0
dict
1
dict
{ "from": "human", "value": "Saya adalah perawat yang bekerja di sebuah RS swasta. Pada bulan Januari saya sudah sempat mengambil jatah cuti tahunan saya selama 1 minggu (7 Hari). Ternyata, pada tahun ini saya dinyatakan hamil, dan sekarang sedang menjalani cuti hamil dan melahirkan. Yang saya tanyakan, apakah jatah cuti hamil saya akan dikurangi selama 1 minggu? Sebab dari pimpinan saya mengatakan bahwa di dalam 1 tahun itu tidak boleh mengambil 2 cuti secara bersamaan. Dengan kata lain, bila saya sudah pernah mengambil cuti tahunan, maka jatah cuti saya yang lain otomatis akan dikurangi. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk perhatiannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang Saudari sampaikan. Cuti hamil merupakan hak yang dimiliki oleh tenaga kerja perempuan. Pemerintah menjamin hak setiap pekerja atau buruh perempuan untuk mendapatkan cuti . Jaminan ini terdapat pada P asal 82 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( “ UU K ” ) yang berbunyi: KLINIK TERKAIT Kapan Hak Cuti Tahunan Bisa Digunakan? 11 Jan 2024 Aturan Cuti Melahirkan bagi Pekerja dengan Persalinan Prematur 12 Apr 2023 Adakah Aturan Pemberian Cuti Suami untuk Mengasuh Anak? 25 Okt 2022 Legalitas Surat Pernyataan Tak Digaji Selama Cuti Melahirkan 25 Mei 2021 “ Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan ” . Cuti hamil merupakan perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan yang melahirkan. Cuti hamil tidak mempengaruhi hak cuti tahunan yang dimiliki oleh setiap pekerja ( p erempuan) . Cuti tahunan merupakan hak yang dimiliki pekerja baik laki-laki maupun perempuan untuk beristirahat , cuti tahunan merupakan cuti untuk beristirahat dari pekerjaan sebagaimana diatur pada P asal 79 ayat (2) huruf c UU K yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ C uti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus . ” Pelaksanaan cuti tahunan diatur pada P asal 79 ayat (3) UU K yang berbunyi: “ Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama ”. Cuti hamil tidak mempengaruhi hak cuti tahunan yang seharusnya diterima oleh pekerja Perempuan, sebab cuti hamil dan cuti tahunan adalah hak tenaga kerja Perempuan dan perusahaan wajib memberikan hak tersebut seperti dijelaskan pada P asal 82 ayat (1) dan P asal 79 ayat (2) huruf c UUK . Dengan adanya pernyataan pimpinan Saudari yang men y atakan bahwa di dalam 1 tahun itu tidak boleh mengambil 2 cuti secara bersamaan, dan dengan kata lain bila Saudari sudah pernah mengambil cuti tahunan maka jatah cuti Saudari yang lain otomatis akan dikurangi . Bila pernyataan pimpinan Saudari dituangkan dalam perjanjian kerja , maka hal tersebut dapat batal demi hukum . Perjanjian pekerjaan dapat batal demi hukum diatur pada P asal 52 ayat (1) dan ayat (3) UU K yang berbunyi: (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. (2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum. Pada Pasal 52 ayat (3) UUK tegas dikatakan bahwa p erjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dapat dibatalkan demi hukum . Selain pasal tersebut pada P asal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berbunyi: “ Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum ”. Berdasarkan penjelasan dari pasal-pasal di atas , maka hak cuti hamil tidak dapat disamakan dengan hak cuti tahunan yang dimiliki setiap pekerja. Hak cuti hamil hanya dimiliki oleh tenaga kerja Perempuan . Oleh karena itu, hak cuti hamil tidak dapat mengurangi hak cuti tahunan . Demikian penjelasan dari kami tentang permasalahan Saudari, semoga dapat membantu menyelesaikan permasalahan Saudari. Terima Kasih. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Apakah dalam hukum mengenal kedaluwarsa? Kalau memang ada, gimana cara penyelesaiannya dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada orde baru?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Segala bentuk pelanggaran dan kejahatan mengenal daluwarsa penuntutan diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Dengan lampaunya masa daluwarsa, berarti telah hilang kewenangan untuk menuntut seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Namun, khusus untuk p elanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang berat diatur secara lex specialis menyimpang dari ketentuan di atas. Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan: Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa . Sehingga , segala bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau tetap dapat diproses dan diadili. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Daluwarsa di KUHP Dalam hukum pidana di Indonesia dikenal istilah daluwarsa, seperti dalam hal penuntutan yang diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan juga dalam hal kewenangan menjalankan pidana sebagaimana dijelaskan pada Pasal 84 KUHP . Berkaitan dengan pertanyaan Anda, kami akan memfokuskan jawaban dalam hal penuntutan pidana. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Pidana Indonesia (hal. 222), tuntutan penuntut umum juga tidak dapat diterima, jikalau terjadi lampau waktu ( verjaring ) sesuai dengan Pasal 78 KUHP. Sengaja beliau tidak menggunakan istilah daluwarsa, yang oleh beberapa pengarang Ilmu Hukum Pidana dipakai sebagai terjemahan verjaring , oleh karena pengertian verjaring dan daluwarsa berbeda. Andi Hamzah mengatakan bahwa daluwarsa adalah istilah Hukum Adat di Jawa, yang berarti lampaunya waktu yang lama sehingga perkara dilupakan, dan menjadi perkara lama. Daluwarsa tidak mengenal tahun-tahun tertentu yang harus lampau sehingga suatu perkara tidak dapat dituntut atau digugat di depan pengadilan. Daluwarsa berarti hilangnya kewenangan untuk menuntut suatu tindak pidana, atau dengan kata lain dengan lampaunya masa daluwarsa, maka seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tidak lagi dapat diproses hukum. Secara umum daluwarsa diatur dalam Pasal 78 KUHP sebagai berikut: Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa : mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga. R. Soesilo menjelaskan dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 92), bahwa Pasal 78 KUHP mengatur tentang gugurnya hak penuntutan hukuman ( strafsactie ) karena lewat waktunya , yaitu hak untuk menuntut seseorang di muka hakim supaya dijatuhi hukuman. Baca juga artikel Daluwarsa Tindak Pidana Perkosaan dan Penganiayaan . Daluwarsa Pelanggaran HAM Masa Lalu Terkait dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang terjadi pada orde baru, hal itu berarti terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU 26/2000”) Mengenai daluarsa pelanggaran HAM diatur secara lex specialis menyimpang dari ketentuan KUHP yaitu dalam Pasal 46 UU 26/2000 sebagai berikut: Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa. Dengan tidak berlakunya ketentuan daluwarsa dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, maka segala bentuk pelanggaran HAM yang berat di masa lampau tetap dapat diproses dan diadili. Pelanggaran HAM yang berat meliputi: [1] kejahatan genosida; kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU 26/2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. [2] Simak juga artikel Daluwarsa Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Referensi: R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991; Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2017. [1] Pasal 7 UU 26/2000 [2] Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) UU 26/2000 ham hukumonline kadaluarsa google orde baru pelanggaran ham online hukum hak asasi manusia kadaluwarsa daluwarsa pidana" }
{ "from": "human", "value": "Mohon informasi dan pencerahannya terkait dengan status Dana Pensiun BNI. Apakah termasuk dalam lingkup keuangan negara atau bukan? Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 disebutkan, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Yang dimaksud dengan “kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah” meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah. Mohon informasinya." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Apakah BPK Berwenang Mengaudit Lembaga Amil Zakat? 22 Jan 2016 Apakah Direksi Anak Perusahaan BUMN Termasuk Penyelenggara Negara? 18 Nov 2015 Kemana Badan Pemeriksa Keuangan Melaporkan Tugasnya? 02 Jul 2015 Tanggung Jawab BNPB atas Dana Penanggulangan Bencana 27 Sep 2014 Intisari: Dana Pensiun Lembaga Keuangan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (“Dana Pensiun”) yaitu Badan Hukum yang didirikan oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Kekayaan Dana Pensiun merupakan kekayaan yang terpisah dari kekayaan pendirinya (PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk). Ini berarti kekayaan Dana Pensiun dapat dikatakan sudah terpisah dari keuangan Negara karena kekayaannya terpisah bahkan dari kekayaan pendirinya yang merupakan BUMN. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaannya. PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk memang merupakan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”). Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) menyatakan bahwa Perusahaan Persero (“Persero”), adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 persen dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan. Selanjutnya, Pasal 11 UU BUMN menyatakan , terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Dengan demikian, tata kelola BUMN, termasuk di dalam n ya tata kelola keuangannya, berbeda dengan tata kelola pemerintahan. Adapun yang merupakan bagian dari kekayaan Negara dan dikelola berdasarkan asas-asas keuangan Negara di dalam BUMN adalah merupakan Kekayaan Negara Dipisahkan, yang diberikan oleh Negara dalam bentuk penyertaan modal fisik/uang dengan mekanisme Penyertaan Modal Pemerintah Pusat/Daerah. [1] Terkait dengan Pasal 2 huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara , memang benar disebutkan bahwa keuangan Negara mencakup kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut kekayaan pihak lain meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah . Sebagai informasi, p erlu diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan No. 77/PUU-IX/2011 yang pada intinya mengeluarkan piutang BUMN dari kewenangan penagihan yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara. Hal ini semakin menguatkan dalil bahwasanya aset BUMN, yang dalam konteks ini adalah dana pensiun BNI, menurut kami bukanlah termasuk ke dalam bagian keuangan Negara. Ini berarti untuk kekayaan BUMN sendiri, masih tidak ada kesamaan pendapat di kalangan para pihak. Bagaimana dengan kekayaan dana pensi u n yang didirikan oleh BUMN (dalam hal ini PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk)? Dana Pensiun PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Dana Pensiun Lembaga Keuangan PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (“Dana Pensiun”) yaitu Badan Hukum yang didirikan oleh PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Hal ini sebagaimana d i sebutkan dalam Keputusan Direksi PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Nomor: KP/085/DIR/R Tanggal 24 April 2009 (“Peraturan Dana Pensiun”). Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan jo. Pasal 6 ayat (2) Peraturan Dana Pensiun disebutkan bahwa Kekayaan Dana Pensiun merupakan kekayaan yang terpisah dari kekayaan pendirinya (PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk). Ketentuan ini berfungsi untuk menegaskan bahwa apabila ada tuntutan terhadap kekayaan Bank Umum atau Perusahaan Asuransi Jiwa Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan, maka kekayaan Dana Pensiun lembaga Keuangan harus dikecualikan dari tuntutan dimaksud. Ini berarti bahwa merujuk pada ketentuan tersebut, kekayaan Dana Pensiun sudah terpisah dari keuangan Negara karena kekayaannya terpisah bahkan dari kekayaan pendirinya yang merupakan BUMN. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ; 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan ; 5. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011 . REFERENSI:\n1. Keputusan Direksi PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Nomor: KP/085/DIR/R Tanggal 24 April 2009 . [1] Pasal 1 angka 21 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jasa keuangan hukumonline keuangan negara bank hukum klinik bumn perusahaan klinik hukumonline perbankan dana pensiun bank bumn" }
{ "from": "human", "value": "Apakah dalam perhitungan pesangon karena PHK (bukan karena usia pensiun) harus dikurangi dengan perhitungan pensiun/DPLK (asuransi pensiun) yang ada?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Hukumnya Jika Karyawan Di-PHK dalam Masa Percobaan 16 Mei 2024 Tidur di Tempat Kerja Saat Puasa, Bisakah Dipecat? 18 Mar 2024 Hak Pekerja yang di-PHK di Tengah Masa Kontrak 18 Okt 2023 Besaran Uang Pisah Tak Diatur, Karyawan Masih Berhak Terima? 27 Jul 2023 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Pesangon Harus Dikurangi Pensiun (DPLK)? oleh Umar Kasim yang dipublikasikan pertama kali pada 30 April 2010. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hak Pekerja yang di-PHK Pada prinsipnya, jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”), pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja (“UPMK”) dan uang penggantian hak (“UPH”) yang seharusnya diterima. [1] Namun perlu digarisbawahi, disarikan dari Hak Pekerja yang Terkena PHK dan yang Mengundurkan Diri , tidak semua pekerja yang mengalami PHK berhak atas uang pesangon, UPMK, dan UPH. Contohnya jika pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri, ia berhak atas UPH dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”). Apakah Kompensasi PHK Harus Dikurangi Iuran Pensiun? Pada dasarnya, menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (“UU Dana Pensiun”) peserta yang berhenti bekerja dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 tahun, sekurang-kurangnya berhak menerima secara sekaligus himpunan iurannya sendiri, ditambah bunga yang layak. [2] Sedangkan bagi peserta yang berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan sekurang-kurangnya 3 tahun dan belum mencapai usia pensiun dipercepat, berhak menerima: Pensiun ditunda yang besarnya sama dengan jumlah yang dihitung berdasarkan rumus pensiun bagi kepesertaannya sampai pada saat pemberhentian, jika mengikuti program pensiun manfaat pasti. [3] Jumlah iurannya sendiri dan iuran pemberi kerja beserta hasil pengembangannya yang harus dipergunakan untuk memperoleh pensiun ditunda, jika merupakan peserta dana pensiun yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti [4] Jika dikaitkan dengan kompensasi PHK, Pasal 58 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) mengatur: Pengusaha yang mengikutsertakan Pekerja/Buruh dalam program pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun, iuran yang dibayar oleh Pengusaha dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Pengusaha atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang pisah akibat Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 52 dan Pasal 54 sampai dengan Pasal 57 . Adapun secara garis besar, alasan PHK sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut: Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan perusahaan; [5] Pengambilalihan perusahaan; [6] Perusahaan melakukan efisiensi; [7] Perusahaan tutup, baik karena mengalami kerugian, bukan karena mengalami kerugian, atau karena keadaan memaksa; [8] Keadaan memaksa yang tidak mengakibatkan perusahaan tutup; [9] Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang; [10] Perusahaan pailit; [11] Adanya permohonan PHK yang diajukan pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf g PP 35/2021; [12] Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf g PP 35/2021; [13] Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat; [14] Pekerja mangkir selama 5  hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis; [15] Pekerja melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, PP atau PKB dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut; [16] Pekerja melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja, PP atau PKB; [17] Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, baik menyebabkan kerugian perusahaan atau tidak; [18] Pekerja dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan; [19] Pekerja sakit berkepanjangan/cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan; [20] Pekerja memasuki usia pensiun; [21] Pekerja meninggal dunia. [22] Jika perhitungan manfaat dari program pensiun lebih kecil daripada uang pesangon dan UPMK serta uang pisah, maka selisihnya dibayar oleh pengusaha . [23] Patut diperhatikan, pelaksanaan perhitungan iuran dana pensiun yang dibayar oleh pengusaha sebagai bagian pemenuhan kewajiban pengusaha atas uang pesangon dan UPMK serta uang pisah akibat PHK diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB . [24] Dengan demikian, dalam hal pekerja di-PHK berdasarkan alasan-alasan di atas, maka iuran pensiun yang dibayar oleh pengusaha dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban pengusaha atas uang pesangon, UPMK, serta uang pisah jika diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja [1] Pasal 81 angka 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 24 ayat (1) UU Dana Pensiun [3] Pasal 24 ayat (2) UU Dana Pensiun [4] Pasal 24 ayat (3) UU Dana Pensiun [5] Pasal 41 PP 35/2021 [6] Pasal 42 PP 35/2021 [7] Pasal 43 PP 35/2021 [8] Pasal 44 jo . Pasal 45 ayat (1) PP 35/2021 [9] Pasal 45 ayat (2) PP 35/2021 [10] Pasal 46 PP 35/2021 [11] Pasal 47 PP 35/2021 [12] Pasal 48 PP 35/2021 [13] Pasal 49 PP 35/2021 [14] Pasal 50 PP 35/2021 [15] Pasal 51 PP 35/2021 [16] Pasal 52 ayat (1) PP 35/2021 [17] Pasal 52 ayat (2) PP 35/2021 [18] Pasal 54 ayat (1) dan (2) PP 35/2021 [19] Pasal 54 ayat (5) PP 35/2021 [20] Pasal 55 PP 35/2021 [21] Pasal 56 PP 35/2021 [22] Pasal 57 PP 35/2021 [23] Pasal 58 ayat (2) PP 35/2021 [24] Pasal 58 ayat (3) PP 35/2021 phk dana pensiun ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Dapatkah tindak pidana yang termasuk delik aduan dilanjutkan prosesnya walaupun laporan pengaduannya sudah dicabut oleh pengadu/pelapor?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya. Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa.\n\nDalam delik biasa perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.\nBerbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang atau polisi apabila telah terjadi suatu perdamaian.\n\nPerlu Anda pahami, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu (hal. 88):\n\nDelik Aduan Absolut\n\nDelik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi “saya minta agar peristiwa ini dituntut”.\n\nOleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah.\n\nContohnya, jika suami mengadukan perzinaan yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya pria yang telah berzina dengan istrinya itu dituntut, tetapi karena ia masih cinta terhadap istrinya jangan dituntut. Sehingga, baik istrinya dan pria yang telah berzina dengan istrinya itu haruslah dituntut.\n\nBaca juga: Jerat Pasal untuk Menuntut Balik Selingkuhan Suami\n\nDelik Aduan Relatif\n\nDelik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga, lalu menjadi delik aduan.\n\nDalam hal ini, pengaduan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah.\n\nMisalnya, seorang ayah yang barang-barangnya dicuri oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Misalnya permintaan menuntut dalam pengaduannya “saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.\n\nBaca juga: Suami Diam-diam Tarik Saldo Rekening Istri, Begini Hukumnya\nDaluwarsa Delik Aduan\n\nSelanjutnya, hal penting yang perlu Anda ketahui adalah daluwarsa delik aduan. Berikut ini ketentuan daluwarsa pengaduan dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan[1], yaitu tahun 2026 sebagai berikut:\nPasal 74 KUHPPasal 29 UU 1/20231. Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.2. Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut dalam ayat 1 belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya selama sisa yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut.1. Pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu:a. Enam bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; ataub. Sembilan bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.2. Jika yang berhak mengadu lebih dari satu orang, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal masing-masing pengadu mengetahui adanya tindak pidana.\nPencabutan Laporan atas Delik Aduan\n\nKemudian timbul pertanyaan lain, apakah laporan bisa dicabut? Benar, laporan pengaduan atas delik aduan dapat dicabut dengan memperhatikan tenggang waktu sebagai berikut:\nPasal 75 KUHPPasal 30 UU 1/2023Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.1. Pengaduan dapat ditarik kembali oleh pengadu dalam waktu tiga bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.2. Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.\n\nLalu siapa yang harus mencabut laporan delik aduan? Pada prinsipnya yang dapat mencabut laporan delik aduan adalah korban tindak pidana. Namun demikian, sepanjang penelusuran kami terdapat beberapa ketentuan lain pihak yang bisa mencabut laporan delik aduan sebagai berikut:\nKUHPUU 1/2023Pasal 721. Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dan orang itu umurnya belum cukup 16 tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu;2. Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.Pasal 251. Dalam hal korban tindak pidana aduan belum berumur 16 tahun, yang berhak mengadu merupakan orang tua atau walinya.2. Dalam hal orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau orang tua atau wali itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis lurus.3. Dalam hal keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.4. Dalam hal korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki orang tua, wali, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas ataupun menyamping sampai derajat ketiga, pengaduan dilakukan oleh diri sendiri dan/atau pendamping.Pasal 261. Dalam hal korban tindak pidana aduan berada di bawah pengampuan, yang berhak mengadu merupakan pengampunya, kecuali bagi korban tindak pidana aduan yang berada dalam pengampuan karena boros.2. Dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus diadukan, pengaduan dilakukan oleh suami atau istri korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus.3. Dalam hal suami atau istri korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga.Pasal 73Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki penuntutan.Pasal 27Dalam hal korban tindak pidana aduan meninggal dunia, pengaduan dapat dilakukan oleh orang tua, anak, suami, atau istri korban, kecuali jika korban sebelumnya secara tegas tidak menghendaki adanya penuntutan.\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, pelaku delik aduan hanya bisa dituntut pidana apabila ada pengaduan dari korban atau orang yang berhak. Kemudian jika laporan pengaduannya dicabut, selama dalam jangka waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan, maka proses hukum akan dihentikan. Namun, apabila sudah melewati jangka waktu tiga bulan dan pengaduan itu tidak dicabut atau hendak dicabut setelah melewati jangka waktu tiga bulan, proses hukum tetap akan dilanjutkan. Kecuali khusus untuk kasus perzinaan, pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.[2]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang- Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)\n\n[2] Pasal 284 ayat (4) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana atau Pasal 411 ayat (4) UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana hukumnya apabila massa melakukan demonstrasi besar-besaran tanpa memperhatikan protokol kesehatan saat pandemi ini? Apakah bisa dipidana? Saya khawatir demo yang sedang dilakukan belakangan ini menciptakan cluster baru penyebaran COVID-19 dan membuat angka COVID-19 di Indonesia semakin tinggi. Mohon pencerahannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Jerat Pidana Pelaku Demo Anarkis 11 Jun 2024 Pasal Kebebasan Berpendapat dan Sejumlah Demo yang Dilarang 01 Des 2023 Syarat Mogok Kerja, Prosedur, dan Konsekuensi Hukumnya 06 Des 2022 Adakah Larangan Demonstrasi pada Hari Pelantikan Presiden? 12 Nov 2019 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Demonstrasi Dilarang Saat Pandemi? yang dibuat oleh Erizka Permatasari, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 21 Oktober 2020 . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pembatasan Sosial Berskala Besar (“PSBB”) Sebagai upaya menanggulangi COVID-19, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) . PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-19. [1] PSBB paling sedikit meliputi: [2] peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum . PSBB diberlakukan di suatu daerah setelah permohonan PSBB oleh gubernur/bupati/walikota disetujui oleh Menteri Kesehatan dengan mempertimbangkan pendapat Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 [3] . Lebih lanjut, Kementerian Kesehatan menerbitkan protokol kesehatan yang secara umum memuat: [4] Menggunakan masker; Mencuci tangan secara teratur, baik dengan sabun dan air mengalir atau menggunakan cairan antiseptik seperti hand sanitizer ; Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari terkena droplet dari orang yang bicara, batuk, atau bersin, serta menghindari kerumunan, keramaian, dan berdesakan ; Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Demo Dilarang Saat Pandemi? Aksi demonstrasi dengan jumlah massa yang besar berpotensi melanggar protokol kesehatan dalam hal menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain serta menghindari kerumunan, keramaian, dan berdesakan. Sebelumnya melalui Maklumat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Mak/2/III/2020 Tahun 2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona , kegiatan unjuk rasa dilarang sebab akan menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah yang banyak. Namun maklumat tersebut telah dicabut sebagaimana diberitakan di laman Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dalam artikel Pasca Maklumat Kapolri Dicabut, Polri Pastikan Tetap Awasi Protokol Kesehatan yang tertuang dalam Surat Telegram Rahasia Nomor STR/364/VI/OPS.2/2020 tanggal 25 Juni 2020. Sedangkan kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi itu sendiri dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Meski demikian, dikutip dari Kliping Berita Ketenagakerjaan pada laman Kementerian Ketenagakerjaan tertanggal 6 Oktober 2020, kepolisian telah mengeluarkan Surat Telegram Rahasia Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 (“STR 645/2020”) tanggal 2 Oktober 2020 (hal. 99). Dalam STR 645/2020 itu disebutkan unjuk rasa di tengah pandemi akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral, dan hukum di tatanan masyarakat (hal. 99). Masih bersumber dari kliping tersebut, Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menjelaskan memang dalam UU 9/1998 aksi penyampaian aspirasi atau demonstrasi tidak dilarang. Namun, di situasi pandemi ini keramaian massa sangat rawan terjadi penyebaran virus lantaran mengabaikan penerapan standar protokol kesehatan (hal. 99). Sehingga itulah alasan mengapa Polri tidak memberikan izin aksi demonstrasi atau kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang (hal. 99). Senada dengan hal tersebut, dilansir dari artikel Polda Metro Jaya Tak Izinkan Unjuk Rasa Omnibus Law Karena PSBB , Polda Metro Jaya tidak akan mengeluarkan izin untuk unjuk rasa dan kegiatan keramaian apa pun selama masa PSBB. Kombes. Pol. Drs. Yusri Yunus selaku Kabid Humas Polda Metro Jaya menegaskan hal ini dilakukan karena saat ini sedang dalam masa PSBB dan kasus COVID–19 di DKI Jakarta cukup tinggi. Meskipun demikian, perlu kami luruskan bahwa pelaksanaan demonstrasi tidak memerlukan izin dari pihak kepolisian , sebab untuk dapat melaksanakan aksi demonstrasi, pemimpin/penanggungjawab kelompok hanya wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Polri . [5] Pemberitahuan itu dilakukan selambat-lambatnya 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. [6] Jika dilihat dari sisi Hak Asasi Manusia (“HAM”), masih bersumber pada Kliping Berita Ketenagakerjaan di atas, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnas HAM”) menegaskan tidak ada pelanggaran HAM dengan tindakan pemerintah melarang masyarakat berkumpul akibat adanya penyebaran virus (hal. 100). Menurut Taufan Damanik Ketua Komnas HAM, standar HAM internasional maupun nasional memberikan wewenang pada pemerintah untuk membatasi, mengurangi, atau menunda hak asasi terkait kemerdekaan untuk berkumpul jumlah besar demi kepentingan keselamatan dan kesehatan masyarakat yang lebih luas (hal. 100). Sanksi Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan Di sisi lain, aksi demonstrasi yang mengakibatkan kerumunan masa yang rawan akan penyebaran COVID-19 berpotensi melanggar atau abai terhadap protokol kesehatan. Sebagai contoh, Pemerintah DKI Jakarta memberikan sanksi kerja sosial membersihkan sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi selama 60 menit atau denda administratif paling banyak sebesar Rp250 ribu bagi yang tidak menggunakan masker. [7] Selain itu, selama pemberlakuan PSBB di Jakarta penduduk dilarang melakukan kegiatan dengan jumlah lebih dari 5 orang di tempat atau fasilitas umum. [8] Atas pelanggaran berkerumun lebih dari 5 orang selama PSBB dikenakan sanksi berupa: [9] administratif teguran tertulis; sosial berupa membersihkan sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi; atau denda administratif paling sedikit Rp100 ribu dan paling banyak Rp250 ribu. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 101 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Di Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) REFERENSI:\n1. Pasca Maklumat Kapolri Dicabut, Polri Pastikan Tetap Awasi Protokol Kesehatan , diakses pada 21 Oktober 2020 pukul 17.00 WIB\n2. Kliping Berita Ketenagakerjaan , diakes pada 21 Oktober 2020 pukul 17:53 WIB. Polda Metro Jaya Tak Izinkan Unjuk Rasa Omnibus Law Karena PSBB , diakses pada 22 Oktober 2020 pukul 18.54 WIB. [1] Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“PP 21/2020”) [2] Pasal 4 ayat (1) PP 21/2020 [3] Pasal 6 PP 21/2020 [4] Bab II Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat Di Tempat Dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) , hal. 7- 8 [5] Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU 9/1998 [6] Pasal 10 ayat (3) UU 9/1998 [7] Pasal 5 ayat (1) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 [8] Pasal 13 ayat (1) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta [9] Pasal 11 ayat (1) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta karyawan ketenagakerjaan uu cipta kerja pekerja protokol kesehatan demo unjuk rasa uu ciptaker buruh hak asasi manusia omnibus law" }
{ "from": "human", "value": "Apakah sanksi administratif yang berupa denda yang dijatuhkan oleh suatu instansi wajib didahulukan pembayarannya dari piutang preferen dan piutang konkuren dalam kepailitan?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITKreditur Pemegang Corporate Guarantee, Konkuren atau Separatis?18 Mei 2022Adakah Aturan Besaran Harta Pailit bagi Kreditur Konkuren?17 Mei 2022Transparansi Daftar Piutang bagi Kreditur Kepailitan & PKPU16 Feb 2022Perbedaan Antara Kreditur Separatis dengan Kreditur Konkuren25 Apr 2012\n\nDalam UU Kepailitan, terdapat 3 jenis kreditur yaitu kreditur separatis, kreditur preferen, dan kreditur konkuren. Masing-masing kreditur tersebut menurut sifat piutangnya memiliki kedudukan tersendiri dalam proses pengurusan dan pemberesan kepailitan.\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, patut diketahui apa yang dimaksud dengan piutang preferen sebagaimana diatur dalam Pasal 1134 KUH Perdata yang menyatakan hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu.\nLebih lanjut, Pasal 1137 KUH Perdata mengatur bahwa hak didahulukan milik negara, kantor lelang dan badan umum lain yang diadakan oleh penguasa, tata tertib pelaksanaannya, dan lama jangka waktunya, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang berhubungan dengan hal-hal itu. Hak didahulukan milik persekutuan atau badan kemasyarakatan yang berhak atau yang kemudian mendapat hak untuk memungut bea-bea, diatur dalam undang-undang yang telah ada mengenai hal itu atau yang akan diadakan.\n\nBaca juga: Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan\nSanksi Administratif Termasuk Jenis Piutang Apa?\n\nAdapun apabila substansi peraturan perundang-undangan merupakan lingkup hukum administrasi, penerapan sanksi administratiflah yang paling efektif jika terjadi pelanggaran.[1]\n\nBerdasarkan pengamatan dari berbagai peraturan perundang-undangan dan literatur, ada beberapa macam sanksi administratif, yaitu:[2]\n\nPeringatan/teguran lisan;Peringatan/teguran tertulis;Tindakan paksa pemerintahan (bestuursdwang/politie dwang);Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan;Denda administratif;Pengenaan uang paksa (dwangsom).\n\nSebagai contoh, sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Pasal 57 ayat (2) UU PDP yang dijatuhkan oleh lembaga penyelenggaraan pelindungan data pribadi adalah sebagai berikut:[3]\n\nperingatan tertulis;penghentian sementara kegiatan pemrosesan data pribadi;penghapusan atau pemusnahan data pribadi; dan/ataudenda administratif.\n\nKemudian menyambung pertanyaan Anda, dikarenakan tidak secara spesifik disebutkan oleh instansi apa yang mengenakannya, kami berasumsi sanksi administratif tersebut diberikan oleh pemerintah atas pelanggaran yang bersifat administratif.\n\nLantas, menjawab pertanyaan Anda, apakah sanksi administratif yang berupa denda yang dijatuhkan oleh pemerintah wajib didahulukan pembayarannya dari piutang preferen dan piutang konkuren dalam kepailitan? Kami berpendapat sepanjang sanksi administratif yang berbentuk denda didasari oleh undang-undang khusus, maka sanksi denda administratif tersebut dapat dikategorikan sebagai piutang yang diistimewakan (piutang preferen) dan dibayarkan lebih dahulu daripada piutang konkuren.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20144/node/19/uu-no-37-tahun-2004-kepailitan-dan-penundaan-kewajiban-pembayaran-utang?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_37_2004)\n3. [Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt634e841e24ca9/undang-undang-nomor-27-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_27_2022)\nREFERENSI:\n1. Wicipto Setiadi. Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 4, Desember 2009.\n\n[1] Wicipto Setiadi. Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 4, Desember 2009, hal. 605-606[2] Wicipto Setiadi. Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 6 No. 4, Desember 2009, hal. 608[3] Pasal 57 ayta (4) jo. Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi" }
{ "from": "human", "value": "Apakah UU Desa hanya berlaku bagi yang punya desa? Maksudnya, bagaimana dengan daerah yang tidak menyebutnya dengan istilah “Desa”, desa itu oleh masyarakat kami disebut “Lembang”. Selama ini kami masih menjunjung tradisi adat, belum mengganti nama menjadi desa. Kalau begitu kami tidak tunduk pada UU Desa?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Pemerintah Desa Melakukan Pungutan dari Masyarakat, Bolehkah? 11 Okt 2022 Apa Itu Dusun dan Cara Pembentukannya 25 Jan 2022 Bolehkah Kepala Desa Mengganti Seluruh Perangkat Desa? 20 Feb 2017 Syarat dan Ketentuan Pembentukan Suatu Desa 12 Jan 2017 Intisari: Penyebutan Desa atau Desa Adat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat, seperti: desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Lembang berdasarkan penelusuran kami merupakan sebutan lain dari Desa yaitu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam sistem Pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten Tana Toraja . Jadi, apapun nama lain dari desa pada suatu daerah tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa karena pada dasarnya hanya penyebutan nama saja yang berbeda. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pengertian Desa Guna menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kita perlu mengetahui apa definisi desa menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”) . Yang disebut dengan desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain , selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. [1] Nama Lain Desa Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota. [2] Desa terdiri atas: [3] a. Desa; dan b. Desa Adat. Penyebutan Desa atau Desa Adat tersebut disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat . [4] Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “ Zelfbesturende landschappen ” dan “ Volksgemeenschappen ”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. [5] Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. [6] Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa ( founding fathers ) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. [7] Berdasarkan pernyataan Anda soal penyebutan istilah desa sebagai “Lembang”, ini artinya “Lembang” merupakan sebutan lain desa di daerah Anda. Karena masih menjunjung tinggi tradisi adat, kami berasumsi bahwa itu merupakan Desa Adat. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, apapun nama lain dari desa pada suatu daerah tetap mengacu pada UU Desa karena pada dasarnya hanya penyebutan nama saja yang berbeda. Lembang berdasarkan penelusuran kami merupakan sebutan lain dari Desa yaitu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam sistem Pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten Tana Toraja . [8] Jadi, lembang sebagai nama lain dari desa di Kabupaten Tana Toraja tetap mengacu pada UU Desa. Penetapan Desa Adat Sebagai tambahan informasi untuk Anda, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat . [9] Penetapan Desa Adat memenuhi syarat: [10] a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional; b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan c. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya: [11] a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; b. pranata pemerintahan adat; c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau d. perangkat norma hukum adat. Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. [12] Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung. [13] Kemudian perlu diketahui bahwa status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi Desa, dan Desa Adat dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. [14] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ; 2. Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pemilihan Kepala Lembang Dalam Kabupaten Tana Toraja. [1] Pasal 1 angka 1 UU Desa [2] Pasal 5 UU Desa [3] Pasal 6 ayat (1) UU Desa [4] Pasal 6 ayat (2) UU Desa [5] Penjelasan Umum UU Desa [6] Penjelasan Umum UU Desa [7] Penjelasan Umum UU Desa [8] Pasal 1 huruf e Peraturan Daerah Kabupaten Tana Toraja Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pemilihan Kepala Lembang Dalam Kabupaten Tana Toraja [9] Pasal 96 UU Desa [10] Pasal 97 ayat (1) UU Desa [11] Pasal 97 ayat (2) UU Desa [12] Pasal 98 ayat (1) UU Desa [13] Pasal 98 ayat (2) UU Desa [14] Pasal 100 ayat (1) UU Desa budaya hukumonline google desa adat makassar masyarakat hukum adat kebudayaan kepala desa klinik hukumonline tata negara hukum klinik desa hukum adat imigrasi uu desa palembang adat" }
