pihak (tertanggung dan penanggung), menurut hemat kami, perjanjian asuransi harus tetap dilaksanakan dengan iktikad baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPer sebagai berikut:\n\nSemua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik\n\nHal tersebut didasari karena pada hakikatnya iktikad baik menjadi prinsip bagi setiap perjanjian asuransi, khususnya asuransi jiwa.[1] Tidak dipenuhinya prinsip ini dapat menyebabkan suatu perjanjian asuransi menjadi gugur. Dengan demikian, pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap pihak yang akan menandatangani suatu perjanjian, wajib untuk terlebih dahulu mengetahui seluruh isi yang ada di dalamnya. Apabila perjanjian tersebut telah ditandatangani, maka perjanjian tersebut wajib untuk dipatuhi dan berlaku bagi undang-undang bagi para pihak yang terikat, termasuk polis dalam sebuah asuransi jiwa.\nAlasan yang Menggugurkan Pertanggungan Asuransi Jiwa\n\nPerjanjian asuransi jiwa secara spesifik diatur dalam Pasal 302 s.d. Pasal 308 KUHD. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat alasan yang dapat menggugurkan perjanjian asuransi jiwa, yaitu:\n\nPertama, apabila jangka waktu asuransi sebagaimana telah disepakati antara penanggung dan tertanggung dalam polis asuransi telah habis meskipun tidak terjadi suatu peristiwa, maka risiko penanggung juga berakhir. Dengan kata lain, asuransi jiwa dapat berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis. Hal ini diatur dalam Pasal 302 KUHD yang menyatakan:\n\nJiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidup ataupun untuk suatu waktu yang ditentukan dengan perjanjian.\n\nKedua, apabila pada saat diadakannya asuransi si tertanggung telah meninggal dunia, hal tersebut dapat menggugurkan perjanjian asuransi, sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHD, yaitu:\n\nBila orang yang jiwanya dipertanggungkan pada waktu pengadaan pertanggungan telah meninggal dunia, gugurlah perjanjian itu, meskipun tertanggung tidak dapat mengetahui tentang meninggalnya itu; kecuali bila dipersyaratkan lain.\n\nKetiga, apabila meninggalnya tertanggung dikarenakan bunuh diri atau dikenai hukuman mati, maka gugurlah perjanjian asuransi tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 307 KUHD yang menyatakan:\n\nBila orang yang mempertanggungkan jiwanya bunuh diri atau dihukum mati, gugurlah pertanggungannya.\nSelanjutnya, Pasal 35 ayat (3) UU 40/2014 juga mengatur mengenai keanggotaan pada perusahaan asuransi dapat berakhir apabila:\n\nanggota meninggal dunia;anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari perusahaan asuransi selama 6 bulan berturut-turut; atausesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, keanggotaan harus berakhir.\n\nKemudian, berdasarkan praktik kami, dalam suatu polis asuransi jiwa terdapat ketentuan mengenai jangka waktu keberlakuan asuransi jiwa atau masa tunggu (waiting period). Dalam hal ini, masing-masing perusahaan asuransi memiliki ketentuan yang berbeda pada setiap polisnya. Oleh karena itu, penting untuk diperhatikan mengenai masa tunggu asuransi. Dikutip dari laman OJK: Sikapi Uangmu, masa tunggu dalam polis asuransi jiwa di Indonesia beraneka ragam, berkisar antara 30 hari hingga 12 bulan. Pada masa tunggu ini, apabila tertanggung meninggal dunia atau luka-luka sebelum masa tunggu terlampaui, maka tertanggung tidak dapat mengajukan klaim sebelum masa tunggu terlampaui.\n\nSebagai contoh, terdapat ketentuan lain dalam polis asuransi yang dapat menggugurkan pertanggungan asuransi jiwa, di antaranya:[2]\n\nmengalami kecelakaan akibat melakukan operasi perang;tertanggung lalai dalam menjalankan kewajibannya dalam hal terjadi kecelakaan;jangka waktu pengajuan ganti rugi telah berakhir;hak tertanggung atas ganti rugi yang lebih besar daripada yang disetujui; atauterjadi perubahan resiko pada kondisi tertentu yang diketahui oleh tertanggung.\n\nDengan demikian, menurut hemat kami menjadi penting bagi setiap pihak yang akan atau telah mengikatkan diri dalam sebuah polis asuransi jiwa untuk mengetahui perjanjian apa saja yang akan atau telah mengikat bagi para pihak dalam polis tersebut.\n\nLalu, bagi seseorang yang meninggal karena kecelakaan dan diduga telah melakukan pelanggaran lalu lintas, dugaan tersebut harus terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 109 UU LLAJ yaitu:\nPengemudi kendaraan bermotor yang akan melewati kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan dari kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.Dalam keadaan tertentu, pengemudi sebagaimana dapat menggunakan lajur jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.Jika kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemudi dilarang melewati Kendaraan tersebut.\n\nKemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 109 ayat (2) UU LLAJ, yang dimaksud dengan \"keadaan tertentu\" adalah jika lajur sebelah kanan atau paling kanan dalam keadaan macet, antara lain akibat kecelakaan lalu lintas, pohon tumbang, jalan berlubang, genangan air, kendaraan mogok, antrean mengubah arah, atau kendaraan bermaksud berbelok kiri.\nSehingga, perlu dipahami bahwa pengemudi yang akan mendahului kendaraan lain harus menggunakan lajur kanan dari kendaraan yang akan dilewati, kecuali lajur kanan sedang dalam keadaan tertentu. Apabila pengemudi tetap menggunakan lajur kiri dari kendaraan yang akan dilewati, tanpa mengindahkan kondisi lajur kanan dalam keadaan tertentu, maka keputusan untuk mendahului dari sebelah kiri dapat membahayakan nyawa diri sendiri bahkan nyawa orang lain. Karena, pada dasarnya, orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara yang membahayakan nyawa berpotensi diancam dengan pidana penjara atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 311 UU LLAJ.\n\nNamun, yang berwenang untuk memastikan mengenai benar atau tidaknya pengemudi tersebut mengemudi dengan cara yang membahayakan adalah pihak kepolisian. Selanjutnya, perkara pelanggaran lalu lintas tersebut akan diputus melalui putusan pengadilan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 230 jo. Pasal 260 UU LLAJ.\n\nKesimpulannya, apabila tertanggung meninggal dunia dikarenakan kecelakaan lalu lintas dan tertanggung sudah terbukti di pengadilan telah melakukan pelanggaran lalu lintas, maka pihak asuransi berhak melakukan penolakan klaim asuransi jiwa. Namun, jika tertanggung tidak terbukti melakukan pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan kecelakaan, dan pengecualian atas meninggal karena kecelakaan lalu lintas juga tidak tercantum dalam ketentuan polis sebagaimana keterangan Anda, maka perusahaan asuransi tidak dapat mengelak dari kewajiban membayarkan uang pertanggungan atas meninggalnya almarhum.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Dagang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/507/wetboek-van-koophandel-voor-indonesie/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHD)\n3. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a604fcfd406d/undangundang-nomor-22-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_22_2009)\n4. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54606a95b1521/undang-undang-nomor-40-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_40_2014)\n5. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63c23d76b51e4?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_4_2023)\n6. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n7. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nREFERENSI:\n1. Dwita Fratiwi. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penolakan Suatu Klaim Nasabah Asuransi Syariah (Studi Kasus Pada PT. Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera Cabang Medan). Jurnal EKOMA, Vol. 1, No. 2, 2022\n2. Zahry Vandawati. Prinsip Itikad Baik dalam Perjanjian Asuransi yang Berkeadilan. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2014\n3. OJK: Sikapi Uangmu, diakses pada 18 Juli 2023, pukul 13.20 WIB.\n\n[1] Zahry Vandawati. Prinsip Itikad Baik dalam Perjanjian Asuransi yang Berkeadilan. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2014, hal. iii dan 117.[2] Dwita Fratiwi. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penolakan Suatu Klaim Nasabah Asuransi Syariah (Studi Kasus Pada PT. Asuransi Jiwa Syariah Bumiputera Cabang Medan). Jurnal EKOMA, Vol. 1, No. 2, 2022, hal. 173."
} |
{
"from": "human",
"value": "apakah KPU sudsh sdil di setiap pemilu di seluruh indonesi untuk penyandang kelainan khususnya tuna netra di indonesia? dan daerah mana sajakah yang sudah melakukan pemilu dengan tulisan brile?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) sudah memberikan akses bagi tunanetra untuk ikut serta pemilih dalam pemilihan umum (“pemilu”) dengan cara memberikan fasilitas alat bantu tunanetra yang merupakan salah satu hal yang termasuk dalam \"dukungan perlengkapan lainnya\" untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, yang mana alat tersebut dapat membantu tunanetra untuk ikut serta dalam Pemilu sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 341 ayat (2) UU Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum . Mengenai bentuk, ukuran, spesifikasi teknis, dan perlengkapan pemungutan suara lainnya diatur dengan Peraturan KPU. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pemilihan Umum dan Penyelenggaranya Pemilihan Umum (\"Pemilu\") berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (\"UU Pemilu\") adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (“KPU”), Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), anggota Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) secara langsung oleh rakyat. [1] Komisi Pemilihan Umum sebagaimana yang Anda maksud dalam pertanyaan, adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan pemilu. [2] KPU terdiri atas: [3] KPU; KPU Provinsi, merupakan penyelenggara pemilu di provinsi; KPU Kabupaten /Kota, merupakan penyelenggara pemilu di kabupaten/kota; Panitia Pemilihan Kecamatan (\"PPK\"), adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemilu di tingkat kecamatan atau nama lain; Panitia Pemungutan Suara (\"PPS\"), adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan Pemilu di tingkat kelurahan/desa atau nama lain; Panitia Pemilihan Luar Negeri (\"PPLN\"), adalah panitia yang dibentuk oleh KPU untuk melaksanakan Pemilu di luar negeri; Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (\"KPPS\") adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara; dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (\"KPPSLN\") adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara luar negeri. Perlengkapan Pemungutan Suara KPU bertanggung jawab dalam merencanakan dan menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara. [4] Sekretaris Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, dan, sekretaris KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara. [5] Jika kita melihat aturan dalam Pasal 341 ayat (1) UU Pemilu , perlengkapan pemungutan suara terdiri atas: kotak suara; surat suara; tinta; bilik pemungutan suara; segel; alat untuk mencoblos pilihan; dan tempat pemungutan suara. Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana disebutkan di atas, diperlukan dukungan perlengkapan lainnya untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara. [6] Dalam Penjelasan Pasal 341 ayat (2) UU Pemilu , dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan \"dukungan perlengkapan lainnya\" meliputi sampul kertas, tanda pengenal KPPS/KPPSLN, tanda pengenal petugas keamanan Tempat Pemungutan Suara (\"TPS\")/Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (\"TPSLN\"), tanda pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem/perekat, kantong plastik, ballpoint, gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat, sticker nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan alat bantu tunanetra . Bentuk, ukuran, spesifikasi teknis, dan perlengkapan pemungutan suara lainnya diatur dengan Peraturan KPU. [7] Alat Bantu bagi Pemilih Tunanetra Ketentuan lebih lanjut yang mengatur tentang surat suara bagi tunanetra dapat kita lihat dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum 1944/PL.02-Kpt/01/KPU/XII/2018 tentang Desain Surat Suara dan Desain Alat Bantu Coblos (Template) bagi Pemilih Tunanetra pada Pemilihan Umum Tahun 2019 (\"Keputusan KPU 1944/2018\") sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum 188/PL.02-Kpt/01/KPU/I/2019 tentang Perubahan Atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1944/PL.02 Kpt/01/KPU/XII/2018 tentang Desain Surat Suara dan Desain Alat Bantu Coblos (Template) bagi Pemilih Tunanetra pada Pemilihan Umum Tahun 2019 (\"Keputusan KPU 188/2019\") . Sebagai contoh, pada Huruf B Lampiran I Keputusan KPU 1944/2018 , diatur mengenai desain alat bantu (template) bagi pemilih tunanetra pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden . Alat bantu (template) bagi pemilih tunanetra pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah alat bantu coblos yang digunakan untuk membantu pemilih tunanetra pada saat pemungutan suara. [8] Alat bantu coblos ( template ) bagi pemilih tunanetra pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berbentuk empat persegi panjang dalam keadaan terlipat yang terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu bagian luar dan bagian dalam. Penjelasan lebih detailnya adalah sebagai berikut: [9] a. bagian luar: alat bantu coblos ( template ) bagi pemilih tunanetra dibuat huruf awas dan huruf braille yang tegas dan dapat diraba oleh jari, yang desainnya sama seperti surat suara dengan warna hitam putih ( greyscale ); dan huruf braille yang digunakan harus memenuhi syarat keterbacaan, dan titik-titik emboss harus memiliki ketinggian tonjolan minimal 0,5 milimeter . sisi depan: bagian atas memuat latar belakang bendera yang tercantum watermark bertuliskan PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN 2019, sisi pojok kiri atas memuat tulisan ALAT BANTU COBLOS PEMILIH TUNANETRA, logo Komisi Pemilihan Umum pada sisi kiri dan logo Pemilihan Umum 2019 pada sisi kanan, diantara logo Komisi Pemilihan Umum dan logo Pemilihan Umum 2019 memuat tulisan SURAT SUARA yang ditulis dengan huruf awas, PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 yang ditulis dengan huruf awas dan huruf braille ; dan bagian bawah memuat kolom pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang disusun berurutan dari kiri ke kanan, yang memuat tulisan: NOMOR URUT PASANGAN CALON dan NAMA PASANGAN CALON yang ditulis dengan huruf awas dan huruf braille ; lubang untuk mencoblos pilihan dengan bentuk persegi panjang yang tembus pada sisi belakang alat bantu coblos dan diletakkan di dalam kolom nama pasangan calon, lubang untuk mencoblos pilihan dibuat tidak lebih besar dari area coblos untuk menghindari pilihan dinyatakan tidak sah; dan tanda gambar gabungan Partai Politik pengusul. sisi belakang: bagian kiri memuat petunjuk penggunaan alat bantu coblos ( template ) bagi pemilih tunanetra yang ditulis dengan huruf awas; bagian kananmemuat ilustrasi tata cara penggunaan alat bantu coblos ( template ) bagi pemilih tunanetra; dan bagian bawah terdapat lubang tembus dari lubang untuk mencoblos pilihan pada sisi depan sebagaimana dimaksud dalam angka 3) huruf b) angka (2). b. bagian dalam alat bantu coblos ( template ) bagi pemilih tunanetra berupa halaman kosong. Sebagai informasi tambahan, oleh karena belum ada ketentuan terkait desain surat suara pada Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Provinsi Papua dan Papua Barat serta terdapat koreksi penyebutan pada Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh, maka Keputusan KPU 1944/2018 diubah dengan Keputusan KPU 188/2019 . Jadi menjawab pertanyaan Anda, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 341 ayat (2) UU Pemilu , bahwa alat bantu tunanetra merupakan salah satu hal yang termasuk dalam \"dukungan perlengkapan lainnya\" untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, yang mana alat tersebut dapat membantu tunanetra untuk ikut serta dalam pemilu. Mengenai bentuk, ukuran, spesifikasi teknis, dan perlengkapan pemungutan suara lainnya diatur dalam Keputusan KPU 1944/2018 sebagaimana yang telah diubah dengan Keputusan KPU 188/2019 . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Keputusan Komisi Pemilihan Umum 1944/PL.02-Kpt/01/KPU/XII/2018 tentang Desain Surat Suara dan Desain Alat Bantu Coblos (Template) bagi Pemilih Tunanetra pada Pemilihan Umum Tahun 2019 Keputusan Komisi Pemilihan Umum 188/PL.02-Kpt/01/KPU/I/2019 tentang Perubahan Atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1944/PL.02 Kpt/01/KPU/XII/2018 tentang Desain Surat Suara dan Desain Alat Bantu Coblos (Template) bagi Pemilih Tunanetra pada Pemilihan Umum Tahun 2019 [1] Pasal 1 angka 7 UU Pemilu [2] Pasal 1 angka 8 UU Pemilu [3] Pasal 6 jo. Pasal 1 angka 9 s.d angka 15 UU Pemilu [4] Pasal 340 ayat (1) UU Pemilu [5] Pasal 340 ayat (2) UU Pemilu [6] Pasal 341 ayat (2) UU Pemilu [7] Pasal 341 ayat (3) UU Pemilu [8] Huruf B angka 1 Lampiran I Keputusan KPU 1944/2018 [9] Huruf B angka 2 Lampiran I Keputusan KPU 1944/2018 hukumonline tata negara pemilu cacat disabilitas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau menanyakan. Ada alat berat proyek perbaikan jalan raya parkir di lahan parkiran orang tua saya. Apakah pihak proyek akan memberikan kompensasinya atau ganti rugi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami asumsikan bahwa alat berat proyek tersebut diparkir tanpa izin orang tua Anda dan bahwa lahan parkiran orang tua Anda telah memenuhi kualifikasi fasilitas parkir untuk umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 66 Tahun 1993 tentang Fasilitas Parkir Untuk Umum yang menyatakan bahwa: KLINIK TERKAIT Siapa Berwenang Menarik Pungutan Parkir di Pasar? 28 Jun 2024 Bolehkah Membangun Kedai Kopi Permanen di Lahan Parkir Ruko? 18 Jan 2021 Aturan Sabuk Keselamatan untuk Pengemudi dan Penumpang Mobil 29 Jul 2019 Dasar Hukum Tarif Parkir Valet 17 Feb 2017 Fasilitas parkir untuk umum adalah fasilitas parkir di luar badan jalan berupa gedung parkir atau taman parkir yang diusahakan sebagai kegiatan usaha yang berdiri sendiri dengan menyediakan jasa pelayanan parkir untuk umum. Pengertian tersebut diperluas dalam peraturan pelaksananya, yakni Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: 272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir yang pada Lampiran huruf A angka 3 menyatakan bahwa: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada suatu kurun waktu. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) yang dimaksud dengan parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. Berkaitan dengan kasus yang Anda tanyakan, kami menyarankan 2 upaya yang dapat dilakukan yaitu: Secara Perdata Pertama , yang dapat dilakukan terhadap pihak yang bertanggung jawab atas alat berat proyek yang parkir di lahan parkiran orang tua Anda adalah terlebih dahulu menempuh cara kekeluargaan dengan mengirimkan surat permohonan klarifikasi kepada pihak yang bertanggung jawab mengenai dasar pemarkiran alat proyek tersebut di lahan parkiran orang tua Anda. Kemudian, orang tua Anda dengan pihak yang bertanggung jawab tersebut dapat melakukan suatu musyawarah untuk mencapai mufakat, yang berupa penandatanganan surat perjanjian sewa menyewa lahan parkir untuk alat berat proyek, karena lahan tersebut adalah milik orang tua Anda, maka yang sejatinya berhak memakai dan memanfaatkannya adalah orang tua Anda. Adapun sewa-menyewa pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) . Baca juga: Bolehkah Menyewakan Kembali Tanah Sewa untuk Baliho Iklan? Apabila di kemudian hari salah satu pihak ingkar janji sehingga tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang termuat dalam surat perjanjian maka pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur perdata dengan menggugat pihak yang tidak memenuhi kewajiban tersebut dengan dalil wanprestasi sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan: Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga , bila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Di sisi lain, apabila pihak yang bertanggung jawab atas alat berat menolak untuk membuat perjanjian, dan alat berat tetap diparkir pada lahan parkir milik orang tua Anda, sehingga orang tua Anda mengalami kerugian karena kendaraan bermotor lainnya tidak dapat parkir dilahan parkir tersebut, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum (“PMH”) karena hak subjektif orang tua Anda telah dilanggar, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana . Hal yang dapat orang tua Anda lakukan adalah menunut ganti kerugian dengan mengajukan gugatan PMH ( Onrechtmatige daad) pada pengadilan tempat tinggal pihak yang bertanggung jawab atas alat berat tersebut, berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut . Namun, sebelum melakukan upaya gugatan perdata, terlebih dahulu orang tua Anda dapat melakukan somasi. Istilah somasi tidak dikenal dalam KUH Perdata, namun dalam doktrin dan yuridprudensi istilah somasi digunakan untuk menyebut suatu perintah atau peringatan (surat teguran). Penjelasan lebih lanjut mengenai somasi dan isinya dapat Anda simak dalam Bisakah Isi Somasi Langsung Menuntut Ganti Rugi? . Upaya Hukum Kedua , apabila setelah diberi somasi pihak yang bertanggung jawab atas alat berat tersebut tidak juga mengindahkan, selain melakukan gugatan PMH, langkah alternatif yang dapat orang tua Anda lakukan adalah menempuh jalur pidana dengan melaporkan pihak tersebut kepada kepolisian atas dugaan tindak pidana dalam Pasal 551 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“Pidana”) dan/atau Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (“Perppu 51/1960”) yang masing-masing menyatakan: Pasal 551 KUHP Barang siapa tanpa wenang, berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya , diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah. Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b Perppu 51/1960 Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah ); barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan,bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat (1); barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah ; Langkah hukum di atas dilakukan dengan menyertakan alat-alat bukti beserta surat somasi yang telah Anda kirimkan. Anda dapat menyimak prosudur laporan tindak pidana ke kepolisian alam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya . Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi orang tua Anda dan memperjuangkan hak orang tua Anda atas ganti kerugian akibat tindakan pihak yang bertanggung jawab atas alat berat tersebut, dapat ditempuh upaya hukum secara perdata maupun pidana sebagaimana yang telah kami jelaskan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 66 Tahun 1993 tentang Fasilitas Parkir Untuk Umum Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: 272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir alat berat pertanahan hukumonline perdata ganti rugi kompensasi konstruksi parkir klinik somasi pmh pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah sah jaksa penuntut umum menilai bahwa alat bukti saksi ahli didapat dari keterangannya tentang rekaman pembicaraan (barang bukti) dalam persidangan pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana terbagi menjadi: 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa Untuk keterangan saksi ahli, menurut pasal 186 KUHAP, adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Selanjutnya, dalam penjelasan pasal 186 KUHAP, disebutkan bahwa keterangan ahli dapat diberikan pada saat pemeriksaan di sidang dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan, setelah ahli tersebut mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Dari pasal tersebut, dapat dirumuskan bahwa syarat-syarat keterangan ahli adalah sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. dinyatakan oleh seorang ahli 2. dinyatakan di dalam sidang pengadilan 3. diberikan di bawah sumpah. Jadi, keterangan seorang saksi ahli yang didapat dalam persidangan pidana adalah sah untuk dijadikan alat bukti dalam suatu persidangan pidana. Untuk referensi selanjutnya mengenai kedudukan rekaman sebagai alat bukti dalam persidangan pidana dapat anda baca jawaban kami sebelumnya dengan judul “ Alat Bukti Rekaman .” Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya minta tolong sebetulnya bagaimanakah posisi alat bukti rekaman dalam sistem pembuktian pidana itu? Terima kasih atas perhatiannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan yang Anda sampaikan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat , petunjuk dan keterangan terdakwa. Lantas di mana posisi rekaman sebagai sebagai salah satu bentuk informasi elektronik sebagai alat bukti dalam kasus pidana? Informasi yang disimpan secara elektronik, termasuk rekaman, tidak dapat diajukan sebagai alat bukti berdasarkan KUHAP. KUHAP juga tidak mengatur bagaimana legalitas print out (hasil cetak) sebagai alat bukti atau tata cara perolehan dan pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti. Informasi atau dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti setelah diundangkannya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20/2001). Pasal 26 A UU No. 20/2001 menyebutkan bahwa alat bukti yang di simpan secara elektronik juga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana korupsi. Selain dalam UU No. 20/2001, informasi elektronik sebagai alat bukti juga disebutkan di dalam pasal 38 huruf b UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No.15/2002), serta 27 huruf b UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15/2003). Walaupun UU No. 20/2001, UU No. 15/2002 dan UU No. 15/2003 telah mengakui legalitas informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi keberlakuannya masih terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Di dalam UU No. 20/2001, UU No. 15/2002 dan UU No. 15/2003 juga belum ada kejelasan mengenai legalitas print out sebagai alat bukti. Juga belum diatur tata cara yang dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan pengajuan informasi/dokumen eleltronik sebagai alat bukti ke pengadilan. Dasar hukum penggunaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan menjadi semakin jelas setelah diundangkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11/2008). UU No. 11/2008 dinilai lebih memberikan kepastian hukum dan lingkup keberlakuannya lebih luas, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Demikian pendapat Direktur Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Brian A. Prastyo (lebih lengkap klik di sini ). Selain mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, UU No. 11/2008 juga mengakui print out (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11/2008 yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah . Kategori UU No. 11/2008 Pasal Menyebutkan informasi (elektronik) atau bukti elektronik? V 5 ayat (1) Menyatakan informasi (elektronik) sebagai alat bukti? V 5 ayat (1) Menyebutkan print out sebagai alat bukti? V 5 ayat (1) Mengatur tata cara perolehan informasi elektronik sebagai bukti? V 43 ayat (3) Mengatur tata cara pengajuan informasi elektronik sebagai bukti? V 5 ayat (3) jo. 16 Informasi elektronik dinyatakan sebagai sebagai alat bukti lain? V 44 informasi elektronik dinyatakan sebagai alat bukti petunjuk? V 5 ayat (2) Sumber: Brian A. Prastyo, 17 Desember 2008 Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut (pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6 UU No. 11/2008): a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan; b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. Namun, masalahnya kembali kepada persoalan klasik, apakah alat bukti rekaman tersebut asli atau hasil duplikasi. Menyikapi masalah ini, perlu dilakukan audit atas sistem informasi. Jika suatu sistem informasi sudah diaudit atau disetifikasi oleh suatu badan standar maka alat bukti rekaman tersebut tidak bisa disangkal dan langsung bisa dijadikan alat bukti. Jika sistim informasi tersebut belum atau tidak pernah dilakukan audit maka perlu dilakukan audit segera. Alat bukti tersebut kemudian harus mendapat legalisasi dari biro hukum. Jika alat bukti rekaman dialihkan dalam CD yang berisi file microsoft power point , DVD-R, CD-R atau pun jenis pengalihan lainnya, ada baiknya bukti-bukti tersebut tercatat dalam Berita Acara Pengalihan Dokumen. Untuk memperkuat keabsahannya alat bukti juga seharusnya mendapat keterangan dari orang-orang yang secara kebetulan terlibat langsung dalam alat bukti tersebut. Seperti yang terjadi pada kasus dugaan suap Urip Tri Gunawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi beberapa waktu silam, dua ahli melakukan otentikasi terhadap rekaman pembicaraan hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuktikan bahwa rekaman tersebut otentik dan dapat dijadikan alat bukti yang sah. Untuk selengkapnya dapat Anda baca di sini . Dalam setiap kasus pidana, pada akhirnya, hakimlah yang akan memutuskan apakah alat bukti rekaman tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam suatu kasus pidana. Demikian yang dapat kami jelaskan."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa bunyi pasal 184 KUHAP? Apa saja alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITDasar Hukum Kucing Dijadikan Barang Bukti Persidangan11 Sep 2023Mengenal Alat Bukti Langsung dan Tidak Langsung24 Agt 2023Langkah Hukum Jika Barang Bukti yang Dikembalikan Rusak 10 Mei 2023Hukumnya Menuduh Orang Melakukan Tindak Pidana Tanpa Bukti 09 Jan 2023\n\nPasal 184 ayat (1) KUHAP mengatur tentang alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, yang bunyinya sebagai berikut:\nAlat bukti yang sah ialah:\n\nketerangan saksi;keterangan ahli;surat;petunjuk;keterangan terdakwa.\nKemudian, kekuatan alat bukti dapat membuktikan putusan pengadilan bahwa putusan itu benar, sehingga si tersangka dinyatakan bersalah. Dalam penyelesaian perkara pidana, seseorang dianggap bersalah apabila sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Kekuatan alat bukti inilah yang mendukung putusan hakim di pengadilan dalam memutuskan perkara.[1]\n\nSebagai informasi, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah\nyang bersalah melakukannya.[2] Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang.[3] Namun, dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.[4]\nSelanjutnya, menurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.\nJenis-jenis Alat Bukti yang Sah dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP\n\nKeterangan Saksi\n\nKeterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.[5]\n\nPada umumnya, semua orang dapat menjadi saksi. Namun, kekecualian menjadi saksi terdapat dalam Pasal 168 KUHAP. Lalu, dalam hal kewajiban saksi mengucapkan janji atau sumpah, KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), di mana ditentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti.[6]\n\nDalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP ditentukan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.\n\nKeterangan Ahli\n\nApakah yang disebut ahli? Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Sebagai ahli, seseorang dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus.[7]\n\nLalu, pada dasarnya keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi. Keterangan seorang saksi adalah mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri, sedangkan keterangan ahli adalah mengenai suatu penilaian tentang hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu.[8]\n\nAlat Bukti Surat\n\nSurat-surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.[9] Selain Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebut alat bukti surat, terdapat Pasal 187 KUHAP yang mengatur tentang alat bukti surat sebagai berikut:\n\nberita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.\nAlat Bukti Petunjuk\n\nPasal 188 ayat (1) KUHAP memberikan definisi petunjuk sebagai berikut:\n\nPetunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.\n\nLalu, petunjuk sebagaimana dimaksud hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan/atau keterangan terdakwa.[10] Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.[11]\n\nAlat Bukti Keterangan Terdakwa\n\nPada dasarnya, semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat sebagai berikut:[12]\n\nMengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan;Mengaku ia bersalah.\n\nKeterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas dari pengertian pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Toelichting Ned. Sv., penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti sah.[13]\n\nBaca juga: Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Hukum Pidana\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.\n\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.\n\nREFERENSI:\n1. Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012\n2. Rusyadi. Kekuatan Alat Bukti dalam Persidangan Perkara Pidana. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 5, No. 2, 2016.\n\n[1] Rusyadi. Kekuatan Alat Bukti dalam Persidangan Perkara Pidana. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 5, No. 2, 2016, hal. 130[2] Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[3] Penjelasan Pasal 183 KUHAP[4] Penjelasan Pasal 184 KUHAP[5] Pasal 1 angka 27 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 hal. 92[6] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 260 – 263[7] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 273[8] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 274[9] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 276[10] Pasal 188 ayat (2) KUHAP[11] Pasal 188 ayat (3) KUHAP[12] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 278[13] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 278"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada seorang polisi lalu lintas mengetahui seorang pelanggar marka. Kemudian polisi itu menilang pelanggar karena dia sendiri mengetahui tindakan pelanggaran tersebut. Apakah tindakan polisi tersebut sudah bisa dinilai mempunyai alat bukti yang cukup? Padahal dalam pasal 185 ayat 2 KUHAP menjelaskan keterangan seorang saksi (dalam hal ini polisi) saja tidak cukup membuktikan kesalahan seseorang."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pengaturan mengenai tata tertib berlalu lintas di Indonesia secara umum diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”). Pasal 260 ayat (1) UULLAJ menentukan: KLINIK TERKAIT Bersalahkah Sopir yang Menabrak Pejalan Kaki yang Menyeberang Tiba-tiba? 13 Okt 2011 Bagaimana Pertanggungjawaban Hukum Jika Kecelakaan Disebabkan Pihak Lain? 20 Jun 2011 Kecelakaan yang Menyebabkan Korban Meninggal 23 Mar 2011 Pertanggungjawaban Pelanggar Lalu Lintas 23 Mar 2011 “ D alam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang : a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan; Berdasarkan ketentuan tersebut polisi lalu lintas yang mengetahui sendiri adanya pelanggaran lalu lintas berhak untuk memberhentikan pengguna jalan yang diduga melanggar peraturan lalu lintas dan melakukan penindakan terhadapnya. Saat pengguna jalan terlihat melanggar marka, petugas kepolisian dapat melakukan penindakan dengan memberhentikannya, hal ini dapat dikategorikan sebagai “tertangkap tangan”. Definisi “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana , atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu” (Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana –“KUHAP” ). Perkara pelanggaran lalu lintas adalah termasuk dalam acara pemeriksaan cepat. Ditentukan dalam KUHAP, u ntuk pelanggaran lalu lintas tidak diperlukan berita acara pemeriksaan. Polisi yang menangkap tangan kemudian memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada pelaku tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan, dan hal tersebut kemudian dicatat dengan baik oleh polisi. Selanjutnya, catatan bersama berkas tersebut dikirimkan ke pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya ( Pasal 212 jo Pasal 207 ayat [1] KUHAP ) . Sehingga, dalam hal pelaku pelanggar marka jalan tertangkap tangan oleh polisi lalu lintas, pelaku dapat diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat dan dapat dikenai pidana denda berdasarkan penetapan pengadilan. Selain itu, acara pemeriksaan cepat ini dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar, di mana pelanggar menitipkan denda kepada bank yang ditunjuk oleh Pemerintah ( Pasal 267 UULLAJ ). Lebih jauh simak Denda Sidang Tilang di Pengadilan . Jadi, memang dalam hal pelanggar lalu lintas (dalam hal ini marka jalan) tertangkap tangan, tidak diperlukan bukti-bukti lain untuk membuktikan pelanggarannya. Yang berlaku dalam perkara pelanggaran lalu lintas ini adalah acara pemeriksaan cepat khusus untuk pelanggaran lalu lintas sebagaimana diatur dalam Bagian Keenam Paragraf Dua KUHAP mengenai Acara Pemeriksaan Cepat-Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; 2. U ndang- U ndang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Hampir dua bulan saya mendapatkan 'teror' dari nomor tidak dikenal. Pelaku memperlihatkan alat kelaminnya melalui panggilan video seluler. Karena panik, saya langsung mematikan panggilan tanpa sempat merekam perbuatan pelaku untuk dijadikan bukti. Pasca kejadian tersebut, pelaku masih sering melakukan panggilan suara dan SMS yang menunjukkan hasrat seksual. Saya merasa sangat terganggu. Apakah pelaku dapat dipidanakan hanya dengan alat bukti yang saya miliki berupa screenshot pesan teks, serta rekaman panggilan suara? Saya cukup khawatir laporan tidak dapat diproses karena tidak adanya bukti berupa gambar/screenshot panggilan video ketika pelaku menampakkan alat kelaminnya. Selain UU Pornografi dan UU ITE, adakah kemungkinan pelaku dapat dijerat dengan UU lain?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Teror Ekshibisionisme Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan teror. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) Daring , teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Teror dalam kasus ini adalah menelepon atau memberikan pesan yang membuat Anda merasa takut dan jijik. Selanjutnya, masih menurut KBBI Daring , pengertian ekshibisionisme adalah kelainan atau ketidakwajaran yang ditandai dengan kecenderungan memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin kepada orang lain untuk pemuasan diri. Di samping itu, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Dapatkah Penderita Eksibisionisme (Suka Menunjukkan Alat Kelamin) Dipidana? , Eksibisionisme termasuk dalam gangguan kejiwaan yang cukup langka dimana adanya perilaku orang yang dengan senang hati menunjukkan bagian paling pribadi yaitu alat kelaminnya pada semua orang. Berkenaan dengan kondisi kejiwaan terdakwa, hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa. Dari definisi ekshibisionisme tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku ekshibisionisme adalah perilaku yang dapat dinilai melanggar kesopanan dan kesusilaan, dan dapat dikatakan telah berbuat cabul. Namun orang yang berbuat cabul belum tentu melakukan ekshibisionisme, karena berbuat cabul dapat dilakukan dengan berbagai cara. Perbuatan cabul sendiri dapat didefinisikan sebagai semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan. Setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan, adalah perbuatan cabul, termasuk di dalamnya perbuatan persetubuhan di luar perkawinan. Berdasarkan definisi perbuatannya, ekshibisionisme dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk perbuatan cabul. Namun sebagai tindak pidana, ekshibisionisme dan pencabulan merupakan bentuk tindak pidana yang berbeda, karena diatur di dalam ketentuan pasal yang berbeda. Sebagai contoh, ekshibisionisme memenuhi unsur yang terdapat di dalam rumusan ketentuan Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yang berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan ; barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan. Sedangkan pencabulan memenuhi unsur yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295, dan 296 KUHP . Masing-masing pasal berisi mengenai pencabulan dengan bentuk yang berbeda-beda. Jerat Pidana Ekshibisionisme di dalam Undang-Undang Lain Selain Pasal 281 KUHP, perilaku ekshibisionisme juga memenuhi unsur-unsur kejahatan yang diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi , yang berbunyi: Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Selain itu, mengingat pelaku juga menyalurkan perilaku ekshibisionismenya melalui media elektronik, patut diduga yang bersangkutan melanggar Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) , yang berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Baca juga: Dapatkah Penderita Eksibisionisme (Suka Menunjukkan Alat Kelamin) Dipidana? Alat Bukti Dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) , disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam buku Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti (hal. 19), sistem pembuktian hukum acara pidana menganut stelsel negatief wettelijk . Artinya, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Namun UU ITE telah mengatur bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah . Hal ini merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. [1] Informasi elektronik sendiri adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik ( electronic mail ), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. [2] Sedangkan yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. [3] Sebagai catatan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 telah memutus bahwa frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang–undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE . Akhirnya, menurut hemat kami, alat bukti yang dapat dijadikan acuan laporan adalah nomor handphone pelaku atau screenshot percakapan Anda dengan pelaku yang menunjukan atau mengajak Anda berhubungan badan. Anda dapat melapor ke pihak kepolisian atas tindakan ekshibisionis pelaku tersebut. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Referensi : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 . Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, diakses pada 12 Februari 2020, pukul 10.20-10.25; Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti . Jakarta: Ghalia. 1983. [1] Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE [2] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 [3] Pasal 1 angka 4 UU 19/2016 ahli hukumonline hukum acara pidana teknologi bukti alat bukti saksi pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah dalam hukum acara yang berlaku pada perkara kepailitan dimungkinkan adanya alat bukti baru yang muncul di sidang pembuktian, selain dari apa yang dicantumkan dalam surat permohonan maupun jawaban?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Haruskah Lebih dari Satu Kreditor yang Memohon PKPU? 04 Sep 2023 Perbedaan Actio Pauliana di Pengadilan Niaga dengan di Pengadilan Negeri 29 Agt 2017 Apakah Saham Induk Perusahaan di Anak Perusahaan Termasuk Boedel Pailit? 04 Jul 2017 Efektivitas PKPU dalam Mencegah Kepailitan 13 Jun 2017 Intisari: Dalam perkara kepailitan, prinsipnya hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata biasa yang digunakan dalam persidangan pada peradilan umum. Kemungkinan adanya alat bukti baru yang muncul di sidang pembuktian selain dari apa yang dicantumkan dalam surat permohonan merupakah hal yang jamak terjadi. Karena bisa saja dokumen-dokumen pembuktian yang diajukan di awal ternyata belum cukup membuktikan bagi pengadilan untuk menjatuhkan permohonan pailit terhadap Termohon sehingga mengakibatkan Pemohon menambah atau melengkapi alat bukti baru. Apalagi dalam permohonan pailit yang mengacu pada hukum acara perdata, beban pembuktian ada pada Pemohon. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hukum Acara Perkara Kepailitan Dalam perkara kepailitan, prinsipnya hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata biasa yang digunakan dalam persidangan pada peradilan umum. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) yang berbunyi sebagai berikut: Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata . Kecuali ditentukan lain maksudnya adalah ada prinsip-prinsip permohonan kepailitan yang diatur secara khusus sebagaimana diatur dalam UU KPKPU misalnya antara lain: 1. Permohonan harus diajukan oleh seorang Advokat; [1] 2. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan; [2] 3. Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan; [3] 4. Putusan pernyataan pailit dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. [4] Proses Persidangan Perkara Kepailitan Namun proses agenda persidangan sendiri prinsipnya sama dengan agenda persidangan di peradilan umum dalam perkara perdata yaitu: Pembacaan Gugatan/Permohonan Pailit -> Jawaban -> Replik -> Duplik -> Bukti surat dan/atau saksi (Pembuktian) -> Kesimpulan -> Pembacaan Putusan (tidak ada proses mediasi). Kekhasan khusus dalam praktik yang membedakan permohonan pailit dengan perkara perdata biasa adalah adanya pengajuan dokumen-dokumen bukti awal pada saat pendaftaran permohonan pernyataan pailit . Misalnya: Anggaran Dasar, Perjanjian yang membuktikan adanya utang, dan lain sebagainya. Praktik ini menurut kami karena disebabkan adanya ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU KPKPU yang menyatakan: Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut. Pasal tersebut seolah-olah telah memberikan kewenangan kepada Panitera untuk menentukan apakah perkara permohonan pailit dapat diterima atau ditolak melalui pemeriksaan dokumen-dokumen yang dilampirkan bersamaan dengan permohonan pailit. Walaupun belakangan pasal tersebut telah dicabut keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 071/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 001-002/PUU.III/2005 , namun kebiasaan ini masih tetap dilakukan dan pemeriksaan dokumen akan juga dilakukan oleh Majelis Hakim sebelum memasuki agenda persidangan pembuktian termasuk hal-hal yang berkaitan dengan legal standing pemohon pada awal persidangan. Terhadap pertanyaan Anda mengenai apakah dimungkinkan adanya alat bukti baru yang muncul di sidang pembuktian selain dari apa yang dicantumkan dalam surat permohonan, menurut kami hal tersebut jamak terjadi. Karena bisa saja dokumen-dokumen pembuktian yang diajukan di awal ternyata belum cukup membuktikan bagi pengadilan untuk menjatuhkan permohonan pailit terhadap termohon sehingga Pemohon perlu untuk menambah atau melengkapi alat bukti baru. Apalagi dalam permohonan pailit yang mengacu pada hukum acara perdata, beban pembuktian ada pada Pemohon. [5] Keadaan yang sering terjadi adalah terkait pembuktian adanya kreditur lain yang diajukan sebagai bukti untuk memenuhi syarat kepailitan oleh Pemohon, ternyata kreditur tersebut sudah dilunasi hutangnya oleh Termohon kemudian Pemohon mencari kreditur lain sebagai bukti untuk menjatuhkan pernyataan pailit terhadap Termohon. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Herziene Inlandsch Reglement ; 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 071/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 001-002/PUU.III/2005 . [1] Pasal 7 UU KPKPU [2] Pasal 6 ayat (6) UU KPKPU [3] Pasal 8 ayat (5) UU KPKPU [4] Pasal 8 ayat (7) UU KPKPU [5] Pengaturan Hukum Acara Perdata pada Pasal 163 HIR ( Herziene Inlandsch Reglement ) yang berbunyi “ Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu .”, yang artinya siapa yang mendalilkan dialah yang harus membuktikan acara peradilan hukumonline google perdata bukti penundaan kewajiban pembayaran utang kepailitan hukum acara perdata pemohon alat bukti termohon hukum perusahaan klinik hukumonline pkpu"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah saya bisa meminta pertanggungjawaban PLN karena alat elektronik di rumah saya mengalami kerusakan akibat dari arus listrik di daerah saya tidak normal?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bantuan dan dukungan alat-alat elektronik dalam kehidupan rumah tangga sekarang ini menjadi sangat penting, khususnya di daerah perkotaan. Di sisi lain, peralatan elektronik tersebut membutuhkan listrik sebagai sumber energi dengan pasokan listrik secara konstan atau teratur (normal). Sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Undang-Undang Ketenagalistrikan , di Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (“PLN”) sebagai perpanjangan tangan dari negara yang merupakan pelaksana utama usaha penyediaan tenaga listrik, memegang hak untuk mendapatkan prioritas pertama ( first right of refusal ) dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Hubungan antara PLN dengan pelanggan/konsumen didasarkan atas suatu perjanjian yang lazim disebut dengan Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL). Namun, pada umumnya masyarakat pelanggan PLN sudah banyak yang lupa isi perjanjiannya, dan bahkan surat perjanjiannya sudah hilang. Pada dasarnya, keberadaan PLN sebagai perusahaan yang penyedia tenaga listrik diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (“UU Ketenagalistrikan”) yang sejumlah ketentuannya telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) . Selain di dalam SPJBTL, di dalam kedua undang-undang tersebut diatur mengenai hak, kewajiban dan sanksi baik bagi pelanggan/konsumen maupun kepada PLN sebagai penyedia tenaga listrik. Dalam Pasal 42 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 29 ayat (1) UU Ketenagalistrikan disebutkan sebagai berikut: (1) Konsumen berhak untuk: mendapat pelayanan yang baik; mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang baik ; memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar; mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang perizinan Berusaha untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik. Pasal tersebut menjelaskan bahwa konsumen/pelanggan berhak mendapatkan tenaga listrik dengan mutu dan keandalan yang baik dari penyedia tenaga listrik, atau PLN dalam kasus ini. Hal tersebut berarti, listrik yang didapatkan tidak mati hidup maupun turun naik (listrik yang normal atau stabil). Sehingga, jika listrik yang disediakan tidak normal dan mengakibatkan rusaknya alat-alat elektronik, pelanggan berhak untuk menuntut ganti rugi kepada PLN, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”) yang berbunyi: Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan , pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan . Jika pihak PLN menolak untuk memberikan ganti rugi, maka pelanggan/konsumen dapat mengadukan hal ini kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Berdasarkan Pasal 52 huruf e UU 8/1999 , salah satu tugas dan kewenangan dari BPSK adalah menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Selain itu, Anda juga dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang menyatakan: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Dikarenakan dalam kasus Anda terdapat pelanggaran undang-undang, dan hal tersebut mengakibatkan kerugian berupa rusaknya alat elektronik, maka unsur melanggar hukum dan membawa kerugian dalam Pasal 1365 KUH Perdata telah terpenuhi. Namun, perlu dicatat, selain kedua unsur tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Perbuatan melawan hukum , dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) berdasarkan pasal di atas perlu dibuktikan juga unsur kesalahan yang dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan (kelalaian) dari pihak PLN. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perlindungan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Are there legal basis/regulations that prohibit beer products from promoting products with beer or other products as prizes (e.g. buy 5 bottles of beer and get 1 bottle of beer or get other prizes)?\nAre there prohibitions/regulations on promotions/lotteries which are held by entertainment venues/food courts with prizes of beer, and in order to win the lottery coupons, buyers must purchase the beer products?\nIs it possible if every purchase of beer products will be donated to an orphanage?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "In relation to the promotion of beer, it should also be noted that registered importers of alcoholic beverages (Importir Terdaftar Minuman Beralkohol/ \"IT-MB\"), distributors, sub-distributors, direct sellers, and retailers are prohibited from advertising alcoholic beverages in any mass media.[10]\n\nThis means that promotions should not be conducted in mass media, however, if they are promoted in entertainment venues or food courts, then this is allowed.\n\nIf IT-MB, distributors, sub-distributors, direct sellers, and retailers advertise alcoholic beverages in the mass media, then they may be subject to administrative sanctions in the form of revocation of stipulation as IT-MB, Alcoholic Beverages Trading Business License, and Class A Alcoholic Beverages Retailer Certificate, and Class A Alcoholic Beverages Direct Seller Certificate and/or technical license.[11]\n\nRegarding the donation of a certain amount from the purchase of beer products to an orphanage, for example, if the orphanage is in the form of a foundation, then the provisions shall refer to the regulations on the assets of foundations as stipulated in Law Number 16 of 2001 on Foundations (\"Law 16/2001\") and its amendments.\n\nArticle 26 Law 16/2001 regulates the assets of foundations namely:\n\nThe assets of a Foundation shall be derived from a number of separated assets in the form of money or goods.Other than the assets as referred to in Section (1), the assets of Foundations may be obtained from:\n\nnon-binding donations or aids;waqf;grants;testament grants; andother acquisitions that do not conflict with the Articles of Association of the Foundation and/or the prevailing laws and regulations.\nIn the event that the assets of the Foundation originate from waqf, then the provisions of the law of waqf shall apply;The Assets of the Foundation as referred to in Section (1) and Section (2) shall be used to achieve the purposes and objectives of the Foundation.\n\nFurthermore, the Elucidation of Article 26 Section (2) Letter a Law 16/2001 stipulates that non-binding donations or aids are donations or voluntary assistance received by foundations, either from the state, the community, or from other parties that are not contradictory to the applicable laws and regulations.\n\nTherefore, it is not prohibited if the donation given to an orphanage in the form of a foundation is taken from the proceeds from the sale of beer, as long as the donation is not binding and does not conflict with the law.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nLaw Number 16 of 2001 on Foundations as amended by Law Number 28 of 2004 on Amendment to Law Number 16 of 2021 on Foundations;Presidential Regulation Number 74 of 2013 on Control and Supervision of Alcoholic Beverage;Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 of 2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sales of Alcoholic Beverage, as amended by Regulation of the Minister of Trade Number 72/M-DAG/PER/10/2014 of 2014 on Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 of 2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sales of Alcoholic Beverage, as amended for the second time by Regulation of the Minister of Trade Number 06/M-DAG/PER/1/2015 of 2015 on Second Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sales of Alcoholic Beverage, as amended for the third time by Regulation of the Minister of Trade Number 32/M-DAG/PER/5/2016 of 2016 on Third Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sales of Alcoholic Beverage, as amended for the fourth time by Regulation of the Minister of Trade Number 47 of 2018 on Fourth Amendment of Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 of 2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sales of Alcoholic Beverage, as amended for the fifth time by Regulation of the Minister of Trade Number 120 of 2018 of Fifth Amendment of Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 of 2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sales of Alcoholic Beverage, as amended for the sixth time by Regulation of the Minister of Trade Number 25 of 2019 of Sixth Amendment of Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 of 2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sales of Alcoholic Beverage.\n[1] Article 3 Section (1) Presidential Regulation Number 74 of 2013 on Control and Supervision of Alcoholic Beverage (“Presidential Regulation 74/2013”).[2] Article 4 Section (4) Presidential Regulation 74/2013.[3] Article 7 Presidential Regulation 74/2013.[4] Article 14 Section (1) Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 of 2014 on Control and Supervision of Procurement, Distribution, and Sales of Alcoholic Beverage (“Regulation of the Minister of Trade 20/2014”).[5] Article 14 Section (3) Regulation of the Minister of Trade 20/2014.[6] Article 14 Section (3) Regulation of the Minister of Trade Number 06/M-DAG/PER/1/2015 of 2015 on Second Amendment to the Regulation of the Minister of Trade Number 20/M-DAG/PER/4/2014 on Control and Supervision of the Procurement, Distribution, and Sale of Alcoholic Beverage (“Regulation of the Minister of Trade 06/2015”).[7] Article 16 Section (1) Regulation of the Minister of Trade 20/2014.[8] Article 28 Regulation of the Minister of Trade 20/2014.[9] Article 15 Regulation of the Minister of Trade 20/2014.[10] Article 30 Regulation of the Minister of Trade 20/2014.[11] Article 48 Regulation of the Minister of Trade 20/2014."