{ "from": "human", "value": "Yth. Staf hukumonline April lalu saat kakak saya mengurus dokumen kelengkapan surat-surat untuk mobil baru di Samsat Jakbar. Oleh pihak Samsat diberikan TNKB (plat nomor) yang desain, bentuk, dan ukurannya berbeda dengan yang selama ini beredar resmi. Perbedaannya yaitu: ukuran panjang menjadi 420 mm (lebih panjang 35 mm), tanpa garis pembatas antara ruang nomor polisi dengan ruang angka masa berlaku, huruf lebih tinggi, menggunakan garis pembatas di sekelilingnya. Sedangkan menurut peraturan berikut: Pasal 178 PP 44 Tahun 1993, bentuk, ukuran, bahan, warna, dan cara pemasangan tanda nomor kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ayat (3) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. berbentuk lempengan tipis persegiempat, dengan ukuran panjang 250 milimeter dan lebar 105 milimeter untuk sepeda motor dan ukuran panjang 395 milimeter serta lebar 135 milimeter untuk kendaraan jenis lainnya serta ditambahkan tempat untuk pemasangan tanda uji; b. terbuat dari bahan yang cukup kuat serta tahan terhadap cuaca, yang pada permukaannya berisi huruf dan angka yang dibuat dari bahan yang dapat memantulkan cahaya; c. tinggi huruf dan angka pada tanda nomor kendaraan bermotor yang dituliskan pada lempengan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sekurang-kurangnya 45 milimeter untuk sepeda motor, dan 70 milimeter untuk kendaraan bermotor jenis lainnya. Pertanyaan saya: - apakah TNKB desain baru tersebut benar-benar TNKB yang resmi dan sah, dikeluarkan oleh kepolisian? - kalau memang benar, mengapa tidak sesuai dengan peraturan yang masih berlaku? - apakah sudah keluar peraturan baru yang menggantikan PP 44 Tahun 1993?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terkait dengan pertanyaan Anda, Hukumonline mencoba untuk meminta keterangan dari Direktorat Lalu Lintas (\"Ditlantas\") Polda Metro Jaya pada Selasa, 31 Mei 2011. Menurut Perwira Administrasi Materiil Ditlantas Polda Metro Eddy Susilo, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (“TNKB”) dengan desain yang baru yaitu adanya perubahan pada ukuran serta warna dasar adalah resmi dan sah dikeluarkan oleh Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”) . Pihak Ditlantas Polda Metro juga membenarkan bahwa desain baru TNKB tersebut berbeda dengan desain dan spesifikasi TNKB yang diatur dalam PP No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi . KLINIK TERKAIT Bantuan Biaya Pengobatan Korban Kecelakaan 06 Apr 2011 Kecelakaan yang Menyebabkan Korban Meninggal 23 Mar 2011 Pertanggungjawaban Pelanggar Lalu Lintas 23 Mar 2011 Denda Sidang Tilang di Pengadilan 01 Nov 2010 Perubahan pada TNKB tersebut diberlakukan sejak adanya surat telegram dari Kapolri kepada para Kepala Polisi Daerah (“Polda”) No: ST/810/IV/2011 tertanggal 25 April 2011 tentang Perubahan Spesifikasi Teknis TNKB dan TCKB (“Surat Kapolri”). Dalam surat tersebut diberitahukan antara lain bahwa dalam pengadaan Tahun 2011 pada spesifikasi teknis material TNKB dan TCKB (Tanda Coba Kendaraan Bermotor) ada perubahan pada ukuran serta warna dasar. Sedangkan, pada material STNK ada perubahan pada warna nomor seri STNK (poin CCC Surat Kapolri). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selanjutnya, dalam poin EEE Surat Kapolri dinyatakan bahwa berkaitan dengan perubahan spesifikasi teknis TNKB, TCKB dan STNK pengadaan tahun 2011 dimaksud, agar para Direktur Lalu Lintas (“Dirlantas”) Polda melaksanakan sosialisasi secara internal maupun eksternal, mengingat perubahan spesifikasi teknis tersebut terkait dengan fungsi penegakan hukum lalu lintas di jalan, khususnya penegakan hukum dengan sistem Electronic Law Enforcement (ELE) . Jadi, surat Kapolri tersebutlah yang mendasari adanya perubahan pada TNKB saat ini. Kami tidak memperoleh keterangan lebih jauh apakah Kapolri akan mengeluarkan dasar hukum yang lebih kuat sehubungan dengan desain TNKB yang baru tersebut. Karena sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (6) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan , ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia . Demikian pula mengenai mengenai spesifikasi teknis TNKB baru, kami tidak mendapatkan informasi mengenai hal tersebut dari pihak Ditlantas Polda Metro . Namun, dari berbagai pemberitaan media massa kita dapat mengetahui spesifikasi teknis TNKB baru. Dalam situs sapos.co.id misalnya yang mengutip Kepala Sub-Direktorat Administrasi, Registrasi dan Identifikasi Polda Kalimantan Timur AKBP Noviar, dijelaskan bahwa spesifikasi TNKB baru sebagai berikut: - Warna dasar lebih pekat mengkilat. - Untuk plat R2 (roda dua) lebih panjang 2,5 cm dan lebar 0,5 cm. - Plat  R4 (roda empat) lebih panjang 3,5 cm dan lebar 0,5 cm. - Garis pembatas antara nomor plat dan nomor bulan tahun pajak hilang. - Ada list timbul di sekeliling plat yang ukurannya lebih besar Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Apakah DeKom, Direksi, dan Pejabat struktural di suatu perusahaan yang merupakan anak perusahaan dari suatu BUMN dapat dikategorikan sebagai Penyelenggara Negara, Pejabat Negara, ataupun Pegawai Negara?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Perbedaan Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan Serta Contohnya 29 Apr 2024 Jerat Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi 21 Nov 2023 Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi 23 Mei 2023 Bolehkah PNS Punya Usaha Sampingan? 12 Jan 2023 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “Kategori Penyelenggara Negara, Pejabat Negara, dan Pegawai Negeri” yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Rabu, 10 Oktober 2012. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Intisari: Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, baik itu menyangkut penyelenggara negara, pejabat negara, maupun pegawai negeri sipil; tidak disebutkan bahwa anggota dewan komisaris maupun direksi dari anak perusahaan BUMN merupakan penyelenggara negara, pejabat negara, maupun pegawai negeri sipil/pegawai negara. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk dapat menjawab pertanyaan Anda, terlebih dulu kita harus mengetahui pengertian penyelenggara negara, pegawai negara/pegawai negeri, dan pejabat negara. Penyelenggara Negara Pengertian penyelenggara Negara dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU 28/1999”) , yang menyatakan sebagai berikut: Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara, Penyelenggara Negara itu sendiri meliputi: [1] 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan \"pejabat lain yang memiliki fungsi strategis\" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: 1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) dan Badan Usaha Milik Daerah; 2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional; 3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; 4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 5. Jaksa; 6. Penyidik; 7. Panitera Pengadilan; dan 8. Pemimpin dan bendaharawan proyek. Perlu diketahui pula bahwa anak perusahaan BUMN bukan termasuk BUMN. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Adapun pengertian dari anak perusahaan BUMN diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-03/MBU/2012 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“Permeneg BUMN 3/2012”). Di dalam Pasal 1 angka 2 Permeneg BUMN 3/2012 dijelaskan bahwa Anak Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN. In i berarti jelas bahwa anak perusahaan BUMN tidak termasuk BUMN karena sahamnya tidak dimiliki oleh negara, tetapi oleh BUMN . Penjelasan selengkapnya bisa disimak dalam artikel Status Hukum Anak Perusahaan BUMN . Berdasarkan ketentuan ini, anggota dewan komisaris atau direksi dari anak perusahaan BUMN tidak termasuk sebagai penyelenggara Negara. Pegawai Negara/Pegawai Negeri Kemudian, pengertian pegawai negeri dan pejabat negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) . Pegawai negeri yang disebut dalam UU ASN adalah Pegawai Negeri Sipil (“PNS”). Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (“Pegawai ASN”) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. [2] Sedangkan yang dimaksud dengan Pegawai ASN adalah PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. [3] Melihat definisi baik PNS maupun Pegawai ASN di atas dapat kita ketahui bahwa anggota dewan komisaris atau direksi dari anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) tidak termasuk keduanya karena bukan menduduki jabatan pemerintahan. Pejabat Negara Perlu diketahui bahwa Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara. [4] Sedangkan, siapa saja yang termasuk pejabat negara dijelaskan dalam Pasal 122 ASN , yaitu: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j. Menteri dan jabatan setingkat menteri; k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l. Gubernur dan wakil gubernur; m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang . Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, tidak disebutkan bahwa anggota dewan komisaris maupun direksi dari anak perusahaan BUMN merupakan penyelenggara negara, pejabat negara, maupun pegawai negeri/pegawai negara. Kemudian, di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BUMN maupun anak perusahaan BUMN juga tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa anggota dewan komisaris maupun direksi dari anak perusahaan BUMN merupakan penyelenggara negara, pejabat negara, maupun pegawai negeri. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ; 2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara ; 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme . [1] Pasal 2 UU 28/1999 [2] Pasal 1 angka 3 UU ASN [3] Pasal 1 angka 2 UU ASN [4] Pasal 121 UU ASN direksi" }
{ "from": "human", "value": "Apakah direktur asing wajib menjadi peserta jamsostek? Sampai batas usia berapa? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 22 Mei 2013. KLINIK TERKAIT Jabatan-Jabatan TKA yang Dapat Memperoleh KITAP 20 Okt 2023 Izin Mendirikan Kantor Perusahaan Asing 05 Jun 2023 Syarat Mempekerjakan Pilot Asing di Indonesia 14 Jan 2021 Bolehkah TKA Menjabat Sebagai Presiden Direktur? 16 Jun 2020 Intisari: Ada Direktur yang diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1) UUPT , ada yang tidak diangkat melalui RUPS (diangkat oleh Direktur Utama). Bagi Direktur asing yang diangkat oleh Direktur Utama sehingga berstatus sebagai pekerja, maka perusahaan wajib mengikutsertakan Direktur tersebut sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”). Sedangkan Direktur asing yang diangkat melalui RUPS ( hubungan hukum korporasi ), ia wajib mendaftarkan dirinya sendiri dan anggota keluarnya sebagai peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Jabatan Anggota Direksi (Direktur) Pertama-tama kami ingin menjelaskan terlebih dahulu apakah jabatan Direktur/anggota Direksi termasuk ke dalam pengertian tenaga kerja yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) atau tidak. Umar Kasim dalam artikelnya yang berjudul Karyawan Diangkat Jadi Direksi mengatakan bahwa ada perbedaan ketentuan hukum antara seorang karyawan (pekerja/buruh) dalam hubungan kerja dengan Direksi (cq. anggota Direksi) dalam hubungan hukum korporasi ( corporate law ). Walaupun menurut Prof. Iman Soepomo , karyawan dan anggota Direksi semuanya merupakan tenaga kerja ( Hukum Perburuhan /XVIII, 2001, hal. 3, lihat juga Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan ). Lebih lanjut, Umar Kasim menjelaskan jika seorang karyawan bekerja dalam hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja), maka tentunya tunduk pada UU Ketenagakerjaan, yakni UU Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Sedangkan, seorang anggota Direksi yang bekerja dalam hubungan hukum korporasi (berdasarkan anggaran dasar) tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Lebih jauh mengenai perbedaan antara karyawan dengan angota Direksi dapat Anda baca lebih lanjut dalam artikel Umar Kasim yang berjudul Karyawan Diangkat Jadi Direksi . Oleh karena seorang anggota Direksi yang bekerja dalam hubungan hukum korporasi tunduk pada UUPT, maka ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya tidak berlaku bagi anggota Direksi. Akan tetapi, perlu dilihat juga sebelumnya, apakah Direktur/anggota Direksi asing tersebut diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1) UUPT atau tidak diangkat melalui RUPS. Kemalsjah Siregar , Praktisi Hukum Ketenagakerjaan, dalam artikel yang berjudul Mantan Direktur Gugat Pewaralaba Papa Ron's Pizza , menandaskan perlunya dibedakan perlakuan antara Direksi yang diangkat melalui RUPS dengan Direksi yang diangkat oleh Direktur . Kemalsjah Siregar menjelaskan bahwa jika seseorang beroleh jabatan sebagai Direksi lewat mandat RUPS, maka ia wajib tunduk pada ketentuan UUPT . Jadi, kalau ada sengketa seputar pengangkatan maupun pemberhentian Direksi, upaya hukumnya ke Pengadilan Negeri. Lain halnya kalau jabatan Direksi diperoleh karena sikap 'murah hati' seorang Direktur Utama. Apapun alasannya, entah karena prestasi kerja, promosi atau apapun. Sepanjang seorang Direktur itu diangkat oleh Direktur Utama, maka dia tetap berstatus sebagai pekerja, karena unsur upah, perintah kerja dan pekerjaan telah terpenuhi . Artinya jika kemudian hari ada sengketa, Pengadilan Hubungan Industrial berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini. Lebih lanjut, Kemalsjah Siregar mengatakan untuk mengetahui apakah seorang Direksi itu diangkat melalui RUPS atau bukan, hal tersebut bukan perkara sulit. Lihat saja Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (“AD/ART”), perubahan AD/ART-nya atau akta berita acara RUPS. Kalau nama si Direksi tidak ada, berarti dia diangkat oleh Direktur Utama. Artinya, dia adalah pekerja. Oleh karena itu, jika anggota Direksi asing ini diangkat tidak melalui RUPS dan berdampak pada statusnya sebagai tenaga kerja, maka peraturan ketenagakerjaan berlaku padanya. Jaminan Sosial Bagi Anggota Direksi Mengenai jaminan sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”) . Dengan UU BPJS ini dibentuk 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”), yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. [1] Pada dasarnya, setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial . [2] Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS , sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS. [3] Ini berarti, dalam hal Direktur asing tersebut merupakan pekerja karena diangkat oleh Direktur Utama, sebagaimana diuraikan di atas, maka perusahaan wajib mendaftarkan Direktur tersebut sebagai peserta BPJS. Adapun sanksi jika perusahaan selain penyelenggara negara tidak melaksanakan kewajiban mendaftarkan pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS adalah sanksi administratif . [4] Sanksi administratif itu dapat berupa: [5] a. teguran tertulis; -> dilakukan oleh BPJS. b. denda; dan/atau -> dilakukan oleh BPJS. c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu. -> dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah atas permintaan BPJS. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara meliputi: [6] a. perizinan terkait usaha; b. izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek; c. izin memperkerjakan tenaga kerja asing; d. izin perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; atau e. Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kemudian bagaimana dengan anggota Direksi yang diangkat melalui RUPS ( hubungan hukum korporasi )? Pada dasarnya setiap orang , selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran , yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS , sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. [7] Seperti layaknya pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS, setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran yang tidak mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai peserta kepada BPJS, juga dikenai sanksi administratif. [8] Sanksi administratif dapat berupa: [9] a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial meliputi: [10] a. Izin Mendirikan Bangunan (IMB); b. Surat Izin Mengemudi (SIM); c. sertifikat tanah; d. paspor; atau e. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Jadi, baik bagi Direktur asing yang tidak diangkat melalui RUPS maupun yang diangkat melalui RUPS, keduanya wajib diikutsertakan dalam program jaminan sosial. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-X/2012 [1] Pasal 5 dan Pasal 6 UU BPJS [2] Pasal 14 UU BPJS [3] Pasal 15 ayat (1) UU BPJS jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-X/2012 [4] Pasal 17 ayat (1) UU BPJS dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial (“PP 86/2013”) [5] Pasal 17 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU BPJS serta Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 PP 86/2013 [6] Pasal 9 ayat (1) PP 86/2013 [7] Pasal 16 ayat (1) UU BPJS dan Pasal 4 ayat (1) PP 86/2013 [8] Pasal 5 ayat (1) PP 86/2013 [9] Pasal 5 ayat (2) PP 86/2013 [10] Pasal 9 ayat (2) PP 86/2013 hukumonline google ketenagakerjaan direktur bpjs bpjs ketenagakerjaan hukum klinik perusahaan klinik hukumonline bpjs kesehatan direksi" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan apakah dokter dalam menjalankan tugas kedokteran termasuk dalam pengertian pelaku usaha menurut undang-undang perlindungan konsumen? Jika benar dasar hukumnya apa? Dan bagaimana kedudukan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terhadap UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (apakah merupakan lex specialis dari UUPK)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pasal 1 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU No. 8/1999”) menyatakan bahwa definisi pelaku usaha adalah: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi “ Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Penjelasan pasal ini selanjutnya menyatakan bahwa yang termasuk dalam pengertian pelaku usaha di undang-undang ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Selanjutnya dalam pasal 13 UU No. 8/1999 menyebutkan bahwa seorang pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Dari rumusan pasal ini dapat kita simpulkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan jasa yang tunduk pada UU No. 8/1999 ini. Dengan demikian, pada saat seorang dokter memberikan jasa pelayanan kesehatan, dan menerima pembayaran untuk jasa yang diberikannya tersebut, seorang dokter dapat disebut sebagai pelaku usaha. Hal ini juga dinyatakan oleh Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dalam wawancara per telepon. Menurut Sudaryatmo, dokter termasuk dalam jasa profesional, dan oleh karena itu termasuk sebagai pelaku usaha dalam perlindungan konsumen. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU No. 29/2004”) dapat dikatakan sebagai lex specialis (hukum yang khusus) dari UU No. 8/1999, sepanjang untuk pengaturan mengenai perlindungan konsumen. Dalam pasal 3 UU No. 29/2004 disebutkan bahwa p engaturan praktik kedokteran tujuannya adalah: 1. memberikan perlindungan kepada pasien 2. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi 3. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi Oleh karena itu, menurut kami UU No. 29/2004 dapat dikatakan sebagai lex specialis dari UU No. 8/1999 , sepanjang untuk pengaturan mengenai perlindungan konsumen. Hal ini diperkuat dalam Penjelasan UU No. 8/1999 yang menyatakan bahwa UU tersebut merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen, dan masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran" }