} |
{
"from": "human",
"value": "Salah satu mal di Jakarta akan dioperasikan sebagai rumah sakit rujukan COVID-19. Sayangnya, para penghuni apartemen yang berada di dekat lokasi pusat perbelanjaan itu khawatir dan protes karena takut terpapar COVID-19. Bagaimana hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Mal dan Apartemen sebagai Bangunan Gedung Baik mal dan apartemen pada dasarnya merupakan bangunan gedung sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU 28/2002”) yang berbunyi: Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. [1] Dikutip dari artikel Bolehkah Sebuah PT Berdomisili di Apartemen? , apartemen dikenal dengan istilah rumah susun yang pada prinsipnya dibangun sebagai fungsi hunian . Perlu diketahui bahwa mal dan apartemen yang dimaksud dapat menjadi suatu kombinasi dari berbagai fungsi bangunan gedung, karena satu bangunan gedung memang dapat memiliki lebih dari satu fungsi. [2] Kombinasi fungsi dalam bangunan gedung, misalnya kombinasi fungsi hunian dan fungsi usaha , seperti bangunan gedung rumah-toko, rumah-kantor, apartemen-mal , dan hotel-mal atau kombinasi fungsi-fungsi usaha , seperti bangunan gedung kantor-toko dan hotel-mal. [3] Perlu diketahui juga terdapat istilah pemilik bangunan gedung dan pengguna bangunan gedung. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik bangunan gedung . [4] Sedangkan pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung dan/atau bukan pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. [5] Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif meliputi: [6] status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; status kepemilikan bangunan gedung ; dan izin mendirikan bangunan gedung; Alih Fungsi Mal-Apartemen Jadi Rumah Sakit Darurat COVID-19 Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, salah satu hak pemilik bangunan gedung, yaitu mengubah fungsi bangunan gedung setelah mendapat izin tertulis dari pemerintah daerah . [7] Bila mal-apartemen hendak dialihfungsikan sebagai rumah sakit darurat COVID-19, maka fungsinya, menurut hemat kami, akan menjadi kombinasi antara fungsi hunian (apartemen), fungsi usaha (mal), dan fungsi sosial dan budaya ( pelayanan kesehatan ). [8] Meskipun demikian, keresahan penghuni apartemen dapat dikaitkan, setidak-tidaknya, dengan persyaratan kesehatan bangunan gedung , di antaranya, sistem penghawaan dan sistem sanitasi. [9] Sistem penghawaan merupakan kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui bukaan dan/atau ventilasi alami dan/atau ventilasi buatan. [10] Sistem sanitasi merupakan kebutuhan sanitasi yang harus disediakan di dalam dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan . [11] Maka, berdasarkan izin tertulis dari pemerintah daerah, pemilik bangunan gedung memang dapat mengalihfungsikan bangunan gedung menjadi rumah sakit darurat COVID-19. Namun, dengan kombinasi fungsi mal, apartemen, dan rumah sakit darurat, pemilik bangunan patut untuk kembali memerhatikan sistem penghawaan dan sistem sanitasi agar mencegah penularan COVID-19 kepada para penghuni apartemen. Langkah yang Dapat Ditempuh Penghuni Apartemen Menjawab pertanyaan Anda, UU 28/2002 memang tidak menyebutkan secara eksplisit terkait kewajiban pemilik bangunan gedung kepada pengguna bangunan gedung ketika akan mengubah fungsi bangunan gedung. Namun, patut dipahami bahwa persyaratan kesehatan bangunan gedung sebagai salah satu syarat keandalan bangunan gedung ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung . [12] Maka, meski dalam keadaan darurat, namun pemilik gedung, setidak-tidaknya, harus memerhatikan syarat kesehatan bangunan gedung berdasarkan standar bangunan gedung pelayanan kesehatan. Setiap pemilik yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan , dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. [13] Sanksi administratif dapat berupa: [14] peringatan tertulis, pembatasan kegiatan pembangunan, penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan, penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung; pembekuan izin mendirikan bangunan gedung; pencabutan izin mendirikan bangunan gedung; pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau perintah pembongkaran bangunan gedung Selain pengenaan sanksi administratif di atas, pemilik bangunan gedung juga dapat dikenai sanksi denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun. [15] Lebih lanjut, pemilik bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan UU 28/2002 ini diancam: [16] pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda paling banyak 10% dari nilai bangunan, jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain . pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak 15% dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup . pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak 20% dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain . Di sisi lain, para penghuni gedung yang dapat pula dipandang sebagai pengguna bangunan gedung dapat melakukan musyawarah dengan pemilik bangunan gedung agar dapat membuat kesepakatan yang saling menguntungkan para pihak, termasuk kepentingan penanganan wabah COVID-19. Kami juga telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung . [1] Pasal 5 ayat (1) UU 28/2002 [2] Pasal 5 ayat (7) UU 28/2002 [3] Penjelasan Pasal 5 ayat (7) UU 28/2002 [4] Pasal 1 angka 9 UU 28/2002 [5] Pasal 1 angka 10 UU 28/2002 [6] Pasal 8 ayat (1) UU 28/2002 [7] Pasal 40 ayat (1) huruf e UU 28/2002 [8] Pasal 5 ayat (5) UU 28/2002 [9] Pasal 21 UU 28/2002 [10] Pasal 22 ayat (1) UU 28/2002 [11] Pasal 24 ayat (1) UU 28/2002 [12] Pasal 16 ayat (2) UU 28/2002 [13] Pasal 44 UU 28/2002 [14] Pasal 45 ayat (1) UU 28/2002 [15] Pasal 45 ayat (2) UU 28/2002 [16] Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) UU 28/2002 kesehatan pertanahan hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya memiliki sebidang tanah dengan sertifikat SHM. Sebelumnya tanah yang saya miliki adalah persawahan. Saat ini saya berencana membangun rumah di atasnya. Ketika saya mengurus PBG/IMB ternyata tidak bisa terbit dengan alasan tanah saya berada di RTH (ruang terbuka hijau) berdasarkan Perda. Bagaimana solusi hukumnya terhadap kasus yang saya hadapi? Apakah saya tetap boleh membangun rumah di atas tanah saya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Saudara/i. KLINIK TERKAIT Sanksi Bagi Developer Perumahan yang Tak Sediakan Fasilitas Umum 08 Okt 2021 Konsekuensi Hukum Jika Developer Perumahan Tak Menyediakan Jaringan Listrik 27 Sep 2021 Gedung Tinggi Dibangun Dekat Pemukiman, Ini Ketentuannya! 21 Jun 2021 Jerat Hukum Kepala Desa yang Menyerobot Sawah Warga 06 Agt 2020 Persetujuan Bangunan Gedung Perlu Anda ketahui sebelumnya, saat ini memang Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”) telah dihapus dan digantikan dengan Persetujuan Bangunan Gedung (“PBG”) berdasarkan UU Bangunan Gedung . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih lanjut, PBG diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah yang saat ini sudah terbit yaitu PP 16/2021 . PBG adalah perizinan yang diberikan sesuai dengan standar teknis bangunan gedung kepada pemilik bangunan gedung untuk: [1] membangun baru ; mengubah; memperluas; mengurangi; dan/atau merawat bangunan gedung. Jadi benar sebelum membangun sebuah rumah, Anda harus mendapatkan PBG terlebih dahulu. PBG harus diajukan pemilik sebelum pelaksanaan konstruksi [2] yang meliputi proses: [3] konsultasi perencanaan; dan penerbitan. Penerbitan PBG yang dimaksud di atas meliputi: [4] penetapan nilai retribusi daerah; pembayaran retribusi daerah; dan penerbitan PBG. Pemilik yang melaksanakan konstruksi sebelum terbitnya PBG akan dikenakan sanksi administrasi yang dapat berupa di antaranya: [5] peringatan tertulis; pembatasan kegiatan pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran; penghentian sementara atau tetap pada kegiatan tahap pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran; penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung. Ruang Terbuka Hijau Sebelumnya Anda menyebutkan bahwa tanah Anda berlokasi di Ruang Terbuka Hijau. Pasal 17 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 31 UU Penataan Ruang menjelaskan definisi dari Ruang Terbuka Hijau adalah sebagai berikut: Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika. Ruang Terbuka Hijau ini terdiri dari: [6] Ruang Terbuka Hijau Publik Ruang Terbuka Hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk Ruang Terbuka Hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Ruang Terbuka Hijau Privat Yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Sebelumnya Anda tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai status Ruang Terbuka Hijau yang Anda maksud hingga Anda mengalami kesulitaan saat hendak membangun rumah. Terlebih, terdapat yang namanya Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (“RTHKP”) yang salah satunya mencakup lahan pertanian perkotaan. RTHKP ini terdiri dari RTHKP Publik dan RTHKP Privat. Untuk RTHKP Privat menjadi tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh pemerintah kabupaten/kota, kecuali provinsi DKI Jakarta oleh pemerintah provinsi. [7] Adapun sepanjang penelusuran kami, diatur bahwa RTHKP publik yang tidak dapat dialihfungsikan . [8] Meski demikian, kami menyarankan Anda untuk tidak memaksakan kehendak untuk tetap membangun rumah/bangunan di atas tanpa mengetahui atau memastikan kembali status tanah yang sebenarnya. Jika Anda tetap bersikeras, Anda justru dapat dikenai sanksi administratif sebagaimana disebut dalam Pasal 63 UU Penataan Ruang . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan [1] Pasal 1 angka 17 PP 16/2021 [2] Pasal 253 ayat (4) PP 16/2021 [3] Pasal 253 ayat (5) PP 16/2021 [4] Pasal 261 ayat (1) PP 16/2021 [5] Pasal 327 ayat (1) dan (2) huruf a, b, c, dan j PP 16/2021 [6] Pasal 29 ayat (1) PP 16/2021 [7] Pasal 1 angka 20 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (“Permendagri 1/2007”) [8] Pasal 12 ayat (3) Permendagri 1/2007 pertanahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bolehkah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dibiayai pemerintah menggunakan APBN mendirikan sebuah badan usaha? Jika boleh, bagaimana posisi badan usaha tersebut berdasarkan UU PNBP?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sekolah Menengah Kejuruan Sekolah Menengah Kejuruan (“SMK”) pada dasarnya merupakan jenjang pendidikan menengah formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (“Permendikbud 6/2019”) , yang selengkapnya berbunyi: Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK, adalah salah satu bentuk Satuan Pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs. Perlu dipahami bahwa satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah, termasuk SMK, berada di bawah kewenangan dan bertanggung jawab kepada dinas daerah provinsi yang menyelenggarakan urusan pendidikan. [1] Pemerintah daerah bersama masyarakat berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan kepada penyelenggaraan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Adapun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah daerah. [2] Atas ketentuan-ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa urusan penyelenggaraan SMK berada di bawah kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah daerah provinsi dengan pembinaan dan pengawasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pembentukan Badan Layanan Umum Daerah di Sekolah Menengah Kejuruan Berkaitan dengan pertanyaan Anda, laman resmi milik Direktorat Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam artikel yang berjudul Kemdikbud Dorong SMK Jadi BLUD menguraikan bahwa saat ini pemerintah tengah mendorong SMK untuk mengubah teaching factory unggulan menjadi Badan Layanan Umum Daerah (“BLUD”) . Regulasi yang menjadi dasar nantinya ditetapkan oleh pemerintah daerah, yaitu gubernur. Laman yang sama kemudian menguraikan bahwa melalui BLUD, SMK yang memiliki produk-produk unggulan dapat mengelola proses produksi di teaching factory secara lebih fleksibel tanpa melanggar peraturan. Di sisi lain, siswa akan dilatih untuk memproses produksi selayaknya industri yang kemudian dapat dipasarkan secara umum karena memenuhi standar industri. Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian menyatakan pada laman tersebut bahwa bentuk BLUD dirasa sangat cocok bagi SMK yang telah mampu mengembangkan teaching factory -nya. Muhadjir menyarankan agar SMK yang sudah direvitalisasi dapat segera menjadi BLUD yang mampu menghasilkan. Nantinya digunakan untuk pemeliharaan dan pengembangan SMK itu. Dengan demikian, menurut hemat kami, alih-alih sekadar membentuk badan usaha, SMK yang Anda maksud dapat didorong untuk beralih status menjadi BLUD. Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah Mengingat pengelolaan SMK berada di bawah tanggung jawab provinsi , maka penyelenggaraan SMK yang berstatus BLUD dapat merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah (“Permendagri 79/2018”) . Pengertian BLUD sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Permendagri 79/2018 , yang berbunyi: Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya. Perlu diketahui bahwa BLUD merupakan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan dari pemerintah daerah serta merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah . [3] Dalam pelaksanaan operasionalnya, BLUD memperoleh sumber pendapatan dari: [4] jasa layanan; hibah; hasil kerjasama dengan pihak lain; Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (“APBD”); dan lain-lain pendapatan BLUD yang sah. Pendapatan BLUD yang bersumber dari APBD berupa pendapatan yang berasal dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran APBD (“DPAAPBD”) . [5] DPAAPBD adalah dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran. [6] Sementara itu, penghasilan SMK berbentuk BLUD yang dimaksud oleh Muhadjir Effendy sebelumnya dapat dikategorikan sebagai pendapatan dari jasa layanan. Pendapatan BLUD yang bersumber dari jasa layanan berupa imbalan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat. [7] Jenis pendapatan ini yang menurut hemat kami dapat menggantikan fungsi badan usaha yang hendak didirikan oleh SMK yang Anda maksud, jika pendirian badan usaha tersebut dimaksudkan untuk menambah pendapatan SMK. Hubungan BLUD dengan UU PNBP Selanjutnya, terdapat beberapa poin yang dapat diuraikan terkait pertanyaan Anda tentang posisi BLUD terhadap Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (“UU PNBP”) . Merujuk pada Pasal 66 UU PNBP, ditegaskan bahwa: Pendapatan yang diperoleh badan layanan umum merupakan PNBP. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja badan layanan umum yang bersangkutan. Ketentuan mengenai Pengelolaan PNBP oleh badan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendapatan BLU sebagai pendapatan bukan pajak juga ditegaskan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (“PP 23/2005”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum , yang berbunyi: Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU. Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan. Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya merupakan pendapatan bagi BLU. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah. Menurut PP 23/2005 dan perubahannya, BLU sendiri adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. [8] Pemerintah yang dimaksud dalam pasal tersebut meliputi pemerintah pusat dan/atau daerah. [9] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendapatan dari SMK yang berstatus BLUD nantinya termasuk sebagai pendapatan bukan pajak bagi pemerintah daerah . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2019 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Referensi: Kemdikbud Dorong SMK Jadi BLUD , diakses pada tanggal 24 September 2019, pukul 12.41 WIB. [1] Pasal 2 ayat (3) dan (4) Permendikbud 6/2019 [2] Pasal 19 ayat (1) Permendikbud 6/2019 [3] Pasal 2 ayat (4) dan (5) Permendagri 79/2018 [4] Pasal 51 Permendagri 79/2018 [5] Pasal 52 ayat (5) Permendagri 79/2018 [6] Pasal 1 angka 9 Permendagri 79/2018 [7] Pasal 52 ayat (1) Permendagri 79/2018 [8] Pasal 1 angka 1 PP 23/2005 [9] Pasal 1 angka 3 PP 23/2005 hukumonline daerah layanan badan pendidikan dan kebudayaan tata negara smk"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja aliran atau mazhab yang dikenal dalam sosiologi hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAIT7 Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara28 Jul 2023Sosiologi Hukum: Ruang Lingkup, Objek, dan Karakteristiknya19 Jul 20227 Macam Aliran Hukum dalam Rechtsvinding19 Jul 2022Catat! Ini 11 Jenis Interpretasi Hukum18 Jul 2022\n\nSosiologi hukum pada dasarnya lahir dari hasil pemikiran para ahli di bidang filsafat hukum maupun sosiologi. Hasil pemikiran tersebut tidak hanya berasal dari kumpulan individu, melainkan juga dari mazhab atau aliran yang mewakili sekelompok ahli pemikir yang memiliki berbagai macam pendapat. Sosiologi hukum saat ini berkembang dengan pesat, dan sebagaimana diketahui ilmu sosiologi hukum diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku. Dalam pengertian lain, isi dan bentuk hukum yang berubah-ubah sesuai waktu dan tempat, dibantu dengan faktor-faktor sosial atau kemasyarakatan.[1]\n\nAliran sosiologi hukum pada dasarnya terdapat 2 jenis yaitu: [2]\n\nAliran Positif\nAliran positif dipelopori oleh Donald Black, adalah sebuah aliran yang hanya ingin membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Aliran positif tidak mau memasukkan hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai dan tujuan.\n\nBerikut adalah faktor yang menjadi latar belakang tumbuhnya sosiologi dalam aliran positivisme:[3]\n\nSemua pengetahuan harus didasarkan atas pengamatan empiris, baik itu alam, manusia dan masyarakat; danPengamatan harus diberi nilai tinggi dari suatu gagasan (representation).\nDonald Black berpandangan bahwa sosiologi hukum hanya berurusan dengan fakta yang dapat diamati (observable fact), dan tidak memikiran tentang adanya tujuan hukum, maksud hukum dan nilai hukum. Sehingga, hukum adalah apa yang kita lihat dan terjadi dalam masyarakat.[4]\n\nAliran Normatif\n\nAliran normatif yang dipelopori oleh Philip Selznick, Jerome Skolnick, Philippe Nonet dan Charlin. Menurut aliran normatif, hukum bukan hanya fakta yang diamati, melainkan juga suatu institusi nilai. Sebagai institusi nilai, hukum bekerja untuk mengekspresikan nilai tersebut dalam masyarakat. Maka dasar atau landasan yang hakiki bagi kehadiran hukum dalam masyarakat menjadi hilang jika hukum tidak dilihat sebagai institusi.[5]\n\nBerdasarkan aliran normatif, para ahli berpendapat bahwa ilmu hukum dan sosiologi memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga jika ilmu sosiologi mengabaikan aspek normatif dari hukum, maka hal tersebut dapat disamakan dengan falsafah hukum buta terhadap analisis ide normatif.[6]\nMazhab yang Mempengaruhi Terbentuknya Sosiologi Hukum\n\nSosiologi hukum selain dipengaruhi oleh dua aliran di atas, juga dipengaruhi oleh beberapa mazhab yang akan dijelaskan sebagai berikut:\n\nMazhab Formalistis\n\nBeberapa ahli filsafat hukum menekankan hukum dan prinsip moral memiliki hubungan yang sangat penting. Namun, ahli filsafat hukum yang biasanya disebut kaum positivis, berpendapat sebaliknya, yakni hukum dan moral merupakan dua bidang yang terpisah dan harus dipisahkan.\n\nSalah satu cabang dari aliran tersebut adalah mazhab formalistis yang teorinya dikenal dengan analytical jurisprudence. John Austin adalah tokok mazhab formalistis dan terkenal dengan doktrin “hukum adalah perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan”. Menurut John Austin, hukum adalah sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup, dan oleh karena itu, ajarannya dinamakan analytical jurisprudence.[7]\n\nTokoh lain dalam mazhab formalistis adalah Hans Kelsen dengan teori Stufenbau atau teori pertanggaan. Hans Kelsen menganggap sistem hukum adalah sistem pertanggaan dari kaidah-kaidah di mana suatu kaidah hukum tertentu dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggaan dikenal sebagai kaidah dasar atau grundnorm.[8]\n\nBaca juga: Pengertian Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm\n\nMazhab Sejarah dan Kebudayaan\n\nMazhab ini memiliki pendirian yang berlawanan dengan mazhab formalistis. Mazhab sejarah dan kebudayaan menekankan bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan cara menelaah segi sejarah dan kebudayaan, di mana hukum tersebut timbul.\n\nFriedrich Karl Von Savigny yang dianggap sebagai pemuka ilmu sejarah hukum adalah pelopor mazhab ini. Menurut Savigny, hukum adalah perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat, dan semua hukum berasal dari adat istiadat serta kepercayaan, bukan dari pembentuk undang-undang.[9]\n\nMazhab Utilitarianism\n\nMazhab ini dipelopori oleh Jeremy Bentham dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Jeremy Bentham mencoba menerapkan teori tersebut di bidang hukum.\n\nDengan demikian, baik buruknya perbuatan diukur dengan apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Sama halnya dengan undang-undang, yaitu baik buruknya ditentukan oleh hukum utilitarianisme tersebut. Artinya, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Pada intinya, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number.[10]\n\nMazhab Sociological Jurisprudence\n\nMazhab ini dipelopori oleh Eugen Erhlich, yakni terdapat pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law), atau dengan arti lain terdapat pembedaan antara kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya.\n\nPada dasarnya, hukum positif hanya akan efektif jika selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut aliran ini, pusat perkembangan hukum tidak terletak pada badan legislatif, keputusan badan yudikatif ataupun ilmu hukum. Namun berasal dari masyarakat. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada peraturan yang dipaksakan oleh negara.[11]\n\nMazhab Realisme Hukum\n\nMazhab realisme hukum lahir dari pemikiran Karl Llewellyn, Jerome Frank, dan Justice Oliver Wendell Holmes. Aliran ini dikenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim tidak hanya menemukan hukum, tapi juga membentuk hukum.\n\nMenurut mazhab realisme hukum, manusia sekarang mengetahui bahwa hukum sebenarnya terdiri dari putusan pengadilan, dan bahwa putusan dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain kaidah hukum yang berlaku dapat mempengaruhi putusan hakim, terdapat juga prasangka politik, ekonomi, serta moral yang menentukan putusan hakim. Pada intinya, keputusan pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang perkembangan hukum. Keputusan pengadilan biasanya dibuat atas dasar pandangan hakim yang bersangkutan mengenai keadilan yang dirasionalisasikan ke dalam pendapat tertulis.[12]\n\nBaca juga: Sosiologi Hukum: Ruang Lingkup, Objek, dan Karakteristiknya\n\nKesimpulannya, penting untuk memahami bahwa sosiologi hukum saat ini berkembang dengan pesat, serta ilmu sosiologi hukum diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua jenis aliran dalam sosiologi hukum yang dikenal dengan aliran positif dan normatif. Namun selain itu, terdapat juga beberapa mazhab yang mempengaruhi terbentuknya sosiologi hukum seperti mazhab formalistis, sejarah dan kebudayaan, utilitarianism, sociological jurisprudence, dan realisme hukum.\n\nDemikian jawaban kami tentang aliran dan mazhab sosiologi hukum, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017\n2. Yesmil Anwar (et.al), Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2011.\n\n[1] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 1.\n\n[2] Yesmil Anwar (et.al), Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2011, hal. 130.\n\n[3] Yesmil Anwar (et.al), Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2011, hal. 130.\n\n[4] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 14.\n\n[5] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 16.\n\n[6] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 17.\n\n[7] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 20.\n\n[8] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 22.\n\n[9] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 24.\n\n[10] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 26-27.\n\n[11] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 28.\n\n[12] I Gusti Ngurah Dharma Laksana (et.al), Sosiologi Hukum, Bali: Pustaka Ekspresi, 2017, hal. 30-31."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya bagaimana peluang penyelesaian sengketa secara online di Indonesia? Khususnya penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase online. Apakah Online Dispute Resolution (ODR) dapat dilakukan di Indonesia? Bagaimana dengan hukum positif yang berlaku saat ini, apakah sudah cukup untuk mendukung pelaksanaan ODR tersebut? Serta pernahkah dilakukan penyelesaian sengketa secara online atau penyelesaian sengketa secara online yang menyangkut subjek hukum di Indonesia? Mohon bantuan para ahli untuk memberikan tanggapan mengenai pertanyaan saya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: KLINIK TERKAIT Perbedaan Konsiliasi dengan Arbitrase dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 23 Nov 2021 Ketentuan Mengubah Klausula Arbitrase dalam Addendum Akad 07 Jun 2017 Dapatkah Perkara PMH Diselesaikan Melalui Arbitrase? 14 Des 2016 Kedudukan Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional 31 Okt 2016 Undang-Undang No mor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberi ruang bagi masyarakat untuk menyepakati sebuah Alternatif Penyelesaian Sengketa ( “ APS ” ) di luar Lembaga penyelesaian sengketa yang ada selama ini yakni Pengadilan, dengan prosedur yang disepakati dan dengan cara yang sudah ditentukan yakni dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Namun demikian , sesuai Pasal 6 ayat ( 2 ) UU Arbitrase dan APS , penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Dari ketentuan di atas, kami berpandangan Arbitrase online dan Online Dispute Resolution ( ODR ) sejauh ini belum dapat diterapkan di Indonesia karena baik Arbitrase maupun APS mensyaratkan masalah/sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dan kehadiran fisik para pihak di muka persidangan Arbitrase . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda . Sebelum kami menjawab lebih lanjut, Anda dapat juga membaca referensi dari Hukum o nline berikut : Penyelesaian Sengketa Secara Online di Indonesia Oleh: Kania Rahma Nureda . Alternatif Penyelesaian Sengketa Mengenai Alternatif Penyelesaian Sengketa (“APS”), Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No mor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) memberikan pengertian sebagai berikut : Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak , yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Lebih lanjut, Pasal 6 UU Arbitrase dan APS berbunyi: 1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. 2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. 3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. 4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. 5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. 6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. 7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. 8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. 9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc. Berdasarkan ketentuan di atas, kembali lagi pada pertanyaan Anda terkait peluang mengenai penyelesaian sengketa secara online di Indonesia , khususnya penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase online. Apakah Online Dispute Resolution (“ODR”) dapat dilakukan di Indonesia? Bagaimana dengan hukum positif yang berlaku saat ini, apakah sudah cukup untuk mendukung pelaksanaan ODR tersebut? UU Arbitrase dan APS memberi ruang bagi masyarakat untuk menyepakati sebuah APS di luar Lembaga penyelesaian sengketa yang ada selama ini yakni Pengadilan, dengan prosedur yang disepakati dan dengan cara yang sudah ditentukan yakni dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Namun demikian , sesuai Pasal 6 ayat ( 2 ) UU Arbitrase dan APS , penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Dari ketentuan di atas, apakah APS bisa m e naungi penyelesaian sengketa secara online atau Online Dispute Resolution? Kami berpandangan ODR sejauh ini belum dapat diterapkan di Indonesia karena APS mensyaratkan masalah/sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak. Hukum Acara Arbitrase Lebih lanjut, dari perta n yaan Anda di atas, Anda menyebutkan mengenai Arbitrase Online, untuk itu perlu kami jelaskan tentang Hukum Acara Arbitrase sesuai UU Arbitrase dan APS , yakni: Pasal 36 UU Arbitrase dan APS : 1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis . 2) Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Pasal 37 UU Arbitrase dan APS : 1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak. 2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan. 3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. 4) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut. Pasal 43 UU Arbitrase dan APS : Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap , sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. Pasal 44 UU Arbitrase dan APS : 1) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi. 2) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan , pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. Pasal 45 UU Arbitrase dan APS : 1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan , arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. 2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Pasal 50 ayat ( 4 ) UU Arbitrase dan APS : Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya . Berdasarkan uaraian ketentuan di atas, maka pemeriksaan dalam Arbitrase mensyaratkan adanya kehadiran fisik di muka sidang Arbitrase, UU Arbitrase dan APS sejauh penelusuran kami belum mengatur mengenai pemeriksaan Arbitrase secara o nline. Dengan demikian, baik Arbitrase online dan Online Dispute Resolutian (beberapa referensi mengguna k an payung hukum APS ) menurut pandangan kami belum bisa diterapkan di Indonesia karena baik Arbitrase maupun APS mensyaratkan adanya pertemuan langsung dan kehadiran fisik para pihak di muka persidangan Arbitrase. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat . DASAR HUKUM: Undang-Undang No mor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa . hukum perusahaan alternatif penyelesaian sengketa acara peradilan hukumonline google arbitrase bisnis hukum bisnis hukum penyelesaian sengketa perusahaan klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Menurut ketentuan Undang-undang No.16 tahun 2001, tanggung jawab pengurus yayasan tidak terbatas, bahkan sampai dengan kepada pribadi pengurusnya. Bagaimana jika kita menggunakan \"Lembaga\" sebagai alternatif penggantinya dan bagaimana pengaturannya menurut hukum positif Indonesia, mohon penjelesan, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mengenai pertanggungjawaban anggota, menurut ps.1661 KUHPer dikatakan bahwa anggota perkumpulan tidak bertanggung jawab secara pribadi untuk perikatan-perikatan perkumpulan. Pertanggungjawaban kepada pihak ketiga hanya terbatas pada harta yang dimiliki oleh perkumpulan tersebut, tidak dapat mencakup harta pribadi anggotanya kecuali apabila hal tersebut diperjanjikan.\nWewenang dan Tanggung Jawab Pengurus\n\nBesarnya kekuasaan pengurus untuk bertindak keluar atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk perkumpulannya diketahui melalui anggaran dasar atau reglemennya. Namun ps.1655 KUHPer memberikan patokan bahwa kecuali diatur lain dalam akte pendiriannya, pengurus berwenang untuk:\n\n1.\n1. bertindak atas nama perkumpulan;\n\n2.\n2. mengkikat perkumpulan dengan pihak ketiga dan sebaliknya;\n\n3.\n3. bertindak di muka hakim baik sebagai penggugat maupun tergugat.\nKemudian mengenai tanggung jawab pengurus dikatakan dalam ps.1658 KUHPer, pengurus perkumpulan bertanggung jawab kepada anggota.\nLebih lanjut diatur dalam ps.1656 KUHPer dikatakan bahwa segala perbuatan di mana para pengurusnya tidak berwenang untuk melakukannya, hanya dapat mengikat perkumpulan apabila perkumpulan itu telah mendapat manfaat karenanya atau apabila perbuatan-perbuatan itu telah disetujui secara sah.\nDikatakan juga dalam ps.1657 KUHPer bahwa jika dalam akte pendirian, persetujuan dan reglemen-reglemennya tidak diatur mengenai pengurus perkumpulan maka tidak seorang anggota pun berwenang untuk bertindak atas nama perkumpulan atau mengikatkan perkumpulan dengan suatu cara lain selain yang telah ditetapkan ps.1656 KUHPer diatas.\nHadi Herdiansyah, Salah seorang Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, Indonesia"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya baru saja memasukkan memori kasasi kasus perdata ke Pengadilan Negeri. Apa dan bagaimana tahapan selanjutnya sampai saya menerima putusan dari MA? Berapa lama standar waktunya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bisakah Mengajukan Banding Jika Sudah Menerima Putusan Hakim? 13 Okt 2015 Arti Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) 05 Mar 2015 Cara Memperoleh Informasi Perkembangan Perkara di MA 07 Jan 2015 Kapan Putusan Kasasi Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap? 13 Okt 2014 Intisari: Ada dua tahapan proses pemeriksaan berkas kasasi perkara perdata. Di tahap pengadilan negeri dan Mahkamah Agung (MA). Secara normatif, jangka waktu maksimal penanganan perkara menurut ketentuan internal MA, sejak pengajuan permohonan kasasi ke PN sampai dengan pengiriman salinan putusan ke PN Pengaju adalah 315 hari. Tapi pada praktiknya, penanganan perkara kasasi bisa lebih lama dari jangka waktu yang sudah ditetapkan sendiri oleh MA. Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan Agar lebih mudah dipahami, jawaban dari pertanyaan tersebut akan saya bagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tahapan dan jangka waktu di tingkat Pengadilan Negeri (PN) dan proses di tingkat pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung (MA). 1. Tahapan di PN Prosedur penanganan permohonan kasasi di PN diatur secara khusus dalam Keputusan Ketua MA No. 032/SK/IV/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, yang dikenal dengan istilah Buku II. Sesuai dengan ketentuan Buku II tersebut, setelah memori kasasi diterima oleh Panitera Muda Perdata pada PN, dalam jangka waktu paling lama 30 hari, salinan memori kasasi harus disampaikan kepada pihak lawan. Seterusnya, pihak lawan akan menyusun kontra memori kasasi dan dikirimkan ke PN dalam waktu maksimal 14 hari. Sebelum PN mengirimkan berkas perkara ke MA, kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk mempelajari dan memeriksa kembali kelengkapan berkas perkara, yang kemudian dimuat dalam akta permohonan kasasi. Akta tersebut beserta berkas perkara lainnya harus dikirim oleh PN ke MA dalam waktu 65 hari sejak permohonan kasasi diajukan ke PN. Para pihak akan dikirimkan surat pemberitahuan ( relaas) pengiriman berkas ke MA. 2. Tahapan di MA Sama halnya dengan PN, prosedur dan jangka waktu penanganan perkara kasasi oleh MA saat ini diatur secara spesifik dalam ketentuan internal MA, yaitu: Keputusan Ketua MA No. 039/SK/X/1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi pada MA (disebut juga sebagai Buku III) yang terakhir disempurnakan pada tahun 2007; dan SK Ketua MA No. 214/KMA/SK/XII/2014 mengenai Jangka Waktu Penanganan Perkara pada MA. Berdasarkan ketentuan tersebut, penanganan perkara kasasi di MA melewati sembilan tahapan, dengan jangka waktu maksimal adalah 250 hari sejak berkas perkara diterima oleh MA hingga pengiriman salinan putusan ke PN pengaju. Secara singkat akan dijelaskan dalam point berikut ini: a. Penerimaan berkas perkara kasasi dari PN oleh Biro Umum MA. Jangka waktu maksimal berkas perkara ada pada Biro Umum adalah 5 hari. b. Berkas perkara tersebut disampaikan oleh Biro Umum kepada Direktorat Pranata dan Tata Laksana, dalam hal ini adalah Sub Direktorat Kasasi Perkara Perdata, untuk ditelaah kelengkapannya. Jangka waktu maksimal penelaahan berkas, termasuk meminta kelengkapan berkas ke PN pengaju jika ditemukan ketidaklengkapan berkas perkara, adalah 14 hari. c. Berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap diteruskan kepada Panitera Muda Perkara Perdata Umum untuk diregistrasi dan diteruskan kepada Ketua Kamar Perdata. Di tahap ini, perkara kasasi sudah mendapat no register perkara dan pemberitahuan ( relaas) nomor register tersebut disampaikan ke PN pengaju dan juga diinput dalam situs info perkara Kepaniteraan MA RI ( http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/# ), agar para pihak bisa mengetahui register perkara dan memantau secara online status penyelesaian perkara mereka. Jangka waktu maksimal di tahapan ini adalah 13 hari. d. Selanjutnya, Ketua Kamar menetapkan majelis Hakim Agung yang akan memeriksa perkara, dan majelis tersebut memeriksa perkara maksimal selama 90 hari untuk seterusnya diputus (yang disebut juga dengan proses musyawarah dan ucapan). Setelah musyawarah, amar putusan dimuat pada situs info perkara tersebut, tetapi salinan putusan belum bisa diterima oleh PN pengaju dan para pihak karena harus diminutasi (pemberkasan) terlebih dahulu. e. Secara sederhana, minutasi merupakan proses penyusunan naskah dan salinan putusan, yang terdiri dari: pengetikan draf putusan, koreksi draf oleh Hakim Agung dan Panitera Pengganti, serta otentifikasi dokumen oleh Panitera Muda Perkara. Secara keseluruhan, proses minutasi memakan waktu yang cukup lama yaitu maksimal 98 hari. f. Setelah proses tersebut selesai, barulah dalam jangka waktu paling lama 14 hari, Panitera Muda Perkara mengirimkan salinan putusan beserta berkas perkara lainnya ke PN Pengaju, untuk diteruskan ke para pihak. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jangka waktu maksimal penanganan perkara menurut ketentuan internal MA, sejak pengajuan permohonan kasasi ke PN sampai dengan pengiriman salinan putusan ke PN Pengaju adalah 315 hari . Pada praktiknya, penanganan perkara kasasi bisa lebih lama dari jangka waktu yang sudah ditetapkan sendiri oleh MA. Berkaitan dengan itu, Para Pihak disarankan memantau status penyelesaian perkara nya, melalui laman info perkara pada situs Kepaniteraan MA, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya. Jika Para Pihak mendapati jangka waktu penanganan perkara yang melampaui jangka waktu yang ditetapkan sendiri oleh MA dalam peraturan-peraturannya yang disebutkan di bagian sebelumnya, maka Para Pihak dapat menanyakannya kepada Kepaniteraan MA baik melalui surat ataupun mendatangi langsung meja informasi di MA. REFERENSI:\n1. 1. S urat K eputusan Ketua MA No. 214/KMA/SK/XII/2014 mengenai Jangka Waktu Penanganan Perkara pada MA 2. Keputusan Ketua MA No. 032/SK/IV/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (Buku II) 3. Keputusan Ketua MA No. 039/SK/X/1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi pada MA (Buku III) acara peradilan hukumonline perdata hukum klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika saya memiliki permasalahan dengan produk jasa keuangan, bagaimana saya menyampaikan pengaduan ke LAPS SJK?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITMengenal LAPS SJK (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan)30 Jan 2023Etika Konsumen Saat Memberikan Review Produk atau Jasa 28 Sep 2022Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha yang Perlu Diketahui28 Jul 2022Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan via LAPS SJK25 Mei 2022\n\nSebelum membahas alur pengaduan di LAPS SJK, perlu Anda ketahui terlebih dahulu jenis-jenis pengaduan yang dapat dapat ditangani dan diselesaikan melalui LAPS SJK.\n\nBerdasarkan POJK 31/2020, Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) menyediakan dua jenis layanan pengaduan yang diajukan oleh konsumen terhadap Pelaku Usaha Jasa Keuangan (“PUJK”), yaitu:[1]\n\npengaduan yang berindikasi sengketa adalah ungkapan ketidakpuasan konsumen yang disebabkan oleh adanya kerugian dan/atau potensi kerugian materiel, wajar dan secara langsung pada konsumen karena PUJK tidak memenuhi perjanjian dan/atau dokumen transaksi keuangan yang telah disepakati; dan/ataupengaduan yang berindikasi pelanggaran adalah penyampaian ungkapan oleh konsumen dan/atau masyarakat atas indikasi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan (“LJK”) yang diduga terjadi karena kesengajaan atau kelalaian LJK.\nDari dua jenis layanan pengaduan tersebut, aduan yang dapat dimohonkan untuk diselesaikan melalui LAPS SJK adalah aduan yang berindikasi sengketa.[2]\n\nAdapun, menurut POJK 61/2020 kriteria sengketa yang dapat diajukan pengaduan ke LAPS SJK adalah sebagai berikut.[3]\n\nPengaduan telah dilakukan upaya penyelesaian oleh PUJK namun ditolak oleh konsumen atau konsumen belum menerima tanggapan pengaduan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK mengenai layanan pengaduan konsumen di sektor jasa keuangan;Sengketa yang diajukan bukan merupakan sengketa yang sedang dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga peradilan, arbitrase, atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya; danSengketa bersifat keperdataan.\nSelain ketiga jenis sengketa di atas, LAPS SJK pada dasarnya dapat menangani sengketa lain yang mendapat persetujuan dari OJK.[4]\n\nSengketa yang menjadi ruang lingkup LAPS SJK dapat diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga untuk membantu pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.[5] Dalam konteks mediasi oleh LAPS SJK adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antara para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator LAPS SJK guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa cara memutus atau memaksakan kehendak sehingga dapat tercapai kesepakatan perdamaian (settlement agreement) yang win-win-solution. Para pihak yang ingin menyelesaikan sengketanya melalui mediasi di LAPS SJK harus terlebih dahulu memiliki kesepakatan untuk bermediasi di LAPS SJK dengan suatu perjanjian mediasi.\n\nPenyelesaian sengketa kedua yaitu melalui arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pada pihak yang bersengketa.[6] Secara lebih spesifik, arbitrase LAPS SJK adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh arbiter tunggal atau majelis arbitrase untuk memberikan putusan arbitrase sesuai prosedur acara yang ditentukan oleh LAPS SJK.\n\nPerlu Anda ketahui bahwa penyelesaian sengketa melalui LAPS SJK dapat dilakukan melalui tatap muka langsung di hadapan mediator atau arbiter, melalui media elektronik, dan/atau pemeriksaan dokumen.[7]\nAlur Penyelesaian Sengketa di LAPS SJK\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai bagaimana penyelesaian sengketa konsumen melalui LAPS SJK, berikut uraian penyelesaian sengketa melalui mediasi dan arbitrase di LAPS SJK.\n\nMediasi\n\nJika sengketa yang Anda alami telah sesuai dengan kritera sengketa yang ditangani LAPS SJK sebagaimana disebutkan di atas, maka langkah yang dapat Anda tempuh adalah:\n\nmenyampaikan permohonan penyelesaian sengketa ke LAPS SJK melalui Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen (APPK) yang disediakan oleh OJK, atau melalui non-APPK dengan cara langsung mengunjungi kantor LAPS SJK;proses verifikasi dan klarifikasi terlebih dahulu dengan cara pihak LAPS SJK akan berkomunikasi dengan konsumen dan PUJK untuk memastikan apakah pengaduan dimaksud dapat dan layak diproses lebih lanjut ke tahap mediasi;jika dinilai dapat dan layak, selanjutnya LAPS SJK akan mengajak para pihak untuk membuat kesepakatan untuk mediasi di LAPS SJK melalui perjanjian mediasi;aduan yang telah melalui verifikasi dan sepakat untuk diselesaikan di LAPS SJK dibubuhkan nomor registrasi perkara;tahap pembayaran biaya-biaya mediasi jika sengketa termasuk sengketa komersial;penunjukan mediator;pelaksanaan perundingan mediasi.\n\nTerkait dengan biaya LAPS SJK, untuk perkara yang termasuk retail & small claim tidak dikenai biaya mediasi. Sementara, untuk sengketa komersial akan dikenai biaya.\n\nUntuk menentukan sengketa termasuk retail & small claim akan dinilai berdasarkan nilai tuntutan konsumen ke PUJK yang akan diselesaikan di LAPS SJK, yaitu:\n\nRp200 juta untuk sengketa di bidang pergadaian, pembiayaan dan fintech, sengketa dengan nilai tuntutan Konsumen kepada PUJK;Rp500 juta untuk sengketa di bidang perbankan, pasar modal, asuransi jiwa, dana pensiun, modal ventura, dan penjaminan;Rp750 juta untuk sengketa di bidang asuransi umum.\n\nArbitrase\n\nApabila Anda ingin menyelesaikan sengketa melalui arbitrase di LAPS SJK, Anda harus terlebih dahulu memiliki kesepakatan untuk berarbitrase di LAPS SJK melalui perjanjian arbitrase.\n\nSelanjutnya, Anda dapat mengajukan permohonan arbitrase sesuai dengan peraturan dan acara arbitrase LAPS SJK dengan mendaftarkan permohonan tersebut kepada sekretariat LAPS SJK u.p. Ketua LAPS SJK dan langsung membayar biaya pendaftaran permohonan arbitrase atau melalui permohonan arbitrase dalam bentuk pengaduan melalui APPK.\n\nPengurus LAPS SJK akan melakukan verifikasi pendaftaran tersebut. Jika pendaftaran memenuhi syarat menurut peraturan dan acara arbitrase LAPS SJK, maka pengurus LAPS SJK akan menerima pendaftaran tersebut, membubuhkan nomor registrasi perkara.\n\nSelanjutnya, perkara akan diproses ke tahap berikutnya, yaitu:\n\npembayaran biaya administrasi dan honorarium arbiter;penunjukan arbiter;memasuki tahap persidangan arbitrase.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.07/2020 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5ec217f577d8e/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-nomor-31-pojk07-2020-tahun-2020/document?utm_medium=pusatdata?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=POJK_31_2020)\n2. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 61 /POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fe18d53c66d9/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-nomor-61-pojk07-2020-tahun-2020/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pojk_61_2020)\nREFERENSI:\n1. Aplikasi Portal Perlindugan Konsumen (APPK) yang diakses pada Rabu, 1 Februari 2023 pukul 11.45 WIB.\n\n[1] Pasal 9 jo Pasal 1 angka 6 dan 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.07/2020 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Layanan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (“POJK 31/2020”)[2] Pasal 3 jo Pasal 1 angka 6 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.07/2020 Tahun 2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (“POJK 61/2020”)[3] Pasal 32 ayat (1) POJK 61/2020[4] Pasal 32 ayat (2) POJK 61/2020[5] Penjelasan Pasal 8 ayat (3) huruf a angka 1 POJK 61/2020[6] Penjelasan Pasal 8 ayat (3) huruf a angka 2 POJK 61/2020[7] Pasal 33 ayat (1) POJK 61/2020"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apabila ada surat keputusan yang dikeluarkan oleh gubernur merugikan saya sebagai warga negara, bagaimana penyelesaiannya? Apa yang bisa saya lakukan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan pertanyaan yang Anda sampaikan, kami asumsikan bahwa surat keputusan yang dikeluarkan oleh gubernur adalah bentuk dari keputusan tata usaha negara (“KTUN”).\n\nDengan demikian untuk menyelesaikan permasalahan Anda, maka Anda dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa tata usaha negara. Apa itu penyelesaian sengketa tata usaha negara?\n\nSengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]\n\nBerdasarkan pengertian tersebut, maka Anda sebagai individu merupakan subjek sengketa tata usaha dan gubernur sebagai badan atau pejabat pemerintahan/tata usaha negara. Adapun objek sengketa tata usaha negara adalah KTUN berupa surat keputusan yang dikeluarkan oleh gubernur.\n\nKTUN atau disebut juga keputusan administrasi pemerintahan adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan negara.[2]\n\nUntuk mengidentifikasi suatu ketetapan termasuk KTUN dan bisa menjadi objek sengketa tata usaha negara, maka harus memenuhi ketentuan:[3]\n\nsuatu penetapan tertulis;dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara;berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;bersifat konkret, individual, dan final; danmenimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.\n\nLantas bagaimana penyelesaian sengketa tata usaha negara?\nAlur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara\n\nUntuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara, maka Anda dapat menempuh dua mekanisme, yaitu upaya administratif dan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”).\n\nLantas, apakah upaya penyelesaian sengketa keputusan tata usaha negara bisa langsung melalui upaya peradilan tanpa melalui upaya administratif? Jawabannya tidak. PTUN baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara jika seluruh upaya administratif telah digunakan.[4]\nUpaya Administratif\n\nUpaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh orang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu KTUN.[5]\n\nProsedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk:[6]\nKeberatan (Bezwaarschrift)\n\nKeberatan ditujukan kepada badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN semula.\nBanding Administratif (Administratif Bereop)\n\nPengajuan surat banding administratif ditujukan kepada atasan pejabat atau instansi lain yang berwenang memeriksa ulang KTUN yang disengketakan.\n\nBerbeda dengan prosedur di PTUN, prosedur banding administratif dan prosedur keberatan dilakukan dengan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan instansi yang memutus.\n\nBerdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN, dapat dilihat apakah suatu KTUN dimungkinkan untuk ditempuh upaya administratif.\nGugatan Melalui PTUN\n\nPenyelesaian sengketa melalui PTUN dapat dilakukan ketika:\n\ntidak tersedia penyelesaiannya melalui upaya administratif;[7]jika peraturan dasar dikeluarkannya KTUN hanya menentukan upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan, maka gugatan terhadap KTUN yang bersangkutan diajukan kepada PTUN;[8]jika peraturan dasarnya menentukan upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan dan/atau mewajibkan pengajuan surat banding administratif, maka gugatan KTUN yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang.[9]\n\nAdapun alur pengajuan gugatan sengketa tata usaha negara ke PTUN adalah sebagai berikut:\n\nGugatan\n\nGugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.[10] Adapun yang menjadi tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.[11]\n\nAlasan yang bisa digunakan dalam gugatan adalah KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.[12]\n\nPerlu diketahui bahwa gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya KTUN.[13]\nProsedur Dismissal\n\nSetelah diajukan gugatan, maka akan dilakukan prosedur dismissal atau rapat permusyawaratan. Prosedur dismissal adalah penelitian yang meliputi segi administratif dan segi elementer.[14]\n\nDalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan melalui suatu penetapan berwenang memutuskan gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dengan pertimbangan sebagai berikut:[15]\n\npokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun telah diberi tahu dan diperingatkan;gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang digugat;gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.\n\nTerhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diucapkan.[16]\n\nJika perlawanan dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan gugur demi hukum dan tidak dapat digunakan upaya hukum, sehingga pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.[17]\nPemeriksaan Persiapan\n\nSebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.[18]\n\nDalam pemeriksaan persiapan, hakim:[19]\n\nwajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari;dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.\n\nApabila dalam jangka waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka hakim akan memutus bahwa gugatan tidak dapat diterima. Maka apabila hal demikian terjadi, penggugat tidak dapat menggunakan upaya hukum, tetapi dapat mengajukan gugatan baru.[20]\nPemeriksaan Perkara\n\nSetelah dilakukan pemeriksaan persiapan maka akan dilakukan pemeriksaan perkara untuk mendapatkan putusan. Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa dengan 3 orang hakim, dengan pemeriksaan acara biasa.[21]\n\nSetelah pemeriksaan sengketa selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat terakhir berupa kesimpulan.[22]\nPutusan\n\nPutusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa gugatan ditolak, dikabulkan, tidak diterima, atau gugur.[23]\n\nTerhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.[24]\n\nBahkan jika penggugat tidak juga puas dengan putusan tersebut, dapat dilakukan upaya hukum kasasi hingga upaya hukum luar biasa peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.[25]\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban kami tentang alur penyelesaian sengketa tata usaha negara, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2625/undangundang-nomor-5-tahun-1986/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ptun)\n2. [Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/18360/nprt/537/undangundang-nomor-9-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_9_2004)\n3. [Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b012b9eee9fb?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_51_2009)\n4. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5462bc42d6073/undang-undang-nomor-30-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2014)\n5. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n6. [Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19479/node/639/se-ma-no-2-tahun-1991-petunjuk-pelaksanaan-beberapa-ketentuan-dalam-undang-undang-nomor-5-tahun-1986-tentang-peradilan-tata-usaha-negara?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=SEMA_2_1991)\nREFERENSI:\n1. Ridwan. Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi. Yogyakarta: FH UII Press, 2009.\n\n[1] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”)[2] Pasal 175 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan[3] Pasal 1 angka 9 UU 51/2009[4] Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”)[5] Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU 5/1986[6] Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU 5/1986 jo. Poin IV angka 1 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“SEMA 2/1991”)[7] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 168[8] Poin IV angka 2 huruf a SEMA 2/1991[9] Poin IV angka 2 huruf b SEMA 2/1991[10] Pasal 1 angka 11 UU 51/2009[11] Pasal 1 angka 12 UU 51/2009[12] Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara[13] Pasal 55 UU 5/1986[14] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2009, hal. 180[15] Pasal 62 ayat (1) UU 5/1986[16] Pasal 62 ayat (3) huruf a UU 5/1986[17] Pasal 62 ayat (5) dan (6) UU 5/1986[18] Pasal 63 ayat (1) UU 5/1986[19] Pasal 63 ayat (2) UU 5/1986[20] Pasal 63 ayat (3) dan (4) UU 5/1986[21] Pasal 68 ayat (1) UU 5/1986[22] Pasal 97 ayat (1) UU 5/1986[23] Pasal 97 ayat (7) UU 5/1986[24] Pasal 122asal 131 dan Pasal 132 UU 5/1986[25] asal 131 dan Pasal 132 UU 5/1986"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau jual tanah dan bangunan. Sertifikat dan syarat lainnya sudah lengkap. Ada orang minat dengan bangunan tersebut tetapi orang tersebut mau memasukkan sertifikat saya dulu ke bank buat agunan utang. Setelah keluar baru saya akan dikasih uang. Apakah cara jual tersebut bisa dipertanggungjawabkan? dan permintaan pembeli semua proses jual beli saya yang menanggung."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pernah dipublikasikan pada Selasa, 13 Mei 2014. KLINIK TERKAIT Pembatalan Jual Beli Rumah, Berikut Aturannya 16 Nov 2023 Mewaspadai Praktik Peminjaman Dana dengan Jaminan Sertipikat Tanah 19 Agt 2013 Surat Kuasa untuk Menandatangani AJB 04 Mar 2013 Prosedur Menjual Rumah dengan Dasar PPJB 27 Feb 2013 Intisari: Jika Anda (penjual) langsung membuat Akta Jual Beli (AJB) antara Anda dengan si pembeli, sedangkan pembeli belum membayar harga tanah sebagaimana disepakati, tentu Anda tidak aman. Ini karena dengan adanya AJB yang telah dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pembeli dapat mendaftarkan peralihan hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran peralihan hak, maka nama pemegang hak atas tanah tersebut akan berpindah dari Anda kepada si pembeli, sekalipun sebenarnya harga jual beli belum dibayar lunas oleh pembeli. Penjelasan lebih lanjut, silakan simak ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami kurang mendapatkan informasi apakah jual beli tanah yang mau Anda lakukan akan dituangkan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) terlebih dahulu atau langsung dengan membuat Akta Jual Beli (“AJB”). Karena kami tidak mendapat informasi yang rinci mengenai perjanjian apa saja yang akan Anda dan si pembeli gunakan untuk melakukan jual beli ini, maka kami hanya bisa memberikan gambaran secara umum. Jika Anda langsung membuat AJB antara Anda dengan si pembeli, sedangkan pembeli belum membayar harga tanah sebagaimana disepakati, tentu Anda tidak aman. Ini karena dengan adanya AJB yang telah dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), pembeli dapat mendaftarkan peralihan hak atas tanah sebagaimana terdapat dalam Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah . Dengan adanya pendaftaran peralihan hak, maka nama pemegang hak atas tanah tersebut akan berpindah dari Anda kepada si pembeli, sekalipun sebenarnya harga jual beli belum dibayar lunas oleh pembeli. Mengenai syarat-syarat balik nama sertifikat, dapat Anda lihat dalam artikel Balik Nama Sertifikat Tanah . Lain halnya dengan PPJB. Dalam PPJB disepakati kewajiban-kewajiban para pihak yang masih harus dipenuhi sebelum dibuat AJB. Biasanya disepakati bahwa jika salah satu pihak tidak menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati, maka PPJB batal, yang berarti jual beli tidak akan terjadi. Sehingga dengan dibuatnya PPJB, jika pembeli tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar harga jual beli, PPJB batal dan jual beli tidak akan terjadi. Akan tetapi PPJB sekalipun tidak dapat menjamin Anda terlindungi. Ini karena jika sertifikat tanah atas nama Anda, dan tanah tersebut dijaminkan, maka bisa jadi yang dibuat adalah perjanjian jaminan hak tanggungan dimana Anda akan menjadi pihak ketiga pemberi jaminan . Yaitu Anda sebagai pihak ketiga memberikan benda milik Anda (dalam hal ini tanah) untuk dijadikan jaminan kebendaan. Sebagai benda jaminan, tentu Bank dapat melakukan eksekusi atas tanah Anda jika si pembeli tersebut wanprestasi atas perjanjian utangnya dengan Bank. Penjelasan lebih lanjut mengenai pihak ketiga pemberi jaminan, dapat dibaca dalam artikel Hukum Menggunakan Sertifikat Tanah Orangtua untuk Jaminan Bank . Tentu saja sebelumnya Anda harus melihat dulu seperti apa perjanjian yang akan dibuat dengan Bank. Akan berbeda halnya jika memang kredit yang diajukan oleh si pembeli kepada Bank adalah kredit untuk pembelian rumah atau yang biasa disebut Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”). Konstruksi perjanjiannya pun akan berbeda dengan kredit biasa. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah . beli rumah pertanahan hukumonline google perdata properti ppat jual beli tanah ppjb rumah hukum klinik utang klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana aturan hukum positif Indonesia, apabila kita mengambil buah yang berada di tanah negara. Diduga pohon itu tumbuh sendiri atau ditanam sendiri oleh seseorang. Apakah ketika kita mengambil bisa dikatakan mencuri?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dalam hukum positif Indonesia, rumusan pasal tentang tindak pidana pencurian biasa diatur dalam Pasal 362 KUHP dan Pasal 476 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu pada tahun 2026, yang berbunyi sebagai berikut:\nPasal 362 KUHPPasal 476 UU 1/2023Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[2]Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta.[3]\nBerdasarkan rumusan tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana pencurian biasa adalah sebagai berikut:\n\nUnsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:\n\nmengambil;suatu barang;yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.\n\nUnsur subjektif, yang meliputi unsur-unsur:\n\ndengan maksud;untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri;secara melawan hukum.\nSelain itu, R. Soesilo pada buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.249), menjelaskan bahwa Pasal 362 KUHP adalah pencurian biasa dan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:\n\nPerbuatan mengambil;Yang diambil harus sesuatu barang;Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak).\n\nAdapun, dalam KUHP baru, Penjelasan Pasal 476 UU 1/2023 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mengambil” tidak hanya diartikan secara fisik, tetapi juga meliputi bentuk perbuatan “mengambil” lainnya secara fungsional (nonfisik) mengarah pada maksud “memiliki barang orang lain secara melawan hukum.” Misalnya, pencurian uang dengan cara mentransfer atau menggunakan tenaga Listrik tanpa hak. Yang dimaksud “dimiliki” adalah mempunyai hak atas barang tersebut.\nPencurian Ringan\n\nSelain pencurian biasa, terdapat pula tindak pidana pencurian ringan, yang menurut KUHP lama jika barang yang dicuri nilainya tidak lebih dari Rp2,5 juta atau Rp500 ribu menurut UU 1/2023. Berikut uraiannya:\nPasal 364 KUHP jo. Pasal 1 Perma 2/2012Pasal 478 UU 1/2023Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp2,5 juta,[4] diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp250 ribu.[5]Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 476 dan Pasal 477 ayat (1) huruf f dan huruf g dilakukan tidak dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dan harga barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp500 ribu, dipidana karena pencurian ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta.[6]\n\nBerdasarkan Pasal 364 KUHP, menurut R. Soesilo yang dinamakan pencurian ringan yaitu:[7]\nPencurian biasa asal harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp2,5 juta.Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih, asal harga barang tidak lebih dari Rp2,5 juta.Pencurian dengan masuk ke tempat barang yang diambilnya dengan jalan membongkar, memecah dan yang lainnya, jika:\nHarga tidak lebih dari Rp2,5 juta.Tidak dilakukan dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya.\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, kami berpendapat bahwa sepanjang buah tersebut memang jelas kepemilikannya, termasuk jika buah itu milik negara misalnya milik perkebunan negara atau ditanam di tanah negara dan memang terdapat maksud untuk memiliki buah/barang tersebut tanpa adanya izin dari pemilik barang, maka hal tersebut termasuk tindak pidana pencurian. Jika buah yang dicuri harganya di bawah Rp2,5 juta menurut KUHP atau Rp500 ribu menurut UU 1/2023, maka termasuk tindak pidana pencurian ringan.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nREFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Sukabumi: Politeia, 1991.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)\n\n[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dikali 1000\n\n[3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023\n\n[4] Pasal 1 Perma 2/2012\n\n[5] Pasal 3 Perma 2/2012, denda dikali 1000\n\n[6] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023\n\n[7] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Sukabumi: Politeia, 1991, hal. 252-253"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam hal ambulans dan mobil iring-iringan Presiden berada dalam satu jalan umum, manakah yang harus didahulukan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Sesuai urutan kendaraan bermotor yang memperoleh hak utama di jalan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan , ambulans menempati ururan kedua sedangkan mobil pimpinan lembaga negara (dalam hal ini iring-iringan Presiden) berada pada urutan keempat. Artinya, jika ambulans dan mobil iring-iringan Presiden berada dalam satu jalan umum, maka ambulans lebih diprioritaskan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ketertiban Berlalu Lintas Pada dasarnya, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) menyebutkan bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan: terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat , tertib , lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan . [1] Yang dimaksud dengan pengguna jalan adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas. [2] Yang berwenang untuk melaksanakan tugas penegakan hukum dan pengaturan di bidang lalu lintas ada pada Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia sesuai Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor : Korps Lalu Lintas Polri yang selanjutnya disebut Korlantas Polri adalah unsur pelaksana tugas pokok bidang keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas yang berada di bawah Kapolri serta bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi lalu lintas yang meliputi pendidikan masyarakat, penegakan hukum, pengkajian masalah lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor serta patroli jalan raya. Kendaraan yang Diprioritaskan di Jalan Dalam keadaan tertentu untuk Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan sebagai berikut: [3] memberhentikan arus Lalu Lintas dan/atau Pengguna Jalan; memerintahkan Pengguna Jalan untuk jalan terus; mempercepat arus Lalu Lintas; memperlambat arus Lalu Lintas; mengalihkan arah arus Lalu Lintas; menutup dan membuka arus lalu lintas. Salah satu “keadaan tertentu” yang dimaksud adalah adanya pengguna jalan yang diprioritaskan. [4] Siapa sajakah pengguna jalan yang diprioritaskan/diutamakan? Pengguna jalan yang memperoleh hak utama/diprioritaskan untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut: [5] Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas; Ambulans yang mengangkut orang sakit ; Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas; Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia ; Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; iring-iringan pengantar jenazah; dan konvoi dan/ atau Kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 135 ayat (1) UU LLAJ kendaraan yang mendapat hak utama di atas harus dikawal oleh petugas Kepolisian dan/atau menggunakan lampu isyarat merah atau biru dan bunyi sirine. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas tidak berlaku bagi Kendaraan yang mendapatkan hak utama. [6] Mengenai hak utama bagi pengguna jalan selengkapnya dapat Anda simak dalam artikel Pengaturan Lalu Lintas Bagi Pengguna Jalan yang Diprioritaskan . Jadi menjawab pertanyaan Anda, sesuai dengan urutan kendaraan yang memperoleh hak utama di jalan, ambulans menempati ururan kedua sedangkan mobil iring-iringan pimpinan lembaga negara (dalam hal ini Presiden) berada pada urutan keempat. Artinya jika ambulans dan mobil iring-iringan Presiden berada dalam satu jalan umum, maka ambulans lebih diprioritaskan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor [1] Pasal 1 angka 32 UU LLAJ [2] Pasal 1 angka 27 UU LLAJ [3] Pasal 104 ayat (1) huruf c UU LLAJ [4] Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU LLAJ [5] Pasal 134 UU LLAJ [6] Pasal 135 ayat (3) UU LLAJ pelanggaran lalu lintas jalan hukumonline google tata negara hukum klinik lalu lintas klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa itu amicus curiae? Apa dasar hukum amicus curiae di Indonesia? Lalu, apa tujuan amicus curiae?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Amicus curiae berasal dari bahasa Latin yang berarti friend of the court atau sahabat pengadilan.[1] Kemudian, jika diterjemahkan secara bebas, Black’s Law Dictionary mendefinisikan amicus curiae sebagai seseorang yang bukan merupakan pihak dalam gugatan tetapi mengajukan permohonan kepada pengadilan atau diminta oleh pengadilan untuk memberikan pernyataan/keterangan karena orang tersebut memiliki kepentingan yang kuat dalam pokok perkara.[2]\nLebih lanjut, disarikan dari artikel Menjadi Amicus Curiae di MK, Ini Fungsi dan Dasar Hukumnya, amicus curiae adalah seseorang atau satu organisasi profesional, sebagai pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam suatu perkara, namun memiliki kepentingan atau kepedulian atas perkara itu, lalu memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis untuk membantu peradilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, karena sukarela dan prakarsa sendiri atau karena pengadilan memintanya. Namun sebagai catatan, keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam sebuah kasus hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan.[3]\nSejarah dan Perkembangan Amicus Curiae di Dunia\n\nBila dilihat dari sejarahnya, amicus curiae pertama kali dikenal dalam praktik pengadilan di awal abad ke-9 dalam sistem hukum Romawi Kuno. Dari sistem tersebut, selanjutnya berkembang di negara-negara dengan tradisi common law. Oleh karena itu, amicus curiae merupakan suatu hal yang lazim pada sistem peradilan di negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dan Inggris.[4]\nKemudian dalam perkembangannya, pada akhir abad ke-20 sampai saat ini, banyak kasus-kasus di pengadilan menggunakan amicus curiae.[5] Lantas, adakah ketentuan amicus curiae di Indonesia?\nDasar Hukum Amicus Curiae di Indonesia\n\nSepanjang penelusuran kami, amicus curiae tidak secara tegas diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, amicus curiae saat ini berpegang pada Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:\n\nHakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.\n\nLalu, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.\n\nSebagai informasi, amicus curiae juga diatur secara tersirat dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP:\n\nDalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.\n\nMenurut hemat kami, pasal tersebut secara sempit dapat ditafsirkan bahwa KUHAP memberikan pengakuan terbatas pada keterlibatan masyarakat. Namun, Pasal 180 ayat (1) KUHAP bukan merupakan landasan yuridis amicus curiae di Indonesia. Terlebih lagi amicus curiae juga bukan merupakan keterangan saksi maupun ahli sebagaimana alat bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP.\nTujuan Amicus Curiae\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai tujuan amicus curiae, pada dasarnya amicus curiae bertujuan untuk membantu hakim dalam melakukan penemuan hukum atau membuat keputusan mengenai suatu perkara. Namun, kekuatan hukum dari amicus curiae terhadap pengambilan keputusan hakim di pengadilan, tidak akan mempengaruhi putusan pengadilan karena sifatnya berisi pertimbangan-pertimbangan saja. Oleh karena amicus curiae hanya sebatas dasar pertimbangan[6], amicus curiae tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam proses hukum atau mempengaruhi penyelesaian akhir suatu kasus dalam hal hakim mengambil suatu keputusan. Sehingga, hakim bebas untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan pendapat yang diajukan.[7]\n\nKemudian, amicus curiae diakui sebagai nilai yang hidup pada masyarakat.[8] Hal tersebut dilakukan untuk membantu hakim agar dapat adil dan bijaksana dalam memutus sebuah perkara.[9] Menurut hemat kami, tersedianya sudut pandang yang lain bagi hakim tentu saja dapat membantu dalam memahami berbagai aspek yang terkait dengan kasus melalui sudut pandang masyarakat atau pihak yang tidak terafiliasi lainnya.\n\nLalu, bagaimana praktik amicus curiae di Indonesia?\nPraktik Amicus Curiae di Indonesia\n\nAmicus curiae merupakan salah satu perkembangan praktik penegakan hukum di Indonesia saat ini. Walaupun amicus curiae tidak secara tegas diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun sejumlah perkara di pengadilan sudah menggunakan praktik amicus curiae. Penjelasan yang diberikan oleh amicus curiae tersebut pada praktiknya diberikan dalam bentuk surat atau tertulis atau biasa disebut amicus brief. Namun, ada kalanya penjelasan tersebut diberikan secara lisan di pengadilan, walaupun dalam praktiknya banyak diberikan dalam bentuk surat atau tertulis (amicus brief).[10]\n\nSelanjutnya, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Menjadi Amicus Curiae di MK, Ini Fungsi dan Dasar Hukumnya, contoh amicus curiae di Indonesia adalah:\n\nKoalisi Perempuan Indonesia mengajukan diri menjadi amicus curiae dalam uji materi KUHP di MK dengan perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016;[11]Amicus curiae dalam perkara perselisihan hasil pemilu (“PHPU”) presiden dan wakil presiden yang mengacu pada Peraturan MK 4/2023 sebagaimana diubah dengan Peraturan MK 2/2024, namun sepanjang penelusuran kami tidak diatur khusus dan spesifik.\n\nDengan adanya eksistensi amicus curiae, menurut hemat kami, pandangan hukum melalui partisipasi publik memungkinkan keputusan hakim yang mencerminkan prinsip keadilan dan kebenaran yang diinginkan masyarakat secara keseluruhan. Amicus curiae dapat memastikan bahwa suara masyarakat terdengar dan dapat dipertimbangkan selama proses pengambilan keputusan di pengadilan, meskipun amicus curiae memiliki kedudukan yang terbatas. Selain itu, amicus curiae dapat menjadi mekanisme yang digunakan untuk strategi dalam mengklarifikasi prinsip negara demokrasi.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n2. [Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b01297e9d172/undangundang-nomor-48-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_kekuasaan_kehakiman)\n3. [Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt64019bc0084b8/peraturan-mahkamah-konstitusi-nomor-4-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_4_2023)\n4. [Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6603c24050b08/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_2_2024)\nREFERENSI:\n1. Bryan A. Garner. Black’s Law Dictionary. St. Paul, MN: Thomson Reuters, 2019\n2. Dewa Gede Edi Praditha. Posisi Amicus Curiae Dalam Tata Peradilan Indonesia. Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, Vol. 1, No. 5, 2023\n3. Fadil Aulia dan Muchlas Rastra Samara Muksin. The Position of Amicus Curiae under the Indonesian Law of Evidence. Jurnal Media Hukum, Vol. 27, No. 2, 2020\n4. Farina Gandryani dan Fikri Hadi. Peran Perguruan Tinggi dalam Penegakan Hukum di Indonesia Melalui Amicus Curiae. Jurnal Yudisial, Vol. 16, No. 2, 2023\n5. Joseph D. Kearney dan Thomas W. Merrill. The Influence of Amicus Curiae Briefs on the Supreme Court. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 148 (1999-2000), Iss. 3 (2000)\n6. Linda Ayu Pralampita. Kedudukan Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Jurnal Lex Renaissance, Vol. 5, No. 3, 2020\n7. Muhammad Ilham Hasannudin dan Amy Yayuk Sri Rahayu. Peranan Amicus Curiae pada Putusan Gugatan Terhadap Proses Seleksi Calon Hakim Agung. Jurnal Yudisial, Vol. 15, No. 1, 2022\n8. Siti Aminah. Menjadi Sahabat Keadilan: Panduan Menyusun Amicus Brief. Jakarta Selatan: ILRC-Hivos, 2014.\n\n[1] Siti Aminah. Menjadi Sahabat Keadilan: Panduan Menyusun Amicus Brief. Jakarta Selatan: ILRC-Hivos, 2014, hal. 7[2] Bryan A. Garner. Black’s Law Dictionary. St. Paul, MN: Thomson Reuters, 2019, hal. 11e, 697–698[3] Farina Gandryani dan Fikri Hadi. Peran Perguruan Tinggi dalam Penegakan Hukum di Indonesia Melalui Amicus Curiae. Jurnal Yudisial, Vol. 16, No. 2, 2023, hal. 163[4] Farina Gandryani dan Fikri Hadi. Peran Perguruan Tinggi dalam Penegakan Hukum di Indonesia Melalui Amicus Curiae. Jurnal Yudisial, Vol. 16, No. 2, 2023, hal. 165[5] Joseph D. Kearney dan Thomas W. Merrill. The Influence of Amicus Curiae Briefs on the Supreme Court. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 148 (1999-2000), Iss. 3 (2000), hal. 743[6] Dewa Gede Edi Praditha. Posisi Amicus Curiae Dalam Tata Peradilan Indonesia. Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, Vol. 1, No. 5, 2023, hal. 36[7] Fadil Aulia dan Muchlas Rastra Samara Muksin. The Position of Amicus Curiae under the Indonesian Law of Evidence. Jurnal Media Hukum, Vol. 27, No. 2, 2020, hal. 217-227[8] Muhammad Ilham Hasannudin dan Amy Yayuk Sri Rahayu. Peranan Amicus Curiae pada Putusan Gugatan Terhadap Proses Seleksi Calon Hakim Agung. Jurnal Yudisial, Vol. 15, No. 1, 2022, hal. 1[9] Linda Ayu Pralampita. Kedudukan Amicus Curiae Dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Jurnal Lex Renaissance, Vol. 5, No. 3, 2020, hal. 570[10] Farina Gandryani dan Fikri Hadi. Peran Perguruan Tinggi dalam Penegakan Hukum di Indonesia Melalui Amicus Curiae. Jurnal Yudisial, Vol. 16, No. 2, 2023, hal. 165[11] Muhammad Ilham Hasanuddian dan Amy Yayuk Sri Rahayu. Peranan Amicus Curiae pada Putusan Gugatan Terhadap Proses Seleksi Calon Hakim Agung. Jurnal Yudisial Vol. 15, No. 1, 2022, hal. 10"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin tahu, kenapa pemberian amnesti, rehabilitasi, abolisi, dan grasi oleh Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dan MA?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 07 Mei 2010. Intisari : Pemberian Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi merupakan kewenangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) atau Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Dahulu sebelum amandemen UUD 1945, grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti menjadi hak absolut Presiden. Setelah amandemen, pemberian grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti oleh presiden harus dengan pertimbangan MA atau DPR. Ketentuan tersebut diubah dengan tujuan untuk peningkatan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pemberian Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi merupakan kewenangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) atau Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) , yang berbunyi: Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Amnesti dan Abolisi Amnesti diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi (“UU 11/1954”) namun undang- undang tersebut tidak memberikan definisi hukum yang jelas mengenai Amnesti dan Abolisi. Amnesti menurut Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy (hal.41), ialah: Amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana. Sedangkan istilah Abolisi menurut Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy (hal.10) adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan. Merupakan hak prerogarif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat Mahkamah Agung. Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum dan HAM). [1] Pasal 4 UU 11/1954 menyatakan bahwa dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang diberikan amnesti dihapuskan. Sedangkan untuk pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan. Grasi dan Rehabilitasi Grasi Grasi diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”) sebagaimana telah diubah oleh Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”) . Definisi hukum Grasi diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Grasi yang berbunyi: Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 diatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Kata “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan UU 5/2010. [2] Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah: [3] putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau putusan kasasi. Kemudian yang dimaksud dengan ”pengadilan” adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana. [4] Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. [5] Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, banding atau kasasi. [6] Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. [7] Perlu di ingat bahwa Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif. [8] Pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi secara tertulis adalah: [9] Terpidana atau kuasa hukumnya; [10] Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana, keluarga yang dimaksud adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana; atau [11] Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, apabila terpidana dijatuhi pidana mati. [12] Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung . [13] Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa: [14] peringanan atau perubahan jenis pidana; pengurangan jumlah pidana; atau penghapusan pelaksanaan pidana. Rehabilitasi Istilah Rehabilitasi dapat ditemukan di Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu: Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Presiden memberikan Rehabilitasi kepada seseorang dengan memperhatikan pertimbangan MA. [15] Dalam penjelasan umum KUHAP menyatakan bahwa rehabilitasi atau ganti kerugian diberikan kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Ganti kerugian dan rehabilitasi diberikan sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi. [16] Seseorang memiliki hak untuk mendapatkan rehabilitasi pada saat: Mengajukan rehabilitasi melalui praperadilan, akibat tidak sahnya penangkapan atau penahan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan; [17] Apabila diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. [18] Mengapa Amnesti, Abolisi, Grasi dan Rehabilitasi Harus dengan Pertimbangan MA atau DPR? Dahulu sebelum amandemen UUD 1945, grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti menjadi hak absolut Presiden. Setelah amandemen UUD 1945 pemberian grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti oleh presiden harus dengan pertimbangan MA atau DPR. Ketentuan tersebut diubah dengan tujuan untuk peningkatan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden . Dengan adanya ketentuan pertimbangan ini, maka pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi tidak lagi menjadi hak absolut Presiden, melainkan harus memperhatikan pertimbangan dari MA atau DPR. Adanya pembatasan kekuasaan Presiden dalam memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi tersebut sejalan dengan konsep pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu . Menurut Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Parlin M. Mangunsong, dalam buku Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (hal. 50), kemurnian pemisahan kekuasaan negara yang harus dipisahkan menjadi 3 bagian: Kekuasaan Legislatif, yakni pembuat peraturan perundang-undangan; Kekuasaan Eksekutif, yakni untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan; serta Kekuasaan Yudikatif, yakni untuk mempertahankan peraturan perundang-undangan. Meskipun pada praktiknya teori pemisahan kekuasaan negara sulit dipertahankan maupun diselenggarakan secara konsekuen, terutama pada negara hukum modern mewajibkan administrasi negara aktif mencampuri kehidupan masyarakat guna mewujudkan dan mempertinggi kesejahteraan umum. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi Undang–Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi Referensi : Marwan dan Jimmy, Kamus Hukum Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum Internasional, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Islam, Hukum Perburuhan, Hukum Agraria, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pajak dan Hukum Lingkungan , Surabaya, Reality Publisher : 2009; S.F Marbun dan kawan-kawan , Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Press: 2004. [1] Pasal 1 UU 11/1954 [2] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 [3] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 [4] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010 [5] Pasal 5 ayat (1) UU Grasi [6] Pasal 5 ayat (2) dan penjelasan UU grasi [7] Pasal 2 ayat (2) UU 5/2010 [8] Pasal 2 ayat (3) dan Penjelasannya UU 5/2010 [9] Pasal 8 ayat (1) UU Grasi [10] Pasal 6 ayat (1) UU Grasi [11] Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Grasi [12] Pasal 6 ayat (3) UU Grasi [13] Pasal 4 ayat (1) UU Grasi jo. 14 ayat (1) UUD 1945 [14] Pasal 4 ayat (2) UU Grasi [15] 14 ayat (1) UUD 1945 [16] Angka 3 huruf d Penjelasan Umum KUHAP [17] Pasal 77, Pasal 81 jo. 82 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [18] Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP acara peradilan amnesti hukumonline ma online tata negara hukum abolisi rehabilitasi dewan perwakilan rakyat klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "kalau seorang suami (yg sudah memiliki 1 orang anak perempuan berusia 3 tahun)mengajukan gugatan cerai kepada istrinya; kira-kira menurut putusan pengadilan hak asuh anak akan diberikan kepada siapa? dan mungkinkah hak asuh anak diberikan kepada suami?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Setelah putusan perceraian dijatuhkan oleh Hakim, maka si Hakim harus memanggil bekas suami-istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan wali bagi mereka. Hal ini didasarkan pada ketentuan bahwa dengan bubarnya perkawinan (dalam hal ini perceraian), maka hilanglah kekuasaan orang tua terhadap anak-anak dan kekuasaan tersebut diganti dengan suatu perwalian. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kemudian Hakim akan menentukan untuk tiap anak siapa di antara suami atau istri yang menjadi wali masing-masing anak. Keputusan mengenai perwalian ini dapat diubah, bila muncul hal-hal yang baru setelah keputusan perceraian mempunyai kekuatan hukum yang tetap (yaitu ketika dibukukannya dalam register Catatan Sipil). Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan (\" UU Perkawinan \") disebutkan bahwa apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, maka baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya (pasal 41). Yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak adalah bapak; bilamana bapak kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana sanksi hukum bagi anak berumur 14 tahun yang melakukan pencurian motor? Apakah dibebaskan dengan syarat? Apakah bebas tanpa syarat jika pihak korban menarik kembali tuntutannnya? Jika bebas tanpa syarat, berhakkah pihak polisi menahan anak tersebut? Jika tidak apa yang harus saya lakukan sebagai wali anak tersebut, mengingat pihak polisi bersikukuh menahannya!"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul ”Hukum bagi anak bawah umur” yang dibuat oleh Santi Kusumaningrum yang dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 26 September 2001. Intisari: Tindak pidana pencurian termasuk delik biasa sehingga dicabutnya laporan oleh korban tidak mengakibatkan proses perkara terhenti. Akan tetapi, khusus tindak pidana yang dilakukan anak, ada yang dinamakan diversi , yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Untuk tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak yang pidana penjaranya kurang dari 7 (tujuh) tahun, wajib diupayakan diversi. Jika tidak terjadi kesepakatan dalam diversi atau kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan, proses peradilan pidana Anak dilanjutkan. Akan tetapi tentu saja hukuman yang diberikan kepada anak tetap harus memperhatikan kepentingan si anak. Ini sejalan dengan sistem peradilan anak yang mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Pencabutan Laporan dalam Tindak Pidana Pencurian KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Bullying di Sekolah 22 Feb 2024 Dasar Hukum Mengikuti Ujian Akhir Bagi Pelajar yang Ditahan 06 Jul 2017 Mungkinkah Dilakukan Penahanan Terhadap Anak yang Dalam Proses Diversi? 05 Feb 2015 Pidana Bersyarat Terhadap Anak dalam Praktik 05 Feb 2015 Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Adakah Delik Aduan yang Tetap Diproses Meski Pengaduannya Telah Dicabut? , pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut. Contoh delik biasa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) misalnya delik pembunuhan ( Pasal 338 ), pencurian ( Pasal 362 ), dan penggelapan ( Pasal 372 ). Pencurian termasuk dalam delik biasa , oleh karena itu, pencabutan laporan oleh korban tidak membuat proses perkara berhenti. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebagai referensi, Anda bisa juga membaca artikel Perbedaan Pengaduan dengan Pelaporan . Sanksi Tindak Pidana Pencurian Mengenai tindak pidana pencurian, diatur dalam Pasal 362-367 KUHP. Sanksi pidana jika melakukan tindak pidana pencurian berbeda-beda bergantung pada bagaimana dilakukannya tindak pencurian tersebut. Seperti misalnya pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP: Pasal 362 KUHP: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Hukuman Pidana Bagi Anak Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus pelanggaran hukum oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman oleh negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang bertanggung jawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Sementara anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum), anak harus mendapat perlakuan khusus yang membedakannya dari orang dewasa. Mengenai peradilan bagi anak diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU 11/2012”). Anak yang melakukan tindak pidana disebut dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana . [1] Ini berarti anak dalam pertanyaan Anda termasuk dalam kategori anak yang berkonflik dengan hukum. Mengenai penahanan, sebenarnya itu seharusnya menjadi usaha terakhir. Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: [2] a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b. dipisahkan dari orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat ; h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehidupan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. [3] Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. [4] Proses Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu penyidikan dan penuntutan pidana anak serta persidangan anak, wajib diupayakan Diversi. [5] Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. [6] Diversi bertujuan: [7] a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak ; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. [8] Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: [9] a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun ; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Mengenai pencurian yang dilakukan anak, pencurian sendiri sanksi pidananya adalah 5 (lima) tahun, apabila dilakukan oleh anak, maka ancaman pidananya ½ dari ancaman pidana yang diatur dalam KUHP yaitu 2.5 tahun. [10] Karena ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun, maka wajib diupayakan diversi. Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. [11] Dalam hal diperlukan, musyawarah dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. [12] Proses Diversi wajib memperhatikan: [13] a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan: [14] a. kategori tindak pidana; b. umur Anak; c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. tindak pidana yang berupa pelanggaran; b. tindak pidana ringan; c. tindak pidana tanpa korban; atau d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: [15] a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d. pelayanan masyarakat. Hasil kesepakatan dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi. [16] Jika proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan, proses peradilan pidana Anak dilanjutkan. [17] Hukuman atau tindakan Jika proses peradilan anak dilanjutkan, maka ada kemungkinan anak dijatuhi hukuman pidana atau dikenai tindakan. [18] Akan tetapi, perlu diketahui bahwa anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan. [19] Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: [20] a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. Pidana tambahan terdiri atas: [21] a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat. Anak dijatuhi pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat. [22] Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. [23] Sedangkan mengenai tindakan, tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi: [24] a. pengembalian kepada orang tua/Wali; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di LPKS; e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. Pada hakekatnya, segala bentuk penanganan terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil Hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar, status sosial anak, dan keadaan keluarga. Jadi, pada dasarnya, untuk kasus pencurian yang dilakukan oleh anak ini, harus diupayakan terlebih dahulu diversi. Jika tidak tercapai kesepakatan, baru proses peradilan dilanjutkan dengan tetap memperhatikan kepentingan anak dalam menjatuhkan hukuman. Ini sejalan dengan sistem peradilan anak yang mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak . [1] Pasal 1 angka 3 UU 11/2012 [2] Pasal 3 UU 11/2012 [3] Pasal 5 ayat (1) UU 11/2012 [4] Pasal 1 angka 6 UU 11/2012 [5] Pasal 5 ayat (3) UU 11/2012 [6] Pasal 1 angka 7 UU 11/2012 [7] Pasal 6 UU 11/2012 [8] Pasal 7 ayat (1) UU 11/2012 [9] Pasal 7 ayat (2) UU 11/2012 [10] Pasal 81 ayat (2) UU 11/2012 [11] Pasal 8 ayat (1) UU 11/2012 [12] Pasal 8 ayat (2) UU 11/2012 [13] Pasal 8 ayat (3) UU 11/2012 [14] Pasal 9 ayat (1) UU 11/2012 [15] Pasal 11 UU 11/2012 [16] Pasal 12 ayat (1) UU 11/2012 [17] Pasal 13 UU 11/2012 [18] Pasal 69 ayat (1) UU 11/2012 [19] Pasal 69 ayat (2) UU 11/2012 [20] Pasal 71 ayat (1) UU 11/2012 [21] Pasal 71 ayat (2) UU 11/2012 [22] Pasal 81 ayat (1) UU 11/2012 [23] Pasal 81 ayat (5) UU 11/2012 [24] Pasal 82 ayat (1) UU 11/2012 hukumonline diversi pencurian hukum sistem peradilan pidana anak klinik hukumonline anak berhadapan dengan hukum"
} |
{
"from": "human",
"value": "1. Bagaimana prosedur melakukan adopsi? Apa saja persyaratan yang harus dipenuhi? 2. Apakah ada pembedaan jenis kelamin anak yang akan diadopsi? 3. Bagaimana status anak yang diadopsi, apakah ia berhak mewaris dari orang tua angkatnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pengangkatan anak (adopsi) Indonesia yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) terdiri dari beberapa jenis (disarikan dari Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak , hal 7-17), yaitu: KLINIK TERKAIT Hak dan Kewajiban Anak Angkat Berkenaan dengan Warisan 18 Apr 2024 Keabsahan dan Cara Adopsi Anak dalam Hukum Adat 05 Feb 2024 Status Cucu yang Diangkat Sebagai Anak 06 Agt 2010 Mengadopsi keponakan 28 Mar 2006 1. Pengangkatan Anak antar warga negara Indonesia ( Domestic Adoption ); 2. Pengangkatan Anak secara langsung ( Private Adoption ); Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 3. Pengangkatan Anak oleh Orang Tua Tunggal ( Single Parent ); 4. Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat. Kami tidak akan membahas semua prosedurnya satu persatu, kami ambil contoh salah satunya adalah untuk pengangkatan anak antar WNI. Lebih jauh mengenai pengangkatan anak dapat Anda baca dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak atau dalam ketentuan-ketentuan yang mengaturnya yang kami sebutkan pada akhir dari artikel ini. 1. Persyaratan dan Prosedur Pengangkatan Anak antar warganegara Indonesia ( Domestic Adoption ). Kategori Calon Orang Tua Angkat Orang tua lengkap yakni: a. Suami dan Istri Warga Negara Indonesia (WNI); atau b. Suami WNI, dan Istri Warga Negara Asing (WNA). Persyaratan Pengangkatan Anak (Pasal 12 & Pasal 13 PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak ) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi: a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud di atas meliputi: a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama; b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, c. sepanjang ada alasan mendesak; dan d. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) e. tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: a. sehat jasmani dan rohani; b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c. beragama sama dengan agama calon anak angkat; d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f. tidak merupakan pasangan sejenis; g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial. Prosedur Pengangkatan Anak a. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada Instansi Sosial Kabupaten/Kota dengan melampirkan: 1) Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial; 2) Surat penyerahan anak dari Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota kepada Organisasi Sosial (orsos); 3) Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat; 4) Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri calon orang tua angkat; 5) Fotokopi surat tanda lahir calon orang tua angkat; 6) Fotokopi surat nikah calon orang tua angkat; 7) Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari Dokter Pemerintah; 8) Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan Dokter Psikiater; 9) Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja. b. Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup; 2) Ditandatangani sendiri oleh pemohon (suami-istri); 3) Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat. c. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi social tingkat Kabupaten/Kota setempat, termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang diragukan (domisili anak berasal). d. Proses Penelitian Kelayakan e. Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) Daerah f. Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kab/Kota bahwa calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan ketetapan sebagai orang tua angkat. (Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Negeri tempat anak yang akan diangkat itu berada (berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 T ahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak ). Pengadilan Agama juga dapat memberikan penetapan anak berdasarkan hukum Islam (berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama ). Untuk proses pemeriksaan oleh pengadilan, Anda perlu mempersiapkan sedikitnya dua orang saksi untuk memperkuat permohonan Anda dan meyakinkan pengadilan bahwa Anda secara sosial dan ekonomis, moril maupun materiil mampu menjamin kesejahteraan anak yang akan diangkat. Informasi lainnya terkait proses dan biaya, Anda dapat menanyakan kepada panitera di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama terdekat. g. Penetapan Pengadilan. h. Penyerahan Surat Penetapan Pengadilan. Artikel lain terkait adopsi yang dapat Anda baca: - Urus Surat-suratnya Setahun, Sidangnya 45 Menit dan - Hukum Indonesia Melarang Adopsi Anak oleh Pasangan Sejenis . 2. Terhadap anak yang akan diadopsi, berdasarkan Staatblaad 1917 No. 129 , diatur tentang pengangkatan anak yang hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris. Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang, selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya. Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun, Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan (dikutip dari artikel Adopsi Anak oleh Lembaga Bantuan Hukum APIK). 3. Berikut penjelasan hak waris anak angkat yang kami kutip dari artikel Adopsi Anak oleh Lembaga Bantuan Hukum APIK : “Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat. Hukum Adat: Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991). Hukum Islam: Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991). Peraturan Perundang-undangan: Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.” Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama 2. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak 3. Staatblaad 1917 No. 129 4. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak."
} |
{
"from": "human",
"value": "Kakek saya baru saja meninggal dunia. Sebelum menikah dengan nenek saya, beliau menikah dengan seorang janda dengan bawaan 1 anak perempuan. Kemudian kakek saya cerai dengan janda tersebut, lalu menikah dengan nenek saya dan dikaruniai 1 orang anak perempuan yaitu ibu saya. Akhir-akhir ini anak tiri dari pernikahan kakek saya sebelumnya datang ke rumah menuntut warisan kakek saya dengan alasan pada saat berumah tangga dengan ibunya, kakek saya membangun rumah yang ditempati oleh nenek dan kakek saya ini. Dia meminta bagian atas rumah tersebut. Dia menyebutkan ada saksi bahwa rumah itu dibangun pada saat kakek saya berumah tangga dengan ibunya. Ibunya pun telah meninggal dunia. Apakah dia berhak atas rumah itu? Bagaimana pembagian warisan yang sesuai dengan hukum di Indonesia agar kami bisa menyelesaikannya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya kami mengasumsikan hukum waris yang dipakai di keluarga Anda yaitu hukum waris Islam. KLINIK TERKAIT Langkah Hukum Jika Perjanjian Pembagian Harta Gono-Gini Disobek-sobek 09 Okt 2020 Kewajiban Ahli Waris Melunasi Utang Pajak Pewaris 08 Okt 2020 Cara Agar Ahli Waris dapat Mengurus Harta Milik Orang Hilang 07 Okt 2020 Cara Pembatalan Fatwa Waris Jika Ada Ahli Waris yang Keberatan 10 Agt 2020 Golongan Ahli Waris Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ahli waris dalam hukum waris Islam menurut Pasal 171 huruf c Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) berarti: Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: [1] menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek. menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. [2] Patut diperhatikan, dalam artikel Sudah Cerai, Masihkah Berhak Menerima Warisan dari Mantan Istri? menjelaskan jika sudah resmi bercerai dan telah habis masa idah-nya, maka tidak ada lagi hubungan kewarisan antara mantan suami dan mantan istri. Sehingga, mantan istri kakek Anda tidak lagi berhak atas warisan kakek Anda . Bagaimana dengan anak tirinya? Disarikan dari artikel Anak Tiri Berhak Dapat Warisan? , dalam hukum waris Islam, anak tiri tidak mendapat warisan ayah tirinya, karena anak tiri tidak ada hubungan darah dengan ayah tirinya. Akan tetapi si ayah tiri dapat memberikan wasiat kepada anak tiri atau anak bawaan istrinya tersebut. Oleh karenanya, anak tiri dari kakek Anda tidak berhak atas warisan, kecuali kakek Anda memberikan wasiat kepada anak tiri tersebut . Namun ada pembatasan, wasiat hanya diperbolehkan maksimal sebesar sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. [3] Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya . [4] Jadi, jika kakek Anda memberi wasiat warisan pada anak tiri tersebut, maka ia berhak atas harta warisan sepanjang memenuhi ketentuan di atas. Pembagian Harta Bersama Selanjutnya mengenai rumah yang dipermasalahkan dibangun di masa perkawinan sebelumnya, jika tidak diperjanjikan lain, maka rumah itu adalah harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. [5] Dalam hukum Islam, janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. [6] Jika memang benar bahwa rumah itu harta bersama perkawinan sebelumnya, maka mantan istri kakek Anda berhak atas separuh harta bersama termasuk rumah tersebut sepanjang tidak diperjanjikan lain . Apakah anak tirinya berhak menuntut atas hak ibunya? Ya, berhak karena hak waris mantan istri jatuh kepada anak tiri yang merupakan anak bawaan ibunya tersebut sebagai ahli waris ibunya. [7] Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Warisan dan Harta Gono-Gini , rumah harta warisan yang juga tergolong harta bersama dalam perkawinan sebelumnya, tetap menjadi hak mantan istri atau dalam kasus Anda berarti anak tiri yang menjadi ahli waris mantan istri (ibunya). Dengan demikian, kami menyarankan status rumah itu harus diperjelas terlebih dahulu apakah benar harta bersama dari perkawinan sebelumnya atau bukan, baru kemudian bisa menentukan berhak atau tidaknya anak tiri menuntut hak waris ibunya. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [1] Pasal 174 ayat (1) KHI [2] Pasal 174 ayat (2) KHI [3] Pasal 195 ayat (2) KHI [4] Pasal 201 KHI [5] Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [6] Pasal 97 KHI [7] Pasal 174 KHI harta gono gini warisan ahli waris anak tiri waris keluarga dan perkawinan harta bersama"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ditabrak anak di bawah umur hingga jari tangan saya patah dan harus dioperasi. Sudah hampir sebulan sejak operasi, saya belum juga sembuh. Tapi keluarga anak tersebut tidak mau bertanggung jawab dan hanya memberi uang sebesar Rp1 juta. Saya keberatan. Bagaimana cara menyelesaikan masalah ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kami turut prihatin dengan kejadian yang Anda alami. Sebelumnya, perlu Anda ketahui pengertian tindak pidana. Pompe mendefinisikan tindak pidana (strafbaar feit) sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak disengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.[1]\nDari definisi tersebut, secara singkat pengertian tindak pidana adalah perbuatan sengaja maupun tidak sengaja yang melanggar norma atau aturan hukum, sehingga terdapat suatu kesalahan yang dapat dimintai pertanggungjawaban pelaku.\nKemudian kami mengasumsikan bahwa anak tersebut mengendarai sepeda motor sendiri dan kemudian menabrak Anda. Kecelakaan itu menyebabkan jari tangan Anda patah dan harus dioperasi. Sehingga, anak tersebut dapat dikatakan termasuk anak yang berkonflik dengan hukum menurut Pasal 1 angka 3 UU 11/2012:\n\nAnak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.\n\nDalam hal ini, anak tersebut dapat dikatakan melakukan tindak pidana akibat ketidaksengajaan atau kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan luka. UU LLAJ membedakan luka akibat kecelakaan menjadi dua jenis, yakni luka ringan dan luka berat.\n\nLuka ringan adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang diklasifikasikan dalam luka berat.[2] Sedangkan yang dimaksud dengan luka berat adalah luka yang mengakibatkan korban:[3]\n\njatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut;tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan;kehilangan salah satu pancaindra;menderita cacat berat atau lumpuh;terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih;gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atauluka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 hari.\n\nSehubungan dengan luka jari tangan patah yang Anda alami, apabila Anda tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit, dapat dikategorikan sebagai luka ringan. Namun apabila patahnya jari Anda membuat Anda tidak mampu untuk menjalankan tugas atau pekerjaan secara terus menerus, maka dikategorikan sebagai luka berat.\n\nKarena kelalaian sang anak dalam berkendara hingga menyebabkan Anda terluka, dapat berlaku Pasal 310 ayat (2) atau (3) UU LLAJ yang mengatur:\n\nSetiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 juta.Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 juta.\n\nSelain itu, mengingat bahwa pelakunya adalah anak, kami asumsikan anak tersebut belum memiliki Surat izin Mengemudi (“SIM”). Padahal, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib memiliki SIM sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan.[4]\n\nOleh karena itu, anak yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak memiliki SIM diancam pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp1 juta.[5]\n\nPerlu diketahui, ancaman pidana tersebut berlaku bagi orang dewasa. Sedangkan ancaman pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana telah diatur dalam Pasal 81 ayat (2) UU 11/2012 yang mana dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Akan tetapi, patut dicatat, hukuman pidana penjara bagi anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir saja.[6]\n\nMisalnya apabila sang anak yang mengendarai sepeda motor karena kelalaiannya menyebabkan korban luka berat, ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana penjara maksimal selama 2,5 tahun (setengah dari ancaman hukuman orang dewasa yaitu 5 tahun).\nBaca juga: Upayakan Diversi, Begini Prosedur Peradilan Pidana Anak\nGanti Kerugian Kecelakaan Lalu Lintas\n\nSelain ancaman pidana, pelaku tindak pidana lalu lintas juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa ganti kerugian yang besarnya ditentukan berdasarkan keputusan pengadilan. Sebab, korban kecelakaan berhak mendapatkan ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan.[7]\n\nSehingga, Anda juga dapat meminta ganti kerugian yang bisa diajukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUH Perdata yang harus dipenuhi unsur-unsur yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, adanya sebab akibat antara kerugian dan perbuatan dan adanya kerugian.[8]\n\nDapat disimpulkan, perbuatan anak yang menabrak hingga menyebabkan Anda terluka telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yakni:\n\nAdanya perbuatan melanggar hukum dari anak (pengemudi);Adanya kesalahan dari anak (pengemudi);Adanya kerugian yang ditimbulkan oleh pengemudi yakni jari tangan Anda (korban) patah dan harus dioperasi;Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak (pengemudi) dengan kerugian yang ditimbulkannya.\n\nMasih bersumber dari buku yang sama, Salim HS menerangkan perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata hanya mengatur bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikan. Ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan bukan karena adanya perjanjian.\n\nBaca juga: Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana\n\nKUH Perdata juga mengatur bahwa seseorang dapat bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang yang menjadi tanggungan, seperti halnya perusahaan terhadap karyawannya atau orang tua terhadap anaknya. Pasal 1367 ayat (1) dan (2) KUH Perdata berbunyi:\n\nSeorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.\n\nOleh karena itu, dalam konteks hukum perdata, orang tua dapat dimintai pertanggungjawaban ganti kerugian akibat kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh anaknya.\nPertanggungjawaban Pidana Anak oleh Orang Tua\n\nSetelah memahami bentuk tanggung jawab perdata orang tua terhadap anaknya, dari sisi pidana, dapatkah orang tua dimintai pertanggungjawaban pidana juga? Guna menjawab pertanyaan ini, Pasal 55 ayat (1) KUHP telah mengatur secara tegas sebagai berikut:\n\nDipidana sebagai pelaku tindak pidana:\nmereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.\n\nOleh karenanya, tanggung jawab pidana tetaplah berada pada sang anak dan tidak dapat dialihkan kepada orang tua. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir sebagaimana dikutip dalam Pakar: Tanggung Jawab Pidana Tak Bisa Dialihkan, asas hukum pidana secara tegas mengatur bahwa tanggung jawab pidana itu tidak bisa dialihkan kepada orang lain. Termasuk, jika pengalihan itu diberikan kepada keluarga si pelaku tindak pidana.\n\nNamun demikian, umur anak juga patut diperhatikan. Apabila si anak sudah berusia di atas 12 tahun, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan sepenuhnya kepada anak. Sedangkan jika anak masih berusia di bawah 12 tahun, anak tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dikembalikan kepada orang tuanya atau diikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah paling lama 6 bulan.[9]\n\nBaca juga: Mencermati Definisi Restorative Justice di Beberapa Aturan\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e19969e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n3. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a604fcfd406d/undangundang-nomor-22-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_22_2009)\n4. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5024cc61e623d/undang-undang-nomor-11-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2012)\n5. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\nREFERENSI:\n1. Erdianto Effendi. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama, 2014\n2. Salim HS. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.\n[1] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2014, hal. 97 [2] Penjelasan Pasal 229 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”)[3] Penjelasan Pasal 229 ayat (4) UU LLAJ[4] Pasal 77 ayat (1) UU LLAJ[5] Pasal 281 UU LLAJ[6] Pasal 81 ayat (5) UU LLAJ[7] Pasal 314, Pasal 236 ayat (1), dan Pasal 240 huruf b UU LLAJ[8] Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal.100[9] Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak"
} |
{
"from": "human",
"value": "Belakangan ini, ada beberapa kasus anak dianiaya tetangga. Misalnya kasus di Sulawesi Barat, seorang anak 15 tahun dianiaya tetangga. Kemudian, kasus di Palembang, anak dianiaya tetangga saat pulang sekolah, dan lain-lain.\nKasus yang saya alami sendiri, suatu hari anak saya dicubit pipinya dengan keras oleh seorang ibu tetangga. Alasannya, dia merasa kesal dengan anak saya karena anak saya mengganggu anaknya. Anak saya menangis keras karena kesakitan dan berlari pulang ke saya, mamanya. Tentu saya tidak terima dengan sikap orang tersebut. Langkah hukum apa yang dapat saya lakukan dan bagaimana hukumnya atas tindakan orang tersebut terhadap anak saya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelumnya, kami bersimpati atas kejadian yang Anda dan anak Anda alami. Berdasarkan informasi yang Anda berikan, perbuatan mencubit orang lain, dapat kami asumsikan sebagai tindak pidana penganiayaan ringan. Dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, tindak pidana penganiayaan ringan diatur dalam pasal berikut:\nPasal 352 KUHPPasal 471 UU 1/2023Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.[2]Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidanaSelain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[3]Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya, pidananya dapat ditambah 1/3.Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana.\n\nKemudian, disarikan dari artikel Begini Bunyi Pasal 352 KUHP tentang Penganiayaan Ringan, unsur-unsur tindak pidana penganiayaan ringan dalam Pasal 352 KUHP adalah:\n\nbukan penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP);bukan penganiayaan yang dilakukan:\nterhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya;terhadap pejabat yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (Pasal 356 KUHP).tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.\n\nKemudian, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, dalam yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Contoh “rasa sakit” tersebut misalnya diakibatkan mencubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya (hal. 245).\n\nMaka, dapat disimpulkan bahwa baik dalam Pasal 352 KUHP maupun Pasal 471 UU 1/2023, tindak pidana disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya.[4]\n\nJadi, jika tetangga Anda memenuhi unsur-unsur dalam pasal tindak pidana penganiayaan ringan di atas, ia berpotensi dipidana penjara maksimal 3 bulan atau pidana denda maksimal Rp4.5 juta berdasarkan Pasal 352 ayat (1) KUHP. Sedangkan menurut Pasal 471 ayat (1) UU 1/2023, tetangga Anda berpotensi dipidana penjara maksimal 6 bulan atau pidana denda maksimal Rp10 juta.\n\nNamun sebagai informasi, jika penganiayaan tersebut berakibat luka berat atau mengakibatkan kematian korban, maka pelaku berpotensi dipidana berdasarkan Pasal 351 KUHP atau Pasal 466 UU 1/2023, yang mengatur tentang penganiayaan berat. Selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Ini Bunyi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.\n\nBaca juga: Perbedaan Pasal Penganiayaan Ringan dan Penganiayaan Berat\nPasal Penganiayaan dalam UU Perlindungan Anak\n\nNamun, jika korban penganiayaan (dalam hal ini korban dicubit) adalah seorang anak yang belum berusia 18 tahun[5], perbuatan mencubit anak oleh tetangga Anda termasuk tindakan kekerasan terhadap anak yang dilarang dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Adapun pasal terkait berbunyi sebagai berikut:\n\nPasal 76C UU 35/2014\n\nSetiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.\n\nSelanjutnya, jika larangan di atas dilanggar, pelaku bisa dijerat Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014, dengan ancaman pidana penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp72 juta.\n\nApabila anak (korban) mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta.[6] Sedangkan jika anak meninggal dunia, pelaku dapat dipidana penjara maksimal 15 tahun dan/atau denda maksimal Rp3 miliar.[7]\n\nLebih lanjut, terhadap keberadaan Pasal 352 KUHP, Pasal 471 UU 1/2023, dan Pasal 76C jo. Pasal 80 UU 35/2014 dapat diterapkan asas atau doktrin lex specialis derogat legi generali, yang artinya hukum khusus menyampingkan hukum umum.[8] Dalam kasus hukum pidana, terdapat tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang pengaturan hukumnya berada di luar KUHP. Menyambung kasus hukum yang Anda tanyakan, tindak pidana khusus contohnya penganiayaan terhadap anak diatur dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya.\n\nPada kasus ini, Pasal 76C jo. Pasal 80 UU 35/2014 memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingkan Pasal 352 KUHP dan Pasal 471 UU 1/2023. Walau demikian, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur penganiayaan sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 serta UU Perlindungan Anak dan perubahannya. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.\nLangkah Hukum yang Dapat Dilakukan\n\nApabila Anda hendak memproses perkara ini secara pidana, Anda dapat melaporkan pelaku kepada kepolisian. Cara melapor tindak pidana ke polisi selengkapnya dapat Anda temukan dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.\n\nNamun, menurut hemat kami, sebaiknya Anda mengedepankan pendekatan kekeluargaan sepanjang perbuatan tersebut tidak membahayakan anak Anda secara fisik maupun psikis. Kemudian, perlu kami sampaikan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium atau upaya terakhir penegakan hukum, apabila segala upaya seperti perdamaian telah ditempuh.[9] Artinya perkara diutamakan untuk diselesaikan melalui jalur kekeluargaan terlebih dahulu.\n\nBaca juga: Arti Ultimum Remedium sebagai Sanksi Pamungkas\nContoh Kasus\n\nUntuk mempermudah pemahaman Anda, kami akan berikan contoh kasus dalam Putusan MA No. 606 K/Pid.Sus/2009. Dalam kasus ini, terjadi penganiayaan terhadap seorang anak yang dilakukan oleh tetangganya, yaitu korban telah dianiaya oleh terdakwa dengan cara mencubit kedua tangan korban, dada, pipi, serta memukul bagian belakang korban serta menendang alat kelamin korban (hal. 1).\n\nJaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan tindak pidana penganiayaan Pasal 351 KUHP dan tindak pidana kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak (sebelum diubah oleh UU 35/2014). Dalam amar putusannya, hakim Pengadilan Negeri Makale dalam Putusan No. 04/Pid.B/2008/PN.MKL, memutus bersalah terdakwa dan terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 10 bulan, dan hakim menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali kalau dikemudian hari dengan putusan hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa terpidana sebelum waktu percobaan selama 1 tahun 6 bulan berakhir telah bersalah melakukan suatu tindak pidana, serta membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp2 ribu (hal. 3). Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17453/undangundang-nomor-23-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_perlindungan_anak)\n3. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt548fdfd3a87d2/undang-undang-nomor-35-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2014)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5746a3e8d6d80/nprt/lt51f1152a8fbb3/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-1-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_1_2016)\n5. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584786efd1075?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_17_2016)\n6. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023)\n7. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?r=0&p=1&q=Peraturan%20Mahkamah%20Agung%20Nomor%202%20Tahun%202012&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nPUTUSAN\n\nPutusan MA No. 606 K/Pid.Sus/2009.\n\nREFERENSI:\n1. Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017\n2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1991\n3. Renaldy (et.al). Penerapan Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Penganiayaan di Polsek Balikpapan Selatan. Jurnal Lex Suprema, Vol. 1, No. II, 2019\n4. Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dikali 1.000 kali[3] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[4] Renaldy (et.al). Penerapan Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Penganiayaan di Polsek Balikpapan Selatan. Jurnal Lex Suprema, Vol. 1, No. II, 2019, hal. 11[5] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)[6] Pasal 80 ayat (2) UU 35/2014[7] Pasal 80 ayat (3) UU 35/2014[8] Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015, hal. 504[9] Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017, hal. 257"
} |
{
"from": "human",
"value": "Baru-baru ini viral kejadian di mana seorang nenek memiliki utang ke rentenir, tapi ia tidak mampu membayar utang beserta bunganya. Oleh karena itu, si rentenir kemudian membawa cucu si nenek yang masih berusia 5 tahun sebagai jaminan utang agar nenek tersebut membayar utangnya. Bagaimana pandangan hukum terhadap hal ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Cara Menghadapi ‘Bank Keliling’ yang Minta Jaminan Kartu ATM 11 Jan 2022 Jaminan Utang Menurut Hukum Islam 10 Agt 2021 Bolehkah Penerima Gadai Menggunakan Barang Gadai? 27 Jul 2021 Ini 3 Mekanisme Eksekusi Jaminan Kebendaan! 05 Jul 2021 Anak sebagai Jaminan Utang Untuk memberi perlindungan bagi pihak pemberi utang, biasanya perjanjian utang piutang diikuti dengan perjanjian menjaminkan suatu benda sebagai jaminan utang yang merupakan perjanjian pelengkap/ accessoir . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Disarikan dari Apakah Semua Benda Dapat Jadi Jaminan Utang? , jaminan utang dibedakan menjadi: Jaminan umum Jaminan khusus, dibagi menjadi: Jaminan kebendaan , terdiri dari gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik, dan resi gudang. Jaminan perorangan . Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan perorangan merupakan bentuk dari penanggungan menurut Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yaitu kondisi di mana pihak ketiga mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi perikatan orang yang berutang (debitur) jika debitur tersebut tidak memenuhinya (wanprestasi) , yang secara hukum dikenal dengan perjanjian penanggungan . Terdapat beberapa ketentuan dalam KUH Perdata yang harus diperhatikan dalam perjanjian penanggungan, di antaranya: Tidak ada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah menurut undang-undang. [1] Penanggung tidak dapat mengikatkan diri dalam perjanjian atau dengan syarat-syarat yang lebih berat daripada perikatan debitur. [2] Penanggungan utang harus diadakan dengan pernyataan yang tegas , tidak boleh untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat saat mengadakannya. [3] Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya , kecuali penanggung telah melepaskan hak istimewanya. [4] Berdasarkan ketentuan di atas, perjanjian penanggungan baru bisa diadakan jika dinyatakan dengan tegas atas kemauan dari si penanggung untuk mengikatkan diri sebagai penanggung orang yang berhutang (debitur). Sementara itu, jaminan kebendaan hanya berlaku bagi benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, bukan orang. Di sisi lain, berdasarkan Pasal 1827 KUH Perdata berbunyi: Debitur yang diwajibkan menyediakan seorang penanggung , harus mengajukan seseorang yang cakap untuk mengikatkan diri dalam perjanjian , maupun untuk memenuhi perjanjiannya dan bertempat tinggal di Indonesia . Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah: [5] anak yang belum dewasa ; orang yang ditaruh di bawah pengampuan; perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Sehingga berdasarkan rujukan pasal di atas, dalam kasus ini, anak tidak dapat dijadikan jaminan utang . Lantas, bagaimana hukumnya jika kemudian kreditur (rentenir), membawa cucu si debitur (nenek) sebagai jaminan karena debitur wanprestasi? Hukumnya Membawa Anak sebagai Jaminan Utang Pada dasarnya, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan , antara lain: [6] Eksploitasi , baik ekonomi maupun seksual, misalnya memperalat, memanfaatkan, memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi , keluarga, atau golongan. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan. Perlakuan kejam, misalnya tindakan/perbuatan secara zalim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Kekerasan dan penganiayaan, misalnya melukai dan/atau mencederai anak, tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. Perlakuan salah lainnya, misalnya pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak. Jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda, setidaknya terdapat 2 pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) yang dapat menjerat pelaku, yakni: Pasal 76I Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan , menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak . Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, yang termasuk ke dalam eksploitasi ekonomi misalnya adalah memperalat, memanfaatkan, memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi . Dalam kronologis yang Anda ceritakan, pelaku (rentenir) memanfaatkan cucu debitur dengan mengambilnya dari pengasuhan si debitur (nenek), dengan maksud agar ia segera melunasi utangnya. Atas perbuatan tersebut, pelaku bisa diancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta. [7] Pasal 76F UU 35/2014 : Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan , menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan , penjualan, dan/atau perdagangan Anak. Sayangnya, dalam penjelasan UU 35/2014 , tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan penculikan. Namun, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring , yang dimaksud dengan culik adalah ambil (anak atau orang) untuk tujuan tertentu . Jika merujuk pada definisi tersebut, perbuatan pelaku yang mengambil cucu debitur sebagai jaminan utang dapat dikategorikan sebagai penculikan anak. Atas perbuatan penculikan ini, pelaku diancam pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda minimal Rp60 juta dan maksimal Rp300 juta. [8] Selain itu, perbuatan pelaku juga berpotensi dijerat Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana : Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu , diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan , atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun , dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun . Dalam praktik, persoalan utang piutang sering kali menimbulkan konflik. Untuk itu, sebaiknya persoalan diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu. Jika mengadakan jaminan utang dirasa perlu, maka kedua belah pihak dapat mengikatkan harta benda milik debitur sebagai jaminan pelunasan utang, misalnya benda bergerak seperti motor, atau benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Selain itu, patut diperhatikan, perbuatan pidana yang dilakukan kreditur tidak serta-merta menghapus kewajiban debitur untuk melunasi utangnya. Sebagai informasi tambahan, dikutip dari Bisakah Orang yang Tidak Membayar Utang Dipidana? , debitur tidak boleh dijatuhi pidana karena tidak mampu membayar utangnya. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang REFERENSI:\n1. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring , diakses pada 12 Agustus 2021 pukul 11.00 WIB. [1] Pasal 1821 ayat (1) KUH Perdata [2] Pasal 1822 KUH Perdata [3] Pasal 1824 KUH Perdata [4] Pasal 1831 dan Pasal 1832 angka 1 KUH Perdata [5] Pasal 1330 KUH Perdata [6] Pasal 13 ayat (1) huruf b, d, dan f Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) serta penjelasannya [7] Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“ UU 35/2014”) [8] Pasal 83 UU 35/2014 anak perdata hukum jaminan jaminan pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya memiliki gambaran kasus seperti ini. Ada orang tua, dalam hal ini ibu kandung dan ayah sambung yang melakukan kekerasan kepada seorang anak perempuan. Apakah saya bisa mengadopsi anak tersebut, mengingat kehidupan anak yang sangat tidak layak di bawah asuhan orang tuanya? Sementara dalam hal adopsi dibutuhkan syarat persetujuan atau izin tertulis dari orang tua kandung, yang mana surat tersebut tidak akan mungkin diberikan oleh orang tua kandung anak tersebut. Lalu ancaman pidana apakah yang bisa dikenakan kepada orang tua kandung si anak atas perbuatannya? Bagaimana pula prosedur adopsi menurut hukum dalam kasus ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Syarat Pengangkatan Anak KLINIK TERKAIT Prosedur dan Syarat Adopsi Anak di Indonesia 10 Agt 2023 Wasiat Wajibah untuk Anak Tiri, Bisakah? 17 Sep 2021 Bisakah Anak yang Tak Masuk KK Menjadi Ahli Waris? 25 Jan 2021 Pemegang Hak Asuh Anak Angkat, Ortu Kandung atau Ortu Angkat? 07 Des 2020 Pengangkatan anak atau yang lazim disebut dengan adopsi anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. [1] Sebelum mengajukan pengangkatan anak, calon orang tua angkat (“COTA”) harus mempersiapkan persyaratan administrasi dan persyaratan pendukung lainnya. Yang salah satunya yaitu izin dari orang tua anak. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (1) huruf i Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak ( “Permensos 110/2009” ) yang menyatakan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Persyaratan COTA meliputi; memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak . Berdasarkan ketentuan pasal di atas, dapat dimaknai bahwa syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi calon orang tua angkat untuk pengangkatan anak adalah persetujuan dari anak dan izin tertulis dari orang tua dan wali anak. Kemudian, setelah persyaratan dan prosedur lainnya telah diatur, selanjutnya COTA mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri pada wilayah tempat tinggal calon anak angkat atau atau Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam sebagaimana dijelaskan dalam Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya . Jadi, pada dasarnya pengangkatan anak harus mendapatkan persetujuan dari orang tua, wali atau orang lain yang bertanggungjawab terhadap kehidupan si anak, apabila tidak mendapatkan persetujuan tersebut maka pengangkatan anak tidak dapat dilakukan. Pidana Kekerasan Terhadap Anak Kemudian menjawab pertanyaan Anda berikutnya, bagaimanakah ancaman pidananya jika ada orang tua melakukan kekerasan terhadap anak? Terkait hal ini, Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) menyatakan: Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak . Adapun sanksi bagi yang melanggar ketentuan pasal di atas, diatur dalam Pasal 80 35/2014 yang menyatakan: Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah); Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah); Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya. Selain melaporkan kepada pihak kepolisian atas tindak pidana kekerasan terhadap anak, masyarakat juga dapat mengadukan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ibu kandung dan ayah sambung tersebut kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (“KPAI”). [2] Adapun mekanisme dan langkah-langkah penanganan anak korban kekerasan, koordinasi pelayanan, monitoring, dan evaluasinya diatur dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan . Selanjutnya, sebagai tambahan informasi terkait permasalahan yang Anda ajukan, orang tua dari anak tersebut juga dapat diancam dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”) sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU PKDRT yang menyatakan: Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga sendiri di antaranya meliputi suami, istri, dan anak . [3] Berdasarkan Pasal 55 UU PKDRT , setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta. [4] Kemudian dalam Pasal 26 UU PKDRT diatur bahwa: Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara; Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Berdasarkan ketentuan di atas, anak yang berstatus sebagai korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat melaporkan permasalahan ini kepada kepolisian terdekat dengan cara melaporkan sendiri, didampingi oleh wali dan/atau dapat memberikan kuasa kepada orang lain. Menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai proses pengajuan adopsi jika orang tua ternyata terbukti telah melakukan perbuatan tindakan kekerasan kepada anak, kami sampaikan bahwa adopsi tersebut harus tetap memperhatikan persyaratan dan prosedur pengangkatan anak , seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan [1] Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP 54/2007”) [2] Pasal 76 huruf d UU 35/2014 [3] Pasal 2 ayat (1) huruf a UU PKDRT [4] Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT anak keluarga dan perkawinan pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bulan depan saya akan melahirkan seorang anak di mana saya dengan bapak biologis anak yang saya kandung tidak menikah. Dikarenakan saya belum bercerai dengan suami saya saat ini karena suami saya tidak ingin bercerai dengan saya. Dan pada akhirnya saya memutuskan tidak menikah dengan ayah biologis anak yang saya kandung saat ini. Yang ingin saya tanyakan, saat anak ini lahir, bolehkah namanya saya masukkan ke dalam kartu keluarga saya dengan suami saya saat ini? Karena suami saya bersikeras ingin merawat anak ini. Bagaimana status dan kedudukan anak saya ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami asumsikan bahwa Anda beragama Islam, sehingga salah satu pendekatan dalam menjawab pertanyaan Anda berdasarkan hukum Islam. Pengertian Anak Sah Pengertian anak sah secara hukum ditemukan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang mengatur bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sementara dalam Pasal 99 Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) dinyatakan bahwa anak yang sah adalah: anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Dengan demikian, anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang bukan akibat perkawinan yang sah dapat dikatakan sebagai anak yang tidak sah . Terkait pertanyaan Anda, zina bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang salah satu dari mereka berada dalam ikatan perkawinan atau juga keduanya sama-sama berada dalam ikatan perkawinan. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan Pertama , yang harus dipahami bahwa, hubungan Anda dengan ayah biologis anak yang Anda kandung tersebut merupakan hubungan yang dilarang, baik secara agama maupun secara hukum positif Indonesia. Anda dan ayah biologis anak yang Anda kandung tersebut dapat diadukan oleh suami Anda atau istri laki-laki tersebut atas dugaan tindak pidana zina atas dasar Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan diancam pidana penjara paling lama 9 bulan. Kedua adalah untuk dipastikan siapa ayah biologis dari anak yang Anda kandung tersebut secara ilmu pengetahuan atau hukum. Adanya hubungan perkawinan menjadikan suami Anda juga memiliki peluang besar menjadi ayah biologis dari anak yang Anda kandung itu . Maka, klaim atau dugaan dalam pertanyaan Anda patut dibuktikan terlebih dahulu. Ketiga , yang perlu diperhatikan adalah mengenai pengetahuan suami Anda terkait dengan anak yang sedang Anda kandung. Jika suami Anda tahu bahwa anak yang sedang Anda kandung bukanlah janin darinya dan ia tidak terima, maka suami Anda berhak untuk tidak mengakui anak tersebut . Pasal 44 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut. Keempat , jika sudah dapat dipastikan bahwa ayah biologis anak tersebut bukanlah suami Anda, maka berdasarkan Pasal 42 UU Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah . Menurut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (hal. 37), anak yang dilahirkan di luar perkawinan selain memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, juga dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya, selama dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan ayahnya. Jadi, setidaknya ada dua cara untuk dapat menjadikan sang anak luar kawin memiliki hubungan dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya, yaitu: melalui pengakuan sang ayah biologis; atau pengesahan sebagai ayah biologis dari anak luar kawin tersebut. Jika ayah biologisnya tidak rela anaknya diklaim sebagai anak suami Anda, maka ia berpeluang untuk melakukan sejumlah langkah hukum untuk mempertahankan haknya sebagai ayah biologis . Dari uraian di atas, hendaknya Anda, suami Anda, dan ayah biologis dari anak tersebut melakukan berbagai pertimbangan sebelum mengambil keputusan apapun, karena ini menyangkut kebaikan anak yang Anda kandung jika ia lahir kelak. Hal ini berkaitan juga dengan salah satu hak anak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. [1] Baca juga: Akta Kelahiran Anak Hasil Perzinahan Pencatatan di Kartu Keluarga (KK) Menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”) , KK adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan, dan hubungan dalam keluarga serta identitas anggota keluarga. Jika Anda berkeinginan mencatatkan anak dalam kandungan tersebut di dalam KK Anda, berarti ada penambahan anggota keluarga baru akibat kelahiran. Dari artikel Register Kartu Keluarga Penambahan Anggota Keluarga Akibat Kelahiran yang kami akses dari laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, persyaratan untuk pendaftaran KK penambahan anggota keluarga akibat kelahiran adalah: surat pengantar RT domisili; KK asli; surat kenal lahir dari bidan/rumah sakit/kelurahan; fotokopi buku nikah/akta perkawinan; fotokopi akta kelahiran anak pertama jika penambahan anak ke-2 atau ke-3, dan seterusnya dan akta kelahiran orang tua jika penambahan anak pertama; fotokopi KTP-el orang tua; mengisi formulir F-1.16. Memang ada celah bagi Anda untuk memasukkan anak yang sedang Anda kandung ke dalam KK Anda, karena semua persyaratan administratif tersebut dapat Anda penuhi sebab pada dasarnya data administrasi tersebut merupakan data antara Anda dengan suami Anda, bukan antara Anda dengan ayah biologis dari anak Anda. Hal ini mengingat tidak adanya proses pengecekan keaslian asal-usul anak yang dilahirkan tersebut. Namun demikian, Anda tetap harus mempertimbangkan hal-hal yang kami terangkan di atas untuk diperhatikan sebelum membuat keputusan. Status Anak Jika setelah dibuktikan bahwa ayah biologis dari anak tersebut bukanlah suami Anda, maka anak tersebut yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Pasal 100 KHI menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi di atas, anak yang dilahirkan itu dapat dibuktikan memiliki hubungan darah dan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya. Menurut Pasal 103 ayat (1) KHI , asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. Jika akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. [2] Menurut Asriaty dalam Jurnal Hukum Diktum pada artikel Hadits Al-Walad Li Al-Firasy sebagai Penetapan Nasab Anak (hal. 140), anak tersebut dapat memiliki hubungan nasab dengan suami Anda selama suami Anda tidak mengingkari anak tersebut. Hal ini secara tersirat tercantum dalam Pasal 101 KHI : Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istrinya tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.” Selain itu, Pasal 102 KHI berbunyi: Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima. Akan tetapi jika suami Anda menolak atau tidak mengakui anak tersebut, maka ia bisa menempuh langkah hukum untuk pengingkarannya itu. Baca juga: Bisakah Mengakui Anak Hasil Zina? Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 . Referensi : Asriaty. Hadits Al-Walad Li Al-Firasy sebagai Penetapan Nasab Anak . Jurnal Hukum Diktum, Volume 8, Nomor 2, Juli 2010; Register Kartu Keluarga Penambahan Anggota Keluarga Akibat Kelahiran , diakses pada 1 Agustus 2020, pukul 11.50 WIB. [1] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [2] Pasal 103 ayat (2) KHI anak luar kawin keluarga dan perkawinan hukumonline anak"
} |
{
"from": "human",
"value": "Belum lama ini viral penganiayaan salah satu anak pejabat hingga mengakibatkan korban koma. Berdasarkan kronologi yang diliput oleh banyak media, penganiayaan tersebut dilakukan berdasarkan aduan/provokasi dari pacar pelaku yang masih di bawah umur. Selain menghasut, pacar pelaku juga merekam aksi penganiayaan tersebut. Bisakah pacar pelaku yang notabene seorang anak atau di bawah umur dilaporkan karena menghasut tindak pidana? Bagaimana hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelumnya, kami turut prihatin atas kejadian yang menimpa korban. Semoga korban segera pulih dan sehat seperti sediakala dan nantinya mendapatkan keadilan atas kejadian tersebut.\nBerbicara tentang tindak pidana anak, terdapat kasus 3 dasawarsa lalu yang menghebohkan Merseyside, Inggris. Seorang anak yang berumur 2 tahun dibunuh oleh 2 orang anak berusia 10 tahun dengan cara yang kejam dan tidak berprikemanusiaan, melewati batas-batas kenormalan. Akan tetapi, karena dilakukan oleh pelaku berumur 10 tahun, maka tetap menggunakan persidangan anak dan diperlakukan layaknya seorang anak begitu juga vonis yang diterima. Kasus tersebut menimbulkan tekanan masyarakat terhadap lembaga peradilan bahkan hingga saat ini masih berlanjut dengan petisi-petisi.\nDi Indonesia, anak yang menjadi pelaku tindak pidana atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah berusia 12 tahun dan belum berumur 18 tahun. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA yang berbunyi sebagai berikut.\nAnak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas tahun), tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana\nSelanjutnya, anak yang melakukan aduan atau provokasi kepada orang lain untuk melakukan penganiayaan berat hingga menyebabkan korban koma sekaligus merekam aksi penganiayaan tersebut, berdasarkan KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, maka anak tersebut dapat dilaporkan kepada Kepolisian atas dasar Pasal 353 ayat (1) dan (2) KUHP jika direncanakan atau Pasal 354 ayat (1) KUHP jika tidak direncanakan, jo. turut serta melakukan tindak pidana Pasal 55 KUHP.\n\nAdapun, dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak diundangkan,[1] yaitu 2026 diatur di Pasal 467 ayat (1) dan (2) UU 1/2023 jika direncanakan atau Pasal 468 ayat (1) UU 1/2023 jika tidak direncanakan, jo. turut serta melakukan tindak pidana Pasal 20 UU 1/2023.\nKUHP UU 1/2023Pasal 353 ayat (1) dan (2) KUHPPenganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. Pasal 467 ayat (1) dan (2) UU 1/2023Setiap orang yang melakukan penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.Jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) mengakibatkan luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.Pasal 354 ayat (1) KUHPBarang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum karena menganiaya berat dengan hukuman selama-lamanya delapan tahun. Pasal 468 ayat (1) UU 1/2023Setiap orang yang melukai berat orang lain, dipidana karena penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama 8 tahunPasal 55 KUHPDipidana sebagai pelaku tindak pidana:\nMereka yang melakukan, yang menyuruhlakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman ataupun penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana dan keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan;Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya. Pasal 20 UU 1/2023Setiap orang dipidana dengan pelaku tindak pidana jika:melakukan sendiri tindak pidana;melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;turut serta melakukan tindak pidana; ataumenggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.\n\n‘Provokasi’ yang dilakukan oleh pelaku anak dapat diartikan sebagai menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana, termasuk membujuk, menganjurkan, memancing, atau memikat orang lain dengan cara tertentu.[2]\n\nHal tersebut tergolong sebagai penyertaan atau turut serta melakukan tindak pidana. Adapun perbedaan antara penyertaan dan pembantuan tindak pidana adalah dalam penyertaan terdapat kerja sama yang erat antarmereka yang turut serta melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam pembantuan tindak pidana, kerja sama antar pelaku dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam penyertaan.[3]\n\nBaca juga: Perbedaan Turut Serta dan Pembantuan Tindak Pidana\nBisakah Anak yang ‘Memprovokasi’ Tindak Pidana Dihukum?\n\nDalam sistem hukum di Indonesia, tidak ada pembeda penerapan pasal-pasal pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana atau pelaku anak atau anak yang berkonflik dengan hukum dengan pidana terhadap orang dewasa.\n\nLantas, bisakah anak dihukum atas provokasi tindak pidana? Jawabannya bisa. Akan tetapi, berdasarkan UU SPPA pelaku anak tidak boleh dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.[4] Selain itu, terdapat perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak. Pidana pokok bagi anak terdiri atas pidana peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara.[5] Sebagai catatan, anak yang belum berusia 14 tahun, hanya dapat dikenai tindakan.[6]\n\nJika anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun maka akan diserahkan kembali ke orang tua/wali, mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan maksimal 6 bulan.[7]\n\nSementara itu, anak dijatuhi pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) jika keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat. Sementara, pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak maksimal ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Adapun, pidana penjara bagi anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.[8]\n\nBaca juga: Mengenal Macam-macam Sanksi Pidana Anak\n\nDalam sistem peradilan pidana anak wajib mengedepankan keadilan restoratif dan diversi. Selengkapnya tentang diversi dapat Anda baca dalam artikel Upayakan Diversi, Begini Prosedur Peradilan Pidana Anak.\n\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5024cc61e623d/undang-undang-nomor-11-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2012)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Penjelasan Pasal 20 huruf d UU 1/2023[3] Penjelasan Pasal 21 huruf b UU 1/2023[4] Pasal 3 huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”)[5] Pasal 71 ayat (1) UU SPPA[6] Pasal 69 ayat (2) UU SPPA[7] Pasal 21 ayat (1) UU SPPA[8] Pasal 81 ayat (1), (2), dan (5) UU SPPA"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kronologi: 8 tahun lalu anak berusia 11-12 tahun mencuri HP milik temannya tetapi tidak ada yang tahu. Namun setelah 8 tahun berlalu, anak ini merasa bersalah dan mengirimkan HP & surat yang berisi pengakuan karena ia merasa bersalah. Apakah anak ini bisa dipidana? Mengingat kesalahannya terjadi pada 8 tahun yang lalu dan ia telah mempunyai itikad baik untuk mengakui dan mengembalikan barang curiannya. Terima kasih atas perhatiannya, saya sangat berharap pertanyaan ini dapat terjawabkan."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , daluwarsa penuntutan terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak adalah 4 tahun sejak dilakukannya pencurian tersebut. Oleh karena pencurian yang dilakukan oleh anak baru diketahui sesudah 8 tahun, maka daluwarsa penuntutan terhadap tindak pidana pencurian tersebut telah terlampaui dan terhadap anak tersebut tidak lagi dapat dilakukan proses hukum/diajukan ke sidang a nak . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih Atas pertanyaan Anda. Ketika seseorang melakukan tindak pidana saat masih berusia 11 - 12 tahun, maka ia tergolong sebagai anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ( “ UU SPPA ” ) sebagai berikut: Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pada dasarnya, meskipun pencurian yang dilakukan oleh anak baru diketahui saat ia telah memasuki umur 20 tahun (seperti kasus yang Anda uraikan di atas), anak tersebut akan tetap diajukan ke sidang anak dengan berpedoman pada kaidah hukum yang diatur secara lex specialist pada UU SPPA. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 UU SPPA sebagai berikut: Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Pencurian D ilakukan 8 T ahun Lalu , A pakah Anak D apat D ipidana? Pertanyaan dapat tidaknya seseorang dipidana setelah lampaunya masa waktu tertentu menggiring kita pada terminologi “daluwarsa penuntutan”. Untuk mengetahui daluwarsa penuntutan suatu tindak pidana, terlebih dahulu harus diketahui maksimum ancaman pidana yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Secara umum tindak pidana pencurian dijerat dengan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( “ KUHP ” ) dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Selanjutnya, terkait dengan daluarsa penuntutan diatur dalam Pasal 78 KUHP sebagai berikut: Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 KUHP di atas dikaitkan dengan ancaman pidana dalam Pasal 362 KUHP, maka perhitungan daluwarsa penuntutan terhadap anak tersebut adalah sebagai berikut: 1/3 x 12 tahun = sesudah 4 tahun Oleh karena pencurian yang dilakukan oleh anak baru diketahui sesudah 8 tahun, maka daluwarsa penuntutan terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan anak tersebut telah terlampaui. Sehingga terhadap a nak tersebut tidak dapat dilakukan proses hukum/diajukan ke sidang a nak . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak hukumonline anak online perlindungan diversi hukum pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau nanya, kalau anak saya minggat, apakah saya sebagai orangtua mempunyai hak untuk memaksa anak saya pulang? Contohnya dia sudah ngekos dan kami paksa pulang tetapi dia tetap tidak mau. Apakah kami sebagai orangtua bisa meminta bantuan polisi untuk memaksa anak saya pulang? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Anda yang menginginkan anak untuk kembali ke rumah pada dasarnya merupakan wujud kepedulian Anda untuk memelihara dan mendidik anak Anda. Niat yang Anda miliki untuk menjemput anak Anda adalah hal yang benar. Anda bisa saja meminta bantuan polisi untuk meminta anak Anda pulang karena ini merupakan salah satu bentuk memberikan pengayoman dan pelayanan kepada Anda sebagai masyarakat. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: KLINIK TERKAIT Wajibkah Anak Setelah Dewasa Menafkahi Orang Tuanya? 03 Mei 2023 Haruskah Dapat Persetujuan Seluruh Keluarga Anak untuk Adopsi? 13 Agt 2015 Bolehkah Seorang Anak Memutus Hubungan Perdata dengan Orang Tuanya? 04 Agt 2015 Bolehkah Mengangkat Anak yang Berbeda Agama? 03 Des 2014 Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami turut prihatin terhadap masalah yang Anda hadapi saat ini. Membicarakan masalah tersebut kepada anak Anda secara baik-baik dengan semangat kekeluargaan hendaknya menjadi jalan yang Anda pilih sebelum meminta bantuan polisi. Di samping itu, guna memfokuskan jawaban kami, kami asumsikan anak Anda masih berusia kurang dari 18 tahun sehingga dikategorikan sebagai anak. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Anda berhak dan wajib untuk meminta anak Anda kembali ke rumah. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”) : (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Anda yang menginginkan anak untuk kembali ke rumah pada dasarnya merupakan wujud kepedulian Anda untuk memelihara dan mendidik anak Anda. Niat yang Anda miliki untuk menjemput anak Anda adalah hal yang benar. Pada sisi anak, anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. [1] Tidak hanya itu, anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. [2] Berkaitan dengan kasus Anda, anak Anda berarti wajib menghormati dan mendengarkan Anda untuk mau pulang ke rumah selama memang maksud Anda adalah baik. Menghadapi Anak yang Tidak Mau Pulang Pada dasarnya, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: [3] a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Jadi, Anda bisa saja meminta bantuan polisi untuk meminta anak Anda pulang karena ini merupakan salah satu bentuk memberikan pengayoman dan pelayanan kepada Anda sebagai masyarakat. Namun, cara-cara memaksa atau dengan kekerasan menurut hemat kami sebaiknya dihindari karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak . Selain meminta bantuan polisi, Anda sebagai orang tua juga dapat meminta bantuan Lembaga Perlindungan Anak daerah setempat. Contoh Kasus Anak Tidak Mau Pulang Sebagai contoh anak yang tidak mau pulang ke rumah dan akhirnya berhasil dibujuk oleh orang tuanya yang melibatkan Lembaga Perlindungan Anak (“LPA”) adalah kasus DS, anak korban kekerasan yang diduga dilakukan oleh orang tuanya. Dalam artikel Anak Korban Kekerasan Akhirnya Mau Pulang ke Rumah yang kami akses dari laman radarbanten.com diberitakan bahwa DS (7 tahun), anak korban kekerasan yang diduga dilakukan orang tuanya mau kembali pulang ke rumah di Kota Serang. DS kabur dari kediaman orangtuanya. Setelah diyakinkan bahwa orangtuanya tidak akan melakukan kekerasan lagi kepadanya, DS bersedia dibawa pulang oleh ayahnya. Ketua LPA Banten Iip Syarifudin mengatakan bahwa awalnya DS tidak mau pulang ke orangtuanya karena takut kepada ibu tirinya. Setelah diyakinkan, akhirnya anak mau pulang bersama ayahnya. Dikembalikannya korban kepada orangtuanya bukan berarti tanpa pengawasan. Sebelum korban diserahkan kepada orangtua, pihak LPA memberikan surat pernyataan kepada orangtua korban untuk tidak melakukan kekerasan fisik lagi kepada korban dan anak-anaknya yang lain. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia . Referensi: http://www.radarbanten.com/read/berita/10/26815/Anak-Korban-Kekerasan-Akhirnya-Mau-Pulang-ke-Rumah.html , diakses pada 4 Agustus 2015 pukul 16.53 WIB. [1] Pasal 46 ayat (1) UU 1/1974 [2] Pasal 47 ayat (1) UU 1/1974 [3] Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia anak"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang janda yang telah mempunyai anak kemudian dari pernikahan tersebut dikaruniai anak maka pada saat laki-laki tersebut meninggal bagaimana pembagian harta warisnya menurut islam? Apakah anak bawaan istri tersebut mendapat warisan juga?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebagaimana terdapat dalam Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) , ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Jadi pada dasarnya yang dapat menjadi ahli waris menurut hukum Islam adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, atau memiliki hubungan perkawinan dengan pewaris (suami atau istri pewaris). Seperti pernah dijelaskan oleh Flora Dianti, S.H., M.H. dalam artikel yang berjudul Bagaimana Hukum Hak Waris Anak Tiri? , mewarisi terbatas pada 3 (tiga) sebab saja, yaitu: KLINIK TERKAIT Yang Harus Dilakukan Jika Punya Akta Kelahiran Ganda 18 Jun 2021 Hak Waris Istri Kedua 17 Okt 2013 Masalah Hak Asuh Anak Tiri 30 Sep 2013 Perlukah Izin Ibu Tiri Jika Ingin Menjual Rumah Warisan Ayah? 04 Sep 2013 1. Sebab kekerabatan (qarabah), atau disebut juga sebab nasab (garis keturunan). 2. Sebab perkawinan (mushaharah), yaitu antara mayit dengan ahli waris ada hubungan perkawinan. Maksudnya adalah, perkawinan yang sah menurut Islam, bukan perkawinan yang tidak sah, dan perkawinan yang masih utuh (tidak bercerai). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 3. Sebab memerdekakan budak (wala`). ( Muslich Maruzi , “ Pokok-Pokok Ilmu Waris ”, hal. 10; Imam Ar-Rahbi , “ Fiqih Waris ” (terjemahan), hal. 31, dan; Syifa’uddin Achmadi , “ Pintar Ilmu Faraidl ”, hal. 18). Lebih lanjut, menurut Flora Dianti, S.H., M.H., kepada anak tiri mubah (boleh, ed. ) hukumnya untuk diberi wasiat oleh orang tua tirinya. Dengan syarat, harta yang diberikan sebagai wasiat itu tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta orang tua tirinya yang meninggal. Jika wasiatnya melebihi 1/3 (sepertiga), maka pelaksanaanya bergantung pada persetujuan para ahli waris. (lihat Pasal 195 KHI ). Berdasarkan uraian di atas, yang mendapat warisan adalah istrinya serta anak sahnya dari perkawinannya dengan istrinya tersebut. Sedangkan anak yang dibawa oleh si istri ke dalam perkawinan mereka, tidak mendapatkan bagian. Ini karena anak tersebut tidak ada hubungan darah dengan si suami. Akan tetapi si suami dapat memberikan wasiat kepada anak bawaan istrinya. Mengenai pembagiannya, untuk istri yang ditinggalkan mendapatkan seperdelapan bagian. Ini karena dalam perkawinan tersebut ada anak. Hal ini dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 180 KHI : “Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.” Sedangkan pembagian untuk anak, dapat dilihat dalam Pasal 176 KHI : “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbandung satu dengan anak perempuan.” Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. anak tiri"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebelumnya ayah menikah kemudian cerai dengan istri pertama dan dikaruniai seorang anak, saat itu ekonomi ayah belum baik. Kemudian menikah dengan ibu saya barulah ekonomi mulai membaik dan dikaruniai 2 anak. Saat ayah meninggal, anak dari istri pertama sudah mendapatkan warisan dari ayah dan anak dari ibu saya mengalah tidak mendapatkan. Setelah ibu saya meninggal barulah warisan dari ibu saya dibagikan kepada 2 anaknya. Tetapi anak dari istri pertama ayah menuntut hak warisan kepada ibu saya dengan menyatakan dia memiliki hak dan kewajiban. Apa benar bahwa dia masih memiliki hak warisan dari kekayaan ibu tirinya, padahal sudah mendapatkan hak warisnya dari ayah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITApakah Hukum Waris yang Berlaku Jika Beda Agama?07 Mar 2024Cara Hitung Pembagian Harta Warisan Anak Menurut Hukum Islam21 Jun 2023Cara Mengurus Surat Keterangan Ahli Waris Beserta Contohnya14 Feb 2022Perjanjian Pranikah, Syarat dan Cara Membuatnya03 Feb 2022\n\nGuna menyederhanakan jawaban, kami akan menggunakan ketentuan hukum waris Islam. Pada intinya, kematian seseorang menyebabkan berakhirnya status seseorang sebagai subjek hukum. Segala hak dan kewajiban akan beralih kepada ahli warisnya. Pasal 171 huruf c KHI menyatakan:\n\nAhli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.\nAhli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.[1]\n\nTetapi, ada ketentuan kriteria seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:[2]\n\ndipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.\nAdapun ahli waris terbagi menjadi dua kelompok ahli waris, yaitu:[3]\n\nMenurut hubungan darah, yang dibagi menjadi:\n\ngolongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.\n\nMenurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.\n\nDalam hal semua ahli waris masih ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.[4]\nKewajiban Ahli Waris dan Harta Waris\n\nYang dapat diwariskan oleh pewaris kepada ahli waris adalah harta waris yang berupa harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya yang terdiri dari harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.[5]\n\nSelain itu, perlu Anda ketahui, ada pula kewajiban ahli waris terhadap pewaris yaitu:[6]\nmengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;menyelesaikan utang baik berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;menyelesaikan wasiat pewaris;membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak;bertanggung jawab terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.\nHukum Waris Anak Tiri\n\nSehingga menjawab pertanyaan Anda, terkait kasus anak dari mantan istri ayah (anak tiri) yang meminta jatah warisan dari ibu Anda (ibu tiri), maka jika ditinjau dari kelompok ahli waris menurut Pasal 174 ayat (1) KHI sebagaimana disebutkan sebelumnya, anak dari mantan istri ayah (anak tiri) tidak berhak atas harta warisan dari ibu Anda (ibu tiri) karena tidak mempunyai hubungan darah maupun hubungan perkawinan dengan si pewaris.\n\nBaca juga: Wasiat Wajibah untuk Anak Tiri, Bisakah?\n\nNamun demikian, sebagai informasi, kepada anak tiri mubah (boleh) hukumnya untuk diberi wasiat oleh orang tua tirinya. Disarikan dari Bagaimana Hukum Hak Waris Anak Tiri?, dengan syarat, harta waris yang diberikan sebagai wasiat itu tidak melebihi 1/3 dari harta waris orang tua tiri. Jika wasiatnya melebihi 1/3 harta waris, maka pelaksanaanya bergantung pada persetujuan para ahli waris.[7]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nInstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.\n\n[1] Pasal 172 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[2] Pasal 173 KHI[3] Pasal 174 ayat (1) KHI[4] Pasal 174 ayat (2) KHI[5] Pasal 171 huruf d dan e KHI[6] Pasal 175 KHI[7] Pasal 195 KHI"
} |
{
"from": "human",