{ "from": "human", "value": "Istri saya seorang dosen berstatus PNS. Apakah ia berhak mengajukan cuti tahunan, seperti PNS lainnya? Apakah ada aturan terkait hal itu? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”) , Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) , Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen (“PP Dosen”) , dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) . Keberadaan Dosen sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. [1] Sementara itu, PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara (“ASN”) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. [2] Pegawai ASN adalah PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. [3] Sementara itu, menurut Pasal 21 UU ASN dinyatakan bahwa: PNS berhak memperoleh: gaji, tunjangan, dan fasilitas; cuti ; jaminan pensiun dan jaminan hari tua; perlindungan; dan pengembangan kompetensi. Pasal 76 ayat (1) UU 14/2005 menerangkan bahwa dosen memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut hemat kami, maka dari itu, dosen berstatus PNS berhak atas ketentuan cuti yang berlaku bagi PNS pada umumnya. Cuti yang dapat digunakan oleh PNS, adalah: [4] cuti tahunan ; cuti besar; cuti sakit; cuti melahirkan; cuti karena alasan penting; cuti bersama; dan cuti di luar tanggungan negara. Khusus bagi dosen , juga terdapat cuti khusus untuk dosen, yaitu cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan/atau olahraga dengan tetap memperoleh gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lainnya berupa tunjangan profesi, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen secara penuh. [5] Terkait dengan cuti tahunan, PP 11/2017 mengatur mengenai lamanya cuti tahunan. Hal tersebut sebagaimana diatur pada Pasal 311 PP 11/2017 yang menyatakan: PNS dan calon PNS yang telah bekerja paling kurang 1 (satu) tahun secara terus menerus berhak atas cuti tahunan. Lamanya hak atas cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 12 (dua belas) hari kerja . Untuk menggunakan hak atas cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), PNS atau calon PNS yang bersangkutan mengajukan permintaan secara tertulis kepada PPK atau pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk memberikan hak atas cuti tahunan. Hak atas cuti tahunan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diberikan secara tertulis oleh PPK atau pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk memberikan hak atas cuti tahunan. Pasal 313 PP 11/2017 juga menjelaskan bahwa: Hak atas cuti tahunan yang tidak digunakan dalam tahun yang bersangkutan, dapat digunakan dalam tahun berikutnya untuk paling lama 18 (delapan belas) hari kerja termasuk cuti tahunan dalam tahun berjalan. Hak atas cuti tahunan yang tidak digunakan 2 (dua) tahun atau lebih berturut-turut, dapat digunakan dalam tahun berikutnya untuk paling lama 24 (dua puluh empat) hari kerja termasuk hak atas cuti tahunan dalam tahun berjalan. Khusus terhadap guru dan dosen yang berstatus sebagai seorang PNS, PP 11/2017 mengatur lebih lanjut terkait cuti tahunan guru dan dosen PNS berhubungan dengan adanya waktu liburan bagi seorang guru ataupun dosen yang berstatus PNS. Pasal 315 PP 11/2017 menyebutkan: PNS yang menduduki jabatan guru pada sekolah dan jabatan dosen pada perguruan tinggi yang mendapat liburan menurut peraturan perundang-undangan, disamakan dengan PNS yang telah menggunakan hak cuti tahunan . Menurut hemat kami, artinya bagi seorang guru dan/atau dosen berstatus PNS yang mendapatkan waktu liburan disamakan dengan PNS yang telah mengambil cuti tahunan. Baca juga: Apakah Liburan Guru dan Dosen PNS Memotong Cuti Tahunan? Untuk menjawab pertanyaan Anda, seorang dosen berstatus PNS berhak mendapatkan cuti tahunan , karena setiap PNS memiliki hak untuk mendapatkan cuti, termasuk di dalamnya cuti tahunan. Terhadap liburan yang didapatkan seorang dosen PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan, akan disamakan dengan PNS yang sedang mengambil cuti tahunan. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil [1] Pasal 1 angka 2 UU 14/2005 [2] Pasal 1 angka 3 UU ASN dan Pasal 1 angka 4 PP 11/2017 [3] Pasal 1 angka 2 UU ASN dan Pasal 1 angka 3 PP 11/2017 [4] Pasal 310 PP 11/2017 [5] Pasal 32 ayat (1) PP Dosen hukumonline lembaga pemerintah pegawai negeri sipil cuti pns dosen pendidikan dan kebudayaan" }
{ "from": "human", "value": "Ada teman yang sudah insyaf dan tidak judi togel lagi. Tiba-tiba didatangi polisi dan ditangkap. Polisi menyita buku rekening dan atm sebagai bukti judi online dan meminta key bca yang sudah hilang. Padahal teman saya sudah 2-4 bulan tidak judi. Apakah masih bisa dituntut? Karena memang tidak tertangkap tangan sedang berjudi. Pasal hukum apa yang bisa dituntut ke teman saya? Terima kasih" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Yang menentukan apakah teman Anda dapat dituntut pidana atau tidak bukanlah apakah teman Anda sudah bertobat/tidak melakukan judi online lagi, melainkan apakah perbuatan teman Anda memenuhi unsur dari pasal yang mengaturnya dan apakah sudah daluarsa atau belum penuntutan atas tindak pidana tersebut. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Di Indonesia, mengenai judi online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”): Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Membuat Website Judi Online 17 Jul 2024 Apakah Trading Sama dengan Judi? 12 Feb 2024 Perbedaan Game Online dengan Judi Online 27 Okt 2023 Jerat Hukum Judi Online : Penjara hingga Denda Rp1 Miliar 23 Mei 2022 Hukuman pidana bagi orang yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain ( Pasal 36 UU ITE ), hukumannya menjadi lebih berat sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Selama perbuatan teman Anda yang dulu dia lakukan (sebelum tidak melakukan judi lagi) memenuhi unsur Pasal 27 ayat (2) UU ITE, maka teman Anda tetap dapat dituntut dan dihukum . Kecuali, penuntutan tersebut dilakukan setelah daluarsa penuntutan atau teman Anda meninggal dunia atau perkara ini sudah pernah dilakukan penuntutan dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap ( ne bis in idem ). Lebih lanjut mengenai hal-hal yang bisa menghentikan penuntutan, dapat dilihat di artikel Apakah Proses Hukum Bisa Dihentikan Jika Tersangka Sakit? Mengenai daluarsa penuntutan pidana dapat dilihat dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : (1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: 1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; 2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; 3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun ; 4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. (2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga. Sedangkan mengenai hapusnya kewenangan menuntut pidana karena tertuduh meninggal dunia, diatur dalam Pasal 77 KUHP . Melihat pada uraian di atas, berarti teman Anda tidak bisa dituntut lagi setelah 12 tahun atau jika ia telah meninggal dunia. Jadi yang menentukan apakah teman Anda dapat dituntut pidana atau tidak bukanlah apakah teman Anda sudah bertobat/tidak melakukan judi online lagi, tetapi apakah perbuatan teman Anda memenuhi unsur dari pasal yang mengaturnya dan apakah sudah daluarsa atau belum penuntutan atas tindak pidana tersebut. Kemudian mengenai teman Anda yang tidak tertangkap tangan, pada dasarnya penuntutan dapat dilakukan jika berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan, memang ada tindak pidana dan ada tersangkanya. Bisa saja ada yang melaporkan mengenai judi online ini ke polisi, dan polisi melakukan penyelidikan sebagai tindak lanjut dari pelaporan tersebut untuk melihat apakah memang ada tindak pidana judi online atau tidak (pengertian penyelidikan lihat Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana – “KUHAP” ). Kemudian setelah diketahui bahwa memang ada tindak pidana judi online , polisi melakukan penyidikan untuk menemukan tersangkanya (lihat Pasal 1 angka 2 KUHAP ). Setelah ditemukan siapa tersangkanya, polisi bisa melakukan penangkapan dan penyitaan ( Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP ) Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup ( Pasal 17 KUHAP ). Lebih lanjut dapat dilihat dalam artikel Fungsi Penangkapan dan Penahanan dalam Proses Penyidikan dan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan . Sedangkan penyitaan dapat dikenakan terhadap (lihat Pasal 39 ayat (1) KUHAP ): a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya ; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana ; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan . Lebih lanjut tentang penyitaan, dapat dilihat dalam artikel Akibat Hukum Jika Benda Disita Penyidik dan Masalah Penyitaan dan Benda Sitaan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . hukum perjudian judi online klinik hukumonline hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Apakah perbedaaan antara upaya hukum yang biasa dikenal seperti Banding. Kasasi, atau Peninjauan Kembali dengan Eksaminasi Putusan? Apakah Eksaminasi Putusan tersebut dapat mengubah putusan hakim seperti halnya upaya hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Eksaminasi  putusan pengadilan tidak mengubah putusan majelis hakim .  Eksaminasi berbeda dengan upaya hukum, upaya hukum dalam konteks peradilan pidana adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan hakim yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan harapan putusan hakim bisa berubah. Sedangkan eksaminasi adalah suatu bentuk pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Upaya Hukum Kami asumsikan upaya hukum dan eksaminasi putusan yang dimaksud dalam pertanyaan Anda adalah dalam konteks peradilan pidana. Untuk menjawabnya, kami berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. [1] Upaya hukum terdiri dari: Upaya hukum biasa [2] Banding; dan Kasasi. Upaya hukum luar bias a [3] Kasasi Demi Kepentingan Hukum; dan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Eksaminasi Menurut Emerson Yuntho , dkk dalam bukunya Panduan Eksaminasi Publik (hal.19) yang kami akses dari laman Indonesia Corruption Watch , i stilah eksaminasi berasal dari bahasa Inggris examination yang berarti ujian atau pemeriksaan. Dalam Black’s Law Dictionary eksaminasi diartikan sebagai an investigation; search; inspection; interrogation . Apabila dihubungkan dengan konteks eksaminasi terhadap produk peradilan (dakwaan, putusan), maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan (jaksa) atau putusan pengadilan (hakim) . Eksaminasi sering disebut dengan legal annotation yaitu pemberian catatan-catatan hukum terhadap putusan pengadilan maupun dakwaan jaksa. Pada dasarnya proses yang dilakukan hampir sama dengan eksaminasi. Namun pada perkembanganya eksaminasi biasanya merupakan gabungan lebih dari 1 (satu) legal annotation . Essensi dari eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) dan atau dakwaan (jaksa) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat untuk mendorong para hakim/jaksa agar membuat putusan/dakwaan dengan pertimbangan yang baik dan professional. [4] Sebagai suatu pengawasan, eksaminasi bukanlah satu-satunya pengawasan yang ada di pengadilan. Masih banyak pengawasan lain yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal. [5] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengamanatkan adanya sebuah pengawasan di lembaga peradilan. Mahkamah Agung(“MA”) melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan oleh MA adalah dengan melakukan eksaminasi terhadap putusan yang dihasilkan oleh hakim. Eksaminasi bukanlah hal baru dalam dunia peradilan. [6] Jadi eksaminasi putusan adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Lantas apakah eksaminasi tersebut dapat mengubah putusan hakim? Artikel Lembaga Eksaminasi, Cara 'Menghukum' Hakim Nakal menjelaskan bahwa lembaga eksaminasi putusan pengadilan tidak mengubah putusan majelis hakim . Tetapi majelis hakim yang salah memutuskan dapat dikenakan sanksi. Ketua Umum Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Laksanto Utomo mengatakan bahwa apabila tim eksaminasi yang memutuskan seorang hakim tidak kredibel saat memutus perkara, maka MA wajib tunduk terhadap rekomendasi yang diputuskan tim eksaminasi untuk selanjutnya menjatuhkan sanksi kepada hakim yang bersangkutan. Masih bersumber dari artikel yang sama, menurut Hakim Agung, Gayus Lumbuun , putusan hakim tidak bisa dipermasalahkan . Tapi hakimnya harus dipersoalkan. Eksaminasi putusan tidak membatalkan putusan hakim, tapi hanya mempersoalkan hakim-hakim yang tidak kredibel dan berkualitas. Jadi menjawab pertanyaan Anda, eksaminasi  putusan pengadilan tidak mengubah putusan majelis hakim. Eksaminasi berbeda dengan upaya hukum, upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan hakim yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan harapan putusan hakim bisa berubah. Sedangkan eksaminasi adalah suatu bentuk pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Referensi : Emerson Yuntho, Aris Purnomo dan Wasingatu Zakiyah. 2011. Panduan Eksaminasi Publik. Jakarta: Indonesia Corruption Watch [1] Pasal 1 angka 12 KUHAP [2] Bab XVII KUHAP [3] Bab XVIII KUHAP [4] Emerson Yuntho, dkk. Hal. 19 [5] Emerson Yuntho, dkk. Hal. 19 [6] Emerson Yuntho, dkk. Hal. 20 acara peradilan pengadilan hukumonline google upaya hukum banding putusan hakim peninjauan kembali putusan hukum klinik hakim klinik hukumonline kasasi pidana" }
{ "from": "human", "value": "Debitur dan kreditur mengikatkan diri dalam perjanjian utang dan membuat perikatan jaminan fidusia atas aset debitur. Debitur default dan kreditur selaku penerima fidusia melakukan eksekusi kemudian menjual aset tersebut ke pihak ke-3. Pasal 1A angka 1 UU PPN menyatakan penyerahan BKP terutang PPN. Pertanyaannya: 1. Apakah termasuk juga penjualan aset debitur yang dilakukan kreditur karena debitur default? 2. Apa yang dimaksud Pasal 1A angka 2 huruf b UU PPN?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penjualan Barang Kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Berdasarkan Pasal 1A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU 42/2009”) , yang termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak adalah pengalihan barang kena pajak, antara lain, mencakup: penyerahan hak atas barang karena suatu perjanjian, meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran dan/atau perjanjian lainnya yang mengakibatkan peralihan hak atas barang tersebut ; pengalihan barang kena pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha ( leasing ) Apabila barang tersebut diambil dan dijual kembali, maka akan dikenakan PPN, karena telah terjadi perpindahan hak atas barang kena pajak. Selain itu, patut diperhatikan pula Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-129/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Transaksi Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi dan Transaksi Penjualan dan Penyewagunausahaan Kembali (\"SE Dirjen Pajak 129/2010”) . Berikut poin penting dalam surat edaran tersebut: [1] ketika barang kena pajak adalah barang modal yang menjadi objek pembiayaan dan berasal dari pemasok ( supplier ), maka: barang kena pajak dianggap diserahkan secara langsung oleh pengusaha kena pajak pemasok kepada pihak yang menyewa. pemberi sewa tidak perlu dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, karena dianggap hanya menyerahkan jasa pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai PPN. ketika barang kena pajak adalah barang modal yang menjadi objek pembiayaan dan berasal dari persediaan yang dimiliki pihak penjual, maka: pihak yang menyewakan pada dasarnya melakukan dua jenis penyerahan, yaitu penyerahan jasa pembiayaan tidak dikenai PPN dan penyerahan barang kena pajak yang merupakan objek PPN. Penyerahan Objek Jaminan Tidak Dikenakan PPN Yang dimaksud Pasal 1A ayat (2) huruf b UU 42/2009 adalah yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak adalah penyerahan barang kena pajak untuk jaminan utang piutang. Maksudnya adalah apabila Tuan A (debitur) menjaminkan mobil pada Tuan B (kreditur) untuk mendapatkan pinjaman dari Tuan B sebesar Rp100 juta, maka penyerahan jaminan ini bukan merupakan pengertian barang kena pajak, ini bukan merupakan jual beli barang, tetapi menitipkan barang. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-129/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Transaksi Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi dan Transaksi Penjualan dan Penyewagunausahaan Kembali [1] Angka 6 SE Dirjen Pajak 129/2010 pajak hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Adakah perizinan khusus yang harus dimiliki sebagai pembeli/end user batubara untuk membeli batubara? mohon penjelasan (semacam IUP OPK pengangkutan & penjualan untuk trading)" }
{ "from": "gpt", "value": "Silahkan dilihat jawaban pada uraian di bawah ini. Kegiatan pembelian batubara Berdasarkan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ( “UU Minerba” ) dapat dipahami bahwa Izin Usaha Pertambangan ( “IUP” ) termasuk juga IUP Operasi Produksi Khusus Pengangkutan dan Penjualan sebagaimana saudara tanyakan di atas adalah merupakan izin yang harus dimiliki oleh setiap pihak yang akan melaksanakan seluruh atau salah satu kegiatan pada usaha pertambangan. UU Minerba Pasal 1 Nomor 6 memberikan definisi bahwa Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pasca tambang. KLINIK TERKAIT Izin Pertambangan Pihak Asing 19 Feb 2024 Syarat IUP Operasi Produksi untuk Pembangunan Smelter 13 Des 2023 Bolehkah Menjual Batubara dari WIUP Lain? 26 Sep 2013 Bolehkah Menjual Batubara dari WIUP Lain? 26 Sep 2013 Aturan Penggunaan Jalan Koridor oleh Pemegang IUP 11 Jul 2013 Aturan Penggunaan Jalan Koridor oleh Pemegang IUP 11 Jul 2013 Begitu pula dengan perizinan kegiatan pengangkutan dan penjualan sebagaimana diberikan melalui IUP Operasi Produksi Khusus Pengangkutan dan Penjualan, UU Minerba Pasal 1 Nomor 21 memberikan definisi pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. Sedangkan definisi penjualan diatur di dalam UU Minerba Pasal 1 Nomor 22 yaitu kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara. Kemudian, dengan merujuk pada penjelasan di atas, kegiatan pembelian batubara sebagaimana saudara tanyakan dimana saudara merupakan pembeli batubara (dalam hal ini adalah end user – atau pembeli yang memakai batubara dan tidak menjual kembali batubara tersebut), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan pembelian batubara oleh end user tersebut tidak termasuk dalam salah satu jenis kegiatan usaha pertambangan sebagaimana diatur di dalam UU Minerba. Oleh karena itu, kegiatan pembelian batubara oleh end user tidak dipersyaratkan untuk memiliki IUP Operasi Produksi atau IUP Operasi Produksi Khusus Pengangkutan dan Penjualan. Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Terimakasih. Dasar hukum: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara" }