"value": "Assalamualaikum, Bapak/Ibu yang terhormat. Apakah WNI yang ikut mendukung apalagi sampai bergabung dengan gerakan radikal ISIS bisa dicabut status kewarganegaraannya atau mungkin ada hukuman lain yang akan dikenakan? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Pada dasarnya seseorang yang ikut Gerakan ISIS tidak bisa dicabut kewarganegarannya karena hal tersebut tidak termasuk hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kewarganegaraannya. Akan tetapi orang yang ikut Gerakan ISIS dapat dipidana jika dengan sengaja melakukan kekerasan dengan maksud membuat teror atau jika melakukan hal-hal dengan maksud melawan pemerintahan. Penjelasan lengkapnya silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Kami akan mencoba menjawab pertanyaan Saudara mengenai akibat hukum terhadap kewarganegaraan seseorang yang mendukung atau bergabung dengan gerakan ISIS. Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme menyatakan secara tegas bahwa Gerakan ISIS termasuk sebagai salah satu gerakan radikal dan terorisme, sehingga dengan pernyataan tersebut Pemerintah menghimbau agar setiap Warga Negara Indon e sia tidak ikut terprovokasi dan bergabung dalam gerakan radikal dan terorisme ISIS. KLINIK TERKAIT Bagaimana Pidana Bagi Anak yang Terlibat Terorisme? 30 Jun 2016 Apakah Kudeta Sama Dengan Makar? 26 Apr 2013 Masalah Asas Non-Retroaktif dalam Pemberantasan Terorisme di Indonesia 13 Feb 2013 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Indoktrinasi 09 Feb 2011 Mengenai hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kewarganegaraan, dapat dilihat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia : Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada Negara asing atau bagian negara asing tersebut; g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. Hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kewarganegaraannya secara garis besar berhubungan dengan apa yang dilakukan orang tersebut yang ada kaitannya negara lain. Oleh karena itu, sebelum menyimpulkan bahwa seseorang yang ikut ISIS dapat kehilangan kewarganegaraannya, harus ditelaah terlebih dahulu apakah ISIS adalah sebuah negara atau bukan. D alam beberapa kesempatan pihak Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pernah menyatakan bahwa ISIS bukan merupakan entitas “negara” sehingga ketentuan pasal tersebut sulit diterapkan dalam kasus ISIS . A dapun menurut Montevideo Convention on the Rights and Duties of States T ahun 1933 dalam P asal 1 disebutkan bahwa: “ the state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a permanent population; (b) defined territory; (c) goverment; and (d) capacity to enter into relations with the other states” Artinya harus ada unsur-unsur seperti penduduk tetap, wilayah yang permanen, pemerintahan serta kapasitas untuk mengadakan hubungan dengan negara lain untuk dapat dikatakan sebagai sebuah negara. Dalam hal ini ISIS belum bisa dikatakan sebagai sebuah negara berdasarkan ketentuan Konvensi Montevideo tersebut, sehingga memang sulit diterapkan ancaman seperti ketentuan di atas. Jika orang yang bergabung dengan ISIS tersebut melakukan kekerasan untuk menyebabkan teror, maka ia dapat dipidana berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kini telah di ubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.” Lebih jauh lagi, jika Gerakan ISIS di Indonesia ini juga dilakukan dengan tujuan untuk melawan pemerintahan seperti yang dilakukan oleh ISIS di Irak dan Suriah, maka setiap orang yang melakukan kejahatan terhadap keamanan Negara diancam dengan pidana penjara seperti yang diatur dalam Buku K edua Bab I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) t entang Kejahatan T erhadap K eamanan Negara , antara lain : Pasal 106 KUHP Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Penjelasan berdasarkan KUHP R. Soesilo: Kedaulatan ini dapat dirusak dengan dua macam cara: 1. menaklukan daerah negara seluruhnya atau sebagian ke bawah pemerintahan negara asing yang berarti menyerahkan daerah itu seluruhnya atau sebagian kepada kekuasaan negara asing misalnya daerah Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Inggris; atau 2. memisahkan sebagian dari daerah negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri, misalnya memisahkan daerah Aceh atau Maluku dari daerah Republik Indonesia untuk dijadikan negara yang berdiri sendiri. Pasal 107 KUHP (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun Pasal 108 KUHP (1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun: 1. Orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan senjata; 2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan Pemerintah dengan senjata (2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun Pasal 110 KUHP (1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut. (2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan: 1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan; 2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain; 3. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan; 4. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain; 5. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan. (3) Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas. (4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum. (5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali ” Sekian mungkin yang dapat kami jelaskan, semoga membantu menjawab pertanyaan Saudara . Terima kasih . DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kini telah di ubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang 3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia ; isis"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah men-download film asing bajakan dari internet melanggar hukum yang berlaku di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 06 Desember 2012. Intisari : Perbuatan mengunduh ( download) film asing bajakan dari internet dapat dikategorikan sebagai penggandaan suatu ciptaan secara tidak sah yang dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar. Lebih lanjut lagi, apabila setelah mengunduh lalu didistribusikan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai “pembajakan” sebagaimana yang Anda sebutkan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4 miliar. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Eksklusif untuk Melakukan Penggandaan Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) , hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. [1] Di dalam P enjelasan Pasal 4 UU Hak Cipta tersebut dijelaskan : Yang dimaksud dengan \"hak eksklusif\" adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang bukan Pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi. Dari sisi hak moral, hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk: [2] tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aliasnya atau samarannya; mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Sedangkan dari sisi hak ekonomi, pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan: [3] penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya ; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan. Kemudian, p enggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara. [4] Perlu diketahui bahawa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi (dalam hal ini melakukan penggandaan) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Kemudian setiap orang dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. [5] Karya Sinematografi sebagai Suatu Ciptaan Membahas mengenai film, tidak akan terlepas dari pengaturan mengenai suatu ciptaan. Perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ciptaan dalam Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta sebagai berikut: Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Salah satu ciptaan yang dilindungi oleh UU Hak Cipta adalah karya sinematografi . [6] Definisi mengenai karya sinematografi dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf m UU Hak Cipta sebagai berikut: Yang dimaksud dengan \"karya sinematografi\" adalah Ciptaan yang berupa gambar bergerak ( moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual. Berdasarkan hal tersebut, film merupakan bentuk karya sinematografi. Pelindungan hak cipta atas ciptaan berupa karya sinematografi berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. [7] Adapun yang dimaksud dengan pengumuman adalah pembacaan, penyiaran , pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. [8] Jadi film yang Anda maksud pada dasarnya sudah dilindungi oleh hak cipta sejak pertama kali dilakukan pengumuman karena pelindungan terhadap ciptaan tersebut lahir secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. [9] Selain itu, perlu diketahui juga bahwa pelindungan tersebut termasuk pelindungan terhadap ciptaan yang tidak atau belum dilakukan pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan penggandaan ciptaan tersebut. [10] Mengunduh Film dari Internet Menjawab pertanyaan Anda, apakah men- download atau mengunduh film asing bajakan dari internet melanggar hukum? Berikut penjelasannya: Definisi mengunduh secara eksplisit tidak diatur dalam UU Hak Cipta, tetapi jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia , yang diakses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengunduh diartikan sebagai: memanen (buah); mengopi berkas dari layanan informasi daring atau dari komputer lain ke komputer yang digunakan. Perbuatan mengunduh ( download ) film asing bajakan dari internet tentunya dapat dikategorikan sebagai penggandaan suatu ciptaan secara tidak sah yang dapat dikenakan ketentuan dalam Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta sebagai berikut: Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b , huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Lebih lanjut lagi, apabila setelah mengunduh lalu didistribusikan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai “pembajakan” sebagaimana yang Anda sebutkan, dalam Pasal 1 angka 23 UU Hak Cipta , pembajakan didefinisikan sebagai berikut: Pembajakan adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Untuk perbuatan pembajakan dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 113 ayat (4) UU Hak Cipta sebagai berikut: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada Selasa, 27 November 2018, pukul 10.14 WIB. [1] Pasal 4 UU Hak Cipta [2] Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta [3] Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta [4] Pasal 1 angka 12 UU Hak Cipta [5] Pasal 9 ayat (2) dan (3) UU Hak Cipta [6] Pasal 40 ayat (1) huruf m UU Hak Cipta [7] Pasal 59 ayat (1) huruf c UU Hak Cipta [8] Pasal 1 angka 11 UU Hak Cipta [9] Lihat Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta [10] Pasal 40 ayat (3) UU Hak Cipta ancaman pidana hukumonline hak cipta online klinik hukum klinik hukumonline kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya punya teman seorang kepala Desa, suatu hari dimintai tanda tangan permohonan SKCK untuk pergi ke luar negeri bekerja. Ketika sampai di polsek, pemohon ditahan polisi karena ternyata menggunakan ijazah dan KTP palsu. Apa pelanggaran dan ancaman hukumannya? Mohon petunjuknya! Terima kasih!"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dari yang Anda ceritakan, pemohon ditahan oleh polisi karena menggunakan ijazah dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu, maka pidana yang mungkin dikenakan adalah pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya pada ketentuan ayat [2] . Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Hukum Menahan Surat Berharga Milik Karyawan yang Sudah Berhenti Bekerja 30 Jun 2011 Setelah Nikah Istri Tidak Melayani Suami, Termasuk Penipuan? 14 Mei 2011 Penyalahgunaan Jabatan Notaris 15 Mar 2011 Unsur-unsur Pidana yang Dihadapi Notaris dalam Menjalankan Jabatannya 19 Jan 2011 Pasal 263 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun . (2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan , kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa yang diartikan dengan surat dalam ketentuan tersebut adalah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lainnya. Selain itu, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang: a. Dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah , karcis tanda masuk, surat andil, dll); b. Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dsb); c. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); atau d. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi dan masih banyak lagi). Lebih jauh, R. Soesilo menjelaskan bahwa penggunaan surat palsu itu harus dapat mendatangkan kerugian. Kerugian tersebut tidak hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dsb. Masih menurut R. Soesilo, yang dihukum menurut pasal ini tidak saja “memalsukan” surat (ayat 1), tetapi juga “sengaja mempergunakan” surat palsu (ayat 2). “Sengaja” maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum . Tentunya terkait dengan tahu atau tidak tahunya pemohon itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan oleh penyidik maupun dalam persidangan. Khusus untuk ijazah, di luar KUHP sudah ada pengaturannya tersendiri, Pasal 69 ayat [1] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur bahwa “ S etiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ” Jadi, untuk pemalsuan KTP, pemohon dapat dikenakan pidana pemalsuan surat dan/atau menggunakan surat palsu (dalam KUHP) dengan ancaman pidana penjara 6 (enam) tahun. Dan untuk penggunaan ijazah palsu, pemohon dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 ( lima ) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73); 2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional . Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya tinggal di wilayah Bekasi dan saya seringkali mengalami polusi udara akibat tetangga yang sering membakar sampah, hampir selama sehari penuh. Setahu saya ada Perda Kota Bekasi Nomor 7 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan Pasal 17 (1) yang melarang pembakaran sampah secara sembarangan, dan ada sanksi kurungan dan denda di Pasal 20 (2). Masalahnya, apa tindakan yang bisa saya lakukan? Apakah berdasarkan suatu Perda saya bisa mengadukan ke polisi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK 14 Feb 2023 Buat Gaduh di Malam Hari, Ini Jerat Hukumnya 16 Jan 2023 Keabsahan Ketentuan Pidana dalam Qanun Pemerintah Aceh 06 Mei 2013 Sanksi Hukum Bagi Tukang Parkir Liar 14 Nov 2012 Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kita ketahui bersama bunyi Pasal 17 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 07 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan (“Perda Bekasi 7/2005”) yang kami akses dari laman resmi Pemerintah Kota Bekasi : “Dilarang membakar sampah di pekarangan atau tempat-tempat yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran atau mengganggu tempat-tempat di sekelilingnya, kecuali di tempat pembakaran sampah yang telah disediakan dan/atau ditetapkan oleh Walikota.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kami mengasumsikan bahwa tetangga Anda membakar sampah di lingkungan perumahan yang merupakan kawasan yang bukan ditetapkan oleh pemerintah sebagai tempat pembakaran sampah. Oleh karena itu, tetangga Anda telah melanggar ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) Perda Bekasi 7/2005. Jadi, memang benar apa yang Anda katakan bahwa setiap warga Kota Bekasi, termasuk tetangga Anda, dilarang membakar sampah di tempat-tempat yang tersebut dalam Pasal 17 ayat (1) Perda Bekasi 7/2005. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 17 ayat (1) Perda Bekasi 7/2005 tersebut, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp50 juta ( Pasal 20 ayat [2] Perda Bekasi 7/2005 ). Perlu Anda ketahui bahwa yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah Satuan Polisi Pamong Praja (“Satpol PP”) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (“PP 6/2010”) . Dengan demikian, penegakan hukum Perda Bekasi 7/2005 juga dilakukan oleh Satpol PP. Sebagai pihak yang merasa terganggu oleh perbuatan tetangga Anda yang mencemari udara dengan melakukan pembakaran sampah tidak pada tempatnya, maka Anda dapat melaporkan pelanggaran ketentuan larangan pembakaran sampah tersebut kepada penyidik. Penyidik merupakan aparat penegak hukum. Berkaitan dengan hal ini, tugas penyidikan dilakukan oleh Satpol PP. Jadi, pada dasarnya setiap pelanggaran terhadap ketentuan Perda dapat dilaporkan kepada Satpol PP setempat. Menurut Pasal 19 ayat (1) Perda Bekasi 7/2005 ,Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bekasi diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan pidana di bidang Retribusi Daerah.Jika melihat tugas penyidik itu sendiri, maka berdasarkan Pasal 9 ayat (2) PP 6/2010 , Satpol PP yang ditetapkan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) dapat langsung mengadakan penyidikan terhadap pelanggaran Perda dan/atau peraturan kepala daerah yang dilakukan oleh warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum. Jadi, tidak semua Satpol PP dapat melakukan penyidikan terhadap pelanggaran sebuah Perda. Hanya Satpol PP yang berstatus sebagai PPNS sajalah yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan. Oleh karena itu, polisi yang Anda maksud lebih tepat adalah Satpol PP yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Satpol PP sebagai aparatur ini telah ditunjuk langsung oleh Peraturan Pemerintah untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran sebuah Perda. Dengan demikian, hal yang dapat Anda lakukan adalah dengan melaporkan pelanggaran terhadap ketentuan tentang larangan pembakaran sampah kepada Satpol PP Kota Bekasi untuk kemudian ditindaklanjuti. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja 2. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 07 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Kebersihan REFERENSI:\n1. http://bekasikota.go.id/files/fck/file/LD%20PERDA%2007%20Tahun%202005.pdf , diakses pada 30 Juli 2013 pukul 10:26 WIB"
} |
{
"from": "human",
"value": "Baru-baru ini viral seseorang melakukan masturbasi secara diam-diam di KRL. Aksinya terekam kamera salah seorang pengguna KRL dan viral di sosial media. Akhirnya orang tersebut ditangkap dan diamankan petugas KRL. Namun kemudian, ia tetap berkeliaran lagi menggunakan transportasi lain, busway. Hal ini menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran tersendiri bagi pengguna transportasi umum. Bagaimana hukumnya jika seseorang sengaja masturbasi di transportasi umum? Dapatkah ia dikenakan pasal yang melanggar kesusilaan? Apa hendaknya yang segera dilakukan masyarakat jika melihat perilaku tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelumnya, perlu Anda ketahui bahwa perilaku seseorang yang melakukan masturbasi di depan umum atau di transportasi umum seperti KRL atau busway sebagaimana Anda sebutkan dapat dikatakan yang bersangkutan mengidap kelainan seksual yaitu ekshibisionisme. Apa itu ekshibisionisme?\nEkshibisionisme adalah kelainan atau ketidakwajaran yang ditandai dengan kecenderungan memperlihatkan hal-hal yang tidak senonoh, seperti alat kelamin kepada orang lain untuk pemuasan diri. Ekshibisionisme sendiri merupakan salah satu penyimpangan seksual yang termasuk dalam kategori gangguan preferensi seksual[1] atau parafilia.\n\nDi Indonesia, belum terdapat peraturan yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana ekshibisionisme. Namun terdapat beberapa pasal yang berpotensi menjerat pelaku.\n\nBaca juga: Alat Bukti untuk Melawan Teror Ekshibisionisme Online\nJerat KUHP untuk Pelaku Ekshibisionisme\n\nMenyambung pertanyaan Anda, pasal melanggar kesusilaan tercantum dalam Pasal 281 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:\n\nDiancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:\n\nbarang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.\n\nKesusilaan yang dimaksud adalah perihal susila yang berkaitan dengan adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban. Perbuatan yang merusak kesusilaan adalah perbuatan yang dapat melanggar perasaan orang lain. Bahwa perbuatan merusakan kesopanan meliputi juga perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang apabila dilakukan tidak di muka umum.[2]\n\nPasal 281 KUHP diatur oleh pembentuk undang-undang untuk melindungi perbuatan dengan sengaja merusak kesusilaan di depan umum atau dengan sengaja merusak kesusilaan di depan orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri.[3]\n\nTerkait pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang itu harus:[4]\n\nSengaja merusak kesopanan di muka umum, artinya perbuatan merusak kesopanan itu harus sengaja dilakukan di tempat yang dapat dilihat atau didatangi oleh orang banyak, misalnya di pinggir jalan, di gedung bioskop, di pasar, dan sebagainya; atauSengaja merusak kesopanan di muka orang lain (seseorang sudah cukup) yang hadir di situ tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu di muka umum, di muka seorang lain sudah cukup, asal orang ini tidak menghendaki perbuatan itu.\n\nUntuk lebih jelasnya, S.R. Sianturi mengemukakan beberapa contoh perbuatan yang termasuk dalam cakupan Pasal 281 KUHP, yaitu:[5]\n\nSeseorang tanpa busana memperlihatkan diri di muka umum atau secara terbuka (disebut juga sebagai ekshibisionisme);Sepasang suami istri melakukan perbuatan cabul di muka umum;Sepasang muda-mudi berpeluk-pelukan sedemikian rupa di muka umum sehingga merangsang nafsu birahi bagi yang melihatnya.\n\nApabila dikaitkan dengan pertanyaan Anda, maka tindakan masturbasi di transportasi umum tergolong sebagai tindakan ekshibisionisme yang telah memenuhi setiap unsur dalam Pasal 281 KUHP. Apa saja unsur-unsur dalam Pasal 281 KUHP dapat Anda simak lebih lanjut melalui Tentang Tindak Pidana Asusila: Pengertian dan Unsurnya.\nJerat UU Pornografi untuk Pelaku Ekshibisionisme\n\nSelain KUHP, pelaku ekshibisonisme juga berpotensi dijerat Pasal 10 UU Pornografi yang selengkapnya mengatur:\n\nSetiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.\n\nLebih lanjut, yang dimaksud dengan “pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.[6]\n\nAncaman hukuman bagi pelaku pelanggar Pasal 10 UU Pornografi di atas diatur dalam Pasal 36 UU Pornografi, yaitu pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.\nPelaku Ekshibisionisme Termasuk Gangguan Jiwa?\n\nSetelah memahami beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku ekshibisionisme, selanjutnya hal yang perlu dipahami adalah terkait apakah pelaku ekshibisionisme termasuk mengidap gangguan jiwa dan dapatkah ia dipidana?\n\nTerkait pembahasan ini, kami telah mengulasnya dalam Dapatkah Penderita Eksibisionisme (Suka Menunjukkan Alat Kelamin) Dipidana?, yang mana ekshibisionisme termasuk dalam gangguan kejiwaan yang cukup langka. Meski demikian, hakim yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya.\nLangkah Hukum\n\nTerlepas dari gangguan kejiwaan sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, langkah tepat yang dapat dilakukan masyarakat yang melihat kejadian masturbasi atau pelecehan seksual di transportasi umum adalah segera melaporkan pada pihak yang berwenang seperti petugas kereta atau bus, polisi khusus kereta api untuk segera mengamankan pelaku.\n\nBaca juga: Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya\n\nAtau bahkan Anda dapat melaporkan kejadian ini ke polisi setempat atau Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagaimana disebut dalam Pasal 39 ayat (1) UU 12/2022.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs/document/lt4c7b80e19969e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28607/undangundang-nomor-44-tahun-2008?r=0&p=1&q=uu%2044%202008&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_44_2008)\n3. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt627b23aa80fff/undang-undang-nomor-12-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_2022)\nREFERENSI:\n1. Gabriela Pretty Wowiling, Olga A. Pangkerego, Christine S. Tooy, Merusak Kesusilaan di Depan Umum Sebagai Delik Susila Berdasarkan Pasal 281 KUHP, Lex Crimen, Vol. 10, No. 2, 2021\n2. H.A.K. Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Bandung: Alumni, 2011\n3. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1995\n4. Rusdi Maslim, Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5, Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Jaya, 2013\n5. S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983\n6. Ekshibisionisme, yang diakses pada 15 Juli 2022, pukul 14.00 WIB\n7. Kesusilaan, yang diakses pada 15 Juli 2022, pukul 14.05 WIB.\n\n[1] Rusdi Maslim, Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5, Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Jaya, 2013, hal. 100[2] H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Bandung: Alumni, 2001, hal. 212[3] Gabriela Pretty Wowiling, Olga A. Pangkerego, Christine S. Tooy, Merusak Kesusilaan di Depan Umum Sebagai Delik Susila Berdasarkan Pasal 281 KUHP, Lex Crimen, Vol. 10, No. 2, 2021, hal. 109[4] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1995, hal. 205[5] S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983, hal. 258[6] Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapa lamakah hukuman bagi orang atau tersangka yang tugasnya hanya sebagai penunjuk (calo) pada saat transaksi narkoba?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman resmi Kementerian Pendidikan Nasional , calo adalah orang yg menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah; perantara; makelar. KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Bagi Pelajar yang Menggunakan Ganja 07 Des 2022 Pemilik Puntung Ganja = Pengedar Ganja? 30 Jul 2019 Penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika 09 Mei 2011 Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) terdapat sejumlah sanksi pidana bagi orang yang menjadi calo/perantara dalam transaksi/jual beli narkotika. Sanksi-sanksi tersebut berbeda-beda bergantung pada jenis golongan narkotika, beratnya, dan bentuknya (apakah masih dalam bentuk tanaman atau narkotika siap pakai). Berikut kami uraikan satu-persatu sanksi pidana bagi perantara transaksi/jual beli narkotika: No. Perbuatan Sanksi pidana 1. Perantara dalam transaksi Narkotika Golongan I Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).” ( Pasal 114 ayat [1] UU Narkotika ) 2. Perantara dalam Jual Beli Narkotika Golongan I dalam Bentuk Tanaman yang Beratnya Melebihi 1 (satu) Kilogram atau Melebihi 5 (Lima) Batang Pohon atau dalam Bentuk Bukan Tanaman yang Beratnya Melebihi 5 (Lima) Gram Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jualbeli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksudpada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidanadengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimanadimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). ( Pasal 114 ayat [2] UU Narkotika ) 3. Perantara dalam Jual Beli Narkotika Golongan II Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). ” ( Pasal 119 ayat [1] UU Narkotika ) 4. Perantara dalam Jual Beli Narkotika Golongan II yang Beratnya Melebihi 5 (Lima) Gram Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). ( Pasal 119 ayat [2] UU Narkotika ) 5. Perantara dalam Jual Beli Narkotika Golongan III Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). ( Pasal 124 ayat [1] UU Narkotika ) 6. Perantara dalam Jual Beli Narkotika Golongan III yang Beratnya Melebihi 5 (Lima) Gram Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). ( Pasal 124 ayat [2] UU Narkotika ) Selain ketentuan-ketentuan sanksi pidana bagi orang yang menjadi perantara transaksi narkotika tersebut, ada juga ketentuan bagi orang yang menjadi perantara transaksi prekursor narkotika . Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakandalam pembuatan Narkotika ( Pasal 1 angka 2 UU Narkotika ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ketentuan pidana bagi perantara jual beli prekursor narkotika terdapat dalam Pasal 129 yang berbunyi: “ Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; d. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.” Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika REFERENSI:\n1. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php , diakses pada 4 September 2013 pukul 16. 53 uu narkotika"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah komentar netizen yang melakukan body shaming dapat dipidana? Body shaming kena pasal berapa? Apakah netizen yang berkomentar body shaming dapat melanggar UU ITE terbaru/ UU ITE 2024?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut Merriam Webster Dictionary, body shaming adalah:\n\nThe act or practice of subjecting someone to criticism or mockery for supposed bodily faults or imperfections.\nBerdasarkan definisi tersebut, secara sederhana body shaming merupakan tindakan atau praktik menjadikan seseorang sebagai sasaran kritik atau ejekan karena ketidaksempurnaan tubuh.\n\nKemudian, istilah body shaming ditujukan untuk mengejek orang yang memiliki penampilan fisik yang dinilai cukup berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh, body shaming adalah penyebutan dengan “gendut”, “pesek”, “cungkring”, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tampilan fisik. Body shaming atau mengomentari kekurangan fisik orang lain, meski bukan kontak fisik yang merugikan, namun body shaming termasuk jenis perundungan (bullying) secara verbal atau lewat kata-kata.[1]\n\nBaca juga: Jerat Pasal Pelaku Bullying di Media Sosial menurut UU ITE 2024\nNetizen yang Berkomentar Body Shaming, Bisakah Dipidana Berdasarkan KUHP?\n\nPada dasarnya, penting untuk diketahui, body shaming berupa menghina seseorang karena bentuk fisiknya, maupun menghina dengan ucapan kata-kata kasar seperti makian, cacian, dan/atau kata-kata tidak pantas, sekalipun dilakukan melalui sistem elektronik atau media sosial, pelaku dapat dijerat dengan pasal tindak pidana penghinaan ringan.\nTindak pidana penghinaan ringan diatur dalam Pasal 315 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 436 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026 sebagai berikut:\nPasal 315 KUHPPasal 436 UU 1/2023Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[3]Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[4]\n\nTerkait perbuatan yang termasuk penghinaan ringan, R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 228) menjelaskan, jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, perbuatan tersebut masuk ke dalam Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.\n\nAgar dapat dihukum, kata-kata penghinaan itu baik lisan maupun tulisan harus dilakukan di tempat umum (yang dihina tidak perlu berada di situ).\n\nApabila penghinaan itu tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum:\n\nJika dilakukan dengan lisan atau perbuatan, maka orang yang dihina itu harus ada di situ melihat dan mendengar sendiri;Bila dengan surat (tulisan), maka surat itu harus dialamatkan (disampaikan) kepada yang dihina.\n\nR. Soesilo kemudian menjelaskan bahwa penghinaan ringan juga dapat dilakukan dengan perbuatan, seperti meludah di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.\n\nSelanjutnya, berdasarkan KUHP baru, maksud dari Pasal 436 UU 1/2023 adalah ketentuan ini mengatur penghinaan yang dilakukan dengan mengeluarkan perkataan yang tidak senonoh terhadap orang lain. Penghinaan tersebut dilakukan di muka umum dengan lisan atau tulisan, atau di muka orang yang dihina itu sendiri baik secara lisan, tulisan, maupun dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan kepadanya.[5]\n\nSebagai informasi, ketentuan hukum penghinaan ringan merupakan delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, korban yang merasa dirugikan dapat mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut. Dalam arti lain, aparat hukum tidak bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan apabila tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.[6] Hal tersebut sebagaimana diatur di Pasal 440 UU 1/2023 yang berbunyi:\n\nTindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433, Pasal 434, dan Pasal 436 sampai dengan Pasal 438 tidak dituntut, jika tidak ada pengaduan dari korban tindak pidana.\n\nPenjelasan selengkapnya mengenai tindak pidana penghinaan ringan dapat Anda baca pada artikel Bunyi Pasal 315 KUHP tentang Penghinaan Ringan.\n\nBaca juga: Memahami Delik Aduan dan Delik Biasa serta Contohnya\nKetentuan Body Shaming dalam UU 1/2024\n\nKemudian, ketentuan maupun istilah body shaming tidak secara gamblang diatur dalam UU ITE dan perubahannya. Namun, perbuatan internet citizen (“netizen”) yang mengomentari kekurangan fisik orang lain melalui media sosial (“medsos”) berpotensi menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Hal ini termasuk dalam perbuatan yang dilarang di Pasal 27A UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE, sebagai berikut:\n\nSetiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.\n\nLalu, menurut Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024, yang dimaksud dari perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.\n\nSelanjutnya, orang yang melanggar Pasal 27A UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara maksimal 2 tahun, dan/atau denda maksimal Rp400 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024.\n\nBaca juga: Ini Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang Dianggap Pasal Karet\n\nNamun, perlu diketahui bahwa tindak pidana dalam Pasal 27A UU 1/2024 adalah tindak pidana aduan, sehingga tindak pidana ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari korban atau orang yang terkena tindak pidana, dan bukan oleh badan hukum.[7] Selain itu, perbuatan dalam Pasal 27A UU 1/2024 tidak dapat dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau jika dilakukan karena terpaksa membela diri.[8]\n\nBaca juga: Perbedaan Pelaporan dan Pengaduan\n\nLantas, Langkah apa yang dapat dilakukan korban body shaming di medsos? Secara hukum, korban tindak pidana penghinaan ringan atau seseorang yang merasa kehormatan/nama baiknya diserang, dapat melakukan upaya pengaduan kepada aparat penegak hukum setempat, yakni kepolisian. Selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n3. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n4. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023)\n6. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?r=0&p=1&q=Peraturan%20Mahkamah%20Agung%20Nomor%202%20Tahun%202012&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nREFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politeia), 1991\n2. Richard Elyas Christian Sirait (et.al). Penegakan Hukum Pelaku Delik Pencemaran Nama Baik (Studi Putusan Nomor: 4/Pid.C/2020/Pn.Tlk). Jurnal Hukum PATIK, Vol. 9, No. 3, 2020\n3. Tri Fajariani Fauzia dan Lintang Ratri Rahmiaji. Memahami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja Perempuan. E-Journal Undip, Vol. 7, No. 3, 2019\n4. Merriam Webster Dictionary, body shaming, diakses pada Jumat, 26 Januari 2024, pukul 12.32 WIB.\n\n[1] Tri Fajariani Fauzia dan Lintang Ratri Rahmiaji. Memahami Pengalaman Body Shaming Pada Remaja Perempuan. E-Journal Undip, Vol. 7, No. 3, 2019, hal. 2[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP[4] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023.[5] Penjelasan Pasal 436 UU 1/2023[6] Richard Elyas Christian Sirait (et.al). Penegakan Hukum Pelaku Delik Pencemaran Nama Baik (Studi Putusan Nomor: 4/Pid.C/2020/Pn.Tlk). Jurnal Hukum PATIK, Vol. 9, No. 3, 2020, hal. 217[7] Pasal 45 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”)[8] Pasal 45 ayat (7) UU 1/2024"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa sanksi pidana bagi yang menghalang-halangi perlindungan bagi saksi/korban?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ketentuan Pasal 37 sampai dengan Pasal 43 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur ketentuan pidana terhadap setiap orang yang menghalang-halangi perlindungan terhadap saksi dan korban dengan sanksi pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan ditambah sepertiga bagi pelaku yang merupakan pejabat publik. Jenis-jenis tindakan yang dapat dikategorikan menghalang-halangi perlindungan saksi/korban yaitu: KLINIK TERKAIT Begini Peran dan Fungsi Advokat dalam Perkara Pidana 14 Agt 2023 2 Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana 03 Jul 2023 Jaminan Perlindungan Saksi/Korban dari Tindakan Balasan Pelaku Kejahatan 05 Jun 2012 Bentuk-bentuk Perlindungan dari LPSK bagi Saksi dan Korban 24 Mei 2012 A. Perbuatan memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan; B. Tindakan menghalang-halangi dengan cara apapun; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas C. Tindakan yang menyebabkan saksi dan korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan; D. Tindakan mengurangi hak-hak saksi dan korban sebagaimana ketentuan UU 13/2006; E. Memberitahu keberadaan saksi yang ditempatkan di tempat khusus yang dirahasiakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Demikian, semoga berkenan. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Dapatkah pihak keluarga korban yang tewas, akibat dihakimi massa, menuntut massa yang melakukan main hakim sendiri?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Main hakim sendiri memang fenomena yang sering kita temui di masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Di pasar-pasar, terminal dan di tempat-tempat lainnya kerap diberitakan seorang pencopet, jambret atau perampok, luka-luka karena dihakimi massa, dan tragisnya tidak sedikit yang kehilangan nyawa akibat amukan massa yang melakukan pengeroyokan. Sedihnya lagi, aparat keamanan sering tidak dapat melakukan upaya pencegahan ketika main hakim sendiri dilakukan oleh masyarakat. Alasannya, jika bukan karena kurang personel, juga karena terlambat datang ke tempat kejadian. Terlepas dari apakah korban tersebut dihakimi massa karena dia melakukan suatu tindak pidana, menurut pendapat saya, pada prinsipnya, berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”), pelaku main hakim sendiri dapat dituntut secara pidana. Dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP , disebutkan bahwa: KLINIK TERKAIT Bisakah Tindakan Main Hakim Sendiri Dipidana? 22 Des 2023 Nekat Putus Meski Pacar Mengancam Bunuh Diri, Bisakah Dipidana? 06 Sep 2023 Jerat Pasal Penganiayaan Anak yang Menyebabkan Koma 27 Feb 2023 Membunuh karena Membela Diri, Tetap Ditahan Polisi? 17 Jan 2023 “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Dalam hal ini, mengingat si korban kehilangan nyawa akibat pengeroyokan tersebut, dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP diatur bahwa: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Sehingga apabila kita mengacu pada Pasal 351 ayat (3) KUHP yang mengatur lebih spesifik tentang penganiayaan yang menyebabkan matinya korban, jelas disebutkan bahwa pelaku pengeroyokan dikenakan ancaman pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun. Namun perlu pula Anda ketahui, bahwa pengusutan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh orang banyak (main hakim sendiri) sering kali menemui kebuntuan, mengingat bahwa pelaku penganiayaan tidak hanya satu atau dua orang. Prinsip h u kum pidana yaitu, siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab. Tetapi karena melibatkan orang banyak, sehingga susah sekali menentukan siapa pelaku yang paling bertanggung jawab. Walaupun demikian, hal tersebut seyogianya tidak menjadi penghambat bagi keluarga korban untuk menuntut keadilan bagi si korban. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, pihak keluarga korban DAPAT me laporkan hal ini kepada aparat Kepolisian, dan selanjutnya meny erahkan proses pengungkapan perkara tersebut sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku . Demikian pendapat dari kami, mudah-mudahan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang berkepentingan untuk mengambil tindakan dalam menyikapi permasalahan ini. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73) ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah termasuk perbuatan pidana jika menyebarkan brosur atau iklan yang menjanjikan keuntungan bila mengikuti brosur atau iklan tersebut, namun ternyata kemudian menimbulkan kerugian pada orang yang mengikuti iklannya dan memberi keuntungan besar pada si penyebar brosur atau iklan tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut Pasal 4 huruf h UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”), konsumen ber hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya . Juga sudah menjadi k ewajiban pelaku usaha untuk memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian ( Pasal 7 huruf g UUPK ) . Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK bahwa p elaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label , etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut . KLINIK TERKAIT Hukumnya Jual Beli Barang KW 12 Jul 2024 Hukum Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap ( Black Market ) 29 Sep 2021 Bentuk Badan Usaha untuk Industri Pangan Olahan 30 Mar 2012 Aturan dan Praktik Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Konsumen 10 Mar 2012 Hal senada diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUPK bahwa p elaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar . Lebih jauh, dalam menawarkan barang dan/atau jasa ini, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai ( Pasal 10 UUPK ) : a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Jika pelaku usaha melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) ( Pasal 62 ayat [1] UUPK ). Pada dasarnya, yang dipidana jika terbukti melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah pelaku usaha . Memang dimungkinkan dalam praktik, pelaku usaha menggunakan jasa orang lain untuk menyebarkan brosur. Jika pelaku usaha kemudian menggunakan jasa orang lain untuk menyebarkan brosur tersebut, tetap pelaku usahalah yang harus bertanggung jawab sebagai pihak yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan mengiklankannya secara tidak benar. Jadi, jika seorang pelaku usaha mengiklankan produknya (barang/jasa) secara tidak benar yang kemudian menimbulkan kerugian bagi konsumen karena barang dan/atau jasanya tidak sesuai dengan yang diiklankan, perbuatan tersebut termasuk tindak pidana dan dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UUPK. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada satu kasus, A sedang bertengkar dengan B, tetapi B tidak melakukan gerakan fisik seperti memukul. Karena sakit hati dengan B, A kemudian berencana melapor ke polisi dengan laporan bahwa dia telah dipukul. Supaya menguatkan laporannya A membuat benturan seolah-olah B lah yang melakukan hal tersebut, padahal B tidak berbuat sesuatu? Apakah B dapat dituntut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terkait dengan kejadian yang Anda alami, apabila memang hal yang dilaporkan oleh A tidak terjadi, maka ada pidana yang dapat dikenakan terhadap orang yang memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Bab IX tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu, Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), b arang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian , dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun . KLINIK TERKAIT Apa Itu Stalker dan Bisakah Dilaporkan ke Polisi? 21 Mei 2024 Mengintip Orang Mandi, Bisakah Dipidana? 09 Feb 2023 Yang Harus Dilakukan Jika Punya Akta Kelahiran Ganda 18 Jun 2021 Dapatkah Memutuskan Hubungan dengan Menantu yang Kurang Ajar? 15 Des 2011 R. Soenarto Soerodibroto dalam bukunya KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad menyebutkan syarat dari tindak pidana tersebut adalah: 1. Suatu ketentuan undang-undang yang menghendaki suatu keterangan di bawah sumpah atau yang mempunyai akibat-akibat hukum; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Pemberian keterangan palsu dan kesengajaannya ditujukan kepada kepalsuannya itu. Soenarto juga mengutip suatu putusan Hoge Raad, 25 Juni 1928, yang menyebutkan bahwa suatu keterangan adalah palsu, apabila sebagian dari keterangan itu adalah tidak benar, terkecuali jika ini adalah sedemikian rupa sehingga dapat diperkirakan bahwa hal itu tidak sengaja diberikan dalam memberikan keterangan palsu. Dengan demikian, A tidak seharusnya memberikan keterangan palsu sehingga berakibat hukum B dapat dipidana, karena dengan melakukan itu justru A dapat dipidana karena memberikan keterangan palsu. Mengenai apakah B bisa dituntut atau tidak, pada dasarnya, asas yang berlaku dalam hukum pidana adalah geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Jadi, apabila tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh B, B tidak akan dipidana. Terkait hal ini, semuanya akan dibuktikan melalui mekanisme pembuktian di pengadilan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73); 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "UU Pornografi menjelaskan bahwa pornografi merupakan materi yang berisi ketelanjangan dan seksualitas. Saya kebetulan berasal dari salah satu suku yang mempunyai budaya membuat literatur dan gambar-gambar aktivitas seksual selama berabad-abad. Budaya yang sudah turun-temurun itu terus berlanjut dan mengakar hingga saat ini. Bahkan banyak orang dari suku kami menjadi penulis literatur modern berkonten seksual seperti komik dan novel. Apakah pembuat literatur berkonten seksual akan terjerat UU Pornografi, sekalipun itu merupakan budaya yang telah ada bahkan jauh sebelum kemerdekaan negeri ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Sebagai pembuat literatur berkonten seksual, Anda dapat dijerat pidana apabila konten seksual yang dimaksud memenuhi unsur-unsur Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”). Tidak hanya Anda sebagai pembuat, penerbit yang memproduksi dan memperbanyak, juga toko buku yang memperjualbelikan misalnya, juga dapat dipidana. Namun kami hanya bisa menyimpulkan berdasarkan perbuatan apa yang diatur dalam UU Pornografi. Pada praktiknya tentu akan dilakukan penyidikan secara mendalam, hal tersebut dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tentunya juga dengan menghadirkan ahli-ahli yang kompeten terkait perbukuan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Tips Agar Anak Aman dari Kejahatan di Internet 27 Apr 2021 Tanggung Jawab Platform Media Sosial Atas Konten ‘Berbahaya’ 05 Mar 2019 Kekuatan Pembuktian Screenshot Laman Konten Pornografi 19 Feb 2019 Recovery File Foto Pribadi di HP dan Masalah Hukumnya 15 Feb 2019 Ulasan : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dikatakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan (“UU Sistem Perbukuan”) , bahwa yang dimaksud Sistem Perbukuan adalah tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara menyeluruh dan terpadu, yang mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penggunaan, penyediaan, dan pengawasan buku. Lalu istilah buku adalah karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala. [1] Diakses dari artikel Literatur Apa Itu? yang kami akses dari laman Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI), literatur dalam bahasa Inggris “literature” artinya karya sastra, contoh puisi, drama, novel, dan sebagainya. Bisa dibilang bahwa literatur/bacaan adalah suatu bahan bacaan terdiri dari huruf, angka dan gambar yang dapat digunakan untuk beraktifitas dan kumpulan tulisan atau sumber informasi mengandung berbagai macam pengetahuan. Bentuk dari literatur terdiri dari softcopy (data komputer) dan hardcopy (media cetak di lembaran). Jika melihat definisi di atas, maka literatur yang Anda maksud adalah buku cetak dan buku elektronik . Buku cetak merupakan karya tulis yang berupa teks, gambar, atau gabungan dari keduanya yang dipublikasikan dalam bentuk cetak . Sedangkan buku elektronik adalah karya tulis yang berupa teks, gambar, audio, video, atau gabungan dari keseluruhannya yang dipublikasikan dalam bentuk elektronik . [2] Selanjutnya jenis buku dibagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: [3] buku pendidikan, yaitu buku yang digunakan dalam pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan akademik, pendidikan profesi, pendidikan vokasi, pendidikan keagamaan, dan pendidikan khusus; dan buku umum, yaitu merupakan jenis buku di luar buku pendidikan. Karena pada pertanyaan disebutkan bahwa buku yang dimaksud adalah berupa komik dan novel, maka dalam hal ini di luar buku pendidikan, termasuk ke dalam jenis buku umum. Adapun pelaku perbukuan terdiri atas Penulis, Penerjemah, Penyadur, Editor, Desainer, Ilustrator, Pencetak, Pengembang Buku Elektronik, Penerbit, dan Toko Buku. [4] Sangat erat kaitannya dalam menerbitkan buku harus dilakukan pemerolehan naskah buku melalui akuisisi naskah secara aktif dan juga dilakukan melalui penulisan, penerjemahan dari buku bahasa daerah/ asing, atau penyaduran. [5] Pemerolehan naskah buku harus memenuhi syarat isi yang terdiri atas: [6] tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila; tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, ras, dan/atau antargolongan; tidak mengandung unsur pornografi; tidak mengandung unsur kekerasan; dan/atau tidak mengandung ujaran kebencian. Definisi pornografi di Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”) adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat : persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak. Bagi orang yang melakukan tindakan pornografi dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, maka dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 6 miliar. [7] Sanksi ini dikenakan kepada pelaku perbukuan. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku perbukuan, dan masyarakat melakukan pengawasan atas Sistem Perbukuan yang bertujuan untuk menjamin agar Sistem Perbukuan terselenggara dengan baik. [8] Menjawab pertanyaan Anda, pembuat literatur berkonten seksual dapat dijerat UU Pornografi apabila memenuhi unsur-unsur pidana dalam UU Pornografi. Jika konten seksual yang dimaksud memenuhi unsur-unsur Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Maka sudah barang tentu si pembuat konten (dalam hal ini Anda sebagai penulis/ si pembuat novel & komik) bisa dipidana sesuai sanksi yang disebutkan oleh UU Pornografi. Tidak hanya penulis sebagai pembuat, penerbit yang memproduksi dan memperbanyak, juga toko buku yang memperjualbelikan misalnya, juga dapat dipidana. Namun kami hanya bisa menyimpulkan berdasarkan apa yang diatur dalam UU Pornografi. Pada praktiknya tentu akan dilakukan penyidikan secara mendalam, hal tersebut dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. [9] Tentunya juga dengan menghadirkan ahli-ahli yang kompeten terkait perbukuan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan REFERENSI:\n1. Literatur Apa Itu? , diakses pada 12 Maret 2019 pukul 11:00 WIB. [1] Pasal 1 angka 2 UU Sistem Perbukuan [2] Pasal 5 UU Sistem Perbukuan [3] Pasal 6 ayat (1), (2), dan (8) UU Sistem Perbukuan [4] Pasal 12 UU Sistem Perbukuan [5] Pasal 42 ayat (1), (2), dan (3) UU Sistem Perbukuan [6] Pasal 42 ayat (4) dan (5) UU Sistem Perbukuan [7] Pasal 29 UU Pornografi [8] Pasal 69 ayat (1) dan (2) UU Sistem Perbukuan [9] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) hukumonline google anak teknologi video porno pornografi buku porno hukum klinik seksual klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah perkataan dalam sms ini melanggar hukum? \"kita \"BERSETUBUH yuk saya sudah tidak tahan.\" kata-kata sudah disensor dan bukan kata sebenarnya karena terlalu kasar menurut saya dan tidak pantas."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari Pengiriman SMS bermuatan asusila dapat dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tanpa menampik penggunaan istilah “pelanggaran hukum” yg An da sebut, menurut hemat kami, lebih tepat apabila pelanggaran hukum tersebut diganti menjadi istilah “pelecehan seksual sebagai bentuk pelanggaran kesusilaan”. Oleh karena itu, kami simpulkan pertanyaan Anda adalah apakah sebuah pesan singkat (SMS) yang berisi kata-kata ajakan “kita bersetubuh yuk, saya sudah tidak tahan” termasuk pelecehan seksual atau tidak. KLINIK TERKAIT Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya 22 Feb 2024 Ada Pelecehan di Tempat Kerja? Tempuh Langkah Ini 29 Jan 2024 Cara Melaporkan Pelecehan Seksual Tanpa Bukti 22 Nov 2023 Bisakah Pelecehan Seksual Verbal Dipidana? 12 Jun 2023 Memang, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) itu sendiri tidak mengenal istilah pelecehan seksual. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas yang ditulis oleh Ratna Batara Munti, KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul , yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP . Istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Masih bersumber dari artikel yang sama, lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam pengertian itu berarti segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksua l. Penjelasan lain soal pelecehan seksual juga dapat Anda simak dalam artikel Apakah Memandang Termasuk Pelecehan Seksual? Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan demikian, jika memang menurut si penerima pesan kata-kata ajakan bersetubuh itu dinilai tidak pantas, berarti ada unsur adanya ketidakinginan atau penolakan hal yang bersifat seksual tersebut. Dengan kata lain, jika pesan yang berisi ajakan bersetubuh itu tidak dikehendaki oleh penerima pesan, maka merupakan pelecehan seksual. Anda juga menyebut bahwa pesan itu dikirim melalui pesan singkat (SMS) sehingga pesan itu dikategorikan sebagai informasi elektronik sebagaimana dikenal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Jika seseorang mengirim SMS yang bermuatan asusila seperti mengajak bersetubuh kepada orang lain, maka berlaku Pasal 27 ayat (1) UU ITE baginya yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan .” Mengenai pelanggaran terhadap perbuatan tersebut, pelaku yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten yang mengandung muatan pelanggaran kesusilaan dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU ITE ,yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sebagai contoh kasus dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Klas 1A Padang Nomor 393/Pid.B/2014/PN.Pdg. Terdakwa sering kali mengirimkan SMS kepada korban yang berisi ajakan phone sex. Dalam pertimbangannya dengan berdasarkan keterangan dari ahli, hakim mengatakan bahwa SMS yang berisi mengajak hubungan seksual , melakukan onani, membicarakan alat kelamin sedangkan SMS tersebut tidak dikehendaki oleh penerima merupakan salah satu contoh muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dengan sengaja mentransmisikan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” sesuai Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan dihukum dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Klas 1A Padang Nomor 393/Pid.B/2014/PN.Pdg"
} |
{
"from": "human",
"value": "Suami saya berencana menikah lagi tapi saya tidak mengizinkan. Jika dia nekat, apakah nikah siri bisa dituntut secara hukum? Apakah saya bisa pidanakan suami yang menikah lagi tanpa izin? Mohon terangkan dasar hukum pidana bagi suami yang menikah lagi untuk kasus saya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dalam KUHP, perbuatan suami yang melangsungkan pernikahan poligami tanpa izin pengadilan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 279 KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, yang berbunyi:"
} |
{
"from": "human",
"value": "Akhir-akhir ini terdengar isu bahwa Jakarta akan tenggelam karena eksploitasi air tanah besar-besaran. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana sebenarnya pengaturan soal pemanfaatan air tanah saat ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berbicara mengenai pemanfaatan air tanah, perlu kami jelaskan terlebih dahulu mengenai hak guna air. Pasal 47 ayat (1) UU PA mendefinisikan hak guna air sebagai hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain. Hak guna air merupakan salah satu bentuk hak atas air dan ruang angkasa.[1]\n\nHak guna air, hak pemeliharaan, dan penangkapan ikan adalah berkaitan dengan air yang tidak berada di atas tanah milik sendiri. Jika mengenai air yang berada di atas tanah milik sendiri, maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi hak milik atas tanah. Lebih lanjut, hak guna air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air yang berada di luar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya, rumah tangga dan lain sebagainya. Sering kali, air yang diperlukan itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air yang tidak diperlukan sering kali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah orang yang lain lagi. Orang-orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi pemilik tanah itu untuk mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya masing-masing.[2]\n\nAtau dengan kata lain, menurut hemat kami hak guna air memang diperuntukkan untuk kebutuhan umum sebagaimana penafsiran tekstual (original intent) dan bagian pertimbangan dari UU PA.\n\nBaca juga: Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism\nKetentuan Hukum mengenai Air Tanah\n\nSelain diatur dalam UU PA, pengaturan mengenai pemanfaatan air tanah dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 2 UU 17/2019 yang berbunyi:\n\nAir adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.\n\nKemudian, dalam Pasal 1 angka 6 UU 17/2019, sumber air juga didefinisikan dalam rangka menegaskan ruang lingkup air tersebut berasal, yang juga diperuntukkan bagi kepastian hukum atas perlindungan air sebagai berikut:\n\nSumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, atau di bawah permukaan tanah.\n\nLebih lanjut, Pasal 1 angka 1 Pergub DKI 93/2021 telah mendefinisikan air tanah secara spesifik, sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.\n\nAkan tetapi, Pergub DKI 94/2021 memiliki arti yang sedikit berbeda namun meluaskan cakupannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut:[3]\n\nAir Tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.\n\nPengaturan tentang penggunaan air tanah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (“DKI”) juga dapat kita temukan dalam Perda DKI 17/2010 jo. Pergub DKI 38/2017. Kedua peraturan tersebut mendefinisikan air tanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.[4]\nPengaturan Sumber Daya Air\n\nSelanjutnya, pada dasarnya air tanah termasuk dalam sumber daya air.[5] Pengaturan sumber daya air bertujuan untuk:[6]\n\nmemberikan pelindungan dan menjamin pemenuhan hak rakyat atas air;menjamin keberlanjutan ketersediaan air dan sumber air agar memberikan manfaat secara adil bagi masyarakat;menjamin pelestarian fungsi air dan sumber air untuk menunjang keberlanjutan pembangunan;menjamin terciptanya kepastian hukum bagi terlaksananya partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya air mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pemanfaatan;menjamin pelindungan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk Masyarakat Adat dalam upaya konservasi air dan sumber air; danmengendalikan daya rusak air secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan\nHal tersebut mengamanatkan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas dan wewenang untuk mengelola sumber daya air,[7] karena pada dasarnya sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.[8]\n\nDi sisi lain, apabila pihak selain Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah ingin melakukan kegiatan penggunaan sumber daya air, pihak yang bersangkutan wajib memperoleh Perizinan Berusaha atau persetujuan penggunaan sumber daya air yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.[9]\n\nAdapun pihak-pihak yang dapat diberikan Perizinan Berusaha meliputi sebagai berikut:[10]\n\nBadan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Badan Usaha Milik Desa; Koperasi; Badan usaha swasta; atau Perseorangan.\n\nKetentuan-ketentuan di atas menjelaskan bahwa dalam hal tata pengelolaan sumber daya air yang baik salah satunya mengenai eksploitasi air tanah, setiap pelaku usaha harus melakukan koordinasi baik dengan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.\nObjek dan Subjek Pajak Air Tanah\n\nSebagai contoh di DKI Jakarta, pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah ditetapkan sebagai objek pajak air tanah. Selain itu, pajak air tanah juga berlaku bagi aktivitas dewatering.[11] Dewatering adalah kegiatan pengontrolan air untuk kepentingan mengeringkan areal penggalian yang akan dimanfaatkan sebagai bangunan bawah tanah atau untuk berbagai kepentingan.[12]\nAdapun yang tidak termasuk objek pajak air tanah yaitu:\npengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; [13]pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, peternakan rakyat, keperluan keagamaan, kegiatan laginnya yang diatur dengan Perda;[14]pengambilan atau pemanfaatan atau pengambilan dan pemanfaatan air tanah untuk keperluan pemadaman kebakaran.[15]\n\nSedangkan subjek pajak air tanah sekaligus wajib pajak air tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Pergub DKI 38/2017 adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Hal serupa juga telah diatur dalam Pasal 66 UU 1/2022.\nKelompok Pengguna Air Tanah\n\nLebih lanjut, Permen ESDM 20/2017 membagi kelompok pengguna air tanah berdasarkan tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah, volume air tanah yang diambil dan/atau dimanfaatkan, serta tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Pembagian tersebut terdiri atas:[16]\n\nKelompok 1, merupakan bentuk pengusahaan produk berupa air, meliputi:\npemasok air baku;perusahaan air minum; industri air minum dalam kemasan; dan lain-lain.\nKelompok 2, merupakan bentuk pengusahaan produk bukan air termasuk untuk membantu proses produksi dengan penggunaan air dalam jumlah besar, meliputi:\nindustri tekstil; pewarnaan/pencelupan kain; pabrik makanan olahan; dan lain-lain.\nKelompok 3, merupakan bentuk pengusahaan produk bukan air termasuk untuk membantu proses produksi dengan penggunaan air dalam jumlah sedang, meliputi:\nhotel bintang 1 dan hotel bintang 2; usaha persewaan jasa kantor; apartemen dan kampus; dan lain-lain\nKelompok 4, merupakan bentuk pengusahaan produk bukan air untuk membantu proses produksi dengan penggunaan air dalam jumlah kecil, meliputi:\nkelas melati; losmen/pondokan/penginapan/asrama/rumah sewa; tempat hiburan; dan lain-lain.\nKelompok 5, merupakan bentuk pengusahaan produk bukan Air untuk menunjang kebutuhan pokok, meliputi:\nusaha kecil skala rumah tangga; hotel non-bintang; rumah makan; dan lain-lain.\n\nPembagian kelompok pengguna air tanah dapat Anda baca selengkapnya pada Pasal 3 ayat (3) Permen ESDM 20/2017.\nEksploitasi Air Tanah di Jakarta\n\nUraian di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya telah terdapat sejumlah pengaturan atau ketentuan guna membatasi pemanfaatan air tanah. Namun pada kenyataannya, terjadi eksploitasi air tanah di Jakarta secara berlebihan, sebagaimana yang Anda katakan. Berdasarkan penelusuran kami, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui artikel Peta Cekungan Air Tanah Menjadi Acuan Pembuatan Tata Ruang mengonfirmasi terjadinya kerusakan Cekungan Air Tanah (“CAT”) di Jakarta, yang disebabkan eksploitasi air tanah yang berlebihan.\nMenjawab pertanyaan Anda, ketentuan pidana bagi para pihak yang melanggar ketentuan mengenai pemanfaatan air tanah dijatuhi hukuman pidana dalam Pasal 69 huruf b UU 17/2019 yang berbunyi:\n\nSetiap orang yang dengan sengaja menggunakan sumber daya air yang menimbulkan kerusakan pada sumber air, lingkungan dan/atau prasarana sumber daya air di sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU 17/2019 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 18 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit Rp2.5 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.\n\nKemudian, setiap orang yang dengan sengaja melakukan penggunaan sumber daya air tanpa Perizinan Berusaha dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp5 miliar.[17]\n\nLalu, jika tindak pidana sumber daya air dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha, pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, dan/atau pimpinan badan usaha yang bersangkutan. Pidana yang dikenakan terhadap badan usaha berupa:[18]\n\npidana denda terhadap badan usaha sebesar dua kali pidana denda sebagaimana diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU 17/2019 dan perubahannya;pidana penjara terhadap pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana, yang lamanya sebagaimana diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU 17/2019 dan perubahannya; dan/ataupidana penjara terhadap pimpinan badan usaha, yang besarnya sama sebagaimana diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 73 UU 17/2019 dan perubahannya.\n\nBaca Juga: Perizinan Pengelolaan Air Harus Perhatikan 6 Prinsip Ini\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pedoman Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah;Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah;Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah;Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah;Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 94 Tahun 2021 tentang Nilai Perolehan Air Tanah Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Air Tanah.\n\nReferensi:\n\nPeta Cekungan Air Tanah Menjadi Acuan Pembuatan Tata Ruang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, diakses pada Kamis, 5 Oktober 2023, pukul 10.23 WIB.\n\n[1] Pasal 16 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU PA”).[2] Penjelasan Pasal 47 UU PA.[3] Pasal 1 angka 2 Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 94 Tahun 2021 tentang Nilai Perolehan Air Tanah Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Air Tanah (“Pergub DKI 94/2021”).[4] Pasal 1 angka 10 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah (“Perda DKI 17/2010”) jo. Pasal 1 angka 13 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah (“Pergub DKI 38/2017”).[5] Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (“UU 17/2019”).[6] Pasal 3 UU 17/2019.[7] Pasal 53 angka 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 9 ayat (1) UU 17/2019.[8] Pasal 5 UU 17/2019.[9] Pasal 53 angka 10 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 44 ayat (3) UU 17/2019.[10] Pasal 53 angka 12 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 49 ayat (5) UU 17/2019.[11] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Pergub DKI 38/2017.[12] Pasal 1 angka 18 Pergub DKI 38/2017.[13] Pasal 3 ayat (4) huruf a Pergub DKI 38/2017.[14] Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (“UU 1/2022”).[15] Pasal 3 ayat (4) huruf c Pergub DKI 38/2017.[16] Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pedoman Penetapan Nilai Perolehan Air Tanah.[17] Pasal 53 angka 17 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 70 huruf d UU 17/2019.[18] Pasal 74 UU 17/2019."