{ "from": "human", "value": "Apakah Fanfiksi (Fiksi buatan Fans) memiliki Hak Cipta? Apakah legal diterbitkan? Banyak penerbit di Indonesia yang menerbitkan novel dari Fanfiksi dan rata-rata di sana menggunakan nama artis terkenal luar negeri." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah Menggunakan Desain Gambar Gratis dari Internet untuk Dijual Kembali? 30 Apr 2024 Begini Cara Pencatatan Hak Cipta Lagu Secara Online 17 Feb 2021 Hukumnya Mengaransemen Lagu Anak-anak untuk Tujuan Komersil 04 Okt 2016 Bisakah Mengklaim Lagu Ciptaan yang Digunakan Dalam Album Band Sendiri? 27 Mei 2016 Intisari: Karya-karya yang dihasilkan oleh para fans ini dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) termasuk sebagai karya adaptasi . Karya adaptasi ini merupakan salah satu jenis ciptaan yang dilindungi. Seorang fan yang mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi bentuk lain, ia harus melihat ‘kepentingan wajar’ yang menjadi kunci dari boleh atau tidaknya suatu karya Fanfiksi diterbitkan. Fan juga harus memperhatikan bahwa ada hak ekonomi pencipta yang melekat pada ciptaannya. Hanya Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang memiliki hak ekonomi atas pengadaptasian. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kecintaan para fans kepada karya-karya fiksi yang digemarinya memang menimbulkan keasyikan tersendiri. Para fans dengan kreativitasnya biasanya menghasilkan karya sebagai perwujudan dari rasa kekaguman mereka terhadap suatu karya fiksi, terutama menyangkut tokoh atau karakter yang ada pada karya fiksi tersebut. Karena kecintaan dan kekaguman ini jugalah kadangkala para fans bisa terseret masalah hukum jika tak berhati-hati. Fanfiksi Fanfiction atau Fanfiksi adalah karya fiksi yang dihasilkan oleh para fans dari suatu karya fiksi yang telah popular. Komunitas para penghasil Fanfiksi ini kian hari kian berkembang. Biasanya mereka memiliki website untuk saling berbagi dan menunjukkan karya-karya mereka kepada sesama fans. Karya-karya ini biasanya dibagikan secara online dan gratis. Pengaturan mengenai karya-karya Fanfiksi secara khusus dalam hukum hak cipta di negara kita memang belum ada. Akan tetapi, karya-karya yang dihasilkan oleh para fans ini dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) termasuk sebagai karya adaptasi [1] . Yang dimaksud dengan adaptasi adalah mengalihwujudkan suatu Ciptaan menjadi bentuk lain. [2] Sebagai contoh misalnya, dari buku menjadi film, dari film menjadi gambar, dari buku menjadi karya tulis lain, dan sebagainya. Fanfiksi menggunakan karakter dan elemen-elemen dari suatu karya fiksi yang sudah ada sebelumnya untuk membuat suatu karya adaptasi. Karya adaptasi ini merupakan salah satu jenis ciptaan yang dilindungi, ciptaan hasil adaptasi dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli. [3] Apakah Fanfiksi Melanggar Hak Cipta? Manakala seorang fan mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi bentuk lain, ia harus memperhatikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh hukum hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta sebagai berikut: Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta; b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; c. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau d. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta. Yang dimaksud dengan \" sebagian yang substansial \" adalah bagian yang paling penting dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan. [4] Sementara, yang dimaksud dengan \" kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta \" adalah kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu Ciptaan. [5] Mengenai apakah secara hukum seseorang berhak untuk menerbitkan karya Fanfiksi, ‘kepentingan yang wajar’ dari pencipta atau yang biasa dikenal dengan istilah ‘ fair use ’ menjadi kunci dari boleh atau tidaknya suatu karya Fanfiksi diterbitkan. Dalam suatu ciptaan, ada hak ekonomi pencipta yang melekat pada ciptaannya. Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. [6] Hanya Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang memiliki hak ekonomi atas pengadaptasian , pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan. [7] UU Hak Cipta juga mengatur mengenai pelaksanaan hak ekonomi oleh orang lain, yaitu wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. [8] Dengan demikian, setiap orang yang ingin melaksanakan hak ekonomi dan mendapatkan manfaat ekonomi atas pengadaptasian suatu ciptaan, wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . [1] Pasal 40 ayat (1) huruf n UU Hak Cipta [2] Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf n UU Hak Cipta [3] Pasal 40 ayat (1) huruf n dan ayat (2) UU Hak Cipta [4] Penjelasan Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta [5] Penjelasan Pasal 44 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta [6] Pasal 8 UU Hak Cipta [7] Pasal 9 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta [8] Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta hukumonline legal hak cipta ilegal hak kekayaan intelektual klinik hukum pencipta klinik hukumonline kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Mengingat bahwa terdapat hal yang tidak secara jelas diatur dalam Permenkeu 66/2023, mohon bantuan Klinik Hukumonline untuk memberikan pendapat atas pertanyaan sebagai berikut:\n\nBerdasarkan Permenkeu 66/2023, fasilitas tempat tinggal dari pemberi kerja yang dimanfaatkan secara bersama-sama seperti mess atau asrama termasuk dalam daftar natura/kenikmatan dengan jenis/batasan tertentu yang dikecualikan dari Objek PPh. Apakah pemanfaatan mess atau asrama yang dikecualikan dari objek PPh tersebut hanya dapat dimanfaatkan oleh pegawai perusahaan? Bagaimana jika mess atau asrama tersebut dimanfaatkan oleh tamu perusahaan (di luar pegawai), apakah fasilitas tersebut dikecualikan dari Objek PPh apabila tamu perusahaan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan perusahaan, atau mess/asrama tersebut akan dikenakan PPh?\nPermenkeu 66/2023 tidak secara jelas menyebutkan fasilitas seperti private jet sebagai daftar natura/kenikmatan yang diatur dalam peraturan tersebut. Apakah penggunaan private jet oleh pegawai dikenakan objek PPh sebagaimana diatur dalam Permenkeu 66/2023?\nBerdasarkan ketentuan Permenkeu 66/2023, apabila perusahaan memberikan fasilitas kepada pegawai berupa klaim kesehatan plafond (di luar BPJS) yang dapat diklaim oleh pegawai apabila telah melakukan pengobatan (misal: kontrol ke dokter spesialis, operasi usus buntu, batuk, flu, demam dsb), apakah jenis fasilitas tersebut tetap dikenakan objek pajak penghasilan terhadap kenikmatan yang diterima pegawai tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan imbalan dalam bentuk natura dan imbalan dalam bentuk kenikmatan. Pada dasarnya, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan (“PPh”), sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Permenkeu 66/2023.\n\nPenggantian atau imbalan dalam bentuk natura adalah penggantian atau imbalan dalam bentuk barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima.[1] Sedangkan penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan adalah penggantian atau imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan yang bersumber dari aktiva sebagai berikut:[2]\n\npemberi penggantian atau imbalan; dan/ataupihak ketiga yang disewa dan/atau dibiayai pemberi, untuk dimanfaatkan oleh penerima.\nKemudian, berdasarkan Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang mengubah Pasal 4 ayat (1) huruf a UU 7/1983 mengatur yang menjadi objek PPh adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, termasuk natura dan/atau kenikmatan kecuali ditentukan lain.\n\nBerdasarkan beberapa ketentuan di atas, dapat kami simpulkan bahwa imbalan dalam bentuk natura adalah imbalan atau penggantian yang diberikan kepada penerima dalam bentuk barang selain dalam bentuk uang. Kemudian, imbalan dalam bentuk kenikmatan adalah imbalan atau penggantian yang diberikan kepada penerima dalam bentuk fasilitas atau pelayanan.\n\nLantas, apakah terdapat pengecualian imbalan natura dan kenikmatan dari objek PPh? Berikut ulasannya.\nPengecualian Natura dan Kenikmatan dari Objek PPh\n\nNamun kemudian jika merujuk pada ketentuan pasal selanjutnya dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang mengubah Pasal 4 ayat (3) huruf d UU 7/1983 jo. Pasal 4 Permenkeu 66/2023, yang dikecualikan dari objek PPh adalah penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, meliputi:\n\nmakanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;natura dan atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau anggaran pendapatan dan belanja desa; ataunatura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.\n\nBerkaitan dengan informasi yang Anda sebutkan, Anda menyebutkan mes atau asrama, fasilitas kesehatan, dan fasilitas private jet. Namun, perlu diketahui bahwa dalam peraturan perundang-undangan, hal-hal tersebut dikenal dengan istilah tempat tinggal, pelayanan kesehatan, dan pengangkutan, yang termasuk dalam natura dan atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu serta natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.\n\nHal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Permenkeu 66/2023 yang mengatur bahwa natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu meliputi sarana, prasarana, dan/atau fasilitas di lokasi kerja untuk pegawai dan keluarganya, berupa:\n\ntempat tinggal, termasuk perumahan;pelayanan kesehatan;pendidikan;peribadatan;pengangkutan; dan/atauolahraga tidak termasuk golf, balap perahu bermotor, pacuan kuda, terbang layang, atau olahraga otomotif, sepanjang lokasi usaha pemberi kerja mendapatkan penetapan daerah tertentu dari Direktur Jenderal Pajak (“Dirjen Pajak”).\n\nSarana, prasarana, dan/atau fasilitas di lokasi kerja untuk pegawai dan keluarganya dapat diselenggarakan oleh:[3]\n\npemberi kerja secara mandiri; dan/ataupihak lain yang bekerja sama dengan pemberi kerja dan pemberi kerja menanggung biaya penyelenggaraan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas.\n\nKemudian sebagai informasi, dalam Pasal 8 ayat (1) Permenkeu 66/2023 mengatur daerah tertentu meliputi daerah yang secara ekonomis memiliki potensi yang layak dikembangkan, namun keadaan prasarana ekonominya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut, maupun udara. Sehingga, untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal perlu menanggung risiko yang cukup tinggi.[4]\n\nSelengkapnya mengenai pengecualian natura dan kenikmatan dari objek PPh, dapat Anda temukan pada Pasal 4 s.d. Pasal 8 Permenkeu 66/2023.\nFasilitas Tempat Tinggal untuk Pegawai dan Keluarganya\n\nPada dasarnya, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan merupakan penggantian atau imbalan yang berkaitan dengan hubungan kerja antara pemberi kerja dan pegawai.[5] Namun, sebagaimana telah dijelaskan di atas, natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu meliputi sarana, prasarana, dan/atau fasilitas di lokasi kerja selain berlaku untuk pegawai, berlaku juga untuk keluarganya.\n\nSehingga menjawab pertanyaan pertama Anda, tamu perusahaan tidak termasuk dalam peruntukkan fasilitas tempat tinggal yang disediakan dari pemberi kerja misalnya mes, asrama, pondokan, atau barak yang dimanfaatkan bersama-sama (komunal).[6]\nFasilitas Kendaraan dari Pemberi Kerja\n\nSelanjutnya menjawab pertanyaan kedua, mengenai private jet kami asumsikan termasuk pengangkutan meliputi pengangkutan pegawai dan keluarga dalam melaksanakan penugasan.[7]\n\nNamun, perlu digarisbawahi terdapat batasan fasilitas kendaraan yang disediakan pemberi kerja bagi pegawai yang:[8]\n\ntidak memiliki penyertaan modal pada pemberi kerja; danmemiliki rata-rata penghasilan bruto dalam 12 bulan terakhir sampai dengan Rp100 juta tiap bulan dari pemberi kerja.\n\nJadi, jika pegawai memiliki rata-rata penghasilan bruto lebih dari Rp100 juta tiap bulan dalam 12 bulan terakhir, menurut hemat kami fasilitas kendaraan tersebut menjadi objek PPh.\nFasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pengobatan\n\nMenjawab pertanyaan terakhir, sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan untuk pegawai dan keluarganya yang diselenggarakan pihak lain yang bekerja sama dengan pemberi kerja berupa pelayanan kesehatan yang terletak di wilayah kabupaten atau kota lokasi usaha pemberi kerja dan/atau wilayah kabupaten atau kota yang berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten atau kota lokasi usaha pemberi kerja.[9]\n\nNamun, terdapat batasan pemberian fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan dari pemberi kerja sebagai berikut:[10]\n\nditerima atau diperoleh pegawai; dandiberikan dalam rangka penanganan:\n\nkecelakaan kerja;penyakit akibat kerja;kedaruratan penyelamatan jiwa; atauperawatan dan pengobatan lanjutan sebagai akibat dari kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja.\n\nJadi, apabila yang diberikan melebihi batasan, sebagai contoh operasi usus buntu, batuk, flu, dan demam sebagaimana Anda tanyakan di luar kriteria penanganan di atas, kami berpendapat bahwa fasilitas pelayanan kesehatan dan pengobatan akan dikenakan PPh.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2641/node/350/uu-no-7-tahun-1983-pajak-penghasilan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_1983)\n2. [Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/4044?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_1991)\n3. [Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17165?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_10_1994)\n4. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/811?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_2000)\n5. [Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28418/node/350/uu-no-36-tahun-2008-perubahan-keempat-atas-undang-undang-nomor-7-tahun-1983-tentang-pajak-penghasilan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_36_2008)\n6. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6183566157105?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_7_2021)\n7. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n8. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n9. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt64a4eb1f322ff/peraturan-menteri-keuangan-nomor-66-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkeu_66_2023)\n[1] Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan (“Permenkeu 66/2023”)[2] Pasal 3 ayat (5) Permenkeu 66/2023[3] Pasal 8 ayat (2) Permenkeu 66/2023[4] Pasal 9 ayat (1) Permenkeu 66/2023[5] Pasal 3 ayat (2) Permenkeu 66/2023[6] Bagian A angka 6 Lampiran Permenkeu 66/2023[7] Pasal 8 ayat (4) Permenkeu 66/2023[8] Bagian A angka 8 Lampiran Permenkeu 66/2023[9] Pasal 8 ayat (3) Permenkeu 66/2023[10] Bagian A angka 4 Lampiran Permenkeu 66/2023" }
{ "from": "human", "value": "Pertanyaan saya singkat saja, apakah file musik dan lagu yang beredar di internet sharing termasuk pelanggaran hak cipta? kalau iya, jika dikualifikasikan termasuk pelanggaran yang mana? Dan aturan hukum untuk menanggulanginya diatur di mana? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Cara untuk Menggunakan Anime Pihak Lain Sebagai Desain Kaos 03 Des 2015 Perbedaan Jangka Waktu Hak Cipta di Indonesia dan Negara Lain, Mana yang Dipakai? 12 Okt 2015 Perbedaan Program Komputer dan Permainan Video dalam UU Hak Cipta 28 Mei 2015 Pelanggaran Hak Cipta Pada Saat Proses Pendaftaran 24 Feb 2015 Intisari: Pada dasarnya setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi, wajib mendapatkan izin Pencipta/Pemegang Hak Cipta . Internet Sharing maupun File Sharing, berpotensi melanggar hak cipta karena lebih sering dilakukan tanpa izin. Adanya penerbitan, penggandaan, pendistribusian, pengumuman, dalam proses internet/file sharing tanpa izin dari pencipta/pemegang hak cipta adalah pelanggaran hak cipta. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan anda. Bicara mengenai file yang berisi lagu dan musik yang disebarkan melalui aplikasi internet sharing, ada baiknya kita melihat dulu arti dari internet sharing itu sendiri. Internet sharing atau Internet Connection Sharing (ICS) sebagaimana yang pengertiannya saya kutip dari about.com dan saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah fitur yang ada dalam komputer-komputer berbasis Windows yang memungkinkan beberapa komputer tersambung ke internet dengan menggunakan satu sambungan internet. Sedangkan aplikasi yang memungkinkan penyebaran file-file lagu dan musik di internet, secara lebih khusus lagi disebut sebagai fitur File Sharing . File Sharing adalah aktivitas berbagi atau memberikan akses kepada informasi digital seperti dokumen, multimedia (audio/video), gambar, program komputer, e-book, dan lain-lain. Penyebaran ini bisa dilakukan untuk pribadi maupun publik dengan jaringan yang memiliki tingkat berbagi yang berbeda atau bisa juga disebut P2P ( peer-to-peer ). Kedua sambungan tadi berpokok pada istilah “sharing” yang artinya ada peristiwa di mana suatu Ciptaan dapat berpindah dari satu komputer ke komputer lain dengan menggunakan fitur tersebut. Penyebaran atau pertukaran file dalam era internet memang sudah lintas negara sehingga harus ada aturan yang sama-sama dipegang oleh negara-negara di dunia. Untuk menjawab pertanyaan anda, ada baiknya kita telusuri aturan mengenai hak cipta yang berlaku di dunia, yaitu Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Berne Convention) . Berne Convention berlaku bagi negara-negara penandatangan konvensi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1: “The countries to which this Convention applies constitute a Union for the protection of the rights of authors in their literary and artistic works.” Kemudian pada Pasal 2 angka 1 diatur pula mengenai ciptaan apa saja yang dilindungi, sebagaimana berikut ini. “The expression “literary and artistic works” shall include every production in the literary, scientific and artistic domain, whatever may be the mode or form of its expression, such as books, pamphlets and other writings; lectures, addresses, sermons and other works of the same nature; dramatic or dramatico-musical works; choreographic works and entertainments in dumb show; musical compositions with or without words; cinematographic works to which are assimilated works expressed by a process analogous to cinematography; works of drawing, painting, architecture, sculpture, engraving and lithography; photographic works to which are assimilated works expressed by a process analogous to photography; works of applied art; illustrations, maps, plans, sketches and three-dimensional works relative to geography, topography, architecture or science.” Dan Pasal 2 angka 6 menegaskan bahwa Ciptaan tersebut harus mendapatkan perlindungan di negara-negara penandatangan konvensi. “The works mentioned in this Article shall enjoy protection in all countries of the Union. This protection shall operate for the benefit of the author and his successors in title.” Sedangkan Pasal 9 angka 1 dari Berne Convention menyatakan : “ Authors of literary and artistic works protected by this Convention shall have the exclusive right of authorizing the reproduction of these works, in any manner or form.” Aturan yang bersumber dari kesepakatan negara-negara di dunia inilah yang kemudian diadopsi oleh negara-negara penandatangan konvensi, salah satunya adalah Indonesia. Dalam hukum hak cipta Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“ UUHC ”), diatur mengenai bagaimana hak eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta wajib mendapatkan perlindungan. Pasal 8 Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Pasal 9 (1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan. (2) Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. (3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Sesuai dengan aturan pada Pasal 9 ayat (2) di atas, maka setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana disebutkan pada ayat (1), wajib mendapatkan izin Pencipta/Pemegang Hak Cipta . Internet Sharing maupun File Sharing, berpotensi melanggar hak cipta karena lebih sering dilakukan tanpa izin. Adanya penerbitan, penggandaan, pendistribusian, pengumuman, dalam proses internet/file sharing tanpa izin dari pencipta/pemegang hak cipta adalah pelanggaran hak cipta. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan terhadap adanya peristiwa penerbitan, penggandaan, pendistribusian, dan pengumuman suatu ciptaan, dalam hal ini lagu atau musik, diatur pada Pasal 113 ayat (3) dan (4) UUHC sebagai berikut. (1) …. (2) …. (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . hukumonline hak cipta hukum klinik klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Apakah PNS juga dibebani untuk membayar pajak penghasilan? Lalu selain pajak penghasilan, pajak apalagi yang dibebankan kepada seorang PNS?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Begini Cara Menghitung Besaran Pajak Indekos 02 Des 2020 Hukumnya Praktik Pinjam Nama ( Nominee ) untuk Menghindari Pajak 19 Nov 2020 Kriteria Hibah, Bantuan, dan Sumbangan yang bukan Objek PPh 11 Agt 2020 Digaji dengan Mata Uang Asing, Begini Perhitungan PPh-nya 03 Agt 2020 Pajak Penghasilan Pegawai Negeri Sipil Mengenai pajak penghasilan (“PPh”) yang dikenakan bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), Anda dapat merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (“Permenkeu 262/2010”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebelumnya perlu Anda pahami lebih dahulu, PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. [1] Dasar rujukan pengenaan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan yang diterima PNS tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Permenkeu 262/2010 yang selengkapnya berbunyi: Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi: Pejabat Negara, untuk: gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau imbalan tetap sejenisnya, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ; dan Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atas gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur yang diterima oleh PNS, PPh Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh pemerintah atas beban APBN atau APBD. [2] Sehingga, PNS akan menerima penghasilan atau gaji utuh, karena pajak penghasilan dari PNS dibayarkan oleh pemerintah dan dipotong langsung oleh bendahara. Dalam hal ini, bendahara pemerintah (bendahara pengeluaran di kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota) wajib: [3] mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan; dan menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak. Kemudian termasuk juga dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana dimaksud di atas adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 . [4] PPh atas Penghasilan Lain PNS Sementara untuk hal lain di mana PNS mendapat tambahan penghasilan di luar gaji yang diterima sebagai PNS akan dikenakan pemotongan PPh 21, yang tertuang dalam Pasal 18 Permenkeu 262/2010 : Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final, di luar penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan . Sedangkan atas penghasilan selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan, yaitu berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final , tidak termasuk biaya perjalanan dinas. [5] Adapun tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain tersebut sebagai berikut: [6] sebesar 0% dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya; sebesar 5% dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya; sebesar 15% dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, AnggotaTNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya. Sebagai informasi, dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”) , atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulannya dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% daripada yang memiliki NPWP. [7] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya Atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah . [1] Pasal 1 angka 2 Permenkeu 262/2010 [2] Pasal 2 ayat (1) Permenkeu 262/2010 [3] Pasal 11 ayat (1) dan (2) Permenkeu 262/2010 [4] Pasal 2 ayat (3) Permenkeu 262/2010 [5] Pasal 3 Permenkeu 262/2010 [6] Pasal 9 Permenkeu 262/2010 [7] Pasal 10 ayat (1) Permenkeu 262/2010 honor pajak penghasilan pajak pegawai negeri sipil perpajakan gaji pns tunjangan pph" }
{ "from": "human", "value": "Di dalam Pasal 94 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa: \"Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-sedikitnya 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.\" Pertanyaan saya adalah: 1. Apakah pengertian dari upah atau gaji pokok adalah UMK? 2. Apabila ya, peraturan nomor berapakah yang menunjang hal tersebut? Sekian dan terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran ketiga dari artikel dengan judul Komponen Upah yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 23 Maret 2010, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada Rabu, 4 Mei 2016, dan dimutakhirkan kedua kali pada 26 Februari 2021. KLINIK TERKAIT Ketentuan Upah Minimum Terhadap Usaha Kecil 22 Feb 2024 Jika UMP Naik, Haruskah Upah Pekerja Ikut Naik? 03 Jan 2024 Upah di Bawah Standar Minimum, Ini Langkah Hukumnya 06 Sep 2023 Mana yang Jadi Acuan, UMP atau UMK? 24 Jan 2023 Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Pertama-tama, perlu Anda ketahui bahwa Pasal 94 UU Ketenagakerjaan kini telah diubah oleh Pasal 81 angka 35 Perppu Cipta Kerja sehingga berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap. Sebagai catatan, ketentuan serupa juga dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) PP Pengupahan yang menerangkan hal yang sama. Dalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap. Adapun pada dasarnya, upah terdiri atas komponen: [1] upah tanpa tunjangan; upah pokok dan tunjangan tetap; upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap; atau upah pokok dan tunjangan tidak tetap. Jika sebuah perusahaan membayarkan upah dengan komponen upah pokok dan tunjangan tetap sebagaimana disebutkan pada huruf b di atas, maka berlaku ketentuan Pasal 81 angka 35 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 94 UU Ketenagakerjaan yang Anda tanyakan. Lalu apakah upah pokok yang dimaksud sama dengan Upah Minimum Provinsi (“UMP”) sebagaimana yang Anda tanyakan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu kita ketahui konsep dari upah minimum. Upah minimum terdiri atas UMP dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (“UMK”) [2] yang keduanya ditetapkan oleh gubernur. [3] Berdasarkan PP Pengupahan, upah minimum merupakan upah bulanan terendah yang terdiri atas: [4] Upah tanpa tunjangan; atau Upah pokok termasuk tunjangan tetap. Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan upah tanpa tunjangan adalah sejumlah uang yang diterima pekerja secara tetap tanpa adanya tambahan tunjangan, [5] sedangkan tunjangan tetap adalah pembayaran kepada pekerja yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja atau pencapaian prestasi kerja tertentu. [6] Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen upah minimum, termasuk UMP, bisa hanya berupa upah pokok saja tanpa tunjangan, tetapi bisa juga upah pokok termasuk tunjangan tetap. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, upah pokok yang dimaksud dalam Pasal 81 angka 35 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 94 UU Ketenagakerjaan bukan merupakan UMP atau upah minimum pada umumnya , karena upah minimum dapat terdiri atas tunjangan tetap juga. Demikian jawaban dari kami terkait pertanyaan tentang apakah gaji pokok adalah UMK sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan [1] Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) [2] Pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan [3] Pasal 81 angka 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang memuat baru Pasal 88C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [4] Pasal 23 ayat (1) PP Pengupahan [5] Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf a PP Pengupahan [6] Penjelasan Pasal 81 angka 35 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 94 UU Ketenagakerjaan umk ump umr gaji upah minimum" }
{ "from": "human", "value": "Apakah gaji pokok dibayarkan proporsional bilamana mengundurkan diri atas kemauan sendiri?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Begini Rincian Hak Pekerja Resign 24 Jul 2024 Slip Gaji, Wajibkah? 18 Jul 2024 Bisakah Karyawan Dipecat karena Hamil di Luar Nikah? 17 Jul 2024 Aturan Gaji Ke-14 untuk Karyawan Swasta 20 Jun 2024 Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Intisari: Tidak ada ketentuan tertulis mengenai pengusaha membayar gaji karyawan yang mengundurkan diri secara proporsional atau secara penuh pada bulan tersebut. Namun, sudah sepantasnya pengusaha membayar gaji untuk hari-hari bekerja yang telah dilakukan oleh karyawan tersebut pada bulan itu. Penjelasan selengkapnya dapat disimak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Kami asumsikan pembayaran gaji pokok proporsional yang Anda maksud adalah pembayaran gaji sebesar atau sesuai jumlah waktu kerja yang ia lakukan saja. Sebagai contoh, dalam satu bulan November terdiri dari tanggal 1 s.d 30, namun pekerja mengundurkan diri dan putus hubungan kerjanya di tanggal 12 November. Pertanyaannya, apakah pengusaha wajib membayar kerja dia selama 12 hari saja (secara proporsional) atau satu bulan penuh? Bagi Karyawan Tetap Untuk pekerja berdasarkan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), maka dalam hal ini, tidak ada ketentuan apakah pengusaha harus memberikan upah pokok secara penuh atau proprsional. Hal ini dapat disepakati antara belah pihak, yakni pengusaha dan karyawan. Akan tetapi, setidaknya pekerja harus mendapatkan upah sesuai jumlah hari kerja yang telah dilaluinya untuk bekerja pada bulan tersebut. Ini karena upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan . [1] Yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan adalah bagi pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri ( resign ) hanyalah berhak atas Uang Penggantian Hak (“UPH”) [2] sebagaimana terinci dalam Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan . Di samping itu khusus bagi karyawan yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, maksudnya non-management committee , juga berhak diberikan Uang Pisah yang nilainya dan pelaksanaan pemberiannya merupakan kewenangan para pihak untuk memperjanjikannya dalam perjanjian kerja , peraturan perusahaan / perjanjian kerja bersama . [3] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Apakah Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Dapat Pesangon? . Bagi Karyawan Kontrak Jika pekerjanya adalah pekerja berdasarkan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) atau lazim disebut karyawan kontrak, maka sama halnya dengan karyawan tetap, tidak ada ketentuan bagi pengusaha untuk memberikan upah pokoknya, baik proporsional atau secara penuh. Akan tetapi, sama seperti penjelasan di atas, sudah sepantasnya pengusaha membayar pekerja untuk hari-hari bekerja yang telah dilakukannya. Namun, perlu ingat juga bahwa karyawan kontrak yang mengundurkan diri sebelum kontraknya berakhir wajib memberikan ganti rugi kepada pengusaha . Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. [4] Ini artinya, jika mengundurkan diri sebelum waktu kontrak selesai, maka Anda selaku pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut wajib membayar ganti rugi. Adapun perhitungan ganti rugi kepada pihak lainnya yaitu sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Besaran Jumlah Ganti Rugi Jika Resign Sebelum Kontrak Selesai . Contoh Berikut kami berikan contoh cara menghitung ganti rugi yang wajib dibayar karyawan kontrak yang resign sebelum masa kontrak berakhir. A merupakan karyawan kontrak (PKWT) di sebuah perusahaan dikontrak bekerja selama 6 bulan dengan gaji pokok Rp. 3.250.000/bulan. Namun, di bulan ke 4, ia mengundurkan diri sehingga sisa masa kontrak pekerja A adalah 2 bulan. Dengan demikian, perhitungan ganti rugi yang wajib ia bayarkan kepada pengusaha adalah 2 x gaji pokok: 2 x Rp. 3.250.000 = Rp. 6.500.000 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . [1] Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 162 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan gaji" }
{ "from": "human", "value": "Saya sempat baca artikel Hukumonline dengan judul Cara Menghitung Uang Penggantian Hak Bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri. Di situ dijelaskan cara perhitungan dan ketentuannya, pertanyaan saya, apakah pekerja berhak mendapatkan gaji penuh ketika mengikuti one month notice secara full? Dalam artian ketika one month notice pekerja melakukan segala tugas seperti biasa secara full dalam 1 bulan? atau pekerja hanya berhak menerima sesuai perhitungan yang dijelaskan dalam artikel terkait? Jika dalam perjanjian kontrak dan kententuan yang ada dalam kontrak kerja di awal tidak ada ketentuan mengenai aturan upah pada masa one month notice, apakah pekerja berhak untuk meminta gaji secara full? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Pada hari terakhir pekerja yang bersangkutan bekerja (30 hari setelah pengajuan pengunduran diri atau yang dikenal dengan one month notice ), berarti upah terakhirnya (upah per bulan berdasarkan perjanjian kerja) tetap harus dibayarkan. Selain itu, karena ia secara hukum telah mengajukan pemutusan hubungan kerja atas kemauannya sendiri, maka ia pun berhak atas uang penggantian hak, dan untuk yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan juga uang pisah. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Mengenai pemberitahuan pengunduran diri ( one month notice ) dijelaskan dalam Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) sebagai berikut: Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauannya sendiri harus memenuhi syarat sebagai berikut: Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri ; Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan Tetap melaksanakan kewajibann f ya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Selain itu juga dapat ditemukan dalam Pasal 26 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-78/Men/2001 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan (“Kepmenakertrans 78/2001”) yang dijelaskan sebagai berikut: Pengunduran diri secara baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat: pekerja/buruh mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis dengan disertai alasannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri ; pekerja/buruh tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri; pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas. Semisal seorang pekerja/buruh ingin mengundurkan diri tanggal 30 Mei, maka pekerja/buruh tersebut harus mengajukan pengunduran diri tanggal 30 April. Dari tanggal 30 April sampai dengan 30 Mei, pekerja/buruh tersebut tetap diwajibkan melaksanakan kewajibannya. Artinya pada masa one month notice itu, pekerja yang bersangkutan masih tercatat sebagai pekerja/buruh di perusahaan karena hubungan kerjanya belum berakhir. [1] Jika melihat definisi Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan , pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Disini berarti pekerja pun masih memiliki hak sebagai pekerja/buruh (dibayar upahnya). Pada hari terakhir pekerja yang bersangkutan bekerja (30 hari setelah pengajuan pengunduran diri), berarti upah terakhirnya (upah per bulan berdasarkan pejanjian kerja) tetap harus dibayarkan, selain itu karena ia secara hukum telah mengajukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) atas kemauannya sendiri, maka ia pun berhak atas uang penggantian hak (“UPH”), dan untuk yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan juga uang pisah. Maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan berkewajiban memenuhi hak pekerja karena telah melakukan pekerjaan (terakhir) dengan upah bulanan yang disepakati bersama dalam perjanjian kerja. Perlu dicermati kembali bahwa dalam hal ini ada 2 perbuatan hukum yang berbeda namun sangat berkaitan, yaitu hak pekerja dan hak PHK atas kemauan sendiri. Demi hukum, pada hari terakhir pekerja itu bekerja sampai ia dinyatakan berhenti bekerja, ia berhak atas 2 hak yang telah kami jabarkan di atas. Selengkapnya simak juga artikel Cara Menghitung Uang Penggantian Hak bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-78/Men/2001 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di Perusahaan [1] Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah (Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan) hukumonline ketenagakerjaan pekerja kerja online resign buruh hukum pengusaha gaji" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya terkait gambar-gambar wanita seksi tak senonoh yang kerap menempel pada truk-truk. Terkadang mengundang syahwat laki-laki. Apakah itu melanggar undang-undang tentang pornografi? Karena gambar tersebut bisa dilihat semua orang di depan umum. Bagaimana sanksinya?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Sebar Video dan Gambar Pornografi ke Internet, Ini Sanksinya 18 Des 2023 Hukum Nonton Film Porno dan Mengunduhnya 12 Jul 2022 Hukumnya Jual Sex Toys di Indonesia 19 Jan 2022 Bagaimana Batasan Foto Dapat Dikategorikan Pornografi? 30 Jun 2014 Intisari: Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi yang memuat: 1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; 2. kekerasan seksual; 3. masturbasi atau onani; 4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; 5. alat kelamin; atau 6. pornografi anak. Yang dimaksud dengan \"mengesankan ketelanjangan\" adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit . Anda tidak merinci lebih lanjut gambar seksi apa yang Anda maksud. Kami berpandangan bahwa gambar seksi dan terbuka belum tentu dapat dikategorikan sebagai ketelanjangan seperti apa yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU 44/2008”) . Selain itu, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami kutip dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang dimaksud dengan ‘telanjang’ adalah tidak berpakaian. Oleh karena itu, tidak semua gambar seksi dapat dikatakan menampilkan ketelanjangan atau mengesankan ketelanjangan sehingga dapat dipidana berdasarkan UU 44/2008. Harus dilihat kembali seperti apa gambar seksi tersebut Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU 44/2008”) , yang disebut dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. [1] Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Hukumnya Mengunggah Foto Kue Berbentuk Organ Intim ke Medsos , berdasarkan definisi tersebut, terdapat 3 (tiga) elemen yang harus dipenuhi apabila sesuatu hal dianggap pornografi, yaitu: 1. Berbagai jenis dan bentuk konten (gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai jenis media komunikasi atau pertunjukan di muka umum); 2. Konten tersebut memuat kecabulan atau eksploitasi seksual; 3. Kecabulan dan eksploitasi seksual yang dimaksud haruslah melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Larangan dan Pembatasan Konten Pornografi Berkaitan dengan pernyataan Anda mengenai gambar wanita seksi yang ada pada truk, pada dasarnya yang dilarang oleh UU 44/2008 adalah memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: [2] a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang (persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual); b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. Yang dimaksud dengan \"mengesankan ketelanjangan\" adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit . [3] Selain itu setiap orang juga dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi, kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. [4] Orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2 miliar. [5] Yang menjadi pertanyaan adalah apakah gambar yang terdapat pada truk tersebut merupakan perbuatan yang mempertontonkan konten pornografi? Apakah gambar wanita seksi tersebut dapat dikategorikan sebagai pornografi?. Apakah Gambar Seksi Merupakan Konten Pornografi? Anda tidak merinci lebih lanjut gambar seksi apa yang Anda maksud. Kami berpandangan bahwa gambar seksi dan terbuka belum tentu dapat dikategorikan sebagai ketelanjangan seperti apa yang di maksud oleh UU 44/2008 di atas. Selain itu, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami kutip dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang dimaksud dengan ‘telanjang’ adalah tidak berpakaian. Lain halnya jika gambar seksi yang Anda maksud adalah gambar yang mengumbar ketelanjangan yang termasuk dalam UU 44/2008, misalnya memperlihatkan tubuh secara keseluruhan tanpa penutup atau pakaian. Orang yang memasang gambar tersebut dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 2 miliar. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi . [1] Pasal 1 angka 1 UU 44/2008 [2] Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 [3] Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU 44/2008 [4] Pasal 6 UU 44/2008 [5] Pasal 32 UU 44/2008 hukumonline pornografi percabulan kesusilaan hukum klinik klinik hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah guru dapat dimasukkan kedalam golongan buruh beserta peraturan-peraturan perburuhan? Karena kami didatangi dari Kementerian Tenaga Kerja agar guru-guru masuk ke dalam kebijakan/peraturan perburuhan." }