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada orang membawa ayam satu truk ke kampung saya untuk diternak karena kampung asalnya tertular flu burung. Udah gitu ternyata ayamnya menularkan penyakit, sampe-sampe burung-burung merpati saya ada yang mati karena flu burung dari sana, ketularan kayaknya. Apa orang yang membawa ayam berpenyakit menular itu bisa dipenjara? Karena sekampung usaha burung merpatinya amblas karena pada sakit. Di kampung saya banyak usaha burung merpati."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hewan harus Bebas Penyakit Dalam pertanyaan, Anda menyebutkan ayam dan merpati, hal ini berarti termasuk ke dalam definisi hewan yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU 18/2009”) sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (”UU 41/2014”) , yaitu: Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya. Adanya pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan bertujuan untuk: [1] mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; mencukupi kebutuhan pangan, barang, dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya saing, dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat menuju pencapaian ketahanan pangan nasional; melindungi, mengamankan, dan/atau menjamin wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia, hewan , tumbuhan, dan lingkungan; mengembangkan sumber daya hewan bagi kesejahteraan peternak dan masyarakat; dan memberi kepastian hukum dan kepastian berusaha dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan. Yang dimaksud dengan “ancaman” antara lain yaitu penyakit hewan , cemaran biologik, kimiawi, fisik, maupun salah kelola (missmanagement ) dan salah urus (missconduct) dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan. [2] Selanjutnya kami asumsikan bahwa Anda dan beberapa rekan Anda di kampung tersebut adalah peternak yang menjual burung merpati, peternak adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha p eternakan , yaitu segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit, bakalan, ternak ruminansia indukan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana. [3] Mencegah Penyakit Hewan Perlu dipahami yang dimaksud dengan “pencegahan penyakit hewan” adalah tindakan karantina yang dilakukan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam negeri , atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. [4] Untuk itu perlu adanya pencegahan penyakit hewan yang dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan koordinasi lintas sektoral, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan (dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, sampai dengan evaluasi). Selain itu pemerintah dan pemerintah daerah melakukan penyebarluasan informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat agar membantu pencegahan tersebut dengan cara berperan aktif. [5] Memberantas Penyakit Hewan Menular (Flu Burung) Berdasarkan laman Center for Disease Control and Prevention – Information on Avian Influenza , dijelaskan sebagai berikut: Avian influenza refers to the disease caused by infection with avian (bird) influenza (flu) Type A viruses. These viruses occur naturally among wild aquatic birds worldwide and can infect domestic poultry and other bird and animal species. Avian flu viruses do not normally infect humans. However, sporadic human infections with avian flu viruses have occurred. Berkaitan dengan flu burung atau Avian Influenza , perlu diperhatikan adalah pemberantasan penyakit hewan, yang berdasarkan Penjelasan Pasal 39 ayat (1) alinea ke-4 UU 18/2009 didefinisikan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “pemberantasan penyakit hewan” adalah tindakan untuk membebaskan suatu wilayah dan/atau kawasan pengamanan hayati dan/atau pulau dari penyakit hewan menular yang meliputi usaha penutupan daerah tertentu terhadap keluar-masuk dan lalu-lintas hewan dan produk hewan, penanganan hewan tertular dan bangkai, serta tindakan penanganan wabah yang meliputi eradikasi penyakit hewan dan depopulasi hewan. Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan , hewan dan manusia, serta hewan dan media pembawa penyakit hewan lain melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara, tanah, pakan, peralatan, dan manusia, atau melalui media perantara biologis seperti virus, bakteri, amuba, atau jamur. [6] Selain itu perlu diketahui bahwa setiap orang , termasuk peternak, pemilik hewan, dan perusahaan peternakan yang berusaha di bidang peternakan yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian tersebut kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau dokter hewan berwenang setempat. Flu burung atau Avian Influenza merupakan salah satu penyakit hewan menular yang wajib dilaporkan . [7] Hewan Berpenyakit Menularkan Penyakit kepada Hewan Lain Larangan seseorang menularkan penyakit kepada hewan lain dengan cara memasukkan hewan berpenyakit secara tidak langsung disebutkan di Pasal 46 ayat (5) UU 18/2009 , yang berbunyi: Setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan , produk hewan, dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/atau terduga ke daerah bebas . Pada posisi yang Anda ceritakan, ayam berasal dari kampung yang telah terkontaminasi (daerah tertular/terduga tertular) oleh penyakit hewan flu burung/Avian Influenza, lalu di bawa ke kampung dimana Anda tinggal (daerah bebas). Jika melihat Pasal 46 ayat (5) UU 18/2009, maka perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur di pasal tersebut. Maka sanksinya berdasarkan Pasal 89 ayat (2) UU 18/2009 ialah: Setiap orang yang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan, atau media pembawa penyakit hewan lainnya ke dalam wilayah bebas dari wilayah tertular atau terduga tertular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) , Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 60 ayat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Meskipun pada akhirnya hakim yang akan memutus perkara tersebut, tetapi keterangan Anda diperlukan dalam proses penyidikan. [8] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan . Referensi : Center for Disease Control and Prevention – Information on Avian Influenza , diakses pada Rabu, 24 April 2019, pukul 10.25 WIB. [1] Pasal 3 UU 18/2009 [2] Penjelasan Pasal 3 huruf c UU 18/2009 [3] Pasal 1 angka 14 dan angka 1 UU 41/2014 [4] Lihat Penjelasan Pasal 39 ayat (1) alinea 2 UU 18/2009 jo. Pasal 41 huruf b UU 41/2014 [5] Lihat Pasal 41A UU 41/2014 [6] Pasal 1 angka 35 UU 41/2014 [7] Pasal 45 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 45 ayat (1) UU 18/2009 [8] Lihat Pasal 84 ayat (2) huruf c dan e UU 18/2009 hewan flu burung hukumonline google ayam online peternakan hukum lingkungan hidup pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Yth hukumonline, saya ingin bertanya, apabila saya sebagai korban melaporkan pencurian dan ternyata di putusan kasasi pelaku justru dibebaskan karena dianggap tidak terbukti, kemudian apakah saya dapat dilaporkan ke polisi atas tuduhan tindak pidana laporan palsu? Lalu upaya hukum apa yang dapat saya lakukan untuk mencegah hal tersebut? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Saudara menyebutkan bahwa dalam putusan Kasasi ternyata terdakwa (orang yang Saudara laporkan telah melakukan pencurian) tidak terbukti bersalah , maka hal tersebut merupakan bukti hukum yang menguatkan bahwa orang tersebut tidak melakukan tindak pidana pencurian. Hal ini merujuk pada Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : Pasal 314 (1) Jika yang dihina, dengan putusan hakim yang menjadi tetap, dinyatakan bersalah atas hal yang dituduhkan, maka pemidanaan karena fitnah tidak mungkin. (2) Jika dia dengan putusan hakim yang menjadi tetap dibebaskan dan hal yang dituduhkan, maka putusan itu dipandang sebagai bukti sempurna bahwa hal yang dituduhkan tidak benar . (3) Jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan KLINIK TERKAIT Bisakah Terdakwa yang Dibebaskan Menuntut Balik Pelapor? 21 Mei 2024 Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi? 13 Mei 2024 Hukumnya Spill Nama Orang Pakai Inisial di Media Sosial 01 Apr 2024 Jerat Pidana Fitnah bagi Perusahaan yang Tuduh Karyawan 10 Nov 2022 Karena dia tidak terbukti melakukan pencurian seperti yang Saudara laporkan, Saudara bisa diancam pidana karena melakukan pengaduan fitnah berdasarkan Pasal 317 KUHP : “Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah , dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan Pasal tersebut, Saudara memang dapat diadukan ke polisi dengan tuduhan fitnah karena membuat laporan palsu (pengaduan fitnah) sehingga menyerang kehormatan dan nama baiknya. Orang yang merasa difitnah tersebut dapat menggunakan laporan Saudara ter dahulu serta putusan Kasasi yang menyatakan ia tidak bersalah sebagai barang bukti. Namun, t indak pidana fitnah ini baru akan diproses hanya apabila ada pengaduan dari korban (lihat Pasal 319 KUHP ). Akan tetapi, dalam hal ini titik beratnya adalah adanya pengaduan atau pemberitahuan palsu . Artinya, harus dibuktikan bahwa si pelapor (Saudara) sudah mengetahui bahwa pengaduan yang Saudara lakukan adalah tidak benar, namun Saudara tetap mengajukan laporan tersebut, dengan maksud untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Jika ternyata Saudara terbukti tidak mengetahui bahwa laporan Saudara adalah palsu , maka Saudara tidak bisa dikenakan pidana pengaduan fitnah tersebut. Lebih jauh simak artikel Pencemaran Nama Baik (Pengaduan Fitnah) . Jadi, jika pengaduan Saudara memang dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan Saudara bahwa laporan yang Saudara buat adalah palsu, Saudara tidak perlu melakukan upaya apapun karena unsur pidananya tidak terpenuhi. Tapi, jika Saudara sudah mengetahui laporan tersebut palsu, y ang mungkin dapat Saudara lakukan adalah dengan melakukan pendekatan kekeluargaan . Karena memang orang yang merasa dicemarkan nama baiknya itu berhak mengadukan Saudara ke kepolisian . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht ) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap dokter yang melakukan aborsi ilegal? Bagaimana juga dalam penerapan dalam praktik, apabila terdapat kasus dokter sebagai pelaku aborsi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Perlindungan Pasien pada Praktik Pengobatan Tradisional 16 Apr 2024 Jerat Pidana Jual Beli Organ Tubuh Manusia 08 Nov 2023 Penahanan Pasien oleh Rumah Sakit termasuk Penyanderaan? 06 Nov 2023 Aspek Hukum tentang Surrogate Mother (Ibu Pengganti) 28 Mar 2018 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, aborsi adalah pengguguran kandungan. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 36Tahun 2009 tentang Kesehatan (\"UU Kesehatan\"). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi diberikan HANYA dalam 2 kondisi berikut: a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (lihat Pasal 75 ayat [2] UU Kesehatan ) Namun, tindakan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan itu pun HANYA DAPAT dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang (lihat Pasal 75 ayat [3] UU Kesehatan ). Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan: a) sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. (lihat Pasal 76 UU Kesehatan ) Jadi, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi ilegal. Sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi; \"setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.\" Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya. Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (\"KUHP\"). Ketentuannya antara lain sebagai berikut: Pasal 299 1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah. 2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. 3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu. Pasal 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal 347 1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 348 1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Pasal 349 Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. Pada praktiknya, bila ada dokter yang melakukan aborsi, maka masyarakat dapat melaporkan dokter tersebut ke kepolisian untuk diselidiki. Selanjutnya, bila memang ada bukti yang cukup dokter tersebut dengan sengaja telah melakukan aborsi ilegal terhadap pasien(-pasien)nya, maka proses pidana akan dilanjutkan oleh penyidik dan jaksa sebelum melalui proses di pengadilan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73); 2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah peraturan atau undang-undang yang menyebutkan bahwa masyarakat yang tidak memiliki atau mengikuti BPJS akan dikenai sanksi administratif? Dan sanksi apa yang akan diberikan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kewajiban Mendaftar Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (“BPJS”) Pada dasarnya, BPJS dibagi menjadi 2 yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan . Karena Anda tidak menyebutkan BPJS yang mana, kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai kewajiban pendaftaran BPJS Kesehatan . BPJS Kesehatan Setiap penduduk Indonesia wajib ikut serta dalam program jaminan kesehatan . [1] Ikut serta ini dilaksanakan dengan cara mendaftar atau didaftarkan pada BPJS Kesehatan. [2] Peserta jaminan kesehatan terdiri dari: [3] PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan dan Bukan PBI Jaminan Kesehatan yang terdiri dari: PPU (Pekerja Penerima Upah) dan anggota keluarganya, PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan anggota keluarganya, serta BP (Bukan Pekerja) dan anggota keluarganya. Setiap peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak mendapatkan identitas peserta berupa Kartu Indonesia Sehat yang minimal memuat nama dan nomor identitas peserta yang terintegrasi dengan Nomor Identitas Kependudukan, kecuali untuk bayi baru lahir. [4] Bagi penduduk yang belum terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan dapat didaftarkan pada BPJS Kesehatan oleh pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. [5] Selain itu, pemberi kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta jaminan kesehatan BPJS Kesehatan dengan membayar iuran. [6] Dalam hal pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya kepada BPJS Kesehatan, pekerja yang bersangkutan berhak mendaftarkan dirinya sebagai peserta jaminan kesehatan. [7] BPJS Ketenagakerjaan Kemudian untuk BPJS Ketenagkerjaan terdiri atas jaminan kecelakaan kerja (“JKK”), jaminan kematian (“JKM”), jaminan pensiun (“JP”), dan jaminan hari tua (“JHT”) . [8] Setiap pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya serta setiap orang yang bekerja wajib mendaftarkan dirinya sebagai peserta dalam program JKK dan JKM kepada BPJS Ketenagakerjaan. [9] Setiap pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan sebagai peserta JP paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal pekerja tersebut mulai bekerja. [10] Setiap pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya serta setiap orang yang bekerja wajib mendaftarkan dirinya dalam program JHT ke BPJS Ketenagakerjaan. [11] Sanksi Tidak Mendaftar BPJS Kewajiban melakukan pendaftaran BPJS Kesehatan bagi PBPU dan BP dilaksanakan paling lambat tanggal 1 Januari 2019, jika melebihi waktu akan dikenai sanksi : [12] teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Selain itu, sanksi administrasi di atas juga dikenakan bagi setiap orang selain pemberi kerja, pekerja, dan PBI yang tidak mendaftarkan dirinya untuk mengikuti program BPJS, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. [13] Adapun pemberi kerja selain penyelenggara negara yang tidak mendaftarkan dirinya dan pekerjanya ke BPJS juga dikenai sanksi administratif di atas. [14] Pengenaan sanksi teguran tertulis dan denda dilakukan oleh BPJS, sedangkan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu dilakukan pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. [15] Yang dimaksud dengan pelayanan publik tertentu antara lain pemrosesan izin usaha, izin mendirikan bangunan, bukti kepemilikan hak tanah dan bangunan. [16] Lebih lanjut, sanksi tidak mendapat pelayanan publik menurut Pasal 60 ayat (1) PP 44/2015 dan Pasal 34 ayat (1) PP 46/2015 meliputi: perizinan terkait usaha; izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; izin mempekerjakan tenaga kerja asing; izin perusahaan penyedia jasa Pekerja/buruh; atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan [1] Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (“Perpres 82/2018”) [2] Pasal 6 ayat (2) Perpres 82/2018 [3] Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (1) Perpres 82/2018 [4] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Perpres 82/2018 [5] Pasal 12 Perpres 82/2018 [6] Pasal 13 ayat (1) Perpres 82/2018 [7] Pasal 13 ayat (2) Perpres 82/2018 [8] Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU 24/2011”) [9] Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (“PP 4/2015”) [10] Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun (“PP 45/2015”) [11] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (“PP 46/2015”) [12] Pasal 17 Perpres 82/2018 jo. Pasal 17 ayat (2) UU 24/2011 [13] Pasal 16 jo. Pasal 17 ayat (1) UU 24/2011 [14] Pasal 13 ayat (6) Perpres 82/2018 dan Pasal 17 ayat (1) UU 24/2011 [15] Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU 24/2011 [16] Penjelasan Pasal 17 ayat (2) huruf c UU 24/2011 kesehatan covid-19 hukumonline ham administrasi denda sanksi administratif bpjs ketenagakerjaan bpjs hak asasi manusia klinik hukumonline bpjs kesehatan corona"
} |
{
"from": "human",
"value": "Di tempat kami kebetulan ada dua rumah yang jaraknya kurang lebih 1 km. Prihatinnya rumah tersebut dijadikan tempat prostitusi, pelakunya anak-anak muda dan banyak kalangan pelajar. Masyarakat mengadu kepada saya dan saya sudah tindak lanjuti melaporkan ke pihak yang berwajib. Satu minggu kemudian ada penangkapan tetapi satu bulan kemudian semakin menjadi-jadi. Menurut masyarakat polsek dan satpol PP juga ikut menggunakan rumah tersebut, jadi aman. Pertanyaan: 1. Kira-kira langkah apa yang saya ambil terkait dengan laporan saya yang mandul? 2. Apa sanksi hukum bagi pemilik rumah dan pelakunya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. 1. Kami kurang jelas yang Anda maksud dengan laporan tersebut mandul. Berdasarkan cerita Anda, pada dasarnya polisi telah memproses laporan Anda, terlihat dari adanya penangkapan yang dilakukan terhadap para pelaku. Mungkin yang Anda maksud mandul adalah tindak pidana tersebut tidak berhenti, tetapi terus berlanjut. KLINIK TERKAIT Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK 14 Feb 2023 Jenis-jenis Pekerjaan yang Dilarang Dilakukan Anak 21 Mar 2013 Bolehkah Bar Menyediakan Pekerja Seks Komersial? 30 Jan 2013 Bagaimana Prosedur Pemeriksaan Tersangka dalam Kode Etik Kepolisian? 31 Mei 2011 Anda dapat melaporkan kembali tindak pidana tersebut. Hal ini tidak termasuk ne bis in idem karena perbuatan yang Anda laporkan tersebut terjadi pada waktu yang berbeda. Lebih lanjut mengenai ne bis in idem , Anda dapat membaca artikel yang berjudul Apa Syarat Suatu Gugatan Dinyatakan Ne Bis In Idem? dan Tentang Double Jeopardy, Ne Bis In Idem, dan Recidive . 2. Kami kurang jelas, apakah yang Anda maksud “pelaku” itu adalah para pengguna jasa prostitusi atau pihak yang menyediakan jasa. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Karena Anda menyebutkan anak-anak muda dan pelajar, kami berasumsi bahwa mereka merupakan anak sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) , yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Di dalam Pasal 2 huruf (b) Lampiran Undang-Undang No. 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale Of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) (“UU 10/2012”) dikatakan bahwa prostitusi anak adalah pemanfaatan seorang anak dalam aktifitas seks untuk suatu imbalan alasan lainnya. Pada dasarnya prostitusi anak ini dilarang. Mengacu pada konsiderans UU 10/2012, disahkannya Protokol Opsional Anak ini merupakan perwujudan perlindungan pemerintah terhadap anak Indonesia dari eksploitasi ekonomi dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu pendidikan anak, merusak kesehatan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan sosial anak. Selain itu, kegiatan prostitusi anak merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus diberantas dan pelaku tindak pidana prostitusi anak harus dihukum. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) itu sendiri, prostitusi diatur pada Pasal 296 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.” R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 217), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa pasal ini untuk memberantas orang-orang yang mengadakan rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran. Supaya dapat dihukum berdasarkan pasal ini, harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi “pencaharian” (dengan pembayaran) atau “kebiasaannya” (lebih dari satu kali). Yang dimaksud perbuatan cabul itu sendiri, merujuk kepada penjelasan R. Soesilo mengenai Pasal 289 KUHP, yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Persetubuhan termasuk pula dalam pengertian perbuatan cabul. Lebih lanjut dikatakan bahwa yang dapat dikenakan Pasal 296 KUHP misalnya orang yang menyediakan rumah atau kamarnya kepada perempuan dan laki-laki untuk melacur (bersetubuh atau melepaskan nafsu kelaminnya). Biasanya untuk itu disediakan pula tempat tidur. Menjawab pertanyaan Anda, sanksi bagi pemilik rumah yang menjadikan rumahnya sebagai tempat prostitusi untuk perbuatan pelacuran dengan membuatnya sebagai pencaharian, maka pemiliknya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 296 KUHP. Selanjutnya, apa sanksi bagi pelaku yang menjalankan praktik pelacuran di tempat prostitusi itu? Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK , walaupun di dalam ketentuan KUHP tidak ada pasal yang mengatur tentang pidana bagi Pekerja Seks Komersial (PSK) maupun pemakai jasa PSK, namun di dalam peraturan daerah bisa kita temukan pengaturannya. Contoh peraturan daerah yang dapat menjerat pidana PSK maupun pemakai jasa PSK misalnya Pasal 42 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI 8/2007”): “ Setiap orang dilarang: a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b. menjadi penjaja seks komersial; c. memakai jasa penjaja seks komersial .” Orang yang melanggar ketentuan ini dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp. 500.000 dan paling banyak Rp. 30 juta ( Pasal 61 ayat [2] Perda DKI 8/2007 ). Jadi, ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia tempat untuk pelacuran sedangkan ketentuan yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku seperti dalam pertanyaaan Anda (PSK atau pemakai jasa PSK) diatur dalam peraturan daerah masing-masing. Namun demikian, ada yang perlu dicermati di sini. Di atas telah kami jelaskan bahwa arti prostitusi adalah pemanfaatan seseorang dalam aktifitas seks untuk suatu imbalan. Dari sini kita bisa lihat dua kemungkinan, yakni apakah orang yang melakukan pelacuran tersebut melakukannya tanpa paksaan atau tidak dengan paksaan. Apabila kegiatan melacur tersebut dilakukan tanpa paksaan, maka pelakunya dikenakan sanksi sesuai dengan perda daerah setempat. Namun, apabila kegiatan pelacuran tersebut dilakukan dengan ancaman kekerasan atau paksaan terhadap seseorang untuk mau dijadikan pekerja seks komersial, maka tindakan tersebut dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU No. 21/2007”) . Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai eksploitasi orang, yakni tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran , kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil ( Pasal 1 angka 7 UU No. 21/2007 ). Sanksi bagi orang yang melakukan eksploitasi seperti dalam cerita Anda berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU 21/2007 adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Apabila yang dieksploitasi adalah anak, berdasarkan Pasal 66 ayat (3) jo. Pasal 66 ayat (1) UU Perlindungan Anak ,s etiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi dan/atau seksual terhadap anak . Sanksi bagi s etiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU Perlindungan Anak. Jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak, misalnya sebagai pengguna jasa prostitusi, maka berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) , ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang yang sudah dewasa . Oknum polisi Selanjutnya, poin lain yang Anda angkat adalah terkait oknum polisi yang turut menggunakan rumah tersebut untuk melakukan aktifitas cabul. Mengenai hal ini, walaupun oknum kepolisian termasuk warga sipil, namun terhadap mereka juga berlaku ketentuan Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi. Peraturan Disiplin Polri diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”). Sedangkan, kode etik kepolisian diatur dalam Perkapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”). Oknum polisi yang melakukan tindak pidana termasuk melakukan pencabulan di dalam rumah yang dijadikan tempat prostitusi berarti telah melanggar aturan disiplin dan kode etik karena setiap anggota polri wajib menjaga tegaknya hukum serta menjaga kehormatan, reputasi, dan martabat Kepolisian Republik Indonesia (lihat Pasal 5 huruf a PP 2/2003 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 Perkapolri 14/2011 ). Pelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan ( Pasal 12 ayat [1] PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat [2] Perkapolri 14/2011 ). Oleh karena itu, oknum polisi tersebut tetap akan diproses hukum acara pidana walaupun telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik. Selengkapnya mengenai penjatuhan sanksi terhadap oknum polisi ini dapat Anda simak dalam artikel Proses Hukum Oknum Polisi yang Melakukan Tindak Pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915 ; 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; 4. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentangPemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ; 5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale Of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) ; 6. Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Referensi: R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor. prostitusi pelacuran"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebenarnya bagaimana ketentuan tentang ‘pak ogah’ yang ada di putaran atau di belokan jalan? Apakah yang kasih duit ke Pak Ogah bisa dihukum juga?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Pada dasarnya setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa. Orang yang menjadi ‘ pak ogah ’ , dapat dikenakan sanksi pidana. Sedangkan bagi pengemudi yang memberikan uang kepada pak ogah, tidak ada sanksi apapun. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Pengaturan Mengenai ‘ Pak Ogah ’ Pak ogah atau yang biasa disebut juga dengan polisi cepek biasanya memanfaatkan kesemrawutan lalu lintas untuk mengambil alih peran polisi dalam mengatur lalu lintas di jalanan Ibu Kota. [1] Apakah keberadaan pak ogah ini diperbolehkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia? KLINIK TERKAIT Aturan Hukum Penukaran Uang Lebaran di Pinggir Jalan 27 Mar 2024 Bikin 'Polisi Tidur' Sembarangan? Ini Hukumannya 09 Mei 2023 Sanksi Berjualan di Fasilitas Umum Perumahan 29 Okt 2013 Jerat Hukum Bagi Orang Mabuk yang Mengganggu Orang Lain 11 Okt 2012 Pada dasarnya setiap orang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kewenangan dilarang melakukan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa . [2] Kegiatan pengaturan lalu lintas ini dilakukan oleh orang perorang atau sekelompok orang yang terorganisir dengan maksud memperoleh imbalan uang. Terhadap ‘ pak ogah ’ atau ‘ polisi cepek ’ yang melanggar ketentuan di atas, dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000, (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). [3] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Bagaimana dengan orang yang memberikan uang kepada pak ogah? Sepanjang penelusuran kami, tidak ada sanksi bagi orang yang memberikan uang kepada pak ogah tersebut. Penegakan Ketertiban Terhadap Pak Ogah Tanpa kewenangan melakukan tindakan/perbuatan pengaturan lalu lintas pada persimpangan jalan, tikungan atau putaran jalan dengan maksud mendapatkan imbalan jasa merupakan salah satu tindak pidana pelanggaran terhadap tertib jalan. [4] Yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ketertiban umum adalah Satuan Polisi Pamong Praja (“Satpol PP”) bersama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (“SKPD”) terkait. [5] Sasaran kegiatan pembinaan, pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan ketertiban umum dalam bidang tertib jalan salah satunya adalah pengatur lalulintas yang tidak memiliki kewenangan. [6] Terhadap ‘ pak ogah ’ tersebut dapat dilakukan tindakan teguran lisan, penghalauan, dan penjemputan. [7] Teguran lisan dilakukan setelah: [8] a. petugas mendapat pengaduan/laporan; b. petugas menemukan terjadinya pelanggaran; dan c. petugas meninjau lokasi sasaran/lapangan. Penghalauan terhadap orang yang melakukan pengaturan lalu lintas (Pak Ogah) dilakukan oleh petugas terhadap para pelanggar setelah dilakukan teguran lisan namun tidak mengindahkan. [9] Penjemputan dilakukan oleh petugas terhadap para pelanggar apabila teguran lisan, maupun penghalauan tidak diindahkan dengan membuatkan Berita Acara Pemeriksaan menyangkut nama, tempat tanggal lahir, alamat, tempat berasal dan pekerjaan untuk dikirim ke panti sosial. [10] Mengenai penertiban pak ogah ini dapat kita lihat dalam artikel Keberadaan 'pak ogah' di Jalanan Jakarta akan Ditertibkan , sebagaimana kami akses dari laman Tribun Jakarta. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa keberadaan pengatur lalu lintas tak resmi atau biasa disebut 'pak ogah' di sejumlah titik putaran di ruas jalan di Jakarta, akan ditertibkan. Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Sambodo Purnomo, mengatakan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta diantaranya Dishub DKI, Dinas Sosial dan Satpol PP DKI, untuk menertibkan keberadaan 'pak ogah' tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum; 2. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum; Referensi: 1. http://megapolitan.kompas.com/read/2013/07/01/1049375/Sebulan.Perputaran.Uang.Pak.Ogah.di.DKI.Rp.6.75.M , diakses pada 9 Juli 2015 pukul 16.25; 2. http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/07/01/keberadaan-pak-ogah-di-jalanan-jakarta-akan-ditertibkan , diakses pada 9 Juli 2015 pukul 16.25. [1] Sebulan, Perputaran Uang \"Pak Ogah\" di DKI Rp 6,75 M , diakses pada 9 Juli 2015 pukul 16.25 [2] Pasal 7 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda 8/2007”) [3] Pasal 61 ayat (1) Perda 8/2007 [4] Pasal 9 huruf s angka 1 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 221 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Pergub 221/2009”) [5] Pasal 2 ayat (1) Pergub 221/2009 [6] Pasal 20 huru f z Pergub 221/2009 [7] Pasal 34 ayat (6) jo. ayat (5) jo. ayat (1) Pergub 221/2009 [8] Pasal 34 ayat (2) Pergub 221/2009 [9] Pasal 34 ayat (5) huruf c jo. ayat (1) Pergub 221/2009 [10] Pasal 34 ayat (6) Pergub 221/2009 ketertiban umum pengamen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Beberapa waktu lalu saya melakukan pendakian ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan di sana saya memandang sehamparan Bunga Edelweis yang indah dan menarik. Kemudian muncul inisiatif saya untuk memetiknya sebagai koleksi pribadi. Namun, pada saat saya kembali ke pos pengecekan atau keamanan untuk mengambil identitas yang saya titipkan, para petugas mendapati saya sedang menggenggam sebuah botol berisikan beberapa pucuk Bunga Edelweis. Akhirnya saya ditegur bahwa tindakan saya itu dilarang oleh hukum dan dapat dikenai sanksi pidana. Saya terkejut sekaligus penasaran. Yang sebenarnya, bagaimana sanksi hukum yang dapat diberikan jika seseorang seperti saya kedapatan memetik dan membawa bunga Edelweis keluar dari habitatnya semisal di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango? Kemudian apakah hukum yang mengaturnya juga berlaku terhadap jenis-jenis tumbuhan yang lain?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Bunga Edelweis ( Anaphalis Javanica ) masuk dalam kategori jenis tumbuhan yang dilindungi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi . Terhadap perbuatan Anda yang memetik/mengambil jenis tumbuhan yang dilindungi seperti Bunga Edelweis dari habitat aslinya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yang secara sengaja untuk membawa keluar atau berpindah ke tempat lain, dapat diancam sanksi pidana berdasarkan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya”) . Oleh karena dalam pertanyaan Anda menyebutkan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, maka perlu dipahami juga bahwa t aman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. [1] Berdasarkan informasi dari laman Tentang TNGGP , secara geografis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara 106º51`- 107º02`BT dan 6º41`- 6º51` LS. Secara administrastif taman nasional ini termasuk dalam wilayah tiga Kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur dengan total luasan 24.270,80 Ha. Beberapa Larangan yang Diatur dalam UU Koservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. [2] Menurut Pasal 4 UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya , konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. [3] Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. [4] Lebih tegasnya lagi, setiap orang dilarang untuk: [5] mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. [6] Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. [7] Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia. [8] Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. [9] Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Yang dimaksud dengan zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan traditional zona rehabilitasi, dan sebagainya. [10] Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis: [11] tumbuhan dan satwa yang dilindungi; dan tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi. Untuk jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud di atas selanjutnya digolongkan dalam ke dalam: [12] tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan; dan tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) sebagaimana telah dicabut sebagian dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (“Permenlhk P.20/2018”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (“Permenlhk P.92/2018”) , suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria: [13] mempunyai populasi yang kecil; adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; daerah penyebaran yang terbatas (endemik). Sesuai dengan jenis tumbuhan yang Anda maksud dalam pertanyaan sebelumnya di awal, Bunga Edelweis ( Anaphalis Javanica ) masuk dalam kategori jenis tumbuhan yang dilindungi sebagaimana tercantum dalam daftar N omor 798 L ampiran Permenlhk P.92/2018 . Jadi menjawab pertanyaan Anda : Terhadap perbuatan Anda yang memetik/mengambil jenis tumbuhan yang dilindungi seperti Bunga Edelweis dari habitat aslinya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, yang secara sengaja untuk membawa keluar atau berpindah ke tempat lain, dapat diancam sanksi pidana berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya , yaitu: Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) . Mengenai tumbuhan apa saja yang dilindungi oleh Pemerintah selain Bunga Edelweis ( Anaphalis Javanica ) dapat dilihat unsur-unsurnya sebagai tumbuhan yang dalam bahaya kepunahan, populasinya jarang/kecil, serta daerah penyebarannya terbatas (endemik) yang secara rinci terdaftar dalam Lampiran Permenlhk P.92/2018. Beberapa contoh di antaranya, yaitu kibut atau bunga bangkai raksasa ( Amorphophallus titanum ) di Sumatera, kelompok kantong semar ( Nepenthes ), dan kelompok bunga anggrek ( Paphiopedilum ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi Referensi : Tentang TNGGP , diakses pada 4 Desember 2018, pukul 10.12 WIB. [1] Pasal 1 angka 14 UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [2] Pasal 1 angka 2 UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [3] Pasal 19 ayat (1) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [4] Pasal 19 ayat (3) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [5] Pasal 21 ayat (1) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [6] Pasal 33 ayat (1) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [7] Pasal 33 ayat (2) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [8] Penjelasan Pasal 32 UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [9] Pasal 33 ayat (3) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [10] Penjelasan Pasal 32 UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [11] Pasal 20 ayat (1) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [12] Pasal 20 ayat (2) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya [13] Pasal 5 ayat (1) PP 7/1999 hukumonline sanksi online hukum lingkungan hidup lingkungan pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada 2 orang teman saya, A dan B. Si B ini berpacaran dengan C. Lalu si A datang ke rumah B dengan niat ingin berbicara, tetapi C tidak suka dengan A dan mengancam dengan kekerasan supaya A pulang. A tidak memedulikan ancaman itu dan tetap tinggal. Akhirnya C pergi dan memanggil teman-temannya untuk mengintimidasi A, sampai ia ketakutan dan pergi. Namun di tengah jalan, A ternyata dibuntuti oleh C dan teman-temannya. Mobil yang dikendarai A dihadang secara berbahaya oleh motor dari arah depan dan belakang, memaksa agar A menepi dan berhenti. Tetapi pada akhirnya, A berhasil kabur dari mereka. Pertanyaan saya, apakah kejadian penghadangan ini dapat disebut tindak pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pidana Pemaksaan dengan Ancaman Kekerasan Berdasarkan kronologis yang Anda ceritakan, A mengalami ancaman dengan kekerasan, sehingga dapat berlaku Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 , yang berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain; barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena . Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menegaskan bahwa jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP, kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2) , Pasal 303bis ayat (1) dan (2) KUHP , dilipatgandakan menjadi 1.000 kali. Maka untuk ketentuan denda di Pasal 335 ayat (1) KUHP menjadi Rp4,5 juta. Lebih lanjut, yang harus dibuktikan dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP tersebut menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal adalah (hal. 238): Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu; Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain. Jadi, pemenuhan pasal di atas cukup dengan adanya ancaman kekerasan atau kekerasan . Dalam artikel Makna “Intimidasi” Menurut Hukum Pidana , undang-undang memang tidak memberikan penjelasan bagaimana ancaman dengan kekerasan dilakukan, alhasil maknanya berkembang dalam yurisprudensi. Masih dari artikel yang sama, berdasarkan berbagai putusan Hoge Raad membuat syarat adanya ancaman, yaitu: Ancaman itu harus diucapkan dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahkan yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya; Maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan tersebut. Contohnya, perbuatan mengancam akan menembak mati seseorang jika orang yang diancam tak memenuhi keinginan pengancam. Perbuatan ini adalah suatu perbuatan mengancam dengan kekerasan. Jika ia melepaskan tembakan, tembakan itu tidak selalu menghapus kenyataan bahwa pelaku sebenarnya hanya bermaksud untuk mengancam. Kemudian R. Soesilo menyebutkan kekerasan adalah mempergunakan kekuatan atau kekuasaan yang agak besar secara tidak sah (hal. 127). Bersumber dari buku yang sama, melakukan kekerasan menurut Pasal 89 KUHP , yakni menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil dan tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Yang disamakan dengan “melakukan kekerasan” ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah) (hal. 98). Percobaan Tindak Pidana Percobaan tindak pidana diatur dalam Pasal 53 KUHP : Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai . R. Soesilo menjelaskan bahwa percobaan itu menuju ke suatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu , sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai (hal. 69). Supaya percobaan pada kejahatan (bagi pelanggaran tidak berlaku percobaan pidana) dapat dihukum, maka harus memenuhi syarat-syarat (hal. 69): Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu; Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri. R. Soesilo menjelaskan syarat bahwa kejahatan itu sudah mulai dilakukan, artinya orang sudah mulai dengan melakukan perbuatan pelaksanaan . Kalau belum dimulai atau baru sampai perbuatan persiapan saja, kejahatan itu tidak dapat dihukum (hal. 69). Contoh, seseorang berniat akan mencuri sepeda yang ada di depan kantor pos. Ia baru mendekati sepeda itu lalu ditangkap polisi. Andaikata ia mengaku saja terus terang tentangnya niat itu, ia tidak dapat dihukum atas percobaan mencuri, karena perbuatannya belum dimulai, alias dianggap sebagai perbuatan persiapan saja (hal. 69). Jika orang itu telah mengacungkan tangannya untuk memegang sepeda, maka ini disebut perbuatan pelaksanaan, dan bila waktu itu ditangkap polisi dan mengaku terus terang, ia dapat dihukum atas percobaan pada pencurian (hal. 69). Namun bila sepeda telah dipegang dan ditarik sehingga berpindah tempat, meskipun hanya sedikit, maka ia tidak lagi hanya dipersalahkan melakukan percobaan, karena delik pencurian dianggap sudah selesai jika barang yang dicuri itu telah berpindah (hal. 69). Akan tetapi patut dicatat, dalam hal pencurian dengan pemberatan pada Pasal 363 KUHP , perbuatannya sudah boleh dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan, meskipun ia belum mulai mengacungkan tangannya pada barang yang hendak diambil. Bagi tiap-tiap peristiwa dan tiap-tiap macam kejahatan harus ditinjau sendiri-sendiri. Di sinilah kewajiban hakim (hal. 70). Sehingga, hakim yang akan memutuskan apakah tindakan si pelaku baru merupakan perbuatan persiapan atau perbuatan pelaksanaan. Jadi, kami berpendapat terhadap perbuatan C yang mengancam dengan kekerasan terhadap A supaya pulang, bisa dikenakan Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP sepanjang unsur-unsur terpenuhi. Sementara perbuatan menghadang mobil yang dikendarai A secara berbahaya dari arah depan dan belakang oleh C dan teman-temannya dengan tujuan memaksa agar A menepi dan berhenti dalam arti memberikan suatu ancaman, namun A tidak jadi menepi dan berhenti, dan berhasil kabur , bisa diklasifikasikan sebagai percobaan tindak pidana dalam Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP, yang tentu masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut di pengadilan. Contoh Kasus Tindak Pidana Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP Sebagai gambaran mengenai tindak pidana Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP, kami mengambil contoh Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 70/Pid.B/2014/PN.Bky . Pengadilan menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melawan hukum memaksa orang lain melakukan sesuatu, dengan memakai kekerasan” dalam Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama selama 4 bulan (hal. 19). Dalam pertimbangannya, Pengadilan menerangkan bahwa melawan hukum adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara yang bertentangan dengan hak orang lain, melawan hukum dapat diketahui karena cara yang dipakai untuk mendapat barang sesuatu atau mencapai suatu tujuan yang tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku (hal. 16). Bahwa yang dimaksud dengan “memaksa” adalah menyuruh orang melakukan sesuatu demikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri (hal. 16). Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan perbuatan tersebut Terdakwa lakukan bersama 7 orang teman Terdakwa lainnya (hal. 16). Pada saat itu para saksi korban hendak melakukan kegiatan rutin, yaitu melakukan survey di lokasi perkebunan, namun di tengah perjalanan Terdakwa menghadang mobil yang dikendarai oleh salah satu saksi korban menggunakan 1 unit truk dengan kepala depan mobil berwarna kuning milik Terdakwa dengan ditumpangi beberapa orang rekan Terdakwa yang lainnya (hal. 16). Kemudian Terdakwa memaksa para saksi korban yang ada di dalam mobil tersebut untuk keluar dari mobil dengan mengatakan kata-kata ancaman kekerasan, lalu Terdakwa mendekati salah satu saksi korban, lalu memaksanya keluar dari mobil dengan cara membuka pintu mobil dan langsung menarik baju salah satu saksi korban, sehingga para saksi korban keluar dari mobil (hal. 17). Lalu, Terdakwa mengambil kunci mobil tersebut, setelah itu Terdakwa dan teman-temannya memaksa dua saksi korban untuk masuk lagi ke dalam mobil dengan cara didorong sedangkan saksi korban lain, karena ketakutan, melarikan diri, kemudian Terdakwa mengambil alih sebagai supir mobil tersebut, sehingga berada di dalam kekuasaan Terdakwa (hal. 17). Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 ; Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 70/Pid.B/2014/PN.Bky . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1994. perbuatan tidak menyenangkan hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon penjelasan mengenai kedudukan Peraturan Ketua Bapepam LK terhadap UU PT. Selanjutnya, dalam hal Perseroan Terbuka, jika terdapat pengaturan yang berbeda mengenai suatu hal yang sama antara UU PT dengan Peraturan Ketua Bapepam LK (misalnya penetapan kuorum RUPS ketiga vide UU PT pasal 86 ayat (5) dan Peraturan bapepam LK No. IX. J. 1 angka 15 c), maka peraturan manakah yang diikuti/berlaku bagi Perseroan Terbuka tsb, apakah UU PT atau Peraturan Bapepam LK? Terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Saudari Ririn Febry, UU No. 10/2004 tidak menyebutkan secara spesifik keberadaan Peraturan Ketua Bapepam. Namun demikian, dalam penjelasan pasal 7 ayat 4 dapat kita temui bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan juga termasuk peraturan yang dikeluarkan oleh badan yang dibentuk dengan undang-undang, seperti Bapepam (dibentuk berdasar UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal). Menurut pasal 7 ayat 4 tersebut, peraturan seperti ini hanya mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi. Dilihat dari segi kewenangan, Bapepam memang memiliki kewenangan untuk menentukan persyaratan dan tata cara Pernyataan Pendaftaran Emiten (lihat pasal 5 huruf d UU No. 8/1995), misalnya dalam bentuk Peraturan Bapepam LK No. IX. J. 1 yang mengatur Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Dan Perusahaan Publik ini. Karena diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi (undang-undang), dapat dikatakan bahwa Peraturan Bapepam tersebut mengikat. Masalahnya, Peraturan Bapepam tersebut mengatur ketentuan yang ternyata bertentangan dengan Undang-Undang PT. Penetapan kuorum RUPS ketiga yang semestinya wewenang Ketua Pengadilan Negeri (pasal 86 ayat 5 UU PT 2007/pasal 73 ayat 6 UU PT 1995), diatur ditetapkan oleh Ketua Bapepam (Peraturan Bapepam LK No. IX. J. 1 angka 14). Apa yang terjadi bila ada benturan peraturan seperti ini? Menurut pasal 7 ayat 5 UU No. 10/2004, berlaku hierarki peraturan perundangan yang mengacu pada asas lex superior derogat legi inferiori, atau dengan kata lain, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, meskipun ke dua peraturan tersebut dapat dikatakan berlaku (mengikat), namun karena kedudukan aturan dalam UU PT posisinya jelas lebih tinggi, maka peraturan UU PT tersebutlah yang seharusnya diikuti. Apabila terdapat perbedaan pendapat mengenai hal seperti ini, baik menyangkut suatu perkara hukum atau tidak, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan uji materiil peraturan tersebut kepada Mahkamah Agung (pasal 31 UU No. 5/2004 tentang Perubahan atas UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung). Mahkamah Agung yang akan menentukan apakah Peraturan tersebut masih dapat terus berlaku. Semoga bermanfaat."
} |
{
"from": "human",
"value": "Bolehkah anggota DPD RI yang masih aktif bergabung dengan partai politik untuk Caleg 2024 mendatang? Anggota DPD RI tersebut di awal pencalonan bukan anggota parpol, hanya saja ketika telah menjadi anggota DPD RI dan mendekati akhir periode jabatan (karena tidak mencalonkan kembali di DPD untuk periode berikutnya) ia masuk sebagai kader parpol dengan status DPD aktif. Adakah aturan yang mengatur hal ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITApa Perbedaan DPD dan DPRD?09 Feb 2024Syarat Jadi Anggota DPR dan Cara Penetapan Anggota Komisinya27 Jun 2023Bisakah Mendaftar Caleg DPR dan DPRD dari 2 Partai?30 Mei 2023Dapatkah Anggota Parpol Mencalonkan Diri Menjadi Anggota DPD?26 Feb 2019\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”) adalah perseorangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.\n\nLebih lanjut, dalam Pasal 182 huruf l UU 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa perseorangan dapat menjadi calon anggota DPD setelah memenuhi syarat, salah satunya adalah:\nbersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;\n\nAdapun yang dimaksud dengan ‘pekerjaan lain’ dalam pasal tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 dimaknai dengan mencakup pula sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik (hal. 52).\nJika sudah menjadi anggota DPD, Pasal 302 ayat (2) UU 17/2014 mengatur sejumlah larangan, yaitu:\n\nAnggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPD serta hak sebagai anggota DPD.\n\nOleh karena itu, berdasarkan ketentuan di atas, tidak ada larangan bagi anggota DPD aktif untuk bergabung dengan partai politik. Sehingga, anggota DPD aktif boleh bergabung dengan partai politik di tengah masa jabatannya sepanjang tidak menjadi pengurus (fungsionaris) partai politik.\n\nBaca juga: Dapatkah Anggota Parpol Mencalonkan Diri Menjadi Anggota DPD?\nJika Anggota DPD Ingin Mendaftar Jadi Calon Anggota DPR\n\nDalam Pasal 240 ayat (1) huruf k UU 7/2017 diatur beberapa jabatan yang harus mengundurkan diri agar dapat memenuhi syarat untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut:\n\nmengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.\n\nBerdasarkan persyaratan di atas, pejabat negara termasuk pimpinan dan anggota DPD tidak termasuk dalam jabatan yang diharuskan mengundurkan diri untuk mengikuti pemilihan umum anggota legislatif.\nAkan tetapi, meskipun tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, anggota DPD aktif perlu memperhatikan beberapa batasan ketika mengikuti pemilu. Salah satu ketentuan mengenai hal tersebut adalah Pasal 304 ayat (1) UU 7/2017 yang berbunyi:\n\nDalam melaksanakan Kampanye, Presiden dan Wakil Presiden, pejabat negara, pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara.\n\nArtinya, selama masa pencalonan dalam pemilu, dalam melaksanakan kampanye anggota DPD tidak boleh menggunakan fasilitas yang diberikan negara dalam kedudukannya sebagai pejabat negara untuk melakukan kampanye.\n\nBaca juga: Perbedaan Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan Serta Contohnya\n\nDengan demikian, anggota DPD aktif tidak harus mengundurkan diri dari jabatannya bila ingin menjadi bakal calon anggota legislatif dalam pemilihan umum, namun tidak diperbolehkan menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan lebih selama pemilu.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/undang-undang-dasar-1945/consolidations?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt59ba5511ab93b/undang-undang-nomor-7-tahun-2017?r=0&p=1&q=uu%207%202017&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2017)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6398217fef35f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_1_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt646ddfc0759f3?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_7_2023)\n5. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt53fefb3850a2a/undang-undang-nomor-17-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_2014)\n6. [Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54dde4d7f0d20?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_42_2014)\n7. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5aaa21760d9fd?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2018)\n8. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5d948ad30076f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2019)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah terdapat dampak hukum dari adanya walkout oleh sejumlah Anggota Dewan ketika proses pembahasan suatu RUU?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Syarat Jadi Anggota DPR dan Cara Penetapan Anggota Komisinya 27 Jun 2023 Komitmen Pemerintah dalam Memanfaatkan Energi Baru Terbarukan 21 Apr 2021 Intip Gaji DPR dan DPRD serta Dasar Hukumnya 03 Mar 2021 Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Melalui Rekonsiliasi 08 Feb 2021 Kami asumsikan bahwa anggota dewan yang Anda maksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”). Aturan pengambilan keputusan dalam rapat DPR diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (“PDPR 1/2020) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berkenaan dengan pertanyaan Anda, pada dasarnya setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan jika memenuhi kuorum. [1] Terdapat 2 tahap pengambilan keputusan dalam rapat atau sidang DPR, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan keputusan berdasarkan suara terbanyak yang dilakukan apabila pengambilan keputusan berdasarkan mufakat tidak terpenuhi. [2] Tahap pertama, yaitu pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah anggota rapat yang hadir diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran yang telah dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan. [3] Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah jika diambil dalam rapat yang dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (1) PDPR 1/2020 dan disetujui oleh semua yang hadir. [4] Adapun bunyi Pasal 281 ayat (1) PDPR 1/2020 adalah sebagai berikut: Ketua rapat membuka rapat apabila pada waktu yang telah ditentukan untuk membuka rapat telah hadir lebih dari 1/2 jumlah Anggota rapat yang terdiri atas lebih dari 1/2 unsur Fraksi . Jika tahap pengambilan keputusan berdasarkan mufakat tidak berhasil, maka akan dilanjutkan ke tahap kedua yaitu pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Dalam tahap ini, keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah jika diambil dalam rapat yang dihadiri oleh Anggota dan unsur Fraksi, sebagaimana diatur Pasal 281 ayat (1) PDPR 1/2020 yang telah kami kutip sebelumnya dan disetujui oleh lebih dari 1/2 jumlah Anggota yang hadir. [5] Sehingga menjawab pertanyaan Anda, Anggota yang meninggalkan sidang, atau yang Anda sebut dengan walkout , dianggap telah hadir dan tidak mempengaruhi sahnya keputusan . [6] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib . [1] Pasal 308 ayat (1) PDPR 1/2020 [2] Pasal 308 ayat (3) PDPR 1/2020 [3] Pasal 309 ayat (1) PDPR 1/2020 [4] Pasal 310 PDPR 1/2020 [5] Pasal 313 ayat (1) PDPR 1/2020 [6] Pasal 314 ayat (3) PDPR 1/2020 dewan perwakilan rakyat ruu lembaga pemerintah"
} |
{
"from": "human",
"value": "Baru-baru ini, ramai diberitakan seorang anggota DPRD Lampung Tengah tembak warga hingga tewas. Menurut berita yang beredar, kronologinya terdapat kegiatan adat dalam resepsi pernikahan untuk menyambut keluarga besan. Anggota DPRD Lampung Tengah hadir sebagai warga yang ditokohkan, untuk melepaskan tembakan sambutan. Namun, senjata api yang digunakan oleh pelaku malah mengarah ke seorang warga di lokasi resepsi pernikahan. Selain itu, senjata api yang digunakan adalah senjata api ilegal, dan polisi sudah sita senjata api ilegal anggota DPRD tersebut.\nDalam kasus anggota DPRD tembak warga hingga tewas, pasal apa yang dapat menjerat pelaku? Apakah perbuatan anggota DPRD tersebut termasuk kelalaian? Jika ya, apa itu kelalaian dalam hukum pidana? Apakah anggota DPRD dapat diberhentikan dari jabatannya? Serta apakah anggota DPRD tersebut dapat dihukum karena kepemilikan senjata api ilegal?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, perbuatan anggota DPRD yang tidak sengaja tembak warga di resepsi pernikahan, termasuk kelalaian yang mengakibatkan kematian.\nTindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian telah diatur dalam Pasal 359 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu pada tahun 2026, yang berbunyi:\nPasal 359 KUHPPasal 474 ayat (3) UU 1/2023Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta.[2]\n\nKemudian, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Pasal 359 KUHP tentang Kelalaian yang Menyebabkan Kematian, unsur-unsur Pasal 359 KUHP adalah:\n\nbarang siapa;karena kesalahannya/kealpaannya;menyebabkan orang lain meninggal dunia/mati.\nLebih lanjut, disarikan dari artikel Pasal Kelalaian yang Mengakibatkan Kematian dalam KUHP dan UU 1/2023, R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal.248), menjelaskan bahwa mati orang pada Pasal 359 KUHP tidak dimaksud sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalainya terdakwa (delik culpa).\n\nSebagai contoh, seorang sopir menjalankan kendaraan mobilnya terlalu kencang, sehingga menabrak orang sampai mati, atau seorang berburu melihat sosok hitam-hitam dalam tumbuh-tumbuhan, dikira babi rusa terus ditembak mati, tetapi ternyata sosok yang dikira babi itu adalah manusia, atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang hati-hati meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya. Sedangkan, yang dimaksud dengan “karena kesalahannya” adalah kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian.\n\nAdapun, jika kematian ternyata dikehendaki pelaku, maka pasal yang dapat dikenakan adalah Pasal 338 atau 340 KUHP dan Pasal 458 UU 1/2023 atau Pasal 459 UU 1/2023. Penjelasan mengenai kematian yang dikehendaki pelaku, dapat Anda baca dalam Bunyi Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dan Unsur Pasalnya dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan Berencana dan Unsurnya.\nApa itu Kealpaan dalam Hukum Pidana?\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu kealpaan dalam hukum pidana? Pada dasarnya, kealpaan, kelalaian, atau ketidaksengajaan dikenal dengan istilah culpa dalam hukum pidana.[3] Kealpaan merujuk pada ketidaksengajaan atau ketidakhati-hatian dalam melakukan suatu tindakan. Dalam hal ini, pelaku tidak bermaksud melanggar hukum, tetapi karena kurang berhati-hati atau tidak memperhitungkan konsekuensi tindakannya, ia dapat dianggap bertanggung jawab secara hukum.[4]\n\nPenjelasan selengkapnya mengenai culpa, dapat Anda simak dalam Kelalaian yang Merugikan Orang Lain Menurut Hukum Pidana.\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, jika memenuhi unsur-unsur Pasal 359 KUHP atau Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023, maka anggota DPRD yang tidak sengaja menembak warga sampai tewas, berpotensi dijerat pasal kelalaian yang menyebabkan kematian. Hal ini karena anggota DPRD tersebut tidak bermaksud melanggar hukum, tetapi karena kurang berhati-hati dalam menggunakan senjata api di resepsi pernikahan, ia dianggap bertanggung jawab secara hukum.\nKepemilikan Senjata Api Ilegal\n\nSelain anggota DPRD tersebut berpotensi dikenakan sanksi pidana berdsarkan KUHP atau UU 1/2023, menurut hemat kami, ia juga berpotensi dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Darurat sebagai berikut:\n\nBarang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.\n\nDari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika anggota DPRD terbukti mempunyai senjata api ilegal, ia dapat dijerat dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara setinggi-tingginya 20 tahun.\n\nLantas, apakah anggota DPRD tersebut dapat diberhentikan?\nPemberhentian Anggota DPRD\n\nBerdasarkan informasi yang Anda berikan, anggota DPRD yang tidak sengaja tembak warga merupakan anggota DPRD Kabupaten/Kota Lampung Tengah. Adapun alasan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dapat ditemukan pada UU MD3 dan perubahannya.\n\nPada Pasal 405 ayat (1) UU MD3 diatur bahwa anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena:\n\nmeninggal dunia;mengundurkan diri; ataudiberhentikan.\n\nKemudian, dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu, alasannya adalah apabila:[5]\n\ntidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota;dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun;tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini;diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; ataumenjadi anggota partai politik lain.\n\nSelain itu, anggota DPRD kabupaten/kota juga dapat diberhentikan secara sementara jika:[6]\n\nmenjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun; ataumenjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.\n\nSehingga, jika anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan.[7] Sedangkan, jika tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan kembali.[8]\n\nBerdasarkan uraian di atas, kami berpendapat bahwa anggota DPRD kabupaten/kota berpotensi diberhentikan jika melakukan tindak pidana, secara khusus penggunaan senjata api ilegal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Darurat. Hal ini dikarenakan ancaman pidana penjara untuk tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian dalam KUHP dan UU 1/2023 paling lama hanya 5 tahun. Sedangkan penggunaan senjata api ilegal dalam UU Darurat ancaman pidana penjaranya setinggi-tingginya 20 tahun.\n\nSebagaimana telah kami jelaskan, untuk diberhentikan karena tindak pidana, anggota DPRD kabupaten/kota harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.\n\nUntuk memperjelas pemahaman Anda, Fabian Fadhly Jambak, dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung juga berpendapat bahwa dalam interpretasi pasal dalam UU MD3 maupun analisis kasus konkret tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian, tidak ada dasar hukum yang memadai untuk memberhentikan antarwaktu atau sementara anggota DPRD berdasarkan ancaman pidana maksimal 5 tahun yang diatur dalam Pasal 359 KUHP atau UU 1/2023. Hal ini menunjukkan bahwa legislator perlu mengambil pendekatan yang berhati-hati dalam mengatur konsekuensi hukum untuk kasus tindak pidana kelalaian yang berbeda dengan tindak pidana lain yang dianggap lebih serius.\nContoh Kasus\n\nSebagai contoh kasus perbuatan kelalaian yang menyebabkan kematian, dalam Putusan PN No. 137/Pid.B/2016/PN.Pts, terdakwa berniat untuk berburu binatang jenis babi dengan menggunakan senjata api di pinggiran sungai. Setelah berjalan menyusuri sungai, terdakwa melihat rumput atau dahan bergerak serta melihat sosok hitam seperti kepala binatang jenis babi sedang mencari makan. Tanpa memastikan terlebih dahulu sasaran yang menjadi target, korban langsung menembak target dengan senapan. Setelah menembak, terdakwa mendekati target dan melihat seorang manusia yang telah tertembak pada bagian dada sebelah kanan (hal. 3). Lalu, korban tewas akibat luka tembak (hal. 4).\n\nAtas perbuatannya tersebut, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” dan dipidana berdasarkan Pasal 359 KUHP, dengan hukuman pidana penjara selama 3 bulan 15 hari (hal. 14).\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelikje Bijzondere Strafbepalingen” (STBL. 1948 No. 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/28541/undangundang-darurat-nomor-12-tahun-1951?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_1951)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023)\n4. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt53fefb3850a2a/undang-undang-nomor-17-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_2014)\n5. [Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54dde4d7f0d20?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_42_2014)\n6. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5aaa21760d9fd?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2018)\n7. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5d948ad30076f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2019)\nREFERENSI:\n1. P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014\n2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Sukabumi: Politeia, 1991\n3. Rijan Widowati. Perbandingan Hukum Pidana. Malang: PT. Literasi Nusantara Abadi Grup, 2023.\n\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Negeri Putussibau Nomor 137/Pid.B/2016/PN.Pts.\n\nCatatan:\n\nKami telah melakukan wawancara via WhatsApp dengan dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Fabian Fadhly Jambak, S.Sy., S.H., M.H. pada Kamis, 11 Juli 2024, pukul 16.00 WIB.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[3] P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal. 278[4] Rijan Widowati. Perbandingan Hukum Pidana. Malang: PT. Literasi Nusantara Abadi Grup, 2023, hal. 32[5] Pasal 405 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”)[6] Pasal 412 ayat (1) UU MD3[7] Pasal 412 ayat (2) UU MD3[8] Pasal 412 ayat (3) UU MD3"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada sanksi untuk petugas BPN apabila salah mengukur tanah di lapangan yang tidak sesuai dengan denah peta di sertifikat? 2. apa sanksi untuk orang yang suka memindahkan batas tanah? 3. bagaimana solusi yang tepat untuk menyesuaikan ukuran tanah faktual dengan yang di sertifikat? Maaf banyak tanya, karena ini yang selama ini mengganjal di pikiran"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pendaftaran Tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN) BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan, termasuk dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survey dan pemetaan tanah sebagaimana diterangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 huruf b Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional . Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh BPN sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No mor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) . Namun, Pasal 6 ayat (1) PP 24/1997 kemudian menegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut, tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh PP 24/1997 atau peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain. Oleh karena itu, BPN, melalui kantor pertanahan, menerbitkan surat dalam bentuk sertifikat atas satuan hak atas tanah. Penerbitan sertifikat tersebut didasarkan dari adanya data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam buku tanah. [1] Data-data dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, kecuali ada pihak yang keberatan serta mengajukan gugatan dan adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya. Hal ini tercermin dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 yang berbunyi: Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut . Kesalahan Pengukuran Tanah Dalam melakukan pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan peta dasar pendaftaran , petugas melakukannya dengan cara terrestrial , fotogrametrik atau metode lainnya. [2] Adapun pengukuran dan pemetaan terrestrial dilaksanakan di permukaan bumi. [3] Sementara, pengukuran dan pemetaan secara fotogrametrik menggunakan sarana foto udara yang diambil dari udara dengan menggunakan kamera yang dipasang pada pewasat udara dan memenuhi persyaratan-persyaratan teknis tertentu untuk digunakan pembuatan peta dasar pendaftaran. [4] Pengukuran sebidang tanah yang ternyata keliru dan tidak sama dengan di lapangan serta tidak sesuai denah peta sertifikat mengakibatkan kepala Kantor Pertanahan bertanggung jawab secara administrasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 63 PP 24/1997 bahwa jika dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan hal-hal yang telah diatur dalam ketentuan PP 24/1997 dan ketentuan dalam peraturan pelaksanaannya serta ketentuan-ketentuan lain, maka kepala Kantor Pertanahan dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, jika dalam pengukuran peta dasar pendaftaran, peta pendaftaran dan gambar ukur terdapat kesalahan teknis data ukuran, maka kepala Kantor Pertanahan dapat memperbaiki kesalahan tersebut dengan kemudian dibuatkan berita acara perbaikannya, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 41 ayat (3) dan (6) Permen Agraria/Kepala BPN 3/1997 . Sanksi Pidana Tentunya data yang didapatkan oleh BPN adalah data yang diberikan oleh para pihak juga, sehingga jika ada pihak yang kemudian melakukan pemindahan batas tanah, hal ini tentunya akan mendapatkan sanksi pidana yang tegas dari pihak yang berwenang. Terkait dengan sanksi untuk orang yang memindahkan batas tanah, maka berlakulah sanksi pidana sebagaimana dalam Pasal 424 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Pasal 385 ayat (1) KUHP . Ketentuan-ketentuan itu selengkapnya berbunyi: Pasal 385 ayat (1) KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun: barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain Pasal 424 KUHP Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, menggunakan tanah negara di atas mana ada hak-hak pakai Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun . Solusi Oleh karenanya, perlu dilakukan pengecekan ulang bagi para pihak yang memiliki tanah berdampingan. Perlu diketahui terlebih dahulu tentang kegiatan pendaftaran tanah yang meliputi: [5] Pengumpulan dan pengolahan data fisik ; Pembuktian hak dan pembukuannya; Penerbitan sertifikat; Penyajian data fisik dan data yuridis; dan Penyimpanan daftar umum dan dokumen. Pengumpulan dan pengolahan data fisik dilakukan dengan dengan cara pengukuran dan pemetaan, yang terdiri dari: [6] Pembuatan peta dasar pendaftaran; Penetapan batas bidang-bidang tanah ; Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran; Pembuatan daftar tanah; Pembuatan surat ukur tanah. Mengenai penetapan batas, tentunya ini akan sedikit rumit jika ada sengketa. Jika tidak ada sengketa, maka hal ini perlu diketahui oleh para pihak yang berbatasan langsung dengan tanah yang akan diukur. Solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan yang Anda tanyakan adalah dengan melakukan pengukuran ulang dengan dihadiri/diketahui oleh pihak-pihak yang tanahnya berbatasan langsung. Pengukuran ulang dilakukan untuk mengantisipasi sengketa yang tidak diinginkan dan untuk memberikan kepastian bagi seluruh pihak yang terkait atas kepemilikan tanah yang berbatasan langsung serta agar tidak lagi ada pihak yang dirugikan atas adanya salah ukur tanah tersebut. Hal ini makin diperkuat dengan adanya Pasal 19 ayat (1) Permen Agraria/Kepala BPN 3/1997 yang menerangkan bahwa untuk keperluan penetapan batas bidang tanah, pemohon yang bersangkutan dalam pendaftaran tanah secara sporadik atau pemegang hak atas bidang tanah yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar, tetapi belum ada surat ukur/gambar situasinya atau yang surat ukur/gambar situasinya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya , dan pihak yang menguasai bidang tanah yang bersangkutan, dalam pendaftaran tanah secara sistematik, diwajibkan menunjukkan batas-batas bidang tanah yang bersangkutan dan, apabila sudah ada kesepakatan mengenai batas tersebut dengan pemegang hak atas bidang tanah yang berbatasan , memasang tanda-tanda batasnya . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah [1] Pasal 31 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 19 PP 24/1997 [2] Pasal 12 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria/Kepala BPN 3/1997”) [3] Pasal 12 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN 3/1997 [4] Pasal 12 ayat (3) dan (4) Permen Agraria/Kepala BPN 3/1997 [5] Pasal 12 ayat (1) PP 24/1997 [6] Pasal 14 PP 24/1997 pertanahan hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika di Indonesia terjadi outbreak virus korona, apakah pemerintah punya skema penanggulangan krisis kesehatannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Krisis Kesehatan Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami akan berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan (“Permenkes 75/2019”) . Krisis kesehatan adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, korban luka/sakit, pengungsian, dan/atau adanya potensi bahaya yang berdampak pada kesehatan masyarakat yang membutuhkan respon cepat di luar kebiasaan normal dan kapasitas kesehatan tidak memadai. [1] Berdasarkan pengertian tersebut, menurut hemat kami, penyebaran virus korona dapat dikategorikan sebagai krisis kesehatan . Penanggulangan krisis kesehatan bertujuan untuk terselenggaranya penanggulangan krisis kesehatan yang terkoordinasi, terencana, terpadu, dan menyeluruh guna memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak permasalahan kesehatan. [2] Penanggulangan krisis kesehatan mencakup kegiatan prakrisis kesehatan, tanggap darurat krisis kesehatan, dan pascakrisis kesehatan . [3] Penanggulangan krisis kesehatan dilakukan dengan sistem klaster yang diimplementasikan melalui pembentukan klaster kesehatan pada tingkat pusat dan tingkat daerah yang bertujuan untuk meningkatkan koordinasi, kolaborasi, dan integrasi dalam penanggulangan krisis kesehatan. [4] Klaster kesehatan terdiri dari sub klaster yang meliputi: [5] sub klaster pelayanan kesehatan , yang bertugas menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan terutama pelayanan pertolongan darurat pra fasilitas pelayanan kesehatan dan rujukan; sub klaster pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan yang bertugas melakukan pengendalian penyakit dan upaya kesehatan lingkungan; sub klaster kesehatan reproduksi yang bertugas menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan reproduksi; sub klaster kesehatan jiwa yang bertugas menyelenggarakan upaya penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan psikososial secara optimal; sub klaster pelayanan gizi , yang bertugas menyelenggarakan pelayanan gizi; dan sub klaster identifikasi korban mati akibat bencana ( Disaster Victim Identification /DVI), yang bertugas menyelenggarakan identifikasi korban meninggal dan penatalaksanaannya. Klaster kesehatan terdiri atas klaster kesehatan nasional, klaster kesehatan provinsi, dan klaster kesehatan kabupaten/kota. [6] Kegiatan Prakrisis Kesehatan Kegiatan prakrisis kesehatan , yang meliputi upaya pencegahan dan mitigasi, dan kesiapsiagaan, ditujukan untuk peningkatan sumber daya kesehatan, pengelolaan ancaman terjadinya krisis kesehatan, dan pengurangan kerentanan. [7] Upaya pencegahan dan mitigasi meliputi kegiatan: [8] kajian risiko krisis kesehatan; menyusun, mensosialisasikan dan menerapkan kebijakan atau standar penanggulangan krisis kesehatan; mengembangkan sistem informasi penanggulangan krisis kesehatan; menyusun rencana penanggulangan krisis kesehatan; dan melaksanakan peningkatan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan aman bencana. Upaya kesiapsiagaan meliputi kegiatan: [9] simulasi/geladi bidang kesehatan; pemberdayaan masyarakat; mengembangkan sistem peringatan dini; membentuk Emergency Medical Team (“EMT”), tim Rapid Health Assessment (“RHA”), Public Health Rapid Response Team (“PHRRT”), dan tim kesehatan lainnya; menyiapkan ketersediaan sarana prasarana kesehatan, dan perbekalan kesehatan yang memadai untuk upaya tanggap darurat; dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, baik dalam hal manajerial maupun teknis. Kegiatan Tanggap Darurat Krisis Kesehatan Kegiatan tanggap darurat krisis kesehatan ditujukan untuk merespon seluruh kondisi kedaruratan secara cepat dan tepat guna menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan lebih lanjut, dan memastikan program kesehatan berjalan dengan terpenuhinya standar minimal pelayanan kesehatan. [10] Penanggulangan krisis kesehatan pada tahap tanggap darurat krisis kesehatan harus didahului dengan penetapan status keadaan darurat krisis kesehatan. [11] Penetapan status keadaan darurat krisis kesehatan dilakukan oleh: [12] Menteri Kesehatan untuk status keadaan darurat krisis kesehatan tingkat nasional; Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk status keadaan darurat krisis kesehatan tingkat provinsi; atau Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk status keadaan darurat krisis kesehatan tingkat kabupaten/kota. Status keadaan darurat krisis kesehatan dan penanggulangannya terdiri atas: [13] status siaga darurat krisis kesehatan , meliputi kegiatan: melakukan RHA; aktivasi klaster kesehatan dan mobilisasi EMT jika dibutuhkan; dan menyusun dan melaksanakan rencana operasi krisis kesehatan berdasarkan hasil RHA dan rencana kontigensi; status tanggap darurat krisis kesehatan , meliputi kegiatan: melakukan RHA; aktivasi klaster kesehatan dan mobilisasi EMT dan PHRRT; menyusun dan melaksanakan rencana operasi krisis kesehatan berdasarkan hasil RHA dan rencana kontigensi (jika ada); memobilisasi sarana prasarana kesehatan, dan perbekalan kesehatan yang memadai; memastikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat terdampak berjalan sesuai standar dengan memperhatikan kepentingan kelompok rentan; mengintensifkan pemantauan perkembangan situasi; dan melaksanakan komunikasi krisis kesehatan; dan status transisi darurat krisis kesehatan , meliputi kegiatan: melakukan RHA; dan memastikan program kesehatan sudah dapat segera berfungsi. Kegiatan Pascakrisis Kesehatan Kegiatan pascakrisis kesehatan ditujukan untuk mengembalikan kondisi sistem kesehatan, seperti pada kondisi prakrisis kesehatan dan membangun kembali lebih baik ( build back better ) dan aman ( safe ). [14] Tahap ini dilaksanakan oleh masing-masing penanggung jawab program dan dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan atau kepala dinas kesehatan sesuai tingkatan bencana. [15] Penanggulangan krisis kesehatan pada tahap pascakrisis kesehatan meliputi kegiatan: [16] melakukan penilaian kerusakan, kerugian dan kebutuhan sumber daya kesehatan pascakrisis kesehatan; menyusun rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi kesehatan; melaksanakan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi kesehatan; dan monitoring dan evaluasi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi kesehatan. Rekonstruksi kesehatan adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan bidang kesehatan pada wilayah pascakrisis kesehatan, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan pelayanan kesehatan, meningkatnya status kesehatan masyarakat, dan bangkitnya peran serta masyarakat. [17] Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan . [1] Pasal 1 angka 1 Permenkes 75/2019 [2] Pasal 2 Permenkes 75/2019 [3] Pasal 1 angka 2 Permenkes 75/2019 [4] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Permenkes 75/2019 [5] Pasal 4 ayat (4) Permenkes 75/2019 [6] Pasal 5 ayat (1) Permenkes 75/2019 [7] Pasal 9 ayat (1) dan (2) Permenkes 75/2019 [8] Pasal 9 ayat (3) Permenkes 75/2019 [9] Pasal 9 ayat (4) Permenkes 75/2019 [10] Pasal 10 ayat (1) Permenkes 75/2019 [11] Pasal 10 ayat (2) Permenkes 75/2019 [12] Pasal 10 ayat (3) Permenkes 75/2019 [13] Pasal 10 ayat (5) jo. Pasal 11 Permenkes 75/2019 [14] Pasal 16 ayat (1) Permenkes 75/2019 [15] Pasal 16 ayat (2) Permenkes 75/2019 [16] Pasal 16 ayat (3) Permenkes 75/2019 [17] Pasal 1 angka 14 Permenkes 75/2019 virus corona kesehatan hukumonline lembaga pemerintah tata negara cina tiongkok pemerintah corona virus"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mempunyai seorang teman yang bekerja pada seorang Sinsei (ahli obat - obatan dari Cina). Dia bekerja sebagai seorang penerjemah berhubung Sinsei ini adalah orang asli Cina dan tidak memiliki kemampuan berbahasa Indonesia. Hubungan ini baru berjalan 3 bulan, dan sudah banyak pasien yang telah berobat padanya dan sembuh. Suatu saat, di tengah jalan dilakukan pemeriksaan KTP oleh polisi, Sinsei ini ternyata seorang imigran gelap. Teman saya pun dituduh sebagai partner, (padahal faktanya hanya sebagai pekerja) sehingga keduanya, baik teman saya dan Sinsei tersebut dijerat dengan Undang-Undang, dimana mereka dianggap sebagai pengedar obat-obatan tanpa izin. Teman saya dan Sinsei itu sampai saat ini sudah mendekam di penjara selama 1 bulan, dan kasus ini masih berlarut-larut. Yang saya mau tanyakan, Undang-Undang mana yang berkaitan dengan kasus teman saya ini, serta berapa lama ancaman pidana menurut Undang-Undang tersebut ?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dari penjelasan yang Anda sampaikan, menurut hemat kami, setidaknya adanya dua tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Sinsei tersebut yaitu selain menjadi imigran gelap, Sinsei tersebut juga mengedarkan obat tanpa izin edar. KLINIK TERKAIT Perlindungan Pasien pada Praktik Pengobatan Tradisional 16 Apr 2024 Penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika 09 Mei 2011 Pasien Askes di RSUD Juga Dilindungi UU? 28 Apr 2011 Apakah Dokter Termasuk Pelaku Usaha? 20 Jul 2010 Sebagai imigran gelap, berarti Sinsei tersebut diduga melanggar ketentuan keimigrasian Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian . Ketentuan keimigrasian antara lain mengatur bahwa s etiap Orang Asing yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki d okumen Perjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (lihat Pasal 119 ayat [1] UU 6/2011 ) . Pemerintah juga telah menetapkan bahwa obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar (lihat Pasal 106 ayat [1] jo. Pasal 1 ayat [4] UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ). Sehingga, apabila Sinsei tersebut mengedarkan obat tanpa izin edar, Sinsei tersebut melanggar Pasal 197 UU 36/2009 yang menyebutkan bahwa s etiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Larangan untuk mengedarkan obat bagi pihak yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan ini juga dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU 36/2009 bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat . Sedangkan bagi teman Anda, karena dia telah membantu Sinsei tersebut, maka dapat dipidana dengan pidana penyertaan dan/atau pembantuan (lihat Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - “KUHP” ) . Ancaman pidana terhadap pidana penyertaan adalah sama dengan ancaman pidana terhadap pelaku utamanya (dalam hal ini Sinsei tersebut) karena dianggap turut melakukan perbuatan pidana. Sedangkan dalam hal pembantuan, maksimum pidana yang dijatuhkan adalah jumlah pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga karena dianggap membantu dilakukannya kejahatan tapi tidak turut serta melakukan. Yang menjadi penentu dalam hal ini adalah tergantung dari derajat perbuatan yang dilakukan oleh teman Anda. Apakah teman Anda hanya membantu sebagai penerjemah atau juga turut mengedarkan obat tanpa izin edar? Karena teman Anda dan Sinsei tersebut telah ditangkap, pihak penyidik yang kemudian akan menentukan pasal apa saja yang akan dikenakan terhadap mereka berdasarkan pemeriksaan penyidik dan atas dasar bukti permulaan yang cukup. Simak juga artikel jawaban kami: Perbedaan Hak Tersangka dan Terpidana . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) 2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 3. Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam berbagai konvensi internasional, saya sering menemukan frasa \"inter alia\". Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan frasa tersebut dan bagaimana penerapannya dalam sebuah instrumen hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Frasa “ inter alia ” memang cukup lazim di digunakan dalam sejumlah konvensi internasional. Mengenai definisinya, di dalam situs Merriam-Webster.com dijelaskan bahwa inter alia berasal dari Bahasa Latin yang berarti among other things . Di dalam situs tersebut juga disebutkan bahwa frasa inter alia diketahui pertama kali digunakan pada tahun 1665. KLINIK TERKAIT Apa Itu Juncto dan Junctis dalam Pasal? 26 Jun 2024 Arti Error in Persona dan Error in Objecto Serta Contoh Kasusnya 24 Jun 2021 Arti Mutatis Mutandis dan Contohnya 23 Jul 2020 International Organization dan International Non-Governmental Organization 03 Agt 2011 Definisi lebih teknis mengenai frasa inter alia dapat kita temukan dalam situs Legal-Explanations.com , yaitu “Latin term for among other things. It is a phrase used in legal proceedings that few facts stated are only part of the entire facts or rules and not the entire thing.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (terjemahan bebas : inter alia merupakan frasa Latin untuk ‘di antara hal-hal lainnya’. Frasa ini digunakan dalam proses-proses hukum dimana beberapa fakta yang dikemukakan hanyalah sebagian dari keseluruhan fakta-fakta atau aturan-aturan dan bukan secara keseluruhan.) Dari uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa inter alia berarti “ antara lain ”. Mengenai penerapannya dalam sebuah instrumen hukum, kami berikan contohnya dari Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (“Statuta Roma”) . Pasal 81 ayat (3) huruf c (i) Statuta Roma yang berbunyi sebagai berikut: “Under exceptional circumstances, and having regard, inter alia , to the concrete risk of flight, the seriousness of the offence charged and the probability of success on appeal, the Trial Chamber, at the request of the Prosecutor, may maintain the detention of the person pending appeal.” Pasal tersebut diartikan (diambil dari Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional terbitan ELSAM, 2000, hal. 105): “ Berdasarkan keadaan luar biasa, dan dengan mengingat, antara lain , risiko kongkrit bahwa orang itu melarikan diri, kegawatan pelanggaran yang dituduhkan dan kemungkinan berhasilnya permohonan banding, Kamar Pengadilan, atas permohonan Jaksa Penuntut, dapat mempertahankan penahanan orang tersebut sambil menunggu keputusan banding. ” Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa dalam keadaan luar biasa, Kamar Pengadilan atas permohonan Jaksa Penuntut dapat mempertahankan penahanan orang sambil menunggu putusan banding dengan mengingat antara lain : a. Risiko kongkrit bahwa orang itu melarikan diri; b. Tingkat kegawatan pelanggaran yang dituduhkan; dan c. Kemungkinan berhasilnya permohonan banding. Contoh lain adalah dalam United Nations Convention Against Corruptions atau Konvensi Anti-Korupsi yang telah disahkan dengan UU No. 7 Tahun 2006 . Frasa inter alia dapat kita temukan dalam Pasal 9 ayat (2) Konvensi Anti Korupsi sebagai berikut: “Each State Party shall, in accordance with the fundamental principles of its legal system, take appropriate measures to promote transparency and accountability in the management of public finances. Such measures shall encompass, inter alia : a) Procedures for the adoption of the national budget; b) Timely reporting on revenue and expenditure; c) A system of accounting and auditing standards and related oversight; d) Effective and efficient systems of risk management and internal control; and e) Where appropriate, corrective action in the case of failure to comply with the requirements established in this paragraph.” Dari pasal tersebut juga tampak bahwa frasa “ inter alia ” digunakan untuk menyebutkan beberapa tindakan yang harus diambil oleh negara-negara peserta Konvensi untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen keuangan publik yaitu “ antara lain” beberapa hal tersebut di atas. Jadi, penggunaan “ inter alia ” adalah saat ada beberapa hal yang dikemukakan, namun tidak terbatas pada hal-hal yang disebutkan, untuk itu digunakanlah frasa “ inter alia ” atau “antara lain”. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya masih belum mengerti pengertian subyek hukum dan subsider. Apa arti dari istilah tersebut serta contoh dari keduanya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut E. Utrecht dalam bukunya “ Pengantar dalam Hukum Indonesia ” (hal. 234), dalam hukum ada dua pengertian yang sangat penting yakni: KLINIK TERKAIT Apa Itu Juncto dan Junctis dalam Pasal? 26 Jun 2024 Akibat Hukum Jika Somasi Diabaikan 08 Sep 2023 Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi 23 Mei 2023 Arti R dan TM dalam Merek Dagang 10 Mar 2022 a) Pengertian subyek hukum; b) Pengertian obyek hukum. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menjawab yang Anda tanyakan, dijelaskan oleh Utrecht bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum ( persoon ) ialah suatu pendukung hak, yaitu manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak . Suatu subyek hukum mempunyai kekuasaan untuk mendukung hak ( rechtsvoegdheid ). Jenis subyek hukum ini bisa berbeda untuk setiap ranah hukum yang berlainan, namun secara umum, ada dua macam subyek hukum yakni manusia dan badan hukum. Contoh subyek hukum pada ranah hukum perdata adalah manusia dan badan hukum. Pada ranah hukum pidana, subyek hukumnya adalah manusia dan badan hukum. Sedangkan, subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai konvensi internasional antara lain: - Negara; - Tahta Suci Vatikan. - Organisasi Internasional; - Palang Merah Internasional; - Kelompok Pemberontak; - Perusahaan Multinasional; - Individu. Lebih jauh, simak artikel Vatikan Sebagai Subyek Hukum Internasional . Subyek hukum sebagai pendukung hak dapat dikenakan kewajiban jika melakukan pelanggaran/kejahatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya: Diatur dalam Pasal 41 ayat (2) jo Pasal 13 ayat (1) Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara bahwa, setiap orang yang merokok di kawasan dilarang merokok diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dari ketentuan tersebut jelas bahwa yang menjadi subyek hukum adalah orang, namun dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “ setiap orang” didefinisikan orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Jadi, subyek hukumnya bisa berupa orang atau badan usaha. Sedangkan mengenai definisi subsider, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian subsider adalah sebagai pengganti apabila hal pokok tidak terjadi (seperti hukuman kurungan sebagai pengganti hukuman denda apabila terhukum tidak membayarnya). Kata subsider atau sering juga ditulis dengan subsidair umumnya digunakan untuk menyebut salah satu bentuk surat dakwaan. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel jawaban Klinik Hukum berjudul Bentuk-bentuk Surat Dakwaan , dakwaan subsidair merupakan dakwaan yang terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Contoh dakwaan subsidair: Primair : Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) Subsidair : Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) Jadi, secara umum, pengertian subsider/subsidair adalah pengganti. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara; 2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya mengenai tanggung gugat. Apa arti dari tanggung gugat sebenarnya dan apa bedanya dengan tanggung jawab? Apakah perbedaannya hanya karena tanggung jawab dalam konteks pidana dan tanggung gugat dalam konteks perdata atau memang ada perbedaan yang lainnya? Apakah tanggung gugat selalu disertai dengan ganti rugi? Demikian pertanyaan saya. Terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Berdasarkan penelusuran kami, dalam penggunaannya istilah tanggung gugat seringkali dipadankan dengan istilah Bahasa Inggris accountable atau accountability . Ini misalnya dapat kita temui dalam artikel berjudul “ Peran Polri dalam Otonomi Daerah ” yang ditulis A. Pandupraja yang dimuat hukumonline . KLINIK TERKAIT Konsep dan Praktik Strict Liability di Indonesia 31 Mar 2011 Tuntutan Pidana untuk Karyawan Perusahaan 15 Mar 2011 Tanggung Jawab Kerusakan dan Bencana 17 Jun 2010 Tanggung Jawab Pidana Korporasi 22 Jan 2010 Accountable, menurut Black’s Law Dictionary , Seventh Edition , 1999, berarti responsible, answerable . Sedangkan arti kata accountable , menurut The Contemporary English-Indonesia Dictionary , adalah bertanggung jawab. Definisi tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, “ keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan lain sebagainya) ”. Sementara itu, pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, J. Satrio berpendapat bahwa istilah tanggung gugat tidak dikenal dalam hukum. Dia menambahkan, jika yang dimaksud penanya dengan tanggung gugat adalah vrijwaring maka itu berarti jaminan dari penjual bahwa pembeli tidak akan diganggu oleh orang lain yang menyatakan punya hak lebih kuat dari pembeli. Namun, menurut Satrio, untuk istilah vrijwaring sendiri tidak ditemui padanannya dalam Bahasa Indonesia. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan uraian di atas maka dapat kiranya disimpulkan bahwa istilah tanggung gugat tidak memiliki perbedaan mendasar dengan definisi tanggung jawab dalam konteks hukum. Selain itu, tanggung gugat bukan merupakan terminologi hukum yang dapat kita temui pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. 2. Konsep tanggung jawab dapat ditemui baik dalam ranah hukum perdata maupun hukum pidana. 3. Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, konsep ganti rugi dapat kita temui dalam ranah pertanggungjawaban secara perdata maupun pidana. Contohnya dalam ranah pidana antara lain dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait dengan praperadilan ( Pasal 77 huruf b KUHAP ), dan dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Pasal 23 ayat [3]) . Sedangkan untuk ranah perdata, ganti rugi dapat dikenakan dalam hal terjadinya wanprestasi (lihat Pasal 1243 KUHPerdata ) atau perbuatan melawan hukum (lihat Pasal 1365 KUHPerdata ). Demikian jawaban dari kami, semoga dapat dipahami. Catatan: Klinik Hukum meminta pendapat J. Satrio melalui hubungan telepon pada 13 April 2011. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya dengar saat ini penjual online di e-commerce harus berizin. Apakah benar demikian?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Kami asumsikan e-commerce yang Anda maksud adalah padanan kata dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“PMSE”). Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“PP 80/2019”) , PMSE adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. PMSE dapat dilakukan oleh pelaku usaha, konsumen, pribadi, dan instansi penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PMSE merupakan hubungan hukum privat yang dapat dilakukan antara: [1] pelaku usaha dengan pelaku usaha; pelaku usaha dengan konsumen; pribadi dengan pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan instansi penyelenggara negara dengan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaku usaha pada PMSE meliputi: [2] pelaku usaha dalam negeri yang meliputi: pedagang dalam negeri; Penyelenggara PMSE (“PPMSE”) dalam negeri; dan penyelenggara sarana perantara dalam negeri; pelaku usaha luar negeri yang meliputi: pedagang luar negeri; PPMSE luar negeri; dan penyelenggara sarana perantara luar negeri. Pelaku usaha luar negeri yang secara aktif melakukan penawaran dan/atau melakukan PMSE kepada konsumen yang berkedudukan di wilayah hukum Indonesia yang memenuhi kriteria tertentu dianggap memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di wilayah hukum Indonesia. [3] Kriteria tersebut dapat berupa: [4] jumlah transaksi; nilai transaksi; jumlah paket pengiriman; dan/atau jumlah traffic atau pengakses. PPMSE luar negeri yang memenuhi kriteria wajib menunjuk perwakilan yang berkedudukan di wilayah hukum Indonesia yang dapat bertindak sebagai dan atas nama pelaku usaha yang dimaksud. [5] Kewajiban Para Pihak dalam PMSE Perlu diketahui bahwa terdapat sejumlah kewajiban bagi para pihak di dalam PMSE. Para pihak dalam PMSE harus memiliki, mencantumkan, atau menyampaikan identitas subjek hukum yang jelas . Setiap PMSE yang bersifat lintas negara wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur ekspor atau impor dan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. [6] Pihak yang melakukan PMSE atas barang dan/atau jasa yang berdampak terhadap kerentanan keamanan nasional harus mendapatkan security clearance dari instansi yang berwenang. [7] Dalam melakukan PMSE, pelaku usaha juga wajib membantu program pemerintah antara lain: [8] mengutamakan perdagangan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri; meningkatkan daya saing barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri; dan PPMSE dalam negeri wajib menyediakan fasilitas ruang promosi barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri. Dalam setiap PMSE, pelaku usaha wajib: [9] memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang identitas subjek hukum yang didukung dengan data atau dokumen yang sah; menyampaikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan terhadap barang dan/atau jasa yang diperdagangkan termasuk sistem elektronik yang digunakan sesuai karakteristik fungsi dan perannya dalam transaksi tersebut; dan memenuhi ketentuan etika periklanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Informasi yang benar, jelas, dan jujur paling sedikit mengenai: [10] kebenaran dan keakuratan informasi; kesesuaian antara informasi iklan dan fisik barang; kelayakan konsumsi barang atau jasa; legalitas barang atau jasa; dan kualitas, harga, dan aksesabilitas barang atau jasa. PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri wajib menggunakan sistem elektronik yang memiliki sertifikat kelaikan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [11] Izin Usaha Berkaitan dengan pokok pertanyaan Anda, hal tersebut diatur dalam Pasal 15 PP 80/2019 yang berbunyi: Pelaku Usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE. Penyelenggara Sarana Perantara dikecualikan dari kewajiban memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika : bukan merupakan pihak yang mendapatkan manfaat (beneficiary) secara langsung dari transaksi; atau tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan PMSE. Dalam rangka memberikan kemudahan bagi Pelaku Usaha untuk memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan izin usaha dilakukan melalui Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi PPMSE mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. Pelaku usaha yang tidak memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE dikenai sanksi administratif oleh Menteri Perdagangan, berupa: [12] peringatan tertulis; dimasukkan dalam daftar prioritas pengawasan; dimasukkan dalam daftar hitam; pemblokiran sementara layanan PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri oleh instansi terkait yang berwenang; dan/atau pencabutan izin usaha. Yang dimaksud dengan \"daftar prioritas pengawasan\" adalah daftar pelaku usaha bermasalah atau berpotensi melanggar kebijakan perdagangan namun belum termasuk dalam daftar hitam. Pengelolaan daftar tersebut dilakukan dengan mekanisme yang transparan. Sedangkan, \"daftar hitam\" adalah daftar pelaku usaha yang mempunyai reputasi buruk , telah terbukti merugikan konsumen, kepentingan nasional, dan/atau keamanan nasional. [13] Peringatan tertulis diberikan paling banyak tiga kali dalam tenggang waktu dua minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan. Sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar prioritas pengawasan, dikenakan kepada pelaku usaha yang tidak melakukan perbaikan setelah diberikan surat peringatan tertulis ketiga. [14] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik . [1] Pasal 4 PP 80/2019 [2] Pasal 5 PP 80/2019 [3] Pasal 7 ayat (1) PP 80/2019 [4] Pasal 7 ayat (2) PP 80/2019 [5] Pasal 7 ayat (3) PP 80/2019 [6] Pasal 9 PP 80/2019 [7] Pasal 10 ayat (1) PP 80/2019 [8] Pasal 12 ayat (1) PP 80/2019 [9] Pasal 13 ayat (1) PP 80/2019 [10] Pasal 13 ayat (2) PP 80/2019 [11] Pasal 14 PP 80/2019 [12] Pasal 80 ayat (1) dan (2) PP 80/2019 [13] Penjelasan Pasal 80 ayat (2) huruf b dan c PP 80/2019 [14] Pasal 80 ayat (3) dan (4) PP 80/2019 hukumonline e-commerce telekomunikasi teknologi izin usaha perdagangan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin tahu dasar hukum berlakunya H.I.R. dan tolong jelaskan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) adalah berasal dari Inlandsche Reglement (“IR”), dimuat dalam Lembaran Negara No. 16 jo 57/1848 yang judul lengkapnya adalah Reglement op de uit oefening van de politie, de Burgelijke rechtspleging en de Strafvordering onder de Indlanders en de Vremde Oosterlingen op Java en Madura (Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura). Sejak dikeluarkan pertama kali, maka IR itu telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang paling penting termuat dalam: 1. Staatsblad tahun 1941 No. 31 jo. No. 98, ialah perihal pembaharuan peraturan penuntutan terhadap orang-orang yang bukan bangsa Eropa. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Staatsblad tahun 1941 No. 32 jo. No. 98, ialah pembaharuan peraturan tentang pemeriksaan pendahuluan di dalam perkara-perkara kriminil terhadap orang-orang Indonesia dan Timur Asing, diantara mana enam buah title yang pertama diganti dengan dua buah title baru, kemudian isi seluruhnya dari IR itu diumumkan kembali dalam: 3. Staatsblad tahun 1941 No. 44 “ Inlandsch Reglement ” (“IR”) yang telah dibaharui itu dapat disebut “ Herzien Inlandsch Reglement ” (“HIR”) atau dalam bahasa Indonesia Reglemen Indonesia Yang Dibaharui, disingkat R.I.B., dan buat sementara hanya diberlakukan dalam wilayah-wilayah hukum beberapa Landraad yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal. Demikian sebagaimana kami sarikan dari “ Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata ” oleh Moh. Taufik Makarao, S.H., M.H . (hal. 12) dan “ RIB/HIR dengan Penjelasan ” oleh R. Soesilo , (hal. 2-3). Jadi, dasar hukum berlakunya HIR adalah Staatsblad 1848 No. 16 jo. 57 dan Staatsblad 1941 No. 31, 32 dan 44. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44) Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang menjadi dasar hukum dibuatnya perjanjian kerja laut antara pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan? Dalam satu pasal dalam perjanjian kerja laut, disebutkan 'jika pekerja sakit atau mendapat kecelakaan dalam hubungan kerja maka baginya berlakulah peraturan kecelakaan awak kapal tahun 1940 dan UU kecelakaan awak kapal tahun 1940 ...'. Apakah ada ketentuan lain atau ketentuan baru yang mengalahkan atau menyatakan peraturan tahun 1940 tersebut tidak berlaku, mengingat sekarag ada Peraturan Pemerintah No. 7/2000 tentang Kepelautan? Apakah PP 7/2000 tersebut menggantikan peraturan tahun 1940? Kemudian, bagaimana pengaturan jam kerja pekerja yang bekerja di laut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Dasar hukum dibuatnya perjanjian kerja laut – “PKL” ( zee- arbeids overeenkomst ) -- pada prinsipnya mengacu pada Buku II Bab 4 KUHD tentang Perjanjian Kerja Laut , khususnya Bagian Pertama tentang Perjanjian Kerja Laut Pada Umumnya . Ketentuan PKL dalam KUHD tersebut juga mengatur hal-hal bersifat khusus, misalnya: isi (substansi) PKL yang lebih luas dan pembuatan PKL harus di hadapan Syahbandar ( vide Pasal 400 dan Pasal 401 KUHD jo Pasal 18 PP No. 7 Tahun 2000 ). KLINIK TERKAIT Pengusaha Tak Mendaftarkan Pekerja ke BPJS, Adakah Sanksinya? 20 Mei 2024 Peraturan yang Mengatur Jam Kerja PNS di Lingkungan ABRI 26 Apr 2010 Waktu Kerja di Perusahaan Penerbangan 26 Mar 2010 Waktu Kerja Wartawan 19 Mar 2010 Walaupun demikian, (beberapa) ketentuan PKL dalam KUHD tersebut, merujuk lebih lanjut pada ketentuan perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan (Bab Ketujuh A – Buku II) KUH Perdata , seperti misalnya disebut dalam Pasal 396 KUHD , yang menyebutkan bahwa, “ Terhadap PKL berlakulah selain ketentuan-ketentuan dari Bab (PKL) ini, ( juga berlaku ) ketentuan-ketentuan dari Bagian Kedua , Ketiga , Keempat , dan Kelima dari Bab Ketujuh A dari Buku Ketiga KUH Perdata, sekedar berlakunya ketentuan-ketentuan itu tidak dengan tegas dikecualikan ”. Artinya, selain diatur dalam KUHD, PKL juga tunduk pada Bab Ketujuh A (tentang Perjanjian-perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan) dari Buku Ketiga (tentang Perikatan) KUH Perdata , sepanjang tidak diatur khusus (dengan tegas) dalam KUHD. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ketentuan yang dirujuk dalam KUH Perdata sebagaimana dimaksud Pasal 396 tersebut di atas, adalah: Bagian Kedua (mengenai Perjanjian Perburuhan Pada Umumnya ), Bagian Ketiga (mengenai Kewajiban Majikan ), Bagian Keempat (mengenai Kewajiban Buruh ), dan Bagian Kelima (mengenai Bermacam-macam Cara Berakhirnya Perhubungan Kerja Yang Diterbitkan dari Perjanjian ). Saat ini, ketentuan-ketentuan dalam Bab Ketujuh A KUH Perdata dimaksud sebagian besar (hampir seluruhnya) sudah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . Dengan demikian rujukan ketentuan dalam KUH Perdata (sebagaimana dimaksud Pasal 396 KUHD ) sudah mengacu pada UU Ketenagakerjaan yang sekarang. Di samping itu, sebagian lagi ketentuan yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam KUHD, juga telah diatur dalam UU Pelayaran (sekarang UU No. 17 Tahun 2008 , pengganti dari UU No. 21 Tahun 1992), khususnya (secara detail) dimuat dalam PP No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan (yang masih merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 21 Tahun 1992 dan masih berlaku sampai ada penggantinya). Permasalahannya, apakah dengan adanya ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan (saat ini) maka ketentuan dalam KUHD menjadi tidak mempunyai kekutan hukum yang mengikat? Menurut hemat kami, tidak demikian karena ketentuan yang diatur dalam KUHD (Bab Keempat) bersifat khusus ( lex specialis ), dan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata (Bab Ketujuh A) bersifat umum . Oleh karena itu, berlaku azas “ lex specialis derogat legi generali ”. Dengan perkataan lain, apabila suatu hal (terkait dengan PKL) terdapat pengaturannya dalam KUHD/UU Pelayaran, maka ketentuan dalam KUH Perdata/UU Ketenagakerjaan dikesampingkan. Dalam kaitan ini, berlaku azas metaprinciple yang mengatakan “ lex posterior generalis , non derogat legi priori specialis ” ( Philipus M. Hadjon, Titiek Sri Djatmiati , “ Argumentasi Hukum ”, Gajah Mada University Press, hal. 54, vide Gert Frederik M , dalam P.W. Brouwer , hal. 215) . Artinya UU –yang terbit– kemudian yang generalis (bersifat umum) tidak mengalahkan (mengesampingkan) pendahulunya yang spesialis (bersifat khusus). Oleh karena itu, dengan telah adanya pengaturan umum dalam UU Ketenagakerjaan menggantikan ketentuan dalam Bab Ketujuh A KUH Perdata, tentunya tidak mengesampingkan ketentuan dalam KUHD/UU Pelayaran (yang bersifat khusus). 2. Secara historis, dalam rangka menjamin kesinambungan penerimaan upah bagi buruh (pekerja), dibuatlah peraturan yang memberikan –perlindungan– kepada buruh terutama ketika tidak dapat menjalankan pekerjaannya saat mengalami sakit , cacat atau hari tua . Bentuk perlindungan tersebut, berawal dari terbitnya Peraturan Kecelakaan 1939 ( Ongevallenregeling 1939 ) dan Peraturan Pelaksanaannya ( Ongevallen-verordening 1939 ) dan Peraturan Kecelakaan Pelaut 1940 ( Schepelingen Ongevallen-Regeling Stbl. No. 447-1940) dan Peraturan Pelaksanaannya ( Schepelingen - ongevallen-verordening – Stbl. No. 534-1940). Kemudian, khusus untuk Peraturan Kecelakaan 1939 ( Ongevallenregeling ), disempurnakan menjadi UU Kecelakaan Tahun 1947 No. 33 (cq. UU No. 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kecelakaan Tahun 1947 No. 33 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia ). Dalam kaitan penyempurnaan itu, Prof. Iman Soepomo, S.H. , (buku Pengantar Hukum Perburuhan , hal. 139) berpendapat bahwa dalam UU Kecelakaan tidak dengan tegas mencabut dan menggantikan Peraturan Kecelakaan ( Ongevallenregeling 1939) dan peraturan pelaksanaannya ( Ongevallen-verordening 1939), namun demikian harus diartikan sebagai telah mencabut dan menggantikan Peraturan Kecelakaan 1939 dimaksud. Pandangan Prof. Iman Soepomo, S.H. tersebut, tidak menyinggung mengenai Peraturan Kecelakaan Pelaut ( Schepelingen Ongevallen-Regeling Stbl No.447-1940) dan peraturan pelaksanaannya ( Schepelingen - ongevallen-verordening –Stbl No. 534-1940). Oleh karena itu, hemat kami Peraturan Kecelakaan Pelaut ini masih berlaku (secara khusus) hingga saat ini, sepanjang tidak diikutsertakan dalam program jaminan sosial ( social secutiry ) yang ada saat ini. Substansi peraturan-peraturan kecelakaan , pada dasarnya menegaskan –adanya– kewajiban majikan untuk memberikan ganti kerugian kepada buruh yang mengalami kecelakaan pada waktu menjalankan pekerjaan atau saat masih dalam hubungan kerja . Artinya, pemberian ganti kerugian kepada buruh (sewaktu mengalami kecelakaan kerja ) adalah merupakan tanggung-jawab majikan dan merupakan resiko menjalankan perusahaan ( risqué professionnel ). Walau faktanya, pelaksanaan ketentuan peraturan-peraturan kecelakaan tersebut tidak memuaskan (khususnya) bagi –pihak / kalangan– buruh . Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, tanggung-jawab ( beban ) majikan dalam UU Kecelakaan Tahun 1947 No. 33 , dialihkan kepada program jaminan sosial ( social secutiry ) dengan dibentuknya Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) pada 26 Nopember 1977 dengan terbitnya PP No. 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (yang sekaligus merupakan amanat dari Pasal 9 dan Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja ) yang tetap berpedoman pada UU Kecelakaan No. 33 Tahun 1947. Kemudian, terbit UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dan peraturan pelaksanaannya, PP No. 14 Tahun 1993 yang mencabut UU Kecelakaan 1947. Coverage (cakupan) UU Jamsostek ini secara umum meng- cover tenaga kerja dalam hubungan kerja di Perusahaan (lihat Pasal 4 ayat [1] jo Pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 3 Tahun 1992) namun tidak menyinggung coverage tenaga kerja pelaut di kapal-kapal berbendera Indonesia. Walaupun berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan angka 4 UU No. 3 Tahun 1992, program jamsostek mencakup semua perusahaan / pengusaha dalam yurisdiksi NKRI. 3. Pengaturan mengenai jam kerja awak kapal ( schepeling , pelaut, “anak kapal”) tidak diatur dalam KUHD, akan tetapi menjadi coverage UU Pelayaran (cq. Pasal 21 PP No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan), sebagai berikut : a. Ketentuan jam kerja ( waktu kerja dan waktu istirahat /”WKWI”) bagi awak kapal menganut pola 6:1 dengan maksimum 44 jam per-minggu. Artinya, 6 (enam) hari kerja dan 1 (satu) hari istirahat mingguan , masing-masing 8 (delapan) jam/hari. b. Apabila awak kapal bekerja melebihi ketentuan waktu kerja dimaksud dan dipekerjakan pada hari istirahat mingguan atau pada hari libur nasional, maka dihitung lembur . c. Setiap awak kapal harus diberikan waktu istirahat paling sedikit 10 (sepuluh) jam dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari. Waktu istirahat tersebut dapat dibagi 2, yang salah satu di antaranya tidak kurang dari 6 (enam) jam kecuali dalam keadaan darurat. d. Pengecualian dari WKWI dimaksud, antara lain pelaksanaan tugas-tugas darurat demi keselamatan berlayar dan muatan, termasuk latihan-latihan di kapal, atau untuk memberikan pertolongan dalam bahaya sesuai peraturan keselamatan pelayaran, dalam kaitan itu tidak dihitung lembur. e. Demikian juga, bagi pelaut muda atau pelaut yang berumur antara 16 tahun sampai dengan 18 tahun dan dipekerjakan sebagai apapun di atas kapal, tidak diperbolehkan untuk : 1) dipekerjakan melebihi 8 jam sehari dan 40 jam seminggu; 2) dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam hal-hal tugas-tugas darurat demi keselamatan berlayar dan muatan. Demikian penjelasan kami, semoga penjelasan tersebut yang Sdr. maksud . Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43); 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23); 3. Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kecelakaan Tahun 1947 No. 33 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia 4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan 6. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 7. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ; 8. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat siang hukumonline, seringkali saya membaca dalam setiap peraturan perundang-undangan yang ada mengandung istilah ketertiban umum (public policy). Apakah definisi dari ketertiban umum tersebut? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ketertiban umum atau public policy memang sering ditemui dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia. Misalnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas , atau UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”) . KLINIK TERKAIT Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Pengelolaannya 29 Mar 2022 Apa yang Dimaksud \"Legal Disputes\"? 03 Agt 2011 Bagaimana Pengakuan Putusan Pengadilan Asing Terkait Sengketa Internasional? 10 Jun 2011 Bagaimana Jika Hukum Internasional Tidak Dipatuhi? 30 Mei 2011 Meski demikian, sayangnya kita tidak akan menemukan definisi ataupun batasan dari ketertiban umum di dalam peraturan perundang-undangan. Mengenai definisi “ketertiban umum”, di dalam salah satu artikel hukumonline , Definisi “Ketertiban Umum” Masih Simpang Siur , advokat Luhut M.P. Pangaribuan antara lain mengatakan bahwa: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “… untuk menafsirkan ketertiban umum, maka kita harus merujuk pada Undang-Undang atau hukum yang dibuat oleh seorang hakim. Artinya, menurut Luhut, apakah ada putusan hakim atau putusan pengadilan yang mendefinisikan apa yang dimaksud ketertiban umum. ‘Kita kan menganut sistem hukum tertulis di mana eksekutif yang mencoba menginterpretasikan sesuatu, tidak boleh melewati batasan dari Undang-Undang yang dimaksud.’ Lebih lanjut Luhut menjelaskan bahwa batasan yang universal mengenai ketertiban umum memang tidak ada. ‘Harus dilihat kasus per kasus,’ ungkapnya.” Pendapat Luhut di atas adalah dalam konteks ketidakjelasan definisi ketertiban umum dalam UU Arbitrase, khususnya dalam kasus Bankers Trust melawan PT Mayora Indah Tbk. pada 1999. Dalam penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No. 001/Pdt/Arb.Int/1999, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada saat itu menolak memberikan eksekusi terhadap putusan Arbitrase London karena mengganggu ketertiban umum. Yang ditafsirkan ketertiban umum di situ adalah untuk kasus yang sama saat ini telah ada putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatalkan klausul arbitrase. Jadi kalau putusan arbitrase London dieksekusi, sedangkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan klausul arbitrase dibatalkan, ada ketertiban umum yang dilanggar (lebih lengkap simak artikel Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian ). Seperti diketahui dalam Pasal 66 UU Arbitrase antara lain diatur bahwa putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Batasan atau definisi ketertiban umum memang sering menjadi perdebatan dalam konteks eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia. Masalah ini pernah dibahas dalam salah satu diskusi yang diadakan hukumonline.com bertajuk Problematika Eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia . Salah satu pembicara dalam diskusi tersebut yaitu M. Yahya Harahap mencoba menjelaskan arti dan penafsiran dari ketertiban umum. Di bawah ini kami sarikan pendapat Yahya Harahap sebagaimana disampaikan dalam diskusi tersebut: “Ketertiban umum memiliki makna luas dan bisa dianggap mengandung arti mendua (ambiguity). Dalam praktik telah timbul berbagai penafsiran tentang arti dan makna ketertiban umum, antara lain: 1. Penafsiran sempit . Menurut penafsiran sempit arti dan lingkup ketertiban umum: - hanya terbatas pada ketentuan hukum positif saja, - dengan demikian yang dimaksud dengan pelanggar/bertentangan dengan ketertiban umum, hanya terbatas pada pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan saja, - oleh karena itu, putusan arbitrase yang bertentangan/melanggar ketertiban umum, ialah putusan yang melanggar/bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia. 2. Penafsiran luas . Penafsiran luas tidak membatasi lingkup dan makna ketertiban umum pada ketentuan hukum positif saja: - tetapi meliputi segala nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan tumbuh dalam kesadaran masyarakat, - termasuk ke dalamnya nilai-nilai kepatutan dan prinsip keadilan umum (general justice principle), - oleh karena itu, putusan arbitrase asing yang melanggar/bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang hidup dalam kesadaran dan pergaulan lalu lintas masyarakat atau yang melanggar kepatutan dan keadilan, tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. 3. Berpedoman kepada Bab V KUHP (Pasal 154 – Pasal 181) : - dalam Bab V KUHP yang terdiri dari Pasal 154 – Pasal 181 diatur berbagai bentuk tindakan kejahatan terhadap ketertiban umum, - namun, tanpa mengurangi berbagai bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Bab V KUHP tersebut, tidak seluruhnya bahkan kurang relevan diterapkan dalam domain hukum perdagangan. Dari uraian di atas, oleh karena UU No. 30/1999 sendiri tidak memberi definisi maupun tidak mendeskripsikan apa saja yang termasuk ketertiban umum, mengakibatkan penerapannya dalam konkrit sering menimbulkan permasalahan.” Demikian yang dapat kami jelaskan untuk menjawab pertanyaan Anda. Semoga dapat dipahami. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) 2. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kami sekeluarga telah bersepakat akan menjual aset yang telah ditinggalkan oleh almarhum ayah. Almarhum meninggalkan seorang istri, satu orang anak laki-laki, dan satu orang anak perempuan. Kedua orangtua menikah secara Islam (Ayah, Ibu dan anak laki-laki beragama Islam), sedangkan anak perempuan berpindah agama mengikuti agama suaminya. Hukum waris apakah yang berlaku, dan bagaimana garis besar peruntukannya? Bagaimanakah seharusnya pembagian yang wajar (sehingga tidak menimbulkan hal-hal negatif)?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Hukum waris mengikuti agama dari pewaris. Oleh karena itu, yang menjadi ahli waris dalam hal ini adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Kelompok ahli waris menurut hubungan darah yaitu: (a) golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan (b) golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek [Pasal 174 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam atau KHI]. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda [Pasal 174 ayat (2) KHI] . Dari uraian di atas dan penjelasan Anda sebelumnya, kami hanya mengetahui bahwa almarhum ayah Anda meninggalkan satu orang istri, satu orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Kemudian, karena anak perempuan tidak beragama Islam, maka yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris. Di sisi lain, Anda tidak menginformasikan kepada kami apakah ayah dan ibu pewaris masih hidup . Karena, seperti kami jelaskan pada bagian sebelumnya, jika kedua orangtua pewaris masih hidup, maka keduanya juga merupakan ahli waris. Namun demikian, para ahli waris yang Anda sebutkan termasuk dalam golongan zawil furud atau ahli waris yang mendapatkan harta warisan berdasarkan bagian tertentu dari harta warisan yang prosentasenya telah ditentukan oleh Al Quran dan Hadist. Golongan ini merupakan pihak yang pertama kali mendapatkan harta waris setelah pewaris meninggal dunia. Prosentase pembagian tersebut adalah �, �, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6 dari harta waris. Berikut bagian masing-masing ahli waris yang masuk dalam golongan zawil furud dalam kasus Anda: 1. Istri mendapatkan 1/8 bagian, karena pewaris memiliki anak atau cucu. Istri juga memperoleh harta bersama atau harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung [Pasal 96 ayat (1) KHI]. 2. Anak laki-laki mendapatkan sisa dari harta waris yaitu 7/8 bagian. Simak juga jawaban kami sebelumnya mengenai pertanyaan terkait di sini . Demikian yang dapat kami jelaskan."