{ "from": "gpt", "value": "Kami kurang jelas mengenai guru yang seperti apa yang Anda maksud, apakah guru pendidikan non-formal, atau guru pendidikan formal. Untuk itu kami akan mengasumsikan bahwa yang Anda maksud adalah guru pendidikan formal pada sekolah-sekolah. Anda juga tidak menjelaskan lebih lanjut apakah guru ini adalah guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau pemerintah. Selain itu, untuk penyebutan peraturan perburuhan, dalam artikel ini kami akan menggunakan istilah “peraturan ketenagakerjaan” sesuai dengan yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan yaitu “ketenagakerjaan”. KLINIK TERKAIT Aturan Hari Kerja dan Jam Kerja PNS 15 Jul 2024 Ditegur Atasan karena Belajar pada Jam Kerja 16 Feb 2024 Masihkah PNS yang Berstatus Terpidana Berhak atas Jaminan Pensiun? 11 Agt 2017 Bolehkah PNS Merangkap Jadi Advokat? 08 Mei 2017 Sebenarnya, mengenai guru dan dosen sudah ada peraturan yang mengaturnya yaitu UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen , Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru , serta peraturan pelaksana lainnya (“Peraturan Guru”). Perlu diketahui bahwa Peraturan Guru tersebut hanya berlaku untuk guru dan dosen pada pendidikan formal. Walaupun untuk guru dan dosen sudah ada peraturan yang mengatur tersendiri, akan tetapi peraturan-peraturan ketenagakerjaan tetap berlaku bagi guru. Ini karena berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain dan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , dikatakan bahwa salah satu hak dari guru (pendidik) adalah memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Oleh karena guru juga adalah orang yang bekerja dengan menerima upah (atau imbalan dalam bentuk lain), maka guru juga merupakan pekerja/buruh dan tunduk kepada peraturan ketenagakerjaan. Apabila terdapat kesamaan pengaturan antara peraturan ketenagakerjaan dengan Peraturan Guru, maka berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis , aturan hukum yang lebih khusus (Peraturan Guru) akan mengesampingkan aturan hukum yang umum (peraturan ketenagakerjaan), dengan ketentuan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih khusus sederajat dengan peraturan perundang-undangan yang lebih umum serta berada di dalam lapangan hukum yang sama (misalnya sama-sama di lingkungan hukum perdata). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Akan tetapi, peraturan ketenagakerjaan tersebut hanya akan berlaku pada guru yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta). Untuk guru yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, guru tersebut akan tergolong sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka peraturan ketenagakerjaan tidak berlaku pada guru tersebut. Yang berlaku adalah UU No. 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU Pokok-pokok Kepegawaian”) . Lebih lanjut Anda dapat membaca artikel Jam Kerja PNS . Sebagai tambahan, terkadang ada manajemen sekolah yang beranggapan bahwa sekolah adalah yayasan nirlaba sehingga tidak bisa disamakan dengan perusahaan sehingga menolak menggunakan peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Padahal, berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan , pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Oleh karena itu, sekolah juga adalah pemberi kerja dan tunduk pada peraturan ketenagakerjaan sama seperti perusahaan dengan buruh-buruhnya (sepanjang tidak diatur oleh Peraturan Guru). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional . 4. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 5. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru" }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang WNI dan ketika menikah, saya menerima hadiah berupa perhiasan. Lalu, saya menerima surat dari kantor pengacara suami saya mengenai permintaan harta bersama hadiah pernikahan dikembalikan setengah.\nLantas, apakah hadiah perkawinan dapat digolongkan sebagai harta bersama? Apakah suami saya berhak meminta perhiasan tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pernikahan adalah momen yang penuh makna dalam kehidupan seseorang, di mana dua individu bersatu untuk membentuk ikatan yang kuat dan berkomitmen satu sama lain.[1] Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah pernikahan dikenal dengan “perkawinan”, yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.[2]\n\nSelain mengikat ikatan emosional dan spiritual, pernikahan juga membawa sejumlah pertimbangan hukum yang perlu diperhatikan,[3] salah satunya apakah hadiah perkawinan termasuk harta bersama?\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, penting untuk memahami konsep harta bersama dalam hukum perkawinan. Pada dasarnya, harta bersama adalah istilah hukum yang digunakan untuk menggambarkan harta atau aset yang diperoleh oleh suami dan istri selama pernikahan. Harta bersama pada umumnya termasuk gaji, properti, investasi, serta harta yang diperoleh selama masa pernikahan. Namun, tidak semua harta yang dimiliki setelah menikah otomatis menjadi harta bersama, sebagai contoh aset yang dimiliki oleh salah satu pasangan sebelum menikah tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama.[4]\n\nSebagai informasi, terdapat beberapa negara yang menggunakan prinsip harta bersama penuh, yang berarti semua aset yang diperoleh selama pernikahan dianggap sebagai harta bersama dan akan dibagi antara suami dan istri jika pernikahan berakhir. Di sisi lain, terdapat juga negara yang mengadopsi sistem harta bersama pisah, yang berarti setiap pasangan tetap memiliki kendali atas aset mereka sendiri dan tidak ada pembagian yang otomatis terjadi saat pernikahan berakhir.[5]\n\nBaca juga: Pembagian Harta Bersama Jika Tidak Ada Perjanjian Perkawinan\nDasar Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan\n\nSelanjutnya, Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh suami dan istri selama perkawinan. Berdasarkan praktik kami, hal ini mencakup pendapatan yang diperoleh selama perkawinan, serta harta yang diperoleh sebagai hasil dari pendapatan tersebut.\n\nKetentuan harta bersama juga tertuang dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.\n\nKonsep mengenai harta bersama yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut berdasarkan penfsiran berikut ini:\n\nPendapatan selama perkawinan, yaitu mencakup gaji, penghasilan, dan pendapatan lain yang diperoleh oleh suami atau istri selama masa perkawinan. [6] Pendapatan ini dianggap sebagai harta bersama dan akan dibagi antara suami dan istri jika pernikahan berakhir, baik karena perceraian atau kematian.[7]Harta yang diperoleh dari pendapatan bersama, yaitu jika salah satu pasangan menggunakan pendapatan bersama untuk membeli atau mengakuisisi aset tertentu, aset tersebut juga dianggap sebagai harta bersama. Ini mencakup properti, investasi, atau barang apa pun yang dibeli dengan uang yang diperoleh selama perkawinan.[8]Harta yang diperoleh bersama, yaitu harta yang diperoleh oleh suami dan istri bersama-sama selama perkawinan. Contoh ini mencakup properti yang dibeli atas nama keduanya atau investasi yang dimiliki bersama.[9]\n\nLantas, apakah hadiah perkawinan merupakan harta bersama? Berikut ulasannya.\nHadiah Perkawinan dalam UU Perkawinan\n\nMenurut Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Artinya, hadiah perkawinan yang diterima oleh suami atau istri selama perkawinan adalah harta pribadi penerima hadiah. Lalu, hadiah perkawinan yang diterima oleh pasangan suami dan istri tidak termasuk dalam harta bersama, kecuali ada kesepakatan dari pasangan suami dan istri.\n\nLebih lanjut, dalam UU Perkawinan terdapat prinsip-prinsip mengenai hadiah perkawinan, sebagai berikut:\n\nHarta Pribadi Penerima\n\nUndang-undang menyatakan bahwa hadiah perkawinan yang diterima oleh salah satu suami atau istri selama perkawinan dianggap sebagai harta pribadi penerima.[10] Artinya, hadiah tersebut tetap menjadi milik pribadi penerima dan bukan menjadi bagian dari harta bersama.\n\nKeabsahan Bukti\n\nBerdasarkan praktik kami, penting untuk memastikan bahwa terdapat bukti keaslian dan penerimaan hadiah perkawinan. Hal ini dapat berupa bukti tertulis, seperti kuitansi atau surat hadiah, yang menunjukkan bahwa hadiah tersebut diterima oleh pasangan tertentu dalam konteks pernikahan.\n\nKesepakatan Tertulis\n\nJika suami dan istri menginginkan hadiah perkawinan dianggap sebagai harta bersama, maka mereka dapat membuat kesepakatan tertulis yang mengatur hal ini.[11]\n\nPerjanjian Perkawinan (Prenuptial Agreement)\n\nPasangan yang akan menikah dapat membuat perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) untuk mengatur status harta perkawinan,[12] dalam hal ini termasuk pula hadiah perkawinan. Dalam perjanjian kawin, berdasarkan praktik kami pasangan suami istri juga dapat menentukan bagaimana status harta yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama) menjadi harta masing-masing salah satu pasangan selama pernikahan, serta bagaimana status harta perkawinan jika perkawinan berakhir. Selengkapnya mengenai perjanjian perkawinan dapat Anda baca dalam Fungsi, Isi Materi, dan Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin.\n\nBaca juga: Aturan dan Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Islam\n\nDengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa UU Perkawinan dan perubahannya memberikan fleksibilitas dalam penentuan kepemilikan status hadiah perkawinan. Hadiah perkawinan secara yuridis merupakan harta pribadi penerima hadiah, tetapi pasangan suami istri dapat mengatur status hadiah perkawinan dengan membuat kesepakatan tertulis atau perjanjian perkawinan. Hal ini memungkinkan suami dan istri untuk mengontrol harta perkawinan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, selama hal tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.\nPostnuptial Agreement\n\nBerdasarkan informasi yang Anda berikan, kami asumsikan Anda tidak memiliki perjanjian perkawinan/prenuptial agreement, sehingga tidak ada kesepakatan antara pihak suami maupun istri yang menyatakan bahwa status kepemilikan hadiah perkawinan adalah harta bersama.\n\nNamun, permasalahan di atas telah mendapatkan solusi dengan dikeluarkannya Putusan MK 69/2015. Dengan adanya Putusan MK 69/2015, maka ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan berubah menjadi sebagai berikut (hal. 156-157):\n\nPada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.\n\nSebagaimana dijelaskan dalam Bisakah Membuat Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan Berlangsung (Postnuptial Agreement)?, Putusan MK 69/2015 memberikan kesempatan bagi pasangan suami istri untuk dapat membuat suatu perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan atau yang biasa dikenal dengan Postnuptial Agreement, selama pasangan tersebut masih terikat di dalam perkawinan yang sah. Namun menurut hemat kami, sangat penting untuk menjalani proses ini dengan penuh kebijaksanaan dan bimbingan hukum agar kesepakatan tertulis dibuat dengan benar, sesuai dengan hukum yang berlaku dan tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak suami maupun istri.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.\n\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015.\n\nREFERENSI:\n1. Besse Sugiswati. Konsepsi Harta Bersama dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat. Jurnal Perspektif, Vo. 19, No. 3, 2014\n2. Evi Djuniarti. Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata. Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 17, No. 4, 2017\n3. Faradilla Asyatama dan Fully Handayani Ridwan. Analisis Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 2, 2021\n4. H. Ali Sibra Malisi. Cara Pembagian Harta Bersama menurut Pandangan Ulama Aceh Singkil. Jurnal Syarah: Jurnal Hukum Islam & Ekonomi, Vol. 9, No. 1, 2020\n5. Hamda Sulfinadia. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat Studi Atas Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan. Yogyakarta: Deepublish, 2020\n6. Happy Susanto. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta: VisiMedia, 2008\n7. Liky Faizal. Harta bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 8, No. 2, 2015\n8. M. Natsir Asnawi. Hukum Harta Bersama: Kajian Perbandingan Hukum, Telaah Norma, Yurisprudensi, dan Pembaruan Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2022\n9. Marianus Ivo Meidinata dan Alphonsus Tjatur Raharso. Upacara Panggih Pengantin dalam Pernikahan Adat Jawa dan Kaitannya dengan Prinsip Monogami Perkawinan Katolik. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 18, No. 1, 2022\n10. Sahrul Ramadhan. Studi Komparatif Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Perspektif Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Perdata). Jurnal Hukum Online (JHO), Vol. 1, No. 3, 2023.\n\n[1] Marianus Ivo Meidinata dan Alphonsus Tjatur Raharso. Upacara Panggih Pengantin dalam Pernikahan Adat Jawa dan Kaitannya dengan Prinsip Monogami Perkawinan Katolik. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 18, No. 1, 2022, hal. 37.[2] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[3] Hamda Sulfinadia. Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat Studi Atas Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan. Yogyakarta: Deepublish, 2020, hal. 253.[4] Sahrul Ramadhan. Studi Komparatif Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Perspektif Kompilasi Hukum Islam Dan Hukum Perdata). Jurnal Hukum Online (JHO), Vol. 1, No. 3, 2023, hal. 555-571.[5] M. Natsir Asnawi. Hukum Harta Bersama: Kajian Perbandingan Hukum, Telaah Norma, Yurisprudensi, dan Pembaruan Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2022, hal. 42.[6] Liky Faizal. Harta bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 8, No. 2, 2015, hal. 83.[7] Liky Faizal. Harta bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, Vol. 8, No. 2, 2015, hal. 78.[8] Besse Sugiswati. Konsepsi Harta Bersama dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat. Jurnal Perspektif, Vo. 19, No. 3, 2014, hal. 201-211.[9] Evi Djuniarti. Hukum Harta Bersama ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata. Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 17, No. 4, 2017, hal. 445-461.[10] H. Ali Sibra Malisi. Cara Pembagian Harta Bersama menurut Pandangan Ulama Aceh Singkil. Jurnal Syarah: Jurnal Hukum Islam & Ekonomi, Vol. 9, No. 1, 2020, hal. 6-10.[11] Happy Susanto. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta: VisiMedia, 2008, hal. 47.[12]\nFaradilla Asyatama dan Fully Handayani Ridwan. Analisis Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 2, 2021, hal. 110." }
{ "from": "human", "value": "Sehubungan dengan tanya-jawab tentang hak privasi sebagai derogable rights, pertanyaan mendasar saya apakah privasi merupakan hak asasi manusia yang diatur dalam Konstitusi Indonesia? Apa dasar hukumnya? Salam." }
{ "from": "gpt", "value": "Hak atas privasi memang tidak dicantumkan secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 . Namun, secara implisit hak atas privasi terkandung di dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan  hak asasi”. KLINIK TERKAIT Apakah Polisi Berwenang Melakukan Razia Hotel? 22 Mei 2023 Pasal yang Menjerat Pelaku Kohabitasi 04 Jan 2023 Bolehkah Perusahaan Mengakses E-mail Karyawannya? 22 Nov 2022 Istri Diam-diam Membuka HP Suami, Langgar Privasi? 22 Nov 2022 Rumusan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut memiliki nuansa perlindungan yang sama dengan rumusan Article 12 UDHR yang kemudian diadopsi ke dalam Article 17 ICCPR yang secara eksplisit memberikan jaminan terhadap hak atas privasi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Mahkamah Konstitusi memberikan terjemahan atas Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Dalam terjemahan tersebut, kata “ privacy ” diterjemahkan sebagai “ urusan pribadi/masalah pribadi ” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 28G UUD NRI 1945 sebagai berikut: Article 12 UDHR : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy , family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks ”. Terjemahan dalam Putusan MK: “Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya , keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan surat-menyuratnya, dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini”. Article 17 ICCPR : 1. “No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy , family, home or correspondence, nor to unlawful attacks on his honour and reputation”; 2. “Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks” . Terjemahan dalam Putusan MK 1.\n“Tidak ada seorang pun yang boleh dicampuri secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah pribadi , keluarga, rumah atau korespondensinya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya”. 2.\n“Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan tersebut”. Dalam General Comment Human Rights Committee No. 16 tentang Article 17 ICCPR yang memberikan jaminan terhadap hak atas privasi, tidak menjelaskan makna yang tegas mengenai apa yang dimaksud dengan privasi. Beberapa pakar hukum telah mencoba memberikan definisi dan makna dari hak atas privasi. Russel Brown mengartikan hak atas privasi sebagai hak yang lahir akibat adanya hak atas milik pribadi terhadap suatu sumber daya tertentu (Russel Brown: 2006, hlm.592). Hakim Cooly memberikan definisi mengenai hak atas privasi sebagai hak atas kebebasan menentukan nasib sendiri. Definisi tersebut kemudian dikutip dalam putusan Supreme Court Amerika Serikat sebagai “the right of bodily integrity” . Secara tegas, Supreme Court menyatakan bahwa hak atas privasi merupakan hak individu yang fundamental bagi setiap orang untuk bebas tanpa campur tangan pemerintah dalam memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri (Eoin Carolan: 2008, hlm 6). Putusan Supreme Court tersebut bahkan menjadi dasar diperkenankannya praktek aborsi secara hukum di Amerika Serikat melalui perkara Jane Roe v. Henry Wade pada tahun 1973 (Roe v. Wade, 410 U.S. 113, 1973). Oleh karena itu, Hakim Harlan mengatakan bahwa hak atas  privasi merupakan konsep kontemporer dari hak atas kebebasan individu (G. Negley: 1966, hlm. 319). Layaknya karakter umum atau sifat dari hak asasi manusia yang tidak terbagi, saling berkaitan dan bergantung satu sama lain ( indivisible, interrelated and interdependent), hak atas privasi memiliki kaitan erat dengan hak atas kebebasan berbicara. Hak atas privasi  dan hak atas kebebasan berbicara merupakan dua hal yang saling mendukung. Memberikan perlindungan terhadap hak atas privasi, berarti memberikan perlindungan pula terhadap hak atas kebebasan berbicara (Eoin Carolan: 2008, hlm. 25). Sebagai contoh, dalam masyarakat yang demokratis, penting untuk menjaga privasi dalam komunikasi di antara masyarakat, kekhawatiran akan adanya pantauan terhadap anggota masyarakat dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab akan mengakibatkan ketidakbebasan dalam berpendapat. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan ide-ide konstruktif dalam kehidupan demokrasi tidak dapat disuarakan (Eoin Carolan: 2008, hlm. 27). Artinya, hak atas privasi menjamin perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Selain keterkaitan yang bersifat saling menguatkan, kehadiran hak atas privasi juga harus diartikan sebagai balancing dari hak atas kebebasan berpendapat. Maksud dari balancing tersebut adalah hak atas reputasi yang merupakan bagian dari hak atas privasi harus menjadi batasan dari hak atas kebebasan berpendapat (Giri A.Taufik, Identifying The Traces of Particularity in Indonesia Freedom of Expresion, 2011, hlm. 389). Konsep balancing tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28J ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak asasinya, hak asasi seseorang akan dibatasi oleh hak asasi orang lain. Dalam hal hak atas kebebasan berpendapat, hak atas reputasi orang lain menjadi batasan setiap warga negara dalam menjalankan hak berpendapatnya. Berdasarkan uraian di atas, meskipun tidak secara eksplisit menyatakan mengenai hak atas privasi, rumusan Pasal 28G ayat (1) telah mengandung nilai-nilai hak atas privasi yang dijamin di dalam Article 12 UDHR dan Article 17 ICCPR. Oleh karena itu, Pasal 28G ayat (1) dapat dikatakan sebagai landasan konstitusional mengenai jaminan hak atas privasi. Dalam konteks sifat hak asasi manusia yang indivisible, interrelated dan interdependent, Pasal 28G ayat (1)  berkaitan erat dengan Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yang memberikan jaminan hak asasi atas kebebasan menentukan nasib sendiri dan hak asasi atas kebebasan berbicara atau menyatakan pikiran dan sikap. Kedua jaminan HAM tersebut perlu dipahami dan direalisasikan secara seimbang. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 2. Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 3. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Referensi: Eoin Carolan, “The Concept of a Right to Privacy”, dalam Eoin Carolan, Hilary Delany, The Right to Privacy: A Doctrinal and Comparative Analysis, Thompson Round Hall, England, 2008. G. Negley, “Philosophical Views on the Value of Privacy” Law & Contemporary Problems Law Review Vol 31 No. 319, 1966 . General Comment Human Rights Committee No. 16 : Article 17 (The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation). Giri A.Taufik, Identifying The Traces of P a rticularity in Indonesia Freedom of Expresion, 2011. Roe v. Wade, 410 U.S. 113 (1973). Russel Brown, “Rethinking Privacy”, Alberta Law Review Vol. 43 No. 589, 2006 . hak asasi manusia ham hukum hukumonline klinik hukumonline konstitusi uud 1945" }