} |
{
"from": "human",
"value": "Minggu lalu saudara saya digerebek oleh polisi karena menurut polisi rekening banknya ada transaksi dengan seseorang yang terlebih dahulu sudah tertangkap perjudian online. Transaksinya sebanyak 2 kali yaitu sebesar Rp2 juta dan Rp4 juta. Polisi membawa mobilnya, semua peralatan komputernya yang menurut polisi di dalamnya ada data perjudian bola online. Sekarang saudara saya sudah ditahan selama beberapa hari dan dipaksa menandatangani BAP yang tidak dimengerti isinya olehnya. Pertanyaan saya: 1) Apakah polisi sudah melakukan prosedur penangkapan yang benar? 2) Atas kesalahannya melakukan perjudian online, seberapa jauh hukuman maksimal yang bakal diperolehnya? 3) Adakah saran bapak/ibu untuk menghubungi pengacara/bantuan hukum yang memadai tapi tidak terlalu mahal karena pada dasarnya dia tidak memiliki uang banyak?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perjudian Menurut Hukum Indonesia Kami turut prihatin terhadap permasalahan yang saudara Anda hadapi. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, saya akan menjelaskan mengenai peraturan yang mengatur mengenai perjudian di Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengatur mengenai perjudian, seperti yang diatur dalam Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan untuk perjudian online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”). Pasal 303 bis ayat (1) KUHP , berbunyi: 1) Diancam dengan kurungan paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah: barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi, yang diadakan dengan melanggar peraturan pasal 303; barangsiapa ikut serta permainan judi yang diadakan di jalan umum atau di pinggirnya maupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, kecuali jika untuk mengadakan itu, ada izin dari penguasa yang berwenang. Sementara itu mengenai perjudian online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian . Ancaman terhadap pelanggaran ini diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU 19/2016 , yakni: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Penjelasan selengkapnya mengenai judi dapat Anda simak dalam artikel Apakah Forex Termasuk Judi? dan Cara Penyidik Menjerat Pelaku Perjudian Internet . Prosedur Penangkapan Menurut KUHAP Terkait dengan penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, maka terdapat beberapa hal yang mendasari penangkapan dilakukan oleh aparat kepolisian. Pihak kepolisian dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup, memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , yaitu: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Namun, dalam melakukan penangkapan terdapat prosedur yang harus dijalankan yang diatur dalam Pasal 18 KUHAP yang berbunyi: Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Prosedur penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam hal ini telah benar apabila prosedur sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 18 KUHAP di atas telah dijalankan. Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, yaitu mengenai bantuan hukum atau referensi pengacara. Bila memang saudara Anda tidak mampu secara finansial, Anda bisa meminta bantuan hukum kepada lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada di daerah Anda. Namun, pada dasarnya seorang advokat dalam menentukan besarnya honorarium advokat wajib untuk mempertimbangkan kemampuan klien, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf d Kode Etik Advokat Indonesia . Penjelasan lebih lanjut mengenai honorarium advokat dapat Anda simak selengkapnya dalam artikel Fee yang Wajar untuk Advokat (Success Fee) . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Kode Etik Advokat Indonesia hukum hukum pidana hukumonline judi online kepolisian klinik klinik hukumonline kuhp penahanan penangkapan penjara penyidik perjudian pidana polisi tahanan teknologi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya menikah sejak Juni 2012, dengan terpaut perbedaan usia 10 tahun, usia saya sekarang 36 tahun. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana hukumnya bila setelah menikah tetapi istri masih tetap menyukai laki-laki lain, walaupun itu hanya sebatas suka? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dalam hal ini, kami kurang mendapatkan penjelasan mengenai perbedaan usia 10 tahun antara Anda dengan istri. Namun, kami asumsikan usia istri Anda lebih muda dari Anda. Selain itu, kami juga kurang jelas soal dari mana Anda mengetahui bahwa isteri Anda yang masih menyukai laki-laki lain. Apakah itu hanya berdasarkan pengamatan atau dugaan Anda semata, atau memang isteri Anda yang secara langsung mengatakannya kepada Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Bercerai karena Suami Homoseksual? 18 Agt 2023 Foto Mesra Istri Bersama Pria Lain Sebagai Bukti Perzinahan 12 Feb 2013 Menghadapi Suami yang Mendahulukan Kepentingan Keluarga Orang Tuanya 31 Agt 2012 Bisakah Menceraikan Istri yang Doyan Online (Chatting) Seharian? 13 Mar 2012 Pada dasarnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) , perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, dalam sebuah perkawinan suami isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain ( Pasal 33 UU Perkawinan ). Dalam UU Perkawinan maupun peraturan pelaksananya, tidak diatur mengenai jika suami atau isteri masih menyukai wanita atau laki-laki lain. Dalam hal ini, menurut hemat kami, yang bisa Anda lakukan adalah membicarakan masalah itu secara baik-baik dengan istri Anda. Komunikasi Anda dan istri harus dilandasi oleh rasa saling mencintai, menghormati, dan bersih dari segala prasangka. Seringkali, masalah komunikasi dan saling pengertian antara suami dan istri merupakan faktor kunci yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah perkawinan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Rahmat Arijaya, S.Ag., M.Ag. , Hakim Pengadilan Agama Cilegon, Staf Khusus Dirjen Badilag Urusan LN. Dalam tulisannya berjudul Mengapa Perceraian di Indonesia Meningkat? (diunduh dari www.pta-medan.go.id), Rahmat menulis bahwa perceraian yang terjadi karena perselisihan terus-menerus biasanya dipicu oleh komunikasi yang buruk, ketidakdewasaan, kurangnya saling pengertian antara suami-istri (simak juga artikel Cekcok Terus dengan Suami Karena Foto-foto Masa Berpacaran ). Dengan adanya komunikasi yang baik dan mesra antara Anda dan istri diharapkan kedua elah pihak dapat menemukan akar masalah yang ada, dan bersama-sama mencari solusinya. Namun, jika Anda dan istri tidak dapat menemukan solusi atas masalah tersebut, maka Anda dan istri dapat meminta bantuan dari keluarga terdekat, atau mungkin tokoh agama. Semua cara yang dianggap baik untuk menyelamatkan perkawinan, menurut kami, harus dan sangat pantas diupayakan oleh Anda dan istri. Jika pada akhirnya semua cara telah ditempuh tapi tidak berhasil, maka perceraian adalah alternatif terakhir yang bisa dipertimbangkan Anda dan istri. Berdasarkan Pasal 39 UU Perkawinan , untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Sekalipun demikian, menurut Rahmat, hakim yang mengadili perkara perceraian tetap akan memeriksa apakah ada kemungkinan atau tidak untuk menyelamatkan keluarga dengan memberikan pasangan lebih banyak waktu. Hakim juga sering menyarankan mereka untuk berdamai dengan bantuan dari keluarga mereka, tokoh agama, imam dan lain-lain. Dari penjelasan tersebut, dapat kita lihat bahwa jika memang masalah isteri Anda masih menyukai pria lain (baik karena asumsi Anda maupun pengakuan isteri Anda sendiri), ada baiknya Anda membicarakan baik-baik dengan isteri Anda. Jika masalah tidak juga terselesaikan, Anda bisa meminta bantuan dari keluarga atau tokoh agama atau pihak lain yang dihormati Anda dan istri. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . uu perkawinan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya adalah seorang dokter kulit dan kecantikan. Yang mau saya tanyakan adalah adakah hukumnya untuk operasi plastik ganti muka? Intinya operasi biar tidak ada yang mengenali lagi alias mengganti identitas diri. Misalnya dari jelek jadi ganteng sehingga tidak ada yang mengenali. Apa hukumnya operasi plastik?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya dalam hukum kesehatan Indonesia tepatnya pada UU Kesehatan mengenal istilah bedah plastik rekonstruksi dan estetika. Namun sebenarnya tidak ada definisi khusus mengenai bedah plastik rekonstruksi dan estetika, akan tetapi hal tersebut merupakan metode pengobatan sebagai salah satu cara penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 123 UU Kesehatan yaitu:\n\nDalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, terapi berbasis sel dan/atau sel punca, serta bedah plastik rekonstruksi dan estetika.\nHal yang serupa juga didefinisikan oleh Oxford Learner’s Dictionaries, bedah plastik atau plastic surgery adalah medical operations to repair injury to a person’s skin, or to improve a person’s appearance.\n\nJadi berdasarkan definisi di atas, bedah plastik adalah salah satu metode pemulihan kesehatan. Artinya bedah plastik dilakukan sebagai salah satu metode untuk memperbaiki apabila ada luka.\nJenis Bedah Plastik\nApa hukumnya operasi plastik? UU Kesehatan sendiri membedakan antara bedah plastik rekonstruksi dan bedah plastik estetika. Pertama, bedah plastik rekonstruksi merupakan bedah plastik yang ditujukan untuk memperbaiki fungsi tubuh yang memiliki kelainan fungsi tubuh atau bagian tubuh tertentu serta penampilan tubuh yang diakibatkan oleh faktor cacat bawaan, cacat akibat trauma, kecelakaan maupun akibat pengangkatan tumor.[1] Adapun tindakan bedah plastik rekonstruksi dapat dilakukan terhadap berbagai penyebab antara lain sebagai berikut:[2]\nCacat yang disebabkan oleh trauma, luka bakar, dan pengangkatan tumor;Bedah kraniofasial dan bedah maksilofasial yang mengkhususkan diri dalam bidang rekonstruksi kelainan bawaan bentuk kepala dan muka, serta kelainan yang disebabkan trauma dan pengangkatan tumor;Bedah mikro yang mengkhususkan diri dalam bidang rekonstruksi kelainan bawaan, trauma (misalnya amputasi traumatik) dan pengangkatan tumor yang memiliki spesialisasi dalam aplikasi teknik bedah mikro atau penyambungan pembuluh darah di bawah mikroskop;Amputasi traumatik karena terputusnya bagian atau anggota tubuh karena trauma atau kecelakaan yang memerlukan tindakan penyambungan dengan aplikasi bedah mikro;Bedah tangan yang mengkhususkan diri pada penatalaksanaan kelainan tangan, baik kelainan bawaan, trauma termasuk luka bakar, dan kelainan yang disebabkan oleh pengangkatan tumor.\n\nSementara, untuk bedah plastik estetika bertujuan untuk memperbaiki bagian tubuh yang kurang harmonis atau sempurna sesuai dengan keinginan pasien yang merasa kurang puas dengan bentuk fisiknya, seperti salah satu organ atau jaringan tubuh yang tidak optimal. Bedah plastik estetika ini sangat kental dengan unsur memperbaiki atau memberikan kecantikan pada diri pasien. Macam-macam tindakan bedah plastik estetika yang dapat dilakukan atas seseorang antara lain sebagai berikut:[3]\n\nTindakan bedah estetika untuk proses penuaan, yang bertujuan memperbaiki struktur otot dan kulit yang mengalami proses degenerasi, misalnya operasi pengencangan muka (facelift);Tindakan bedah estetika untuk kelainan bentuk anatomi tubuh yang kurang harmonis, misalnya operasi pembuatan lipatan kelopak mata (blefaroplasty), operasi hidung (rinoplasty), operasi dagu (mentoplasty), operasi telinga (otoplasty), operasi mata, dan sebagainya;Tindakan bedah estetika untuk proses pertumbuhan lemak berlebihan, yang bertujuan memberi bentuk pada tubuh (body conturing, body reshaping, body sclupture) dengan cara membuang lemak yang berlebihan tanpa menurunkan berat badan, misalnya bedah sedot lemak (liposuction);Bedah kraniomaksilofacial, yaitu tindakan pembedahan yang dilakukan untuk memberi bentuk pada rangka tulang dan muka yang kurang harmonis agar tampak lebih indah, misalnya bedah craniofacial shaping dan bedah orthognatic.\nJika Bedah Plastik Mengubah Identitas Seseorang\n\nLalu apa hukumnya operasi plastik? Patut dicatat, dalam pelaksanaan bedah plastik rekonstruksi dan estetika diatur sebagai berikut:[4]\n\nBedah plastik rekonstruksi dan estetika hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan.Bedah plastik rekonstruksi dan estetika tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.\n\nJika bedah plastik ditujukan untuk mengubah identitas seseorang, perbuatan ini dapat dijerat sanksi dalam Pasal 433 UU Kesehatan, yaitu setiap orang yang melakukan bedah plastik rekonstruksi dan estetika yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan ditujukan untuk mengubah identitas seseorang dipidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai apa hukumnya operasi plastik? Pada dasarnya bedah plastik rekonstruksi dan estetika boleh saja dilakukan untuk penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan bahkan untuk kecantikan sekalipun. Akan tetapi, yang tidak boleh dilakukan adalah apabila bedah plastik tersebut bertujuan untuk mengubah identitas.\n\nAdapun maksud dari “mengubah identitas” adalah mengubah wajah, jenis kelamin, dan/atau sidik jari, sehingga mengakibatkan perubahan identitas dan menghilangkan jejak jati diri, serta digunakan untuk melawan hukum atau melakukan kejahatan.[5]\n\nSelain itu, dalam pelaksanaan bedah plastik rekonstruksi dan estetika memang tidak ditujukan untuk mengubah jenis kelamin melainkan untuk menyesuaikan alat kelamin dengan jenis kelamin yang sebenarnya. Jika ingin melakukan perubahan jenis kelamin hanya dapat dilakukan dengan penetapan pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.\nREFERENSI:\n1. Plastic Surgery, yang diakses pada 3 Oktober 2023, pukul 18.00 WIB\n2. Yefta Moenadjat. Hal yang Perlu Diketahui oleh Masyarakat Awam Mengenai Bedah Plastik, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001.\n\n[1] Yefta Moenadjat. Hal yang Perlu Diketahui oleh Masyarakat Awam Mengenai Bedah Plastik, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, hal. 12-13[2] Yefta Moenadjat. Hal yang Perlu Diketahui oleh Masyarakat Awam Mengenai Bedah Plastik, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, hal. 15-17[3] Yefta Moenadjat. Hal yang Perlu Diketahui oleh Masyarakat Awam Mengenai Bedah Plastik, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, hal. 18-19[4] Pasal 137 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”)[5] Penjelasan Pasal 137 ayat (2) UU Kesehatan[6] Penjelasan Pasal 137 ayat (2) UU Kesehatan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya seorang wanita, 53 tahun, mempunyai usaha di lantai 1 rumah kami. Jadi, saya sekeluarga berdiam di atas tempat usaha saya (kursus menjahit). Selama ini suami tidak pernah memberi nafkah karena dia berpendapat, penghasilan saya sudah lebih dari cukup untuk hidup sekeluarga. Sedang tokonya pas-pasan karena dia malas. Lama-lama saya tidak tahan, apalagi perlakuannya kasar dan cuek pada istri. Saya memutuskan pisah kamar. Dia marah sekali, saya kira karena dia tersinggung harga dirinya. Lalu dia mulai berbuat apa saja untuk mempersulit keuangan saya. Makan, tidur, nonton TV semua atas biaya saya, tapi dia merasa yang menemukan lokasi strategis dari rumah ini adalah dia, lalu kami bangun. Saat itu sayalah yang mengelola tokonya jadi ramai. Jadi rumah ini gono gini. Sekarang dia mau narik sewa lantai 1 yang saya pakai, untuk lebih mempersulit hidup saya karena saya tidur di kamar lain itu. Bung Pokrol, bisakah rumah gono gini yang ditempati sekeluarga, tapi usaha punya istri, saya harus bayar sewa ke suami? Dia merasa separuh rumah ini miliknya (dia tidak merasa bahwa nasi, kursi, telepon, dll. yang diperolehnya adalah cuma-cuma, padahal semua saya yang bayar). Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pernah dipublikasikan pada Sabtu, 10 Desember 2011. KLINIK TERKAIT Apakah Hadiah Perkawinan Termasuk Harta Bersama? 20 Nov 2023 Sahkah Akta Nikah yang Dikeluarkan Negara Lain? 16 Okt 2023 Jika Suami Tidak Memenuhi Nafkah Istri setelah Bercerai 19 Mei 2023 Hukum Bagi Menantu yang Tinggal di Rumah Mertua 02 Des 2011 Intisari: Jika di antara suami dan istri telah dibuat perjanjian kawin sebelumnya yang mengatur mengenai pembagian harta, maka memang terhadap harta dapat dibagi bagian suami dan bagian istri (ada pemisahan harta). Namun, jika tidak ada perjanjian perkawinan sebelumnya, maka semua harta yang diperoleh selama dalam perkawinan adalah menjadi harta bersama suami istri. Dengan logika berpikir tersebut, maka suami tidak dapat menagih biaya sewa dari istri terhadap penggunaan suatu harta (dalam hal ini rumah) bila rumah tersebut diperoleh setelah perkawinan berlangsung karena rumah tersebut juga merupakan milik istri. Selain itu, UU Perkawinan dan KHI menegaskan bahwa suami juga wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya , sedangkan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya . Jadi, seharusnya suami Anda tidak mengenakan biaya sewa terhadap Anda dan Anda juga tidak turut menghitung-hitung apa yang sudah Anda berikan terhadap suami Anda (nasi, kursi, telpon, dan lain-lain). Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Harta Benda dalam Perkawinan Pada prinsipnya, hukum perkawinan di Indonesia menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, [1] kecuali ada perjanjian kawin yang mengatur sebaliknya. [2] Sehingga terhadap harta bersama tersebut, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. [3] Anda tidak menyebutkan agama apa yang Anda anut. Bagi pemeluk agama Islam berlaku pula ketentuan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) . Dalam Pasal 1 huruf f KHI disebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan harta tersebut terdaftar atas nama siapapun . Perjanjian Kawin Anda juga tidak menyebutkan apakah di antara Anda dan suami ada perjanjian kawin atau prenuptial agreement sebelumnya. Perjanjian Perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh UU Perkawinan. [4] Lebih jauh mengenai perjanjian kawin simak artikel jawaban kami sebelumnya mengenai Prenuptial Agreement . Jika di antara suami dan istri telah dibuat perjanjian kawin sebelumnya yang mengatur mengenai pembagian harta, maka memang terhadap harta dapat dibagi bagian suami dan bagian istri (ada pemisahan harta). Perjanjian kawin ini dapat dibuat pada Waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 : (1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan , kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan. (4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga. Namun, jika tidak ada perjanjian perkawinan sebelumnya, maka semua harta yang diperoleh selama dalam perkawinan adalah menjadi harta bersama suami istri. Dengan logika berpikir tersebut, maka suami tidak dapat menagih biaya sewa dari istri terhadap penggunaan suatu harta (dalam hal ini rumah) bila rumah tersebut diperoleh setelah perkawinan berlangsung karena rumah tersebut juga merupakan milik istri. Selain itu, UU Perkawinan dan KHI menegaskan bahwa suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain . [5] Suami juga wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya , sedangkan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya . [6] Dan jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. [7] Jadi, seharusnya suami Anda tidak mengenakan biaya sewa terhadap Anda dan Anda juga tidak turut menghitung-hitung apa yang sudah Anda berikan terhadap suami Anda (nasi, kursi, telpon, dan lain-lain) karena baik secara agama, moral maupun hukum, sudah menjadi tanggung jawab suami untuk mencukupi istrinya dan sudah menjadi tanggung jawab istri untuk mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika Suami Tidak Memberikan Nafkah kepada Istrinya Di sisi lain, jika suami Anda tidak pernah memberikan nafkah, ada sanksi pidana yang dapat mengancamnya, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 49 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”) yang berbunyi: Pasal 49 UU PKDRT: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal 9 UU PKDRT: (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Dengan demikian, ada baiknya dalam menghadapi permasalahan ini Anda dan suami membicarakannya secara baik-baik demi mempertahankan keutuhan rumah tangga Anda dengan mengingat tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. [8] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; 3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 . [1] Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) [2] Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 [3] Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan [4] Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 [5] Pasal 33 UU Perkawinan dan Pasal 77 ayat (2) KHI [6] Pasal 34 ayat (1) dan (2) serta Pasal 80 ayat (1) dan (2) dan Pasal 83 KHI [7] Pasal 34 ayat (3) dan Pasal 77 ayat (5) KHI [8] Pasal 1 UU Perkawinan hukumonline istri suami rumah hukum klinik klinik hukumonline keluarga dan perkawinan isteri pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon penjelasannya, apa itu arbiter dan apa yang dimaksud dengan arbitrase? Lalu, berapa sih biaya arbitrase? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPenyelenggaraan Arbitrase Online di Indonesia09 Mei 2022Hukumnya Jika Jangka Waktu Pengembalian Barang Dibatasi oleh Penjual15 Feb 2022Data Aplikasi PeduliLindungi Diduga Bocor, Ini Langkah yang Bisa Dilakukan 19 Okt 2021Hukumnya Promosi Pakai Nama dan Foto Boy Band Tanpa Izin 14 Okt 2021\n\nPertama-tama, Anda perlu memahami apa yang dimaksud dengan arbitrase. Pasal 1 angka 1 UU 30/1999 mendefinisikan arbitrase sebagai berikut:\n\nArbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.\nKemudian menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu arbiter, menurut Pasal 1 angka 7 UU 30/1999, arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.\n\nPatut Anda ketahui, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter, tempat arbiter akan mengambil keputusan, pernyataan kesediaan arbiter harus dituangkan dalam perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat para pihak.[1]\nLantas, apakah arbiter bisa menolak penunjukan atau pengangkatan tersebut? Bisa, arbiter dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan dengan wajib memberitahukan secara tertulis kepada pihak dalam waktu paling lama 14 hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan.[2]\n\nTapi bagaimana jika arbiter telah menerima lalu berniat menarik diri, bisakah? Bisa, namun harus dengan persetujuan para pihak dengan mengajukan permohonan tertulis ke para pihak terlebih dahulu. Jika para pihak menyetujui penarikan diri, arbiter dibebaskan tugasnya. Sebaliknya, jika para pihak tidak setuju, pembebasan tugas arbiter ditetapkan Ketua Pengadilan Negeri.[3]\nSyarat Jadi Arbiter\n\nSetelah memahami arbiter artinya seorang atau lebih yang dipilih pihak bersengketa atau yang ditunjuk pengadilan atau lembaga arbitrase untuk memberikan putusan yang diselesaikan melalui arbitrase, perlu Anda ketahui pula terdapat beberapa syarat jadi arbiter yaitu:[4]\n\ncakap melakukan tindakan hukum;berumur paling rendah 35 tahun;tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; danmemiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.\n\nSebagai informasi, hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter, agar terjamin adanya objektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter.[5]\n\nDikutip dari artikel berjudul Perbedaan Mediator, Arbiter, dan Konsiliator, Susanti Adi Nugroho menyatakan bahwa syarat penting lainnya yang harus dimiliki arbiter, yaitu:\n\nPara arbiter yang telah dipilih memiliki keahlian dalam suatu atau beberapa bidang, seperti bidang perbankan, asuransi, konstruksi, dan sebagainya, dan didukung oleh pengalaman yang cukup lama serta mempunyai nama yang bersih dan integritas yang tinggi;Ia harus independen dan menunjukkan sikap tidak memihak, terbuka maupun tertutup (berarti ia tidak mewakili atau harus membela pihak yang memilihnya);Harus menyampaikan kepada para pihak dan institusi di mana ia terdaftar agar setiap fakta dan keadaan yang mungkin akan menimbulkan keragu-raguan atas independensi dan ketidakberpihakannya yang mungkin timbul di dalam ucapan maupun pikiran para pihak yang bersengketa;Terikat untuk menerapkan tata cara secara pantas menghargai dan menghormati prinsip perlakuan yang tidak memihak dan hak-hak para pihak untuk didengar;Menyelesaikan dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai waktu yang telah ditetapkan;Memelihara kerahasiaan para pihak juga setelah dikeluarkan keputusannya;Selama pemeriksaan, ia berhak memperoleh kerjasama yang jujur dan terbuka dari para pihak;Ia tidak bisa dituntut karena isi putusannya, kecuali terbukti memihak atau tidak independen.\nBiaya Arbitrase\n\nPada prinsipnya, arbiter yang menentukan biaya arbitrase yang mana mencakup:[6]\n\nhonorarium arbiter;biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter;biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; danbiaya administrasi.\n\nSiapa yang akan menanggung biaya arbitrase? Apakah para pihak secara bersama-sama? Jawabannya adalah biaya arbitrase dibebankan pada pihak yang kalah. Namun dalam hal tuntutan yang dikabulkan hanya sebagian saja, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang.[7]\n\nSebagai contoh, Anda dapat mengakses rincian Biaya Arbitrase BANI untuk referensi Anda.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik, terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\nDemikian jawaban dari kami tentang apa itu arbiter dan apa yang dimaksud dengan arbitrase, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.\nREFERENSI:\n1. Biaya Arbitrase BANI, yang diakses pada 9 Mei 2022, pukul 08.11 WIB.\n\n[1] Pasal 9 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”)[2] Pasal 16 ayat (2) UU 30/1999[3] Pasal 19 UU 30/1999[4] Pasal 12 ayat (1) UU 30/1999[5] Pasal 12 ayat (2) dan penjelasannya UU 30/1999[6] Pasal 76 UU 30/1999[7] Pasal 77 UU 30/1999"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya dengar sekarang ada bantuan untuk usaha mikro, benarkah? Bagaimana cara mendapatkannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Macam-Macam Pola Kemitraan dengan UMKM 04 Nov 2021 UKM dan Koperasi Bisa Go Public , Ini Langkahnya 25 Okt 2021 Cara Mendapatkan dan Mengecek NIB 22 Okt 2021 SIUP dan TDP Tak Berlaku Lagi, Benarkah? 16 Sep 2021 Syarat Mendapatkan BPUM Benar, untuk membantu dan menjaga keberlangsungan usaha pelaku usaha mikro menghadapi tekanan akibat COVID-19, pemerintah memandang perlunya memberikan bantuan bagi pelaku usaha mikro. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Istilah yang digunakan untuk menyebut bantuan tersebut adalah Bantuan bagi Pelaku Usaha Mikro (“BPUM”). BPUM adalah bantuan pemerintah dalam bentuk uang yang diberikan kepada pelaku usaha mikro yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). [2] Pemberian BPUM dilakukan agar pelaku usaha mikro dapat menjalankan usaha di tengah krisis akibat pandemi COVID-19 dalam rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional. [3] BPUM diberikan dalam bentuk uang sejumlah Rp1,2 juta secara sekaligus untuk pelaku usaha mikro yang memenuhi kriteria tertentu yang disalurkan langsung ke rekening penerima BPUM. [4] Pelaku usaha mikro baik yang belum pernah menerima maupun yang telah menerima dana BPUM pada tahun anggaran sebelumnya dapat menjadi penerima BPUM, dengan catatan yang bersangkutan tidak sedang memerima Kredit Usaha Rakyat (“KUR”). [5] Syarat-syarat untuk menjadi penerima BPUM adalah: [6] Warga Negara Indonesia; memiliki KTP Elektronik; memiliki usaha mikro yang dibuktikan dengan surat usulan calon penerima BPUM dari pengusul BPUM beserta lampirannya yang merupakan satu kesatuan; dan bukan Aparatur Sipil Negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai BUMN, atau pegawai BUMD. Yang dimaksud dengan “pengusul BPUM” sendiri adalah dinas/badan yang membidangi koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (“UMKM”) kabupaten/kota yang mengusulkan calon penerima BPUM. [7] Cara Mendaftar BPUM Karena BPUM diberikan ke pelaku usaha mikro yang diusulkan oleh dinas/badan yang membidangi koperasi dan UMKM kabupaten/kota, maka langkah yang harus Anda lakukan jika ingin menjadi penerima BPUM adalah dengan mendaftarkan usaha Anda ke dinas/badan tersebut. Berdasarkan penulusuran kami, masing-masing kabupaten/kota telah mempublikasikan tata cara pendaftaran BPUM, contohnya seperti Kota Semarang , Kabupaten Wonogiri , dan Kabupaten Deli Serdang . Untuk itu, kami sarankan Anda untuk mencari informasi dari dinas/badan terkait baik melalui laman resminya atau mendatanginya secara langsung. Selanjutnya, dinas/badan tersebut yang akan menyampaikan usulan calon penerima BPUM ke dinas/badan yang membidangi koperasi dan UMKM provinsi, [8] yang kemudian meneruskan usulan itu ke Kementerian Koperasi dan UMKM (“Kementerian”) cq. deputi penanggungjawab program BPUM. [9] Usulan tersebut memuat: [10] NIK sesuai KTP Elektronik; nomor kartu keluarga; nama lengkap; alamat; bidang usaha; dan nomor telepon. Lebih lanjut, dalam tahap pembersihan data dan validasi data calon penerima, dinas yang mengusulkan di kabupaten/kota melakukan penghapusan data calon penerima BPUM melalui: [11] verifikasi identitas kependudukan calon penerima BPUM terhadap data calon penerima BPUM yang memiliki identitas sama, ganda, atau duplikasi dengan calon penerima BPUM lainnya dan/atau NIK tidak sesuai format administrasi kependudukan; [12] dan pengecekan kelengkapan dokumen persyaratan. Selanjutnya, dinas/badan yang membidangi koperasi dan UMKM kabupaten/kota menyerahkan data usulan calon penerima BPUM yang telah dilakukan pembersihan data ke dinas/badan yang membidangi koperasi dan UMKM provinsi, yang akan mengoordinasikan usulan data calon penerima BPUM untuk disampaikan ke Kementerian cq. deputi penanggungjawab program BPUM. [13] Barulah kemudian Kementerian cq. deputi penanggung jawab program memvalidasi data usulan calon penerima BPUM terhadap: [14] usulan calon penerima BPUM yang tidak sedang menerima KUR melalui SIKP; dan NIK. Lalu, Kuasa Pengguna Anggaran (“KPA”) menetapkan pelaku usaha mikro yang berhak menerima BPUM berdasarkan data yang telah diproses pembersihan dan validasi, serta mencairkan dana BPUM dengan cara memberikan langsung ke rekening penerima BPUM atau melalui penyalur BPUM, [15] yaitu Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan PT. Pos Indonesia yang ditetapkan oleh KPA. [16] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Pemerintah Bagi Pelaku Usaha Mikro Untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Pemerintah Bagi Pelaku Usaha Mikro untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional pada Masa Pandemi Corona Vius Disease 2019 (COVID-19) . REFERENSI:\n1. Informasi BPUM Kota Semarang , diakses pada 4 November 2021, pukul 22.36 WIB\n2. Informasi BPUM Kabupaten Wonogiri , diakses pada 4 November 2021, pukul 22.36 WIB\n3. Informasi BPUM Kabupaten Deli Serdang , diakses pada 4 November 2021, pukul 22.36 WIB. [1] Konsiderans menimbang huruf a Peraturan Menteri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Pemerintah Bagi Pelaku Usaha Mikro untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional serta Penyelamatan Ekonomi Nasional pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“Permenkukm 6/2020”) [2] Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Penyaluran Bantuan Pemerintah Bagi Pelaku Usaha Mikro untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional pada Masa Pandemi Corona Vius Disease 2019 (COVID-19) (“Permenkukm 2/2021”) [3] Pasal 2 Permenkukm 6/2020 [4] Pasal 3 Permenkukm 2/2021 [5] Pasal 4 Permenkukm 2/2021 [6] Pasal 5 ayat (1) Permenkukm 2/2021 [7] Pasal 6 ayat (1) Permenkukm 2/2021 [8] Pasal 8 ayat (1) Permenkukm 2/2021 [9] Pasal 8 ayat (1a) Permenkukm 2/2021 [10] Pasal 8 ayat (2) Permenkukm 2/2021 [11] Pasal 9 ayat (2) Permenkukm 2/2021 [12] Pasal 9 ayat (3) Permenkukm 2/2021 [13] Pasal 9A Permenkukm 2/2021 [14] Pasal 9B Permenkukm 2/2021 [15] Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1) Permenkukm 2/2021 [16] Pasal 1 angka 11 Permenkukm 6/2020 perusahaan usaha mikro umkm"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa itu CSR? Bagaimana aturan serta fungsinya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Corporate Social Responsibility (“CSR”) atau yang menurut peraturan perundang-undangan dikenal dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan Terbatas (“PT”) untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi PT sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.[1]\nMenurut Widjaja dan Yeremia dalam buku Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, CSR adalah bentuk kerjasama antara perusahaan (tidak hanya PT) dengan segala hal (stakeholders) yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan untuk tetap menjamin keberadaan dan kelangsungan hidup usaha (sustainability) perusahaan tersebut.[2]\n\nDari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa CSR berkaitan erat dengan tujuan mencapai kegiatan ekonomi berkelanjutan atau sustainable economic activity. Keberlanjutan kegiatan ekonomi bukan hanya terkait soal tanggung jawab sosial tetapi juga menyangkut akuntabilitas perusahaan terhadap masyarakat, bangsa, dan dunia internasional.[3]\nDi Indonesia, CSR diatur dalam UU PT sebagaimana telah diubah dengan Perppu Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang, serta diatur lebih spesifik dalam PP 47/2012.\nApakah Semua Perusahaan Wajib Melakukan CSR?\n\nPada dasarnya, setiap PT selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan.[4] Tujuan diaturnya ketentuan mengenai CSR adalah untuk tetap menciptakan hubungan PT yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.[5]\nMeski setiap PT memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan, namun menurut hukum, perusahaan yang dibebankan tanggung jawab untuk menjalankan Corporate Social Responsibility adalah PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan undang-undang. Kewajiban tersebut dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan PT.[6]\nDalam hal ini, yang dimaksud dengan “PT yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah PT yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.[7] Sedangkan yang dimaksud dengan “PT yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah PT yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.[8]\nLebih lanjut, Corporate Social Responsibility merupakan kewajiban PT yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya PT yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.[9]\nPatut diperhatikan, bagi PT sebagaimana disebut di atas yang tidak melaksanakan kewajiban CSR dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[10]\nBerdasarkan ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun setiap PT memang memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan, namun kewajiban pelaksanaan CSR ini diberlakukan bagi PT yang menjalankan kegiatan usaha dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang jika tidak dilaksanakan, maka PT yang bersangkutan dikenai sanksi.\nApa Pentingnya Corporate Social Responsibility bagi Perusahaan?\n\nSelanjutnya, mengenai fungsi CSR, dalam peraturan perundang-undangan terkait memang tidak ditegaskan, akan tetapi, dari penjelasan sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa fungsi CSR selaras dengan tujuannya yaitu sebagai bentuk peran PT dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, serta menciptakan hubungan PT yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, dan budaya masyarakat setempat.[11]\n\nPentingnya dilakukan CSR dengan memperhatikan aspek finansial, sosial dan lingkungan dapat berkontribusi menciptakan keseimbangan antara kondisi sosial, ekonomi, dan masyarakat pada letak perusahaan beroperasi.[12]\n\nSelain itu, menurut J.G. Frynas dalam jurnal berjudul Beyond Corporate Social Responsibility, Oil Multinationals and Social Challenges, pentingnya Corporate Social Responsibility dilakukan perusahaan adalah sebagai berikut:[13]\n\nuntuk memenuhi regulasi, hukum dan aturan;sebagai investasi sosial perusahaan untuk mendapatkan gambaran perusahaan yang positif;bagian dari strategi bisnis perusahaan;untuk memperoleh licence to operate atau izin pengoperasian dari masyarakat setempat; danbagian dari risk management atau manajemen risiko perusahaan untuk meredam dan menghindari konflik sosial.\nJenis Corporate Social Responsibility\n\nMenurut Budimanta, terdapat tiga jenis tipe pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yaitu:[14]\n\nCommunity Relations\n\nTipe pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan ini menyangkut pengembangan kesepahaman antara masyarakat dan perusahaan. Adapun tipe ini dilaksanakan melalui komunikasi, relasi dan informasi diantara masyarakat, perusahaan dan pihak-pihak terkait. Dalam pelaksanaan tipe ini, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan cenderung mengarah pada bentuk-bentuk pemberian barang yang sifatnya langsung (charity).\n\nCommunity Services\n\nTipe pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan ini mengedepankan pelayanan kemasyarakatan terhadap masyarakat sekitar perusahaan. Tipe ini berupaya untuk memenuhi kepentingan komunitas atau kepentingan masyarakat. Tipe dari kategori community services biasanya melaksanakan pembangunan secara fisik pada sektor-sektor tertentu seperti, kesehatan, keagamaan, dan pendidikan. Perusahaan berupaya untuk memberikan kebutuhan yang memang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga permasalahan yang dihadapi oleh komunitas atau masyarakat dapat diatasi melalui program-program perusahaan.\n\nCommunity Empowering\n\nTipe pelaksanaan ini memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup yang lebih baik kepada komunitas atau masyarakat. Adanya akses yang lebih luas yang diberikan oleh perusahaan ini mampu menunjang kemandirian masyarakat. Masyarakat diberdayakan agar dapat meningkatkan kapasitas mereka dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan mengembangkan potensi, guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2007)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f98d3a83cfd2/peraturan-pemerintah-nomor-47-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_47_2012)\nREFERENSI:\n1. Indra Putra Agung (et.al). Peran Corporate Social Responsibility (CSR) di Perusahaan PT. Andes Agro Investama terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani Sawit di Desa Selimatan Jaya, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Agroforetech, Vol. 1, No. 1, 2023\n2. Meilanny Budiarti S. dan Santoso Tri Raharjo. Corporate Social Responsibility (CSR) dari Sudut Pandang Perusahaan. Share Social Work Journal, Vol. 4, No. 1, 2014\n3. Rahmadani (et.al). Fungsi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Social Work Journal, Vol. 8, No. 2, 2018\n4. Ridha Hidayat (et.al). Analisis Yuridis Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Terhadap Masyarakat Sekitar. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 20, No. 4, 2020\n5. T. Romy Marnelly. Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teori dan Praktek di Indonesia. Jurnal Aplikasi Bisnis, Vol. 2, No. 2, 2012.\n\n[1] Pasal 109 angka 1 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”).[2] T. Romy Marnelly. Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teori dan Praktek di Indonesia. Jurnal Aplikasi Bisnis, Vol. 2, No. 2, 2012, hal. 51.[3] Indra Putra Agung (et.al). Peran Corporate Social Responsibility (CSR) di Perusahaan PT. Andes Agro Investama terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani Sawit di Desa Selimatan Jaya, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Agroforetech, Vol. 1, No. 1, 2023, hal. 292.[4] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (“PP 47/2012”).[5] Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT.[6] Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP 47/2012.[7] Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT.[8] Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT.[9] Pasal 74 ayat (2) UU PT.[10] Pasal 74 ayat (3) UU PT jo. Pasal 7 PP 47/2012.[11] Ridha Hidayat (et.al). Analisis Yuridis Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Terhadap Masyarakat Sekitar. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 20, No. 4, 2020, hal. 539.[12] Rahmadani (et.al). Fungsi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Share Social Work Journal, Vol. 8, No. 2, 2018, hal. 204.[13] Meilanny Budiarti S. dan Santoso Tri Raharjo. Corporate Social Responsibility (CSR) dari Sudut Pandang Perusahaan. Share Social Work Journal, Vol. 4, No. 1, 2014, hal. 14.[14] Rahmadani (et.al). Fungsi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Share Social Work Journal, Vol. 8, No. 2, 2018, hal. 205-206."
} |
{
"from": "human",
"value": "Seiring dengan teknologi yang berkembang pesat, teknologi deepfake sering digunakan untuk membuat pornografi ilegal. Lalu, jika AI jadi alat kejahatan seksual, bagaimana hukumnya di Indonesia? Apa jerat pidana bagi pelaku yang membuat deepfake porn?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan deepfake. Deepfake adalah teknologi rekayasa atau teknik sintetis citra manusia yang didasari pada kecerdasan buatan atau artificial intelligence (“AI”).[1] Kemudian, Marissa Koopman (et.al) menjelaskan deepfake sebagai berikut:[2]\nThe deepfake algorithm allows a user to switch the face of one actor in a video with the face of a different actor in a photorealistic manner.\n\nArtinya, deepfake adalah istilah yang diberikan pada algoritma, dimana algoritma tersebut memungkinkan penggunanya untuk mengubah wajah dari satu aktor menjadi wajah dari aktor lain dalam video yang berbentuk photorealistic[3] yakni meniru objek visual yang nyata.[4] Selain dalam bentuk video, teknologi deepfake juga dapat digunakan untuk merekayasa gambar.[5]\nKemudian, teknologi deepfake sering kali disalahgunakan sehingga dapat menimbulkan kejahatan seperti penggunaan teknologi deepfake dalam menyebarkan konten pornografi. Hal ini dikenal dengan deepfake porn.[6]\nDeepfake Porn sebagai Kekerasan Gender Berbasis Online\n\nPada dasarnya, deepfake porn termasuk dalam Kekerasan Gender Berbasis Online (“KGBO”). Menurut Ellen Kusuma dan Nenden Sekar Arum, berikut adalah dampak yang mungkin dialami para korban dan penyintas KBGO, dalam hal ini deepfake porn, antara lain:[7]\n\nkerugian psikologis;keterasingan sosial;kerugian ekonomi;mobiltas terbatas; dansensor diri, yaitu hilangnya kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital.\n\nLebih lanjut, pelaku deepfake porn dalam melakukan aksinya akan mencuri otoritas tubuh korban dengan merekayasa korban melakukan sesuatu yang pelaku inginkan tanpa izin dan bahkan sepengetahuan korban. Pelaku bertindak seolah ia memiliki kuasa sepenuhnya akan korban yang berada dalam dunia maya. Hal ini termasuk dalam perbuatan kriminal, dimana pelakunya melakukan beberapa kejahatan sekaligus ketika membuat deepfake porn,[8] sebagai contoh mencuri data pribadi, menyebarkan informasi dengan muatan yang melanggar kesusilaan, dan juga manipulasi/pemalsuan data.\n\nBerdasarkan jenis-jenis kejahatan tersebut, maka kami akan merujuk pada ketentuan dalam UU ITE dan perubahannya, UU PDP, UU Pornografi, atau UU 1/2023 tentang KUHP baru. Berikut masing-masing ulasannya.\nDeepfake Porn Menurut UU 1/2024\n\nBerdasarkan penelusuran kami, saat ini Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai teknologi kecerdasan buatan atau AI. Namun menurut hemat kami, teknologi kecerdasan buatan memiliki kemiripan karakteristik dengan “agen elektronik” yang diatur dalam UU ITE dan perubahannya. Pasal 1 angka 8 UU 19/2016 menyatakan bahwa agen elektronik adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.\n\nKata “otomatis” pada pasal tersebut berarti bekerja sendiri. Selain itu, teknologi kecerdasan buatan dapat didefinisikan sebagai sistem pengolahan berbasis komputer yang bisa berpikir sendiri dan membuat keputusan sendiri. Maka, karakteristik teknologi kecerdasan buatan dapat disamakan dengan karakteristik dari agen elektronik itu sendiri.[9]\n\nDengan demikian, deepfake porn sebagai penyalahgunaan terhadap AI adalah salah satu perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE yang berbunyi:\n\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.\n\nDari bunyi Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024, terdapat beberapa penjelasan atas unsur pasal sebagai berikut:[10]\n\n\"Menyiarkan\" termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan\nmembuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik dalam sistem elektronik.\"Mendistribusikan\" adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi\ndan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik.\"Mentransmisikan\" adalah mengirimkan informasi dan/atau dokumen\nelektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik.\"Membuat dapat diakses\" adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan\ndan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.\"Melanggar kesusilaan\" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan\nketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard).\"Diketahui umum\" adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.\n\nKemudian, orang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024.\n\nNamun, perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tidak dipidana dalam hal:[11]\n\ndilakukan demi kepentingan umum;dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atauinformasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.\n\nBaca juga: Ini Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang Dianggap Pasal Karet\nDeepfake Menurut UU PDP\n\nSebagaimana telah kami uraikan, teknologi deepfake digunakan untuk merekayasa gambar atau video menggunakan wajah orang lain dalam pembuatannya. Sebagai informasi, gambar wajah termasuk dalam data biometrik yang bersifat spesifik.[12]\n\nBerdasarkan UU PDP, ketentuan deepfake terdapat dalam Pasal 66 UU PDP, yaitu setiap orang dilarang membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Lalu, orang yang melanggar ketentuan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6 miliar.[13]\nDeepfake Porn Menurut UU Pornografi\n\nApabila mengacu pada UU Pornografi, penyalahgunaan deepfake porn termasuk dalam unsur-unsur yang diatur di Pasal 1 angka 1 UU Pornografi sebagai berikut:\n\nPornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.\n\nDi dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi melarang setiap orang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:\n\npersenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;kekerasan seksual;masturbasi atau onani;ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;alat kelamin; ataupornografi anak.\n\nKemudian, pelaku yang melanggar larangan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi.\nDeepfake Porn Menurut UU 1/2023\n\nSelain diatur dalam beberapa undang-undang di atas, deepfake bermuatan pornografi juga diatur dalam Pasal 407 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[14] yakni pada tahun 2026. Berikut adalah bunyi Pasal 407 UU 1/2023:\n\nSetiap Orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV, yaitu Rp200 juta[15] dan pidana denda paling banyak kategori VI, yaitu Rp2 miliar.[16]\nKemudian, penting untuk diketahui bahwa pada saat KUHP baru mulai berlaku, Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 (sebelum diubah oleh Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[17]\n\nKesimpulannya, saat ini di Indonesia belum terdapat aturan yang secara spesifik dan komprehensif mengatur mengenai penyalahgunaan AI berupa deepfake porn. Akan tetapi, karena kejahatan deepfake porn dilakukan melalui kecerdasan buatan, memiliki muatan pornografi, dan pelaku menggunakan wajah orang lain dalam pembuatan deepfake porn, maka kita dapat merujuk pada UU ITE dan perubahannya, UU PDP, UU Pornografi, atau UU 1/2023 tentang KUHP baru.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28607/uu-no-44-tahun-2008-pornografi/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_pornografi)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n3. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n4. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\n5. [Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt634e841e24ca9/undang-undang-nomor-27-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_27_2022)\n6. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. Ellen Kusuma dan Nenden Sekar Arum. Memahami dan Menyikapi Kekerasan Gender Berbasis Online: Sebuah Panduan. Southeast Asia Freedom of Expression Network, 2019\n2. Eva Istia Utawi dan Neni Ruhaeni. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pornografi Menurut Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pornografi Melalui Media Sosial. Bandung Conference Studies: Law Studies, Vol. 3, No. 1, 2023\n3. Itsna Hidayatul Khusna dan Sri Pangestuti. Deepfake, Tantangan Baru Untuk Netizen. Jurnal Promedia, Vol. 5, No. 2, 2019\n4. Ivana Dewi Kasita. Deepfake Pornografi: Tren Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) Di Era Pandemi Covid-19. Jurnal Wanita dan Keluarga, Vol. 3, No. 1, 2022\n5. Lysy C. Moleong (et.al). Implementasi Cluster Computing Untuk Render Animasi. E-Jurnal Teknik Elektro dan Komputer, Vol. 2, No. 3, 2013\n6. Marissa Koopman (et.al). Detection of Deepfake Video Manipulation. Proceedings of the 20th Irish Machine Vision and Image Processing Conference, University of Amsterdam & Netherlands Forensic Institute, 2018\n7. Muhammad Faqih Faathurrahman dan Enni Soerjati Priowirjanto. Pengaturan Pertanggungjawaban Pelaku Penyalahgunaan Deepfakes dalam Teknologi Kecerdasan Buatan pada Konten Pornografi Berdasarkan Hukum Positif Indonesia. Jurnal JIST, Vol. 3, No. 11, 2022.\n\n[1] Itsna Hidayatul Khusna dan Sri Pangestuti. Deepfake, Tantangan Baru Untuk Netizen. Jurnal Promedia, Vol. 5, No. 2, 2019, hal. 2[2] Marissa Koopman (et.al). Detection of Deepfake Video Manipulation. Proceedings of the 20th Irish Machine Vision and Image Processing Conference, University of Amsterdam & Netherlands Forensic Institute, 2018, hal. 133[3] Ivana Dewi Kasita. Deepfake Pornografi: Tren Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) Di Era Pandemi Covid-19. Jurnal Wanita dan Keluarga, Vol. 3, No. 1, 2022, hal. 18[4] Lysy C. Moleong (et.al). Implementasi Cluster Computing Untuk Render Animasi. E-Jurnal Teknik Elektro dan Komputer, Vol. 2, No. 3, 2013, hal. 4[5] Eva Istia Utawi dan Neni Ruhaeni. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pornografi Menurut Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pornografi Melalui Media Sosial. Bandung Conference Studies: Law Studies, Vol. 3, No. 1, 2023, hal. 368[6] Ivana Dewi Kasita. Deepfake Pornografi: Tren Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) Di Era Pandemi Covid-19. Jurnal Wanita dan Keluarga, Vol. 3, No. 1, 2022, hal. 17[7] Ellen Kusuma dan Nenden Sekar Arum. Memahami dan Menyikapi Kekerasan Gender Berbasis Online: Sebuah Panduan. Southeast Asia Freedom of Expression Network, 2019, hal. 10[8] Ivana Dewi Kasita. Deepfake Pornografi: Tren Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) Di Era Pandemi Covid-19. Jurnal Wanita dan Keluarga, Vol. 3, No. 1, 2022, hal. 22[9] Muhammad Faqih Faathurrahman dan Enni Soerjati Priowirjanto. Pengaturan Pertanggungjawaban Pelaku Penyalahgunaan Deepfakes dalam Teknologi Kecerdasan Buatan pada Konten Pornografi Berdasarkan Hukum Positif Indonesia. Jurnal JIST, Vol. 3, No. 11, 2022, hal. 1161[10] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”)[11] Pasal 45 ayat (2) UU 1/2024[12] Pasal 4 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”) dan penjelasannya[13] Pasal 68 UU PDP[14] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[15] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023[16] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023[17] Pasal 622 ayat (1) huruf r UU 1/2023"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang disebut dilusi saham? Adakah ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang dilusi saham?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dilusi atau dilution menurut The Law Dictionary adalah the act of reducing the proportion of ownership held by current investors through issuance of new shares of common stock (or through the exercise of outstanding stock options or the conversion of convertible bonds). Berdasarkan uraian tersebut maka dilusi dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengurangi proporsi kepemilikan yang dipegang oleh investor saat ini, melalui penerbitan saham baru yang berupa saham umum (atau melalui pelaksanaan opsi saham yang beredar atau obligasi konversi).\n\nSementara, pengertian “dilusi” menurut KBBI adalah pengurangan hasil sekuritas karena pemberian hak opsi atau karena jumlah yang diterbitkan melebihi jumlah semestinya.\n\nDari pengertian di atas, secara umum, dilusi saham adalah penurunan persentase kepemilikan saham yang sudah ada dan sebagian besar akibat perusahaan menerbitkan saham baru. Saham baru yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut meningkatkan jumlah saham yang tersedia, sehingga menyebabkan nilai saham yang ada akan turun atau menjadi terdilusi."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan dissenting opinion? Lalu apa dasar hukum dan contoh putusan dissenting opinion?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Apa yang dimaksud dengan dissenting opinion? Menurut Black Law Dictionary 9th Edition pengertian dissenting opinion adalah:\nAn opinion by one or more judges who disagree with the decision reached by the majority. -- Often shortened to dissent. -- Also termed minority opinion.\n\nJika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti pendapat dari satu atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang dicapai oleh mayoritas.\n\nMenurut Bagir Manan yang dikutip oleh Hangga Prajatama dalam jurnal berjudul Kedudukan Dissenting Opinion sebagai Upaya Kebebasan Hakim untuk Mencari Keadilan di Indonesia, dissenting opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim minoritas atas putusan pengadilan (hal. 43).\n\nAdapun menurut Pontang Moerad yang dikutip jurnal yang sama, dissenting opinion adalah opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim (hal. 43).\n\nDalam arti lain, dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan amar putusan. Adapun, dissenting opinion sebagai pendapat berbeda yang memengaruhi amar putusan harus dituangkan dalam putusan.[1]\n\nBaca juga: Dissenting Opinion di Mata Mantan Hakim Agung\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari mayoritas atau pendapat hakim yang berbeda dalam suatu putusan. Mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda. Pendapat berbeda hakim tersebut wajib dimuat dalam putusan.\n\nDalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) dissenting opinion merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban moral hakim konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh pertimbangan hukum putusan MK. Adanya dissenting opinion ini tidak memengaruhi kekuatan hukum putusan MK.[2]\n\nBegitu pula di peradilan di lingkungan Mahkamah Agung (“MA”), dissenting opinion tidak memengaruhi putusan pengadilan. Hal ini karena putusan diambil berdasarkan musyawarah, dan jika tidak mencapai mufakat bulat, maka pendapat yang berbeda dimuat dalam putusan.[3] Dengan kata lain, putusan ditentukan oleh suara mayoritas/terbanyak.[4]\n\nSebagai informasi, selain dissenting opinion, terdapat jenis lain dari pendapat berbeda hakim, yaitu concurring opinion atau disebut juga concurent opinion atau consenting opinion.[5]\nLantas, apa perbedaan antara concurring opinion dan dissenting opinion? Concurring opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi perbedaan amar putusan, hanya berbeda pada pertimbangan hukum yang mendasari putusan, namun amar putusannya tetap sama. Sedangkan dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan amar putusan.[6]\nDasar Hukum Dissenting Opinion\n\nDissenting opinion diatur dimana? Dissenting opinion diatur di dalam Pasal 14 UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:\n\nPutusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.\n\nKemudian, mengenai dissenting opinion dalam pemeriksaan tingkat kasasi di MA, diatur di dalam Pasal 30 ayat (2) dan (3) UU 5/2004 sebagai berikut:\n\nDalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.\n\nAdapun, dasar hukum dissenting opinion dalam putusan MK diatur di dalam Pasal 45 ayat (6) dan (10) UU MK yang menyatakan bahwa jika musyawarah sidang pleno hakim konstitusi tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya. Adapun, jika putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.\nContoh Putusan Dissenting Opinion\n\nSebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan PN Bulukumba No. 150/ Pid.B/2013/PN.BLK. Putusan pengadilan menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penipuan sebagai perbuatan berlanjut”. Kemudian majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 8 bulan (hal. 32).\n\nDalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan terdakwa merupakan kejahatan yang masih mempunyai hubungan dengan perbuatan kejahatan sebelumnya yang telah dinyatakan terbukti dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang berlanjut bukan merupakan pengulangan atau pelanggaran asas ne bis in idem (hal. 28).\n\nDalam putusan tersebut, Hakim Anggota II Bambang Supriyono, S.H. melakukan dissenting opinion dengan menyatakan bahwa penuntutan dan pemeriksaan pidana atas terdakwa gugur demi hukum karena nebis in idem, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya, dan memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada yang berhak (hal. 29 – 30).\n\nPertimbangan hakim anggota II dalam dissenting opinion yakni terkait dengan penafsiran asas nebis in idem yang berbeda dengan mayoritas hakim lainnya (hal. 29).\n\nAdapun contoh dissenting opinion dalam putusan MK dapat dijumpai dalam putusan sengketa hasil pilpres 2024 yaitu Putusan MK No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024. Dalam putusan ini, mahkamah menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya (hal. 1010).\n\nBaca juga: Ragam Putusan MK tentang Sengketa Hasil Pemilu\n\nNamun, terdapat tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat (hal. 1011). Untuk menyederhanakan jawaban, kami akan mengambil contoh dissenting opinion yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.\n\nDalam dissenting opinion-nya, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan pertimbangan bahwa MK memiliki tanggung jawab menjaga nilai-nilai konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi. Secara empirik, MK tidak membatasi diri sekadar untuk hanya memeriksa dugaan kesalahan penghitungan atau perbedaan selisih suara semata (hal. 1016).\n\nHakim Konstitusi Saldi Isra pada pokoknya menyatakan bahwa dalil pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum (hal. 1023).\n\nPerihal penyaluran bansos tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai keterlibatan menteri aktif yang menjadi tim kampanye dalam membagi bansos terasosiasi dengan jabatan presiden secara langsung maupun tidak langsung sebagai pemberi bansos memunculkan atau setidaknya berpotensi adanya konflik kepentingan dengan pasangan calon. Sementara, Menteri Sosial yang bertanggung jawab atas bansos menyampaikan keterangan bahwa ia tidak pernah terlibat dan/atau dilibatkan dalam penyaluran bansos secara langsung di lapangan. Selain itu, selama periode kampanye diperoleh fakta bahwa sejumlah menteri aktif membagikan bansos kepada masyarakat (hal. 1022).\n\nAdapun, dalil pemohon tentang keterlibatan atau ketidaknetralan aparat atau penyelenggara negara, terutama penjabat (Pj) kepala daerah sehingga tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas, beralasan menurut hukum (hal. 1025).\n\nHakim Konstitusi Saldi Isra memiliki dissenting opinion dalam hal putusan yaitu memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah (hal. 1025).\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/3781/nprt/2/undangundang-nomor-14-tahun-1985?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_14_1985)\n2. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17917?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2004)\n3. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28864?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2009)\n4. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13664/undangundang-nomor-24-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_24_2003)\n5. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e3118f0c4f79/nprt/lt51ee17b11ad42/undangundang-nomor-8-tahun-2011?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2011)\n6. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e63b5c46dc0/nprt/lt51ee17b11ad42/undang-undang-nomor-4-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_2014)\n7. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f76abc40155f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2020)\n8. [Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b01297e9d172/undangundang-nomor-48-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_kekuasaan_kehakiman)\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Negeri Bulukumba Nomor 150/ Pid.B/2013/PN.BLK;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024.\n\nREFERENSI:\n1. Blacks’s Law Dictionary 9th Edition\n2. Hangga Prajatama. Kedudukan Dissenting Opinion sebagai Upaya Kebebasan Hakim untuk Mencari Keadilan di Indonesia. Jurnal Verstek Vol. 2 No. 1, 2014\n3. Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Cetakan pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010.\n\n[1] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Cetakan pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010, hal. 58[2] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Cetakan pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010, hal. 58[3] Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman[4] Hangga Prajatama. Kedudukan Dissenting Opinion sebagai Upaya Kebebasan Hakim untuk Mencari Keadilan di Indonesia. Jurnal Verstek Vol. 2 No. 1, 2014, hal. 46[5] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Cetakan pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010, hal. 58[6] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Cetakan pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010, hal. 58"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada dasar hukum untuk membentuk dusun? Perda atau Peraturan Pemerintah nomor dan tahun berapa yang mengatur masalah pembuatan dusun?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITAturan Tentang Masa Jabatan Ketua RT19 Jul 2024Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan23 Jan 2017Status Peraturan Desa Setelah Berlakunya UU No. 12/201108 Sep 2016Apakah Keputusan BPD Termasuk Keputusan TUN?11 Apr 2013\n\nDahulu pengertian dusun dapat Anda temukan dalam UU Pemerintahan Desa, yang menyatakan dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa. Namun kini UU Pemerintahan Desa tersebut telah dicabut keberlakuannya.\n\nMenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah atau nama dusun artinya kampung, desa, dukuh. Sementara itu, berdasarkan penelusuran kami dalam UU Desa, tidak disebutkan mengenai definisi dusun. Meski demikian, Pasal 8 ayat (4) UU Desa mengatur:\nDalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.\n\nDari bunyi ketentuan di atas dapat kita ketahui bahwa dusun adalah bagian dari desa, hal ini sekaligus dapat menjadi acuan untuk perbedaan dusun dan desa.\nTata Cara Pembentukan Dusun\nKetentuan dan tata cara pembentukan dusun biasanya tertuang dalam peraturan daerah setempat. Karena Anda tidak menyebutkan daerah Anda, sebagai contoh dapat kita lihat dalam Perkab Lampung Timur 5/2013.\n\nMengenai pembentukan dusun, Pasal 2 Perkab Lampung Timur 5/2013 menyebutkan:\n\nDalam wilayah desa dapat dibentuk dusun, yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa yang dipimpin oleh Kepala Dusun.\n\nPembentukan dusun di Lampung Timur bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdayaguna dan berhasil guna serta pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat sesuai tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan.[1]\n\nUntuk membentuk dusun di Lampung Timur ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:[2]\n\njumlah penduduk dusun sekurang-kurang 100 Kepala Keluarga;luas wilayah dapat dijangkau dalam meningkatkan pelayanan dan pembinaan masyarakat;wilayah kerja memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar RT;keberadaan sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama dan kehidupan bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat;potensi dusun yang meliputi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dapat dikelola untuk kepentingan masyarakat dengan memperhatikan pelestarian lingkungan;batas dusun yang dinyatakan dalam bentuk batas alam dan/atau batas buatan; dansarana dan prasarana, yaitu tersedianya potensi infrastruktur wilayah dusun.\n\nDusun dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan perkembangan penduduk setempat. Pembentukan dusun dapat dilakukan dengan mekanisme penggabungan beberapa dusun, bagian dusun yang bersandingan, dan pemekaran dari satu dusun menjadi dua dusun atau lebih. Mekanisme pembentukan dusun dengan pemekaran dari satu dusun menjadi dua dusun atau lebih dapat dilakukan setelah dusun induk mencapai usia sekurang-kurangnya 5 tahun.[3]\n\nTugas Kepala Dusun\n\nPerlu Anda ketahui, Kepala Dusun atau yang dipanggil dengan sebutan lainnya merupakan salah satu perangkat desa yang bertugas sebagai pelaksana kewilayahan, yang ditetapkan lebih lanjut dalam peraturan bupati/walikota dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.[4]\n\nTugas utama Kepala Dusun adalah sebagai unsur satuan tugas kewilayahan yang bertugas membantu Kepala Desa dalam pelaksanaan tugasnya di wilayahnya.[5]\n\nKepala Dusun memiliki beberapa fungsi, antara lain:[6]\n\npembinaan ketentraman dan ketertiban, pelaksanaan upaya perlindungan masyarakat, mobilitas kependudukan, dan penataan dan pengelolaan wilayah;mengawasi pelaksanaan pembangunan di wilayahnya;melaksanakan pembinaan kemasyarakatan dalam meningkatkan kemampuan dan kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungannya;melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam menunjang kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.\n\nSebagai gambaran untuk Anda, berikut kedudukan kepala dusun dalam pemerintahan desa:[7]\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8c12d3ce4a/nprt/lt511c7ca43835e/uu-no-6-tahun-2014-desa)\n2. [Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5821a2bc7233e/node/lt5125b98c23d07/peraturan-menteri-dalam-negeri-nomor-84-tahun-2015)\n3. [Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor 5 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Dusun](Data Kepolisian /pusatdata/detail/pd18075201301/peraturan-daerah-kabupaten-lampung-timur-nomor-5-tahun-2013/document)\nREFERENSI:\n1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 25 Januari 2022, pukul 07.00 WIB.\n\n[1] Pasal 3 Perkab Lampung Timur 5/2013\n\n[2] Pasal 4 Perkab Lampung Timur 5/2013\n\n[3] Pasal 5 Perkab Lampung Timur 5/2013\n\n[4] Pasal 4 ayat (4) jo. Pasal 2 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa (“Permendagri 84/2015”)\n\n[5] Pasal 10 ayat (1) Permendagri 84/2015\n\n[6] Pasal 10 ayat (2) Permendagri 84/2015\n\n[7] Lampiran Permendagri 84/2015"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menyusun skripsi tentang kejahatan luar biasa (extraordinary crime), akan tetapi saya mengalami kesulitan perihal definisi (di kamus hukum maupun di criminology encyclopedia tidak ada) dan juga sejarah dari terminologi tersebut, oleh karenanya kira-kira referensi apa saja yang harus saya pakai dan di mana mendapatkannya? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Tindakan-tindakan yang Termasuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan 28 Mei 2024 Kejahatan Genosida dalam Konteks Hukum Internasional 26 Okt 2023 Mahkamah Pidana Internasional, Ini Pengertian dan Yurisdiksinya 05 Sep 2023 Mengenal Pengadilan HAM Ad Hoc 26 Jan 2023 Apa Itu Extraordinary Crimes ? Terminologi extraordinary crimes (kejahatan luar biasa) dapat kita temui dalam Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM yang menyatakan bahwa pembentukan undang-undang tentang pengadilan HAM didasarkan pada sejumlah pertimbangan, salah satunya yaitu: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan \"extraordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia; Lantas apa yang dimaksud dengan extraordinary crime ? Menurut Stuart Ford , extraordinary crimes atau kejahatan luar biasa adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi umat manusia dan menjadi yurisdiksi peradilan pidana internasional, serta dapat dijatuhkannya hukuman mati terhadap pelaku kejahatan tersebut. [1] Sedangkan Sukardi menerangkan extraordinary crime adalah suatu kejahatan yang berdampak besar dan multidimensional terhadap sosial, budaya, ekologi, ekonomi dan politik yang dapat dilihat dari akibat-akibat dari suatu tindakan atau perbuatan yang ditemukan dan dikaji oleh berbagai lembaga pemerintahan maupun lembaga non pemerintahan, nasional maupun internasional. [2] Lalu, Mark A. Drumbl menyebutkan bahwa adanya pengkategorian extraordinary crime adalah karena kejahatan yang ekstrim secara kuantitatif berbeda dengan kejahatan pada umumnya, karena kejahatan ini sifatnya jauh lebih serius, dan pelakunya dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia. [3] Berdasarkan penelusuran kami, definisi extraordinary crimes memang tidak didasarkan pada aturan hukum atau standar yang pasti. Dalam hal ini, Muhammad Hatta berpendapat, walaupun ada perbedaan penafsiran tentang klasifikasi extraordinary crime , tetapi umumnya pakar berpendapat bahwa sejauh delik-delik tersebut berdampak luas dan sistematik serta menimbulkan kerugian secara masif maka delik tersebut dapat digolongkan kepada kejahatan luar biasa. [4] Apa Saja yang Termasuk Extraordinary Crime ? Jika ditanya extraordinary crime apa saja? Perlu kamu pahami, pembahasan tentang extraordinary crimes pada mulanya merujuk kepada kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida. [5] Di Indonesia sendiri, yang termasuk dalam extraordinary crimes di UU Pengadilan HAM adalah pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada dua bentuk, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang dimaksud dengan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: [6] membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: [7] pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; penyiksaan; perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid. Kedua kejahatan yang diatur tersebut, menurut Muladi , adalah pengadopsian norma yang terdapat dalam Statuta Roma. [8] Baca juga: Ini 2 Pelanggaran HAM Berat yang Diatur di Indonesia Dalam perkembangannya, ada kejahatan lain yang dikategorikan sebagai extraordinary crimes di Indonesia. Apakah korupsi termasuk extraordinary crime ? Artidjo Alkostar menyatakan bahwa negara Indonesia sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya UU KPK mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa ( extraordinary crimes ), karena korupsi di Indonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-hak ekonomi masyarakat. Untuk itu memerlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa. [9] Mengapa korupsi adalah extraordinary crime ? Penjelasan Artidjo tentang korupsi sebagai extraordinary crime ini sejalan dengan Penjelasan Umum UU KPK yang menyatakan tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Eddy O.S. Hiariej sebagaimana dikutip Muhammad Hatta, menjelaskan setidaknya ada 4 sifat dan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa, yaitu: [10] Korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis; Korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya; Korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan; Korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain kejahatan-kejahatan tersebut di atas, Muhammad Hatta juga berpendapat bahwa kejahatan terorisme mempunyai kesamaan dan dapat dipadankan sebagai kejahatan luar biasa karena terorisme dilakukan secara terencana, sistematis dan terorganisir serta target daripada kejahatan tersebut adalah orang asing dan masyarakat sipil di sekitarnya yang tidak berdosa dan tidak mempunyai hubungannya dengan kepentingan asing. Selain itu, terorisme dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena bukan hanya membunuh manusia semata tetapi juga menghancurkan seluruh fasilitas publik, memperburuk ekonomi nasional dan mengganggu stabilitas keamanan nasional. [11] Terakhir, kejahatan lain yang masih jadi perdebatan di antara pakar hukum dalam menentukan sebagai kejahatan luar biasa adalah tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. [12] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi REFERENSI:\n1. Artidjo Alkostar. Korupsi Sebagai Extra Ordinary Crime . Makalah dalam Training Pengarusutamaan Pendekatan Hak Asasi Manusia dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Bagi Hakim Seluruh Indonesia, 2013\n2. Mark. A. Drumbl. Atrocity, Punishment, and International Law, Chapter 1: Extraordinary Crime and Ordinary Punishment: An Overview . Cambridge University Press, 2017\n3. Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) . Aceh: Unimal Press, 2019. [1] Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) . Aceh: Unimal Press, 2019, hal. 10 [2] Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) . Aceh: Unimal Press, 2019, hal. 10-11 [3] Mark A. Drumbl. Atrocity, Punishment, and International Law, Chapter 1: Extraordinary Crime and Ordinary Punishment: An Overview . Cambridge University Press, 2017, hal. 3-4 [4] Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) . Aceh: Unimal Press, 2019, hal. 12 [5] Mark A. Drumbl. Atrocity, Punishment, and International Law, Chapter 1: Extraordinary Crime and Ordinary Punishment: An Overview . Cambridge University Press, 2017, hal. 4 [6] Pasal 8 UU Pengadilan HAM [7] Pasal 9 UU Pengadilan HAM [8] Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) . Aceh: Unimal Press, 2019, hal. 12 [9] Artidjo Alkostar. Korupsi Sebagai Extra Ordinary Crime . Makalah dalam Training Pengarusutamaan Pendekatan Hak Asasi Manusia dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Bagi Hakim Seluruh Indonesia, 2013, hal. 2 [10] Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) . Aceh: Unimal Press, 2019, hal. 21 [11] Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) . Aceh: Unimal Press, 2019, hal. 15 [12] Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) . Aceh: Unimal Press, 2019, hal. 21 hak asasi manusia pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebuah PT sebagai peminjam kepada bank, dengan memberikan pernyataan hutang, wewenang dan kuasa penuh dan tidak dapat dicabut kembali kepada bank, untuk dan atas nama debitur menyatakan kembali pengakuan hutang dalam akta yang dibuat di hadapan notaris dengan mencantumkan kalimat “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/258 RBG.\n\nApakah hal di atas merupakan pemberian jaminan kepada bank?\nApakah jenis pemberian jaminan seperti di atas?\nApakah pemberian jaminan seperti di atas dapat langsung dieksekusi?\nJika jawaban nomor 3 ya, bagaimana cara/tahap eksekusinya?\nApakah perlu memberikan pernyataan hutang, karena pemberian fasilitas bank, nilai hutang dibatasi pada jumlah maksimal tertentu, kemudian untuk transaksi terlihat dari ada surat permohonan dana dan aliran dana?\n\nKemudian jika ada klausul sebagai berikut:\nDengan menandatangani pemberitahuan ini sebagai bukti tertulis, tambahan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1867 dan Pasal 1875 KUH Perdata serta Pasal 288 RBg yang berkaitan dengan kewajiban untuk membayar pinjaman dan/atau berserta bunga yang ditetapkan dalam perjanjian dengan bank.\n\nApakah RBg masih dipakai/relevan?\nApakah cukup merujuk kepada KUH Perdata saja?\n\nTerima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Grosse Akta Pengakuan Utang KLINIK TERKAIT Panduan dan Syarat Menjadi Notaris Terbaru 21 Jul 2023 Arti Asas Praduga Sah Pada Akta Notaris 04 Nov 2022 Bisakah Aset Kripto Dijadikan Jaminan Utang? 27 Okt 2021 Ini 3 Mekanisme Eksekusi Jaminan Kebendaan! 05 Jul 2021 Sebelum menjawab poin-poin pertanyaan Anda, perlu kami kutip terlebih dahulu isi dari Pasal 224 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yaitu: Surat asli dari pada surat hipotek dan surat hutang yang diperkuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai perkataan \"Atas nama Undang-undang\" berkekuatan sama dengan putusan hakim , jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih tempat tinggalnya dengan cara yang dinyatakan pada pasal-pasal di atas dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan itu hanya dapat dilakukan, jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika hal menjalankan keputusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebahagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sedangkan isi dari Pasal 258 Rechtreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) adalah: Grosse akta hipotek dan surat-surat utang yang dibuat oleh notaris di dalam wilayah Indonesia memuat kepala yang berbunyi \"Atas nama Raja\" (sekarang: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa) mempunyai kekuatan yang sama dengan keputusan pengadilan . Untuk pelaksanaanya yang tidak dijalankan secara suka-rela, berlaku ketentuan-ketentuan bagian ini, tetapi dengan pengertian bahwa penerapan paksaan badan hanya dapat dijalankan jika diizinkan oleh putusan pengadilan. (Rv. 4tO, 584; No. 41; IR. 224.) Pasal 224 HIR/Pasal 248 RBg merupakan ketentuan mengenai grosse akta pengakuan utang. Secara spesifik, pengertian dari grosse akta dapat Anda temukan di Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU 2/2014”) yaitu: Grosse Akta adalah salah satu salinan Akta untuk pengakuan utang dengan kepala Akta \"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA\", yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Grosse akta pengakuan utang yang dibuat di hadapan notaris adalah salinan akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial , di mana pada bagian kepala akta memuat frasa “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan pada bagian akhir atau penutup akta memuat frasa “diberikan sebagai grosse pertama”, dengan menyebutkan nama orang yang memintanya dan untuk siapa grosse dikeluarkan serta tanggal pengeluarannya. [1] Karena grosse akta pengakuan utang adalah salinan akta, artinya berisi salinan kata demi kata dari seluruh akta sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 9 UU 2/2014 . Lebih lanjut, Elza Sylvania Pittaloka dan Pranoto dalam artikel jurnal berjudul Permasalahan dalam Pelaksanaan Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Utang , berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 213/229/85/Um-TU/Pdt menjelaskan pengertian grosse akta seperti yang dimaksud Pasal 224 HIR atau 258 RBg adalah suatu akta autentik yang berisi pengakuan utang dengan perumusan semata-mata suatu kewajiban untuk membayar/melunaskan sejumlah uang tertentu . Hal ini berarti dalam suatu grosse akta tidak dapat ditambahkan persyaratan-persyaratan tersebut berbentuk perjanjian (hal. 81). Apakah Grosse Akta Pengakuan Utang Termasuk Jaminan? Menyambung pertanyaan Anda mengenai apakah grosse akta pengakuan utang termasuk jaminan, jawabannya singkatnya adalah tidak . Pertama-tama, Anda perlu memahami bentuk-bentuk lembaga jaminan di Indonesia. Riky Rustam dalam bukunya berjudul Hukum Jaminan menyatakan, menurut bentuk golongannya, jaminan dapat dibedakan dalam 2 kelompok yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. Lahirnya jaminan umum didasarkan pada Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) , sedangkan jaminan khusus pada Pasal 1132 KUH Perdata yang dipertegas oleh Pasal 1133 dan Pasal 1134 KUH Perdata (hal. 69). Jaminan umum secara otomatis melekat pada para pihak seiring dengan lahirnya perjanjian pokok yang disepakati. Meski tak diperjanjikan dalam perjanjian pokok atau diperjanjikan sendiri, jaminan umum akan melekat dan membebani debitur jika ia tidak menentukan jaminan secara khusus (jaminan khusus) sebelumnya (hal. 72). Sedangkan jaminan khusus menggunakan hak jaminan yang bersifat khusus. Hak mendahului terbit dari jaminan khusus yang terdiri dari (hal. 73-80): Jaminan khusus kebendaan Gadai Fidusia Hak Tanggungan Hipotek Jaminan Resi Gudang Jaminan khusus perorangan ( Personal Guarantee ) Jaminan perorangan ( Borgtoch ) Corporate Guarantee Sehingga bisa disimpulkan, grosse akta pengakuan utang bukan sebuah lembaga jaminan seperti yang disebutkan di atas. Notaris dan PPAT di Kabupaten Karanganyar, Wida Ria Sanjaya pun turut menjelaskan bahwa akta pengakuan utang ada yang dengan jaminan dan tanpa jaminan . Maksudnya, kehadiran akta pengakuan utang ini ada kalanya mempertegas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, misalnya bisa saja dilampirkan jaminan berupa gadai. Dalam praktik pemberian kredit, Wida menerangkan bank (kreditur) selain membuat perjanjian kredit sebagai bukti adanya utang sekaligus mengatur hak dan kewajiban secara lengkap, juga membuat akta pengakuan utang notariil. Mengapa dibuat grosse akta pengakuan utang, padahal sudah ada perjanjian kredit? Wida menjelaskan karena perjanjian kredit tidak punya kekuatan eksekutorial, sehingga jika debitur wanprestasi, kreditur tidak bisa mengeksekusi langsung terhadap jaminan yang ada, tetapi harus melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terlebih dahulu. Ini berbeda dengan akta pengakuan utang yang merupakan perjanjian sepihak yang di dalamnya hanya memuat kewajiban untuk membayar utang dan sifatnya berkekuatan eksekutorial. Wida menegaskan, ini untuk mempercepat eksekusi jaminan tanpa memerlukan gugatan terhadap debitur . Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Utang Karena memiliki kekuatan eksekutorial, grosse akta pengakuan utang dapat langsung dimintakan eksekusinya ke pengadilan . Bersumber dari jurnal yang sama yang kami kutip sebelumnya, tahapan permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang adalah sebagai berikut (hal. 83-84): Kreditur atau kuasa selaku pemohon mengajukan surat permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang dengan telah memenuhi syarat formil dan materiil ke Ketua Pengadilan Negeri di mana debitur berdomisili. Ketua Pengadilan Negeri akan mengolah dan mempelajari grosse akta pengakuan utang. Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan kepada Juru Sita untuk memanggil debitur guna dilakukan peneguran ( aanmaning ) dalam hal ini debitur telah wanprestasi. Tenggang waktu yang diberikan selama 8 hari, debitur harus melaksanakan kewajibannya secara sukarela. Saat aanmaning , debitur harus mengakui secara tegas dan pasti dengan disepakati kedua belah pihak mengenai besaran utang dan bunganya. Jika telah lewat tenggang waktu peneguran, debitur tetap melalaikan kewajibannya, selanjutnya dilakukan eksekusi. Apabila besaran jumlah utangnya sudah pasti dan disepakati, eksekusi dengan sita dan lelang dilakukan. Barang-barang debitur yang disita harus berdasarkan informasi dari kreditur, barang mana saja yang bisa dieksekusi. Jika yang disita barang tidak bergerak misalnya tanah dan rumah, selanjutnya didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk diregister dalam buku tersendiri. Selama menunggu lelang, barang yang disita tetap masih ada di tangan tersita. Setelah pelelangan selesai dan telah terjual, hasilnya diberikan ke pihak yang dimenangkan dalam perkara (kreditur), dan jika masih ada sisa dari hasil penjualan akan dikembalikan ke debitur. Namun, perlu digarisbawahi, dalam praktiknya tidak semua permohonan eksekusi grosse akta pengakuan utang diterima dan dieksekusi . Sebab meskipun telah berkekuatan eksekutorial, grosse akta pengakuan utang tidak dapat diterima bilamana debitur tidak mengakui besaran jumlah utang yang valid . Atas hal ini, pengadilan memerintah agar dibuat gugatan baru yaitu gugatan perdata (hal. 84). Sebagai contoh, dalam artikel Kaidah-Kaidah Hukum Putusan tentang Grosse Akta Pengakuan Utang disebutkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2903 K/Pdt/1999 tanggal 22 Mei 2001 yang menyebutkan eksekusi grosse akta pengakuan utang dinilai tidak memiliki eksekutorial titel karena debitur telah membantah atau menyangkal jumlah utang yang harus dibayarnya kepada kreditur. Masih ada perbedaan dan perselisihan jumlah utang. Dalam keadaan ini, masalah tidak dapat diajukan eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR melainkan harus diajukan dalam bentuk gugatan perdata biasa. Apakah RBg Masih Berlaku? Sebelumnya pada pertanyaan Anda menyebutkan Pasal 1867 KUH Perdata : Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan . Selanjutnya, Pasal 1875 KUH Perdata berbunyi: Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya , menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu. Kemudian, Pasal 288 RBg selengkapnya berbunyi: Akta-akta di bawah tangan yang berasal dari orang Indonesia atau orang Timur Asing yang diakui oleh mereka yang berhubungan dengan pembuatan akta itu atau yang secara hukum diakui sah , menimbulkan bukti yang lengkap terhadap mereka yang menandatanganinya serta para ahli waris dan mereka yang mendapat hak yang sama seperti suatu akta otentik. Mengutip dari Perbedaan Antara HIR dan RBG , RBg merupakan hukum acara yang berlaku di persidangan perkara perdata maupun pidana di pengadilan di luar Jawa dan Madura. Saat ini, RBg telah diadopsi menjadi hukum yang berlaku di era Indonesia merdeka. Tapi, hukum acara pidana yang diaturnya sudah tidak berlaku lagi setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Dalam praktiknya, RBg telah banyak dilengkapi oleh peraturan perundang-undangan lain, seperti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan perubahannya. Sehingga, hukum acara perdata diatur dalam berbagai peraturan yang terpisah. Hakim pada Pengadilan Agama Lewoleba, Akmal Adicahya dalam tulisannya berjudul Menelusuri Hukum Acara Perdata di Indonesia yang diunggah pada laman Pengadilan Agama Marabahan menjelaskan hukum acara perdata di Indonesia masih menggunakan sumber hukum acara perdata dari masa penjajahan Belanda . Hal ini disebabkan hingga saat ini tidak terdapat aturan mengenai hukum acara perdata di Indonesia yang mencabut ketentuan RBg. Aturan yang ada justru selalu menunjuk kembali pada RBg sebagai hukum acara perdata yang berlaku (hal. 13). Jadi, dapat disimpulkan bahwa RBg masih berlaku sebagai hukum acara perdata di Indonesia dengan catatan telah dilengkapi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, pasal dalam KUH Perdata dan RBg tentang akta di bawah tangan yang Anda tanyakan masih relevan digunakan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Herzien Inlandsch Reglement Rechtreglement voor de Buitengewesten Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris PUTUSAN Putusan Mahkamah Agung Nomor 2903 K/Pdt/1999 . REFERENSI:\n1. Elza Sylvania Pittaloka dan Pranoto. Permasalahan dalam Pelaksanaan Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Hutang . Jurnal Privat Law Vol. IV No. 1 Januari-Juni 2016\n2. Riky Rustam. Hukum Jaminan . (Yogyakarta: UII Press), 2017\n3. Menelusur Hukum Acara Perdata di Indonesia , diakses pada 8 Desember 2021, pukul 21.00 WIB. Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Notaris dan PPAT di Kabupaten Karanganyar Wida Ria Sanjaya, S.H., M.Kn. via WhatsApp pada Kamis, 9 Desember 2021 pukul 11.56 WIB. [1] Pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris hukumonline perdata hukum jaminan hukum acara perdata hir kuh perdata rbg"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon penjelasannya tentang hak-hak DPR seperti hak angket DPR, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Bagaimana mekanisme penggunaan hak-hak tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.[1] Untuk menjalankan fungsinya tersebut, DPR diberikan tiga hak menurut UUD 1945. Dalam hal ini, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat yang diatur dalam UUD Pasal 20A ayat (2).\nTiga hak DPR tersebut juga termaktub di dalam Pasal 79 ayat (1) UU MD3.\nHak Interpelasi\n\nHak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[2]\n\nHak interpelasi diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi dengan disertai dokumen yang memuat paling sedikit:[3]\n\nmateri kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah yang akan dimintai keterangan; danalasan permintaan keterangan.\n\nUsul tersebut menjadi hak interpelasi DPR jika disetujui dalam rapat paripurna yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir.[4]\n\nJika usul hak interpelasi disetujui, maka presiden atau pimpinan lembaga dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap materi interpelasi dalam rapat paripurna DPR berikutnya.[5]\n\nKemudian, apabila DPR menerima penjelasan presiden atau pimpinan lembaga, usul interpelasi dinyatakan selesai dan materi interpelasi tidak bisa diajukan kembali. Sementara, jika DPR menolak penjelasan presiden atau pimpinan lembaga DPR dapat mengajukan hak DPR lainnya[6] seperti hak angket dan hak menyatakan pendapat.\n\nKeputusan menerima atau menolak tersebut harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir.[7]\nHak Angket\n\nLalu, apa definisi hak angket? Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[8]\n\nAdapun yang dimaksud dengan “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah” dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wakil presiden, menteri negara, panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.[9]\n\nHak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.[10] Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:[11]\n\nmateri kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; danalasan penyelidikan.\n\nUsul tersebut baru bisa menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir.[12]\n\nApabila usul hak angket diterima oleh DPR, maka DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang beranggotakan semua unsur fraksi DPR.[13] Jika usul hak angket ditolak, maka usul tidak dapat diajukan kembali.[14]\n\nPanitia khusus tersebut dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau warga negara asing yang bertempat tinggal di Indonesia, serta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Panggilan tersebut wajib dipenuhi dan jika panggilan tersebut tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, maka DPR dapat memanggil secara paksa dengan bantuan kepolisian.[15]\n\nKemudian, dalam rapat paripurna DPR, akan diputuskan mengenai hasil dari hak angket yang telah dilakukan oleh DPR. Apabila diputuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat.[16]\n\nNamun, jika diputuskan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tidak bisa diajukan kembali pada periode masa keanggotaan DPR yang sama.[17]\n\nMengenai keputusan DPR untuk menerima atau menolak hak angket, maka harus dengan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir.[18]\nHak Menyatakan Pendapat\n\nHak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:[19]\n\nkebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; ataudugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.\n\nHak menyatakan pendapat diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:[20]\n\nmateri kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau dunia internasional dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat;materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket;materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan pelanggaran hukum atau perbuatan tercela presiden dan/atau wakil presiden atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat presiden dan/atau wakil presiden.\n\nBerbeda dengan hak angket dan hak interpelasi, usul tersebut bisa menjadi hak menyatakan pendapat jika mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir.[21]\n\nApabila usul hak menyatakan pendapat diterima, DPR membentuk panitia khusus yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR.[22]\n\nJika rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus mengenai kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau dunia internasional atau hasil hak pelaksanaan hak angket atau hak interpelasi, maka DPR menyatakan pendapatnya kepada pemerintah.[23]\n\nSementara itu, jika rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden dan/atau wakil presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan.[24]\n\nApabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR.[25]\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt53fefb3850a2a/undang-undang-nomor-17-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_2014)\n3. [Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54dde4d7f0d20?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_42_2014)\n4. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5aaa21760d9fd?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2018)\n5. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5d948ad30076f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2019)\n6. [Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f85474249cdf/peraturan-dewan-perwakilan-rakyat-nomor-1-tahun-2020?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_DPR_1_2020)\n[1] Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”)[2] Pasal 79 ayat (2) UU MD3[3] Pasal 194 ayat (1) dan (2) UU MD3[4] Pasal 194 ayat (3) UU MD3[5] Pasal 196 ayat (1) UU MD3[6] Pasal 197 ayat (2) dan (3) UU MD3[7] Pasal 197 ayat (4) UU MD3[8] Pasal 79 ayat (3) UU MD3[9] Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3[10] Pasal 199 ayat (1) UU MD3[11] Pasal 199 ayat (2) UU MD3[12] Pasal 199 ayat (3) UU MD3[13] Pasal 201 ayat (1) dan (2) UU MD3[14] Pasal 201 ayat (3) UU MD3[15] Pasal 204 ayat (1) s.d. (4) dan Pasal 205 ayat (1), (3), dan (6) UU MD3[16] Pasal 208 ayat (1) UU MD3[17] Pasal 208 ayat (2) UU MD3 jo. Pasal 190 ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib[18] Pasal 208 ayat (3) UU MD3[19] Pasal 79 ayat (4) UU UU MD3[20] Pasal 210 ayat (1) dan (2) UU MD3[21] Pasal 210 ayat (3) UU MD3[22] Pasal 212 ayat (2) UU MD3[23] Pasal 214 ayat (1) UU MD3[24] Pasal 214 ayat (2) UU MD3[25] Pasal 215 ayat (1) UU MD3"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa itu juncto dan junctis? Bagaimana penggunaan juncto dalam pasal?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Apa itu juncto dan junctis? Berikut akan kami jelaskan satu persatu. Istilah ‘jo’ merupakan kependekan dari kata ‘juncto’. Menurut buku berjudul Kamus Hukum yang ditulis oleh JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, jo artinya dalam hukum adalah juncto, bertalian dengan, dan berhubungan dengan.\nGuna mempermudah pemahaman Anda, kami berikan contoh juncto:\n\nPasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024\nPenggunaan juncto dalam pasal di atas artinya, jika seseorang melanggar rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024, ia dijerat pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024, yakni:\n\nSetiap Orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana denganpidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).\n\nAtau contoh juncto dalam penggunaan pasal yang menunjukkan dua rumusan tindak pidana:\n\nPasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP\n\nAdapun arti penggunaan juncto dalam pasal tersebut adalah seseorang telah melakukan pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-bersama dengan orang lain.\n\nDi sisi lain, juncto juga dapat digunakan untuk kedua peraturan perundang-undangan yang berbeda. Misalnya:\n\nPasal 117 UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 1 angka 3 UU PPHI\n\nArtinya, jika terjadi perselisihan karena tidak adanya kesesuaian pendapat saat membuat perjanjian kerja bersama, maka dapat diselesaikan melalui penyelesaian perselisihan kepentingan.\nApa itu Jis dalam Pasal?\n\nKemudian menjawab pertanyaan selanjutnya, apa itu jis dalam pasal? Jis merupakan kependekan dari kata ‘junctis’. Menurut buku Kamus Hukum:Arab, Belanda, Inggris, Italia, Latin, Perancis, Spanyol, Yunani, arti ‘jis’ ini merupakan bentuk jamak dari ‘jo’, sehingga memiliki arti yang sama dengan juncto namun sedikit berbeda dalam penggunaannya.\n\nContoh penggunaan junctis:\n\nPasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK jis. Pasal 29 ayat (1) huruf d UU 48/2009\n\nArtinya, pada prinsipnya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum telah diatur secara konstitusional dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut ke dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK serta ditegaskan kembali ke dalam Pasal 29 ayat (1) huruf d UU 48/2009.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n3. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13664/nprt/538/undangundang-nomor-24-tahun-2003?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_24_2003)\n4. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e3118f0c4f79/nprt/lt51ee17b11ad42/undangundang-nomor-8-tahun-2011?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2011)\n5. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e63b5c46dc0/nprt/lt51ee17b11ad42/undang-undang-nomor-4-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_2014)\n6. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f76abc40155f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2020)\n7. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n8. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/undangundang-nomor-2-tahun-2004/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2004)\n9. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n10. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n11. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\n12. [Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b01297e9d172/undangundang-nomor-48-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_48_2009)\n13. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n14. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_cipta_kerja_2023)\nREFERENSI:\n1. C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara baru, 1983\n2. Yudha Pandu. Kamus Hukum:Arab, Belanda, Inggris, Italia, Latin, Perancis, Spanyol, Yunani. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2006."
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon penjelasannya bagaimana cara mendapatkan kekebalan diplomatik perwakilan diplomatik? Apa saja yang menjadi hak kekebalan diplomatik dan bagaimana cara mendapatkan kekebalan diplomatik?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu arti dari diplomasi.\nKata diploma berasal dari bahasa Latin dan Yunani yaitu “surat kepercayaan”. Perkataan diplomasi kemudian menjelma menjadi istilah diplomat, diplomasi, dan diplomatik.[1]\nBerikut adalah beberapa pengertian diplomasi:\n\nEncyclopedia Britannica\n\nDiplomasi adalah pembinaan urusan-urusan luar negeri.[2]\n\nSir Ernest Satow\nDiplomasi adalah penggunaan kecendekiawanan dan kebijaksanaan dalam melaksanakan dan memelihara hubungan-hubungan resmi antara pemerintah dari negara-negara yang merdeka.[3]\n\nSumaryo Suryokusumo\n\nDiplomasi adalah kegiatan politik dan merupakan bagian dari kegiatan internasional yang saling berpengaruh dan kompleks, dengan melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuannya, melalui perwakilan diplomatik atau organ lainnya.[4]\n\nDari berbagai pengertian diplomasi, dapat disimpulkan bahwa diplomasi terdiri atas teknik dan prosedur pelaksanaan hubungan antar negara.[5] Salah satu pelaku yang melaksanakan diplomasi adalah diplomat.\n\nDiplomat memiliki fungsi utama mewakili negara pengirim di negara penerima, dalam organisasi dunia dan forum internasional. Diplomat memiliki daya tarik dan keahliannya dalam melakukan advokasi guna mempengaruhi para pengambil keputusan di negara penerima. Selain itu, terhadap diplomat lainnya untuk menjalin pendekatan, agar tercipta peningkatan hubungan baik antara negara penerima dan negara pengirim.[6] Fungsi lain dari seorang diplomat dapat Anda baca selengkapnya dalam Pasal 3 VCLT 1961.\n\nSementara itu, hukum diplomatik menurut Jan Osmanczyk adalah cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan dan norma hukum yang menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk organisasional dari dinas politik.[7]\n\nBaca juga: Jenjang Kepangkatan, Gelar, dan Syarat Menjadi Diplomat\nApa Itu Kekebalan Diplomatik?\n\nMenjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya dalam melakukan diplomasi, wakil-wakil negara agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan efisien perlu untuk diberikan hak kekebalan.[8] Hak untuk tidak diganggu gugat (the rights of inviolability) adalah mutlak diperlukan untuk melaksanakan fungsi perwakilan diplomatik secara layak.[9] Lebih lanjut, keterwakilan negara yang dianggap suci atau sancti habentur legati, merupakan ungkapan yang sudah lama dan kemudian menjiwai prinsip tidak dapat diganggu gugatnya misi diplomatik.[10]\n\nKetika Anda menjabat sebagai diplomat, maka Anda akan mendapatkan diplomatic immunity, yakni hak agen diplomatik yang tidak dapat diganggu gugat dalam melaksanakan tugas sebagai wakil kekuasaan negara asing. Semua agen diplomatik harus memperoleh jaminan keamanan dan kesejahteraan pada masa dinas aktif dan atas asas prinsip timbal balik negara.[11]\n\nPemberian kekebalan diplomatik dilakukan secara timbal-balik (reciprocity principle) yang mutlak diperlukan dalam rangka meningkatkan ataupun mengembangkan persahabatan antarnegara, tidak memandang sistem politik maupun sosial budaya yang berbeda.[12]\n\nLantas, apa saja yang menjadi hak kekebalan diplomatik? Berikut adalah kekebalan dan keistimewaan diplomatik sesuai dengan VCLT 1961:\n\nKekebalan diri pribadi (Pasal 29, Pasal 37 ayat (1) VCLT 1961) ;Kekebalan yurisdiksional (Pasal 31 ayat (1) dan (2), Pasal 41 ayat (1) jo. Pasal 9 VCLT 1961);Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi (Pasal 31 ayat (2) VCLT 1961);Kekebalan kantor perwakilan dan tempat kediaman (Pasal 22, Pasal 30 ayat (1) VCLT 1961);Kekebalan korespondensi (Pasal 27 VCLT 1961);Kekebalan dan keistimewaan diplomatik di negara ketiga (Pasal 40 ayat (1) VCLT 1961);Pembebasan terhadap pajak dan bea cukai/bea masuk (Pasal 34, Pasal 36 VCLT 1961)\n\nPada pertengahan abad ke-18, aturan kebiasaan hukum internasional mengenai keistimewaan dan kekebalan diplomatik diperluas terhadap gedung perwakilan, segala miliknya, hingga bebas berkomunikasi bagi para diplomat. Berikut adalah beberapa perlindungan tersebut menurut VCLT 1961:\n\nPerlindungan terhadap gedung perwakilan (Pasal 1 huruf i, Pasal 22 VCLT 1961);Kebebasan berkomunikasi (Pasal 27 VCLT 1961);Kebebasan bergerak (Pasal 29 VCLT 1961);Kekebalan kediaman pejabat diplomatik (Pasal 30 VCLT 1961);Kantong diplomatik (Pasal 27 ayat (3) dan (4) VCLT 1961);Kurir diplomatik (Pasal 27 ayat (5) dan (6) VCLT 1961).\n\nKemudian, berdasarkan Pasal 37 ayat (1) VCLT 1961, kekebalan juga diberikan kepada anggota keluarga para diplomat yang tinggal bersama, kecuali mereka yang berkewarganegaraan setempat.\n\nBaca juga: Dapatkah Utusan Diplomatik Negara Lain Dipidana di Indonesia?\n\nLantas, bagaimana cara mendapatkan kekebalan diplomatik? Berikut ulasannya.\nMulai dan Berakhirnya Kekebalan Diplomatik\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai bagaimana cara mendapatkan kekebalan diplomatik, kami asumsikan sebagai mulainya kekebalan diplomatik. Dalam VCLT 1961 dijelaskan bahwa setiap orang yang berhak mendapat kekebalan diplomatik akan mulai menikmatinya semenjak ia memasuki wilayah negara penerima, dalam perjalanannya untuk memangku jabatannya, atau jika ia sudah berada di wilayah negara penerima, dan mulai menikmatinya sejak pengangkatannya diberitahukan kepada kementerian luar negeri/kementerian lainnya sebagaimana telah disetujui.[13]\n\nKetentuan tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) VCLT yang berbunyi:\n\nEvery person entitled to privileges and immunities shall enjoy them from the moment he enters the territory of the receiving State on proceeding to take up his post or, if already in its territory, from the moment when his appointment is notified to the Ministry for Foreign Affairs or such other ministry as may be agreed.\n\nLalu menurut Oppenheim, kekebalan diplomatik yang menyangkut keselamatan dan hak untuk tidak diganggu gugat/inviolability harus diberikan walaupun ia belum diterima secara resmi di negara penerima, hal ini karena kedudukan sebagai duta besar dianggap mulai berlaku sejak ia memperoleh letter of credentials dari pemerintahnya.[14] Letter of credentials adalah surat kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah negara pengirim kepada pemerintah negara penerima yang berarti perwakilan diplomatik negara pengirim telah disetujui oleh negara penerima.[15]\n\nPendapat Oppenheim dapat diterima atas dasar pertimbangan sebagai berikut:[16]\n\nKarena pemerintah negara penerima telah memberikan agreement kepada calon diplomat untuk diakreditasikan sebagai diplomat di negara penerima;Karena kedutaan besar negara pengirim telah memberikan visa diplomatik kepada diplomat untuk masuk ke negara penerima;Kedatangan pertama diplomat telah diberitahukan segera kepada kementerian luar negeri negara penerima.\n\nKetiga hal di atas secara implisit sudah dapat dianggap sebagai dasar yang kuat bagi diplomat untuk mendapatkan kekebalan diplomatik dari negara penerima.[17]\n\nJika kita berbicara mengenai mulainya kekebalan diplomatik, sebaiknya kita juga perlu memahami kapan kekebalan diplomatik berakhir. Pada umumnya, tugas seorang kepala misi diplomatik berakhir karena telah habis masa jabatan yang diberikan kepadanya. Tugas ini juga dapat berakhir karena ia ditarik kembali oleh pemerintah negaranya (recalled) atau bisa juga berakhir karena sang diplomat tidak disukai lagi (persona non grata).[18]\n\nMenurut J.G. Starke, berakhirnya misi diplomatik disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:[19]\n\nPemanggilan kembali wakil oleh negaranya (negara pengirim);Atas permintaan negara penerima agar pejabat diplomatik dipanggil kembali oleh negara pengirim;Penyerahan paspor kepada wakil dan staf serta para keluarga sang diplomat pada pecahnya perang antar kedua negara yang bersangkutan;Selesainya tugas dan misi;Berakhirnya surat kepercayaan yang diberikan untuk jangka waktu tertentu yang telah ditentukan dalam kesepakatan.\n\nDengan demikian, dapat kami sampaikan bahwa diplomasi sebagai upaya untuk melaksanakan dan memelihara hubungan resmi antar pemerintah dan negara dilakukan melalui perundingan dan permusyawaratan. Dalam menjalankan diplomasi, para diplomat mendapatkan diplomatic immunity, yaitu hak untuk tidak dapat diganggu gugat dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil kekuasaan negara asing. Pejabat diplomatik berhak mendapat kekebalan diplomatik semenjak ia memasuki wilayah negara penerima, dalam perjalanannya untuk memangku jabatannya, atau jika ia sudah berada di wilayah negara penerima.\n\nBaca juga: Beda Hak Keistimewaan Pejabat Diplomatik dan Konsuler\n\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nVienna Convention on Diplomatic Relations 1961.\n\nREFERENSI:\n1. Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung: Offset Angkasa, 1986\n2. J. G. Starke. An Introduction to International Law. Butterworth: Oxford University Press, 1990\n3. Komang Sukaniasa (et.al). Penyalahgunaan Hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dari Konvensi Wina 1961 (Studi Kasus Penganiayaan TKI oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi di Jerman). e-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2, 2021\n4. S.M. Noor (et.al). Hukum Diplomatik dan Hubungan Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016\n5. Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Malang: Bayumedia Publishing. 2008\n6. Sumaryo Suryokusumo. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus. Bandung: Alumni, 1995\n7. Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.\n\n[1] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 3.[2] Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya. Bandung: Offset Angkasa, 1986, hal. 14.[3] Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya. Bandung: Offset Angkasa, 1986, hal. 14.[4] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 6.[5] Edy Suryono dan Moenir Arisoendha. Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya. Bandung: Offset Angkasa, 1986, hal. 14.[6] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 7.[7] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 8.[8] Komang Sukaniasa (et.al). Penyalahgunaan Hak Kekebalan Diplomatik ditinjau dari Konvensi Wina 1961 (Studi Kasus Penganiayaan TKI oleh Pejabat Diplomatik Arab Saudi di Jerman). e-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum, Vol. 4, No. 2, 2021, hal. 158.[9] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 136.[10] Sumaryo Suryokusumo. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus. Bandung: Alumni, 1995, hal. 4.[11] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 118-119.[12] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 147.[13] Setyo Widagdo dan Hanif Nur Widhiyanti. Hukum Diplomatik dan Konsuler. Malang: Bayumedia Publishing, 2008, hal. 83-84.[14] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 147.[15] S.M. Noor (et.al). Hukum Diplomatik dan Hubungan Internasional. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 41.[16] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 148.[17] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 148.[18] Syahmin. Hukum Diplomatik dalam Kerangka Studi Analisis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 148.[19] J. G. Starke. An Introduction to International Law. Butterworth: Oxford University Press, 1990, hal. 197."
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana cara dan prosedur untuk pengurusan KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas/Tetap) untuk Tenaga Kerja Asing dan di mana pengurusan izin tersebut? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Apa itu KITAS? KITAS/ITAS diberikan kepada:[1]\n\nOrang asing yang masuk wilayah Indonesia dengan visa tinggal terbatas;Anak yang pada saat lahir di wilayah Indonesia ayah dan/atau ibunya pemegang ITAS;Orang asing yang diberikan alih status dari izin tinggal kunjungan;Nakhoda, awak kapal, atau tenaga ahli asing di atas kapal laut, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;Orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia; atauAnak dari orang asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia.\n\nPemberian, perpanjangan, dan pembatalan ITAS dapat dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menteri”) atau pejabat imigrasi yang ditunjuk.[2]\nAdapun menjawab pertanyaan Anda, cara mengurus ITAS untuk Tenaga Kerja Asing (“TKA”) kami rangkum sebagai berikut:\n\nPermohonan ITAS diajukan oleh orang asing atau penjaminnya kepada Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang asing.[3] Jadi, tempat pengurusan ITAS adalah di kantor imigrasi setempat di mana orang asing yang bersangkutan itu tinggal.Bagi TKA yang memang tujuannya untuk bekerja sebagai tenaga ahli di Indonesia, permohonan diajukan dengan mengisi aplikasi data dan melampirkan persyaratan:[4]\nsurat penjaminan dari penjamin;paspor kebangsaan yang sah dan masih berlaku; dansurat rekomendasi dari instansi dan/atau lembaga pemerintahan terkait.\n\nPermohonan harus diajukan dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanda masuk[5] diberikan. Jika melewati jangka waktu tersebut, dikenai biaya beban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi orang asing yang telah mendapatkan ITAS di tempat pemeriksaan imigrasi.[6]Kemudian, Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk memeriksa persyaratan-persyaratan tersebut.[7]Dalam hal pemeriksaan persyaratan telah terpenuhi dan telah dilakukan pengambilan foto, Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk dalam waktu paling lama 4 hari kerja menerbitkan ITAS.[8]\nSebagai informasi tambahan, dalam rangka penyederhanaan proses penerbitan visa dan izin tinggal bagi TKA di Indonesia, pemerintah telah menerbitkan Permenkumham 22/2023. Pemberian ITAS untuk calon TKA diberikan dalam wujud tanda masuk oleh pejabat imigrasi yang dilaksanakan pada tempat pemeriksaan imigrasi atau tempat yang bukan tempat pemeriksaan imigrasi yang difungsikan sebagai tempat pemeriksaan keimigrasian berdasarkan persetujuan direktur jenderal.[9]\n\nPemberian ITAS dapat diberikan dalam bentuk KITAS virtual yang dikirimkan secara elektronik[10] dan juga diberikan dalam bentuk KITAS yang dicetak oleh pejabat imigrasi yang ditunjuk pada Direktorat Jenderal Imigrasi.[11]\n\nPejabat imigrasi yang ditunjuk oleh direktur jenderal melakukan pencetakan dan melaksanakan pendistribusian kartu izin tinggal terbatas ke kantor imigrasi dalam waktu paling cepat 3 (tiga) hari kerja setelah diterbitkan.[12]\n\nMasa berlaku ITAS diberikan untuk waktu paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang dengan ketentuan keseluruhan izin tinggal tidak lebih dari 10 tahun.[13]\n\nITAS juga dapat diberikan kepada orang asing untuk melakukan pekerjaan, dalam waktu paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang dengan ketentuan keseluruhan izin tinggal di wilayah Indonesia tidak lebih dari 180 hari.[14]\nCara Mengurus Izin Tinggal Tetap (KITAP/ITAP)\n\nSetelah mengetahui apa itu KITAS/ITAS, lalu untuk KITAP/ITAP diberikan kepada orang asing tertentu untuk bertempat tinggal dan menetap di wilayah Indonesia sebagai penduduk Indonesia.[15] ITAP dapat diberikan melalui alih status kepada:[16]\norang asing pemegang ITAS sebagai rohaniawan, pekerja, penanam modal/investor, dan rumah kedua;keluarga karena perkawinan campuran;suami, istri, dan/atau anak dari orang asing pemegang ITAP; danorang asing eks warga negara Indonesia dan eks subjek anak berkewarganegaraan ganda Republik Indonesia.\n\nITAP tersebut juga dapat diberikan secara langsung tanpa melalui alih status kepada:[17]\neks subjek anak berkewarganegaraan ganda Republik Indonesia yang memilih kewarganegaraan asing;anak yang lahir di Indonesia dari orang asing pemegang ITAP; danwarga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia di wilayah Indonesia.\n\nCara mengurus ITAP untuk TKA kami rangkum sebagai berikut:\nPermohonan ITAP diajukan oleh orang asing atau penjamin kepada kepala kantor imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang asing yang bersangkutan.[18]Permohonan ITAP diajukan dengan mengisi data dan melampirkan persyaratan:[19]\n\npaspor kebangsaan yang sah dan masih berlaku;bukti penjaminan dari penjamin atau jaminan keimigrasian;pernyataan integrasi; dandokumen lain untuk menerangkan maksud/tujuan atau status orang asing.\nKemudian, kepala kantor imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk memeriksa kelengkapan permohonan tersebut.[20]Dalam hal pemeriksaan kelengkapan permohonan telah terpenuhi dan telah dilakukan pengambilan foto, Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk dalam waktu paling lambat 4 hari kerja menerbitkan ITAP.[21]\n\nMasa berlaku ITAP diberikan untuk waktu 5 tahun dan dapat diberikan perpanjangan untuk jangka waktu tidak terbatas dengan ketentuan sepanjang izin tinggalnya tidak dibatalkan.[22]\n\nSebagai catatan penting dan masih menyangkut soal pertanyaan Anda, TKA pemegang ITAS sebagai rohaniwan, pekerja, investor, dan rumah kedua dapat diberikan ITAP setelah pemohon tinggal menetap selama 3 tahun berturut-turut dan menandatangani pernyataan integrasi kepada Pemerintah Republik Indonesia.[23]\nSebagaimana telah kami uraikan, ITAP bagi orang asing yang bekerja diberikan melalui alih status. Permenkumham 22/2023 mengatur bahwa permohonan alih status ITAS menjadi ITAP diajukan oleh orang asing (TKA), penjamin, atau penanggung jawab melalui aplikasi kepada kepala kantor imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuk dengan melampirkan:[24]\n\npaspor kebangsaan yang sah dan masih berlaku;pernyataan integrasi kecuali bagi anak yang berusia di bawah 18 tahun dan belum kawin;ITAS orang asing yang bersangkutan;bukti penjaminan dari penjamin dalam hal memiliki penjamin;Kartu Tanda Penduduk dan/atau Kartu Keluarga penjamin atau penanggung jawab dalam hal memiliki penjamin atau penanggung jawab; danITAP suami, istri, ayah, ibu, atau anak, dalam hal bergabung dengan suami, istri, ayah, ibu, atau anak pemegang ITAP.\n\nSelain persyaratan di atas, TKA juga harus memperhatikan pertimbangan kelengkapan persyaratan dan penyampaian pembaharuan komitmen sesuai ketentuan saat pemberian ITAS melalui Visa Tinggal Terbatas atau pemberian ITAP, antara lain:[25]\n\nbukti keabsahan perusahaan;bukti keabsahan perizinan ketenagakerjaan;bukti keabsahan kegiatan rohaniwan;bukti rekening terbaru;perubahan akta perusahaan;pajak bumi bangunan terbaru;laporan keuangan terbaru;pajak perusahaan terbaru;bukti pendapatan terbaru;surat obligasi terbaru;kepemilikan saham terbaru; ataubukti lain yang menguatkan maksud atau tujuan tinggal wilayah Indonesia.\nPenting untuk diketahui bahwa ITAS tidak dapat dialihstatuskan menjadi ITAP, jika ketentuan pemenuhan komitmen yang dipersyaratkan saat pengajuan ITAS pertama kali yang berasal dari Visa Tinggal Terbatas, alih status, atau peralihan belum dilaksanakan.[26] Selain itu, alih status ITAS menjadi ITAP bagi orang asing sebagai pekerja diberikan dengan ketentuan orang asing yang bersangkutan telah berada di wilayah Indonesia paling singkat 3 tahun berturut-turut sejak tanggal diberikannya ITAS.[27]\n\nDengan demikian, dapat disimpulkan untuk mendapatkan KITAP, seorang TKA yang memiliki KITAS sebagai pekerja telah memenuhi syarat kelengkapan dokumen dan ketentuan pemenuhan komitmen, telah tinggal menetap selama 3 tahun berturut-turut di Indonesia dan telah menandatangani pernyataan integrasi.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4dd0e447183ec/undangundang-nomor-6-tahun-2011/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2011)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt518a19697ab23/peraturan-pemerintah-nomor-31-tahun-2013/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_31_2013)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt64d091239244e/peraturan-pemerintah-nomor-40-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_40_2023)\n6. [Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt64ec48c9c425d?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkumham_22_2023)\n[1] Pasal 52 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“UU Keimigrasian”) dan Pasal 141 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“PP 48/2021”)[2] Pasal 55 UU Keimigrasian[3] Pasal 142 ayat (1) PP 48/2021[4] Pasal 142 ayat (2) huruf e PP 48/2021[5] Pasal 1 angka 8 PP 48/2021[6] Pasal 143 PP 48/2021[7] Pasal 144 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“PP 31/2013”)[8] Pasal 144 ayat (2) PP 31/2013[9] Pasal 106 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal (“Permenkumham 22/2023”)[10] Pasal 106 ayat (5) Permenkumham 22/2023[11] Pasal 106 ayat (6) Permenkumham 22/2023[12] Pasal 106 ayat (10) Permenkumham 22/2023[13] Pasal 148 PP 48/2021[14] Pasal 149 PP 48/2021[15] Pasal 106 angka 1 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 23 UU Keimigrasian[16] Pasal 106 angka 6 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 54 ayat (1) UU Keimigrasian jo. Pasal 152 ayat (1) dan Pasal 152 ayat (3) PP 48/2021[17] Pasal 152 ayat (2) dan (4) PP 48/2021[18] Pasal 153 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“PP 40/2023”)[19] Pasal 153 ayat (2) PP 40/2023[20] Pasal 154 ayat (1) PP 40/2023[21] Pasal 154 ayat (2) PP 40/2023[22] Pasal 155 PP 31/2013[23] Pasal 106 angka (6) Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 54 ayat (1) huruf a UU Keimigrasian jo. Pasal 60 ayat (1) UU Keimigrasian[24] Pasal 175 Permenkumham 22/2023[25] Pasal 177 Permenkumham 22/2023[26] Pasal 178 Permenkumham 22/2023[27] Pasal 179 ayat (1) jo. Pasal 173 huruf a Permenkumham 22/2023"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah suatu perjanjian baku yang mengandung klausul eksonerasi menjadi perjanjian yang sah jika disetujui oleh para pihak sebelumnya? Mohon juga dijelaskan apa yang dimaksud dengan klausula eksonerasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Klausula eksonerasi atau eksemsi, merupakan salah satu jenis klausula baku dan istilah tersebut diserap dari bahasa Inggris yaitu exoneration atau exemption. Dari kata tersebut, dapat diambil pengertian yaitu isi dari klausul terkait yang memuat pembebasan atau pengecualian terhadap suatu tanggung jawab tertentu.[1]\nAdapun, yang dimaksud dengan perjanjian baku menurut Drooglever Fotujin pengertian perjanjian baku adalah contracten waarvan een belangrijk deel van de inhoud wordt bepaald door een vast samenstel van contracst bedingen yang artinya perjanjian-perjanjian yang sebagian penting dari isinya ditentukan oleh sebuah susunan klausul-klausul perjanjian yang telah ditetapkan.[2]\n\nCiri-ciri dari perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip Salim HS dalam buku Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (hal. 107) adalah:\n\nIsinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat.Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.Bentuk tertentu (tertulis)Dipersiapkan secara massal dan kolektif.\nMenurut Paulus J. Soepratignja, suatu kontrak baku sangat terbuka kemungkinan bagi pihak pelaku usaha untuk melakukan pembatasan atau penghapusan tanggung jawab. Syarat semacam itu disebut dengan syarat eksonerasi.[3]\n\nLalu, apa yang dimaksud dengan klausula eksonerasi? Klausula eksonerasi adalah syarat dalam suatu perjanjian di mana satu pihak membebaskan diri dari tanggung jawab yang dibebankan kepadanya oleh regelend recht[4] (peraturan perundang-undangan).\n\nAdapun menurut Munir Fuady klausul eksemsi yang disebut dengan klausula eksonerasi adalah klausul dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.[5]\n\nDapat pula dikatakan bahwa klausula eksonerasi adalah pembebasan atau pembatasan dari suatu tanggung jawab tertentu dalam perjanjian.[6]\n\nSecara normatif, pengertian klausula eksonerasi dapat ditemukan di dalam Penjelasan Pasal 46 ayat (2) POJK 22/2023 yaitu klausula eksonerasi/eksemsi adalah klausul yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban pelaku usaha jasa keuangan atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban konsumen.\nKeabsahan Perjanjian yang Memuat Klausula Eksonerasi\n\nLantas, apa akibat hukumnya jika di dalam perjanjian baku terdapat klausula eksonerasi? Jika merujuk pada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:\n\nmenyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;menyatakan pemberian kasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.\n\nLarangan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.\n\nDengan demikian, apakah klausula eksonerasi dilarang? Benar, klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian (kontrak) baku adalah dilarang. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (2) POJK 22/2023 yang menyatakan bahwa pelaku usaha jasa keuangan dilarang membuat dan menggunakan perjanjian baku yang memuat klausul eksonerasi/eksemsi.\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa apabila suatu perjanjian, termasuk perjanjian baku memuat klausula eksonerasi, meski telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut tidak dianggap sah dan batal demi hukum. Hal ini dikarenakan perjanjian yang memuat klausula baku tidak memenuhi syarat sah perjanjian.\n\nDisarikan dari artikel Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi dijelaskan bahwa syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata salah satunya adalah suatu sebab yang halal. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai sebab yang halal. Namun, diatur mengenai suatu sebab yang terlarang jika dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan ketertiban umum, sebagaimana diatur dalam Pada Pasal 1337 KUH Perdata.\n\nLebih lanjut diterangkan dalam artikel yang sama, bahwa suatu sebab yang halal merupakan syarat objektif suatu perjanjian, sehingga jika tidak terpenuhi berakibat perjanjian batal demi hukum.\n\nSelain itu, pencantuman klausul eksonerasi dalam suatu perjanjian merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana diterangkan dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Selengkapnya mengenai prinsip atau asas kebebasan berkontrak dapat Anda simak dalam artikel Asas-asas dalam Pasal 1338 KUH Perdata.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen](Data Kepolisian /pusatdata/detail/447/undangundang-nomor-8-tahun-1999/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Perlindungan_Konsumen)\n3. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt659cb5aa06c16/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-nomor-22-tahun-2023/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pojk_22_2023)\nREFERENSI:\n1. Ahmad Fikri Assegaf. Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014\n2. Salim HS. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan keempat belas. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.\n\n[1] Ahmad Fikri Assegaf. Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014, hal. 24\n\n[2] Ahmad Fikri Assegaf. Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014, hal. 16\n\n[3] Ahmad Fikri Assegaf. Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014, hal. 28\n\n[4] Ahmad Fikri Assegaf. Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014, hal. 28\n\n[5] Ahmad Fikri Assegaf. Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014, hal. 29\n\n[6] Ahmad Fikri Assegaf. Penjelasan Hukum tentang Klausula Baku. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014, hal. 30"
} |
{
"from": "human",
"value": "Baru-baru ini beredar berita bahwa Presiden Jokowi menghapus kelas iuran BPJS Kesehatan I, II, dan III. Sebagai gantinya, pemerintah akan menerapkan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN). Pertanyaan saya benarkah informasi tersebut, kapan KRIS BPJS diberlakukan dan bagaimana aturannya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KRIS atau Kelas Rawat Inap Standar adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang berhak diterima setiap orang yang membayar iuran jaminan kesehatan.[1]\nDisarikan dari artikel Sistem Kelas BPJS Kesehatan Akan Diganti dengan Sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) paling lambat 30 Juni 2025, sistem KRIS akan diterapkan secara bertahap, namun nantinya akan mengganti sistem kelas 1, 2 dan 3 yang saat ini masih diterapkan pada BPJS Kesehatan.\n\nPerlu diketahui bahwa sistem jaminan kesehatan dalam Perpres 59/2024 ini menyesuaikan rincian berbagai jenis manfaat jaminan kesehatan yang berhak diperoleh peserta, termasuk manfaat medis dan manfaat nonmedis.\nManfaat medis merupakan manfaat pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, dan termasuk pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan dan kriteria kebutuhan dasar kesehatan.[2]\n\nAdapun, kriteria manfaat medis berdasarkan kebutuhan dasar kesehatan adalah sebagai berikut:[3]\n\nupaya pelayanan kesehatan perseorangan;pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan menyelamatkan nyawa dan menghilangkan gangguan produktivitas;pelayanan kesehatan yang menimbulkan risiko yang tidak tertanggungkan bagi peserta;pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien;pelayanan yang terstandar;tidak dibedakan berdasarkan besaran iuran peserta; dan/ataubukan cakupan program lain.\n\nAdapun, manfaat nonmedis dari jaminan kesehatan dalam Perpres 59/2024 adalah manfaat yang menunjang pelayanan kesehatan termasuk fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap.[4]\n\nFasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap tersebut mencakup sarana dan prasarana, jumlah tempat tidur, dan peralatan yang diberikan berdasarkan KRIS.[5]\n\nLalu, kapan KRIS BPJS diberlakukan? Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS menurut Pasal 103B ayat (1) dan (2) Perpres 59/2024 dilaksanakan secara menyeluruh paling lambat tanggal 30 Juni 2025. Dalam jangka waktu yang ditetapkan sebelum tanggal 30 Juni 2025, rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan kelas rawat inap standar sesuai dengan kemampuan rumah sakit.\nFasilitas Ruang Rawat Inap Berdasarkan KRIS\n\nTerdapat 12 kriteria fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS, yaitu:[6]\n\nkomponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi;ventilasi udara;pencahayaan ruangan;kelengkapan tempat tidur;nakas per tempat tidur;temperatur ruangan;ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi;kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur;tirai/partisi antar tempat tidur;kamar mandi dalam ruangan rawat inap;kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas; danoutlet oksigen.\n\nPenerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS sebagaimana disebutkan di atas tidak berlaku untuk:[7]\n\npelayanan rawat inap untuk bayi atau perinatologi;perawatan intensif;pelayanan rawat inap untuk pasien jiwa; danruang perawatan yang memiliki fasilitas khusus.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nPeraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatansebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan kemudian diubah ketiga kalinya dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.\n[1] Pasal 1 angka 4b jo. angka 2 Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan (“Perpres 59/2024”)\n\n[2] Pasal 46 ayat (2) dan (3) Perpres 59/2024\n\n[3] Pasal 46 ayat (4) Perpres 59/2024\n\n[4] Pasal 46 ayat (6) Perpres 59/2024\n\n[5] Pasal 46 ayat (7) Perpres 59/2024\n\n[6] Pasal 46A ayat (1) Perpres 59/2024\n\n[7] Pasal 46A ayat 2 Perpres 59/2024"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya membaca bahwa tindakan pungli yang dilakukan oleh oknum pemerintah merupakan tindakan maladministrasi. Mohon dijelaskan apa yang dimaksud dengan tindakan maladministrasi? Selain pungli, apa contoh maladministrasi lainnya dan apa sanksi maladministrasi? Ke mana kita bisa melaporkan tindakan maladministrasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.\nDalam buku saku Memahami Maladministrasi, Hendra Nurtjahjo dkk mendefinisikan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik yakni meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut (hal. 4).\n\nPerlu diketahui bahwa pihak atau subjek yang dapat dikatakan melakukan maladministrasi adalah penyelenggara negara yaitu pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1] Selain itu, termasuk juga Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”), Badan Usaha Milik Daerah (“BUMD”), Badan Hukum Milik Negara (“BHMN”) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.[2]\n\nDalam hukum positif Indonesia, ada sembilan kriteria untuk bisa dikategorikan sebagai maladministrasi, yaitu:[3]\n\nPerilaku dan perbuatan melawan hukum;Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang;Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut;Kelalaian;Pengabaian kewajiban hukum;Dalam penyelenggaraan pelayanan publik;Dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan;Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil;Bagi masyarakat dan orang perseorangan.\n\nAdapun, contoh maladministrasi antara lain pungli, pejabat yang membuat kebijakan atau keputusan berdasarkan kedekatan personal dan bersikap diskriminatif, melakukan tindakan pemerasan, dan sebagainya. Selengkapnya mengenai bentuk-bentuk maladministrasi akan kami jabarkan di bawah ini.\nBentuk-bentuk Maladministrasi\n\nMenjawab pertanyaan Anda, bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.[4]\n\nHendra dkk menjelaskan yang termasuk bentuk tindakan maladministrasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan aparatur pemerintah dikarenakan adanya:[5]\n\nMis Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor.Deceitful practice yaitu praktik-praktik kebohongan, tidak jujur terhadap publik. Masyarakat disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan birokrat.Korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk di dalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya dirinya, orang lain, kelompok maupun korporasi yang merugikan keuangan negara.Defective policy implementation yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindaklanjuti menjadi kenyataan.Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:\n\nIndecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktik muncul kasus-kasus yang dipetieskan.Red tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.Cicumloution yaitu penyakit para birokrat yang terbiasa menggunakan kata-kata terlalu banyak. Banyak janji tetapi tidak ditepati. Banyak kata manis untuk menenangkan gejolak masa. Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus per kasus.Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada atasannya. Ada gejala “Asal Bapak Senang”. Kecenderungan birokrat melayani individu atasannya, bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik.Over staffing yaitu gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi.Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya fungsinya.Defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaimana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabui. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.\n\nMasih bersumber dari buku yang sama, ada pendapat lain mengenai bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh birokrat yaitu:[6]\n\nKetidakjujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidakjujuran antara lain: menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadi, menerima uang, dll.Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis ini adalah tindakan yang mungkin tidak bersalah secara hukum, tetapi melanggar etika sebagai administrator.Mengabaikan hukum (disregard of law), tindakan mengabaikan hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya.Favoritisme dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum untuk kepentingan kelompok, dan cenderung memilih penerapan hukum yang menguntungkan kelompoknya.Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya berdasarkan faktor like and dislike. Yaitu orang yang disenangi cenderung mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak bagus. Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung diperlakukan terbatas.Inefisiensi bruto (gross inefficiency), adalah kecenderungan suatu instansi publik memboroskan keuangan negara.Menutup-nutupi kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan dirinya, kesalahan bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak diliput kesalahannya.Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi menunggu perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif kebijakan.\n\nSelain itu, terdapat pula bentuk-bentuk lain dari maladministrasi yaitu:[7]\n\nMaladministrasi terkait dengan ketepatan waktu dalam proses pemberian pelayanan umum, terdiri atas tindakan penundaan berlarut, tidak menangani dan melalaikan kewajiban.Maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi, yang terdiri atas persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, dan nyata-nyata berpihak.Maladministrasi yang lebih mencerminkan bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, terdiri atas pemalsuan, pelanggaran undang-undang, dan perbuatan melawan hukum.Maladministrasi yang terkait dengan kewenangan/kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat, yang terdiri atas tindakan di luar kompetensi, pejabat yang tidak kompeten menjalankan tugas, intervensi yang memengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang menyimpangi prosedur tetap.Maladministrasi yang mencerminkan sikap arogansi seseorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seperti tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak.Maladministrasi yang mencerminkan bentuk korupsi secara aktif, yaitu terdiri atas pemerasan atau permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.\nKe Mana Melaporkan Tindakan Maladministrasi?\nJika menemui tindakan-tindakan maladministrasi sebagaimana disebutkan di atas, Anda dapat melaporkannya kepada Ombudsman.\n\nOmbudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.[8]\n\nAdapun, tugas Ombudsman dalam menangani maladministrasi menurut Pasal 7 UU Ombudsman adalah:\n\nmenerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;melakukan pemeriksaan substansi atas laporan;menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;membangun jaringan kerja;melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; danmelakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.\n\nDalam menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, Ombudsman berwenang:[9]\n\nmeminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan;meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor;melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan;menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi;menyampaikan saran kepada presiden, kepala daerah, atau pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik;menyampaikan saran kepada DPR dan/atau presiden, DPRD dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi.\n\nDengan demikian, Anda dapat melaporkan tindakan maladministrasi tersebut kepada Ombudsman, yang nantinya akan ditindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan, penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi, mengumumkan hasil temuan dan rekomendasi, membuat rekomendasi, hingga menyampaikan saran kepada presiden, DPR, kepala daerah, dan DPRD.\n\nTerhadap terlapor maladministrasi yang tidak melaksanakan rekomendasi dari Ombudsman akan dikenai sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[10] Adapun, sanksi maladministrasi yang dapat dilihat ketentuan Pasal 54 UU 25/2009 yang dikenakan sesuai dengan jenis tindakan maladministrasinya, antara lain:\n\nTeguran tertulis;Sanksi pembebasan dari jabatan;Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun;Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 tahun;Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri;Pemberhentian tidak dengan hormat;Pembekuan misi dan/atau izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah;Pencabutan izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28453/undangundang-nomor-37-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_37_2008)\n2. [Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a715279424d7/undangundang-nomor-25-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_25_2009)\nREFERENSI:\n1. Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013.\n\n[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU Ombudsman”)[2]Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 9, lihat Pasal 1 angka 1 UU Ombudsman[3] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. iii[4] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 5[5] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 12-13[6] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 13-14[7] Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013, hal. 14 – 17[8] Pasal 1 angka 1 UU Ombudsman[9] Pasal 8 UU Ombudsman[10] Pasal 39 UU Ombudsman"
} |