{ "from": "human", "value": "Saya membeli tanah seluas 238 m2 di sebuah perumahan di Tangerang. Kemudian saya bangun rumah di atasnya. Sewaktu mengurus sertifikat HGB, developer meminta saya membayar BPHTB atas tanah dan bangunan. Apakah saya harus membayar BPHTB atas bangunan yang saya bangun sendiri, bukan hasil pembelian dari developer? Sementara menurut UU 20/2000, BPHTB adalah objek pajak atas transaksi jual beli?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebagai informasi, ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”) pada mulanya diatur di dalam UU 21/1997 dan perubahannya yang kini telah dicabut. Adapun ketentuan mengenai BPHTB saat ini diatur di dalam dalam UU 1/2022.\nArti BPHTB dapat Anda temukan dalam Pasal 1 angka 37 UU 1/2022 yang berbunyi:\n\nBea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.\nBerdasarkan pengertian di atas, maka objek BPHTB yakni perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.[1]\nJenis-Jenis Perolehan Hak yang Dikenai BPTHB\n\nPerolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru, dengan rincian sebagai berikut: [2]\n\npemindahan hak karena:\njual beli;tukar menukar;hibah;hibah wasiat;waris;pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;penunjukan pembeli dalam lelang;pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;penggabungan usaha;peleburan usaha;pemekaran usaha; atauhadiah.pemberian hak baru karena:\nkelanjutan pelepasan hak; ataudi luar pelepasan hak.\n\nAdapun, hak atas tanah dan/bangunan yang termasuk dalam objek BPTHB karena perolehan hak baik pemindahan hak atau pemberian hak baru, salah satunya adalah hak guna bangunan (HGB) sebagaimana Anda tanyakan.[3]\n\nSelain itu, perlu diketahui bahwa waktu terutangnya pajak BPHTB untuk jual beli adalah pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli, dengan nilai perolehan objek pajak berdasarkan harga transaksi.[4]\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, benar bahwa objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan salah satunya karena jual beli. Akan tetapi perlu dilihat kembali dalam perjanjian antara developer dengan Anda selaku pembeli, apakah benar terjadi pemindahan hak atau pemberian hak baru atas tanah dan bangunan untuk dapat menentukan pengenaan BPHTB atas HGB rumah Anda.\n\nBaca juga: Pajak Tanah Milik Pribadi, Begini Aturan PBB-P2\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.\n\n[1] Pasal 1 angka 38 dan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (“UU 1/2022”)[2] Pasal 44 ayat (2) UU 1/2022[3] Pasal 44 ayat (3) huruf c UU 1/2022[4] Pasal 49 huruf a jo. Pasal 46 ayat (2) huruf a UU 1/2022" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau bertanya, apakah karyawan toko memiliki hak yang sama seperti pekerja/buruh? Baik dari upah maupun dari hari libur dan hak pekerja bila toko memberhentikan karyawannya? Sebab banyak karyawan toko yang kerap diperlakukan semena-mena oleh bosnya. Baik dari segi upah maupun hari libur dan bila karyawan diberhentikan. Kemudian karyawan toko itu haknya apa saja?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITKaryawan Kontrak Resign, Berhak Dapat Uang Kompensasi?01 Agt 2023Hak-hak Karyawan yang Di-PHK dan yang Resign24 Jul 2023Perbedaan Pekerja Harian Lepas dengan Pekerja Bulanan24 Jul 2023Bolehkah Upah Pokok di Bawah Upah Minimum?27 Jan 2023\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah karyawan toko memiliki hak yang sama dengan pekerja/buruh, kami akan menjelaskan terlebih dahulu kriteria pekerja/buruh dan pengusaha yang tunduk pada ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.\n\nYang dimaksud dengan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[1]\nPemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.[2]\n\nAdapun, yang dimaksud dengan pengusaha adalah:[3]\n\norang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.\nSementara, perusahaan adalah:[4]\n\nsetiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.\n\nKami asumsikan bahwa toko yang Anda maksud termasuk dalam usaha mikro dan kecil. Adapun yang dimaksud dengan usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki modal maksimal Rp1 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp2 miliar.[5]\n\nSedangkan usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang merupakan anak perusahaan/bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki modal usaha lebih dari Rp1 miliar sampai dengan maksimal Rp5 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan lebih dari Rp2 miliar sampai dengan maksimal Rp15 miliar.[6]\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, maka pemilik toko dikategorikan sebagai pengusaha (usaha mikro dan kecil) dan karyawan toko sebagai pekerja. Di antara pengusaha dan pekerja tercipta hubungan kerja yaitu hubungan antara pengusaha sebagai pemberi kerja dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang memuat unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[7]\n\nDengan demikian, UU Ketenagakerjaan yang sebagian telah diubah, dicabut, dan dimuat aturan baru oleh Perppu Cipta Kerja berlaku bagi pekerja dan pengusaha usaha mikro dan kecil.\n\nAdapun, yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.[8] Suatu perjanjian kerja dibuat berdasarkan:[9]\n\nkesepakatan kedua belah pihak;kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;adanya pekerjaan yang diperjanjikan; danpekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.\n\nPerlu diperhatikan bahwa perjanjian kerja ini dibuat secara tertulis atau lisan. Pada prinsipnya memang perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi masyarakat yang beragam, maka dimungkinkan perjanjian kerja dibuat secara lisan.[10]\nHak Karyawan Toko atas Upah\n\nDalam hubungan kerja, harus ada pekerjaan tertentu sesuai perjanjian serta menimbulkan hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja, salah satunya upah. Pemberi kerja wajib membayar upah dan pekerja berhak atas upah dari pekerjaan yang dilakukannya.\n\nTerkait dengan upah, pada prinsipnya, pengusaha dilarang membayarkan upah pekerja lebih rendah dari upah minimum.[11] Namun, hal tersebut dikesampingkan bagi usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur di dalam Pasal 81 angka 31 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 90B ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:\n\nKetentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.\n\nYang dimaksud dengan ketentuan upah minimum di atas adalah upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten yang ditetapkan oleh gubernur.[12]\n\nAdapun upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan. Kesepakatan upah tersebut minimal sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.[13]\nLebih lanjut, Pasal 36 ayat (2) PP Pengupahan diatur bahwa kesepakatan upah antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan ketentuan:\n\npaling sedikit sebesar 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; dannilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.\nHak Karyawan Toko atas Hari Libur\n\nAdapun terkait dengan hari libur, karyawan toko berhak untuk tetap mendapatkan hari libur sebagaimana diatur di dalam Pasal 85 UU Ketenagakerjaan sebagai berikut:\n\nPekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi;Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha;Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi wajib membayar upah kerja lembur.\n\nSelain ketentuan hari libur di atas, setiap pekerja juga berhak untuk mendapatkan waktu istirahat atau libur minimal 1 hari kerja untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu dan berhak mendapatkan upah penuh.[14]\n\nSelengkapnya mengenai hak libur pekerja dapat dibaca dalam Aturan dan Jenis Hak Libur bagi Karyawan.\nHak Karyawan Toko Jika di-PHK\n\nPekerja yang diberhentikan atau dilakukan pemutusah hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha (pemilik toko) memiliki hak sebagaimana diatur di dalam Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:\n\nDalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.\n\nAnda dapat membaca hak-hak pekerja yang di-PHK dalam artikel Hak-hak Karyawan yang Di-PHK dan yang Resign.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60320cfe8e3b3/peraturan-pemerintah-nomor-7-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_7_2021)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n[1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 1 angka 6 UU Ketenagakerjaan[5] Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 35 ayat (1), ayat (3) huruf a dan ayat (5) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“PP 7/2021”)[6] Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 35 ayat (1), ayat (3) huruf b dan ayat (5) huruf b PP 7/2021[7] Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan[8] Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan[9] Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[10] Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya[11] Pasal 81 angka 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang memuat baru Pasal 88E ayat (2) UU Ketenagakerjaan[12] Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88C ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan[13] Pasal 81 angka 31 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 90B ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan[14] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan dan Pasal 81 angka 26 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 84 UU Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Ada perkara pertanahan dimana perkara ini telah diputus oleh hakim. Hakim memenangkan pihak penggugat yang menyatakan tanah tersebut sah milik penggugat. Namun sebelum perkara ini masuk pengadilan, tergugat telah menjaminkan tanah tersebut ke bank. Apakah tanah yang dijaminkan ke bank bisa dieksekusi pengadilan karena perkara lain? Bagaimana juga kedudukan tanah penggugat bila tergugat lalai melunasi hutangnya ke bank dan tanah tersebut dieksekusi karena perintah bank? terima kasih" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari Berdasarkan pendapat pakar hukum dan putusan Mahkamah Agung, atas tanah yang sudah dijadikan jaminan tidak dapat diletakkan sita jaminan maupun sita eksekusi. Dengan demikian, kreditor pemegang jaminan memiliki hak didahulukan atas tanah tersebut. Tapi dalam putusan Mahkamah Agung lain, pihak yang benar-benar merasa berhak dan memiliki bukti kuat dapat dimenangkan dan di saat bersamaan hak tanggungan yang dipegang kreditor menjadi gugur demi hukum. Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan Berdasarkan penjelasan Anda, kami mengambil kesimpulan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut pada awalnya adalah atas nama Tergugat (dalam sertifikat), kemudian setelah proses peradilan dan ada putusan Hakim, yang berhak atas tanah tersebut adalah Penggugat. Pada dasarnya yang dapat membebankan suatu tanah dengan hak tanggungan adalah pemilik tanah itu sendiri. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”): KLINIK TERKAIT Mengenal Arti dan Contoh Droit De Suite 24 Jul 2024 Langkah Hukum Jika Bank Tak Kembalikan SHM dan SHT 18 Sep 2023 Perbedaan Droit de Preference dan Hak Privilege 02 Des 2014 Pengaturan Mengenai Hasil Penjualan Objek Hak Tanggungan 16 Jul 2014 (1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. (2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jika si Tergugat adalah pemilik tanah tersebut berdasarkan sertifikat tanah yang ada pada waktu itu, maka Tergugat memang berhak untuk membebankan tanah tersebut dengan hak tanggungan. Jika kemudian tanah tersebut disengketakan dan Tergugat dinyatakan bukan sebagai orang yang berhak (pemilik) atas tanah tersebut, maka itu merupakan permasalahan lain. Mengenai apakah atas tanah tersebut dapat dieksekusi oleh pengadilan, pada dasarnya dalam UU Hak Tanggungan itu sendiri tidak diatur. UU Hak Tanggungan hanya mengatur bahwa hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada ( Pasal 7 UU Hak Tanggungan ). Ini merupakan sifat dari hak kebendaan yaitu droit de suite . Mengenai droit de suite , Anda dapat membaca artikel Arti Droit De Suite . Akan tetapi, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. dalam bukunya Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan) (hal. 40-41), memberikan pendapat bahwa seharusnya menurut hukum terhadap hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita (sita jaminan maupun sita eksekusi). Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenalkannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya hak tanggungan itu sendiri. Tujuan dari hak tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang hak tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap hak tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditor pemegang hak tanggungan. Lebih lanjut, Prof. DR. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. ( Ibid, hal. 42) memberikan contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 394K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1985, yang berpendirian bahwa barang-barang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara) tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik sehingga tidak dapat dikenakan sita jaminan. Akan tetapi, ini kembali lagi kepada pertimbangan hakim. Sebagai contoh, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2301 K/Pdt/2007 , Penggugat dan Tergugat I awalnya adalah pasangan suami istri, yang pada saat perkawinan masih berlangsung, keduanya membeli sebuah tanah. Pada saat perceraian, keduanya belum membagi harta bersama di antara mereka. Tergugat I kemudian mengganti buku dan mengukur ulang tanah tersebut karena buku yang lama telah penuh, yang mana nama pemiliknya tetap Tergugat I. Tergugat I kemudian menjual tanah tersebut kepada Tergugat II. Tergugat II kemudian menjaminkan tanah tersebut kepada bank. Dalam perkara ini, hakim memutuskan salah satunya menyatakan bahwa sertifikat hak tanggungan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, jika Penggugat benar-benar merasa berhak atas tanah tersebut sebaiknya Penggugat juga meminta pembatalan hak tanggungan yang berada di atas tanah tersebut kepada pengadilan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah . Referensi: Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan: Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan). Bandung: Alumni. Putusan: Putusan Mahkamah Agung No. 2301 K/Pdt/2007 . sita jaminan eksekusi hak tanggungan" }
{ "from": "human", "value": "Dalam persidangan perdata, benarkah Hakim berhak menahan surat kuasa tergugat agar penggugat tidak bisa memfoto copy-nya, walaupun bisa membaca dan menyalinnya? Apakah juga benar kuasa hukum tergugat tidak wajib memberikan salinan surat kuasanya kepada penggugat, walaupun diminta?" }
{ "from": "gpt", "value": "Tidak ada keharusan surat kuasa diberikan kepada pihak lawan. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 137 Herzienne Indonesische Reglement (HIR) , p ihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat mana diserahkan kepada hakim buat keperluan itu . Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan apabila salah satu pihak meminta agar ditunjukkan surat-surat tertentu (baik surat kuasa ataupun surat lainnya), maka pihak lainnya wajib menunjukkan surat-surat yang diminta tersebut. Untuk pertanyaan apakah hakim dapat menahan surat kuasa tergugat agar penggugat tidak bisa mem- fotocopy , hal demikian tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, hemat kami, berdasarkan pasal 137 HIR pihak penggugat dapat menuntut untuk diperlihatkan surat kuasa dari kuasa hukum tergugat ataupun salinannya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: HIR ( Het Herziene Indonesisch Reglemen , Staatblad Tahun 1941 No. 44)" }
{ "from": "human", "value": "Apakah hakim boleh mengadili kasus keluarganya? Apakah ada peraturan yang melarang atau memperbolehkan hakim mengadili kasus keluarganya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa bagi hakim Mahkamah Agung (“MA”) serta peradilan di bawahnya, berlaku Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pengertian kode etik hakim diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama MA dan KY sebagai berikut:\n\nKode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah Panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 - 02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.\nAdapun hakim yang dimaksud dalam kode etik tersebut adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, termasuk hakim ad hoc dan hakim pengadilan pajak.[1]\n\nBaca juga: Mengenal Kode Etik Profesi Hakim\n\nSelanjutnya, berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, keluarga hakim adalah keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai (hal. 6). Lalu, pada dasarnya seorang hakim dalam menangani suatu perkara harus menghindari adanya konflik kepentingan, yang salah satunya adalah konflik kepentingan yang berhubungan dengan pribadi dan kekeluargaan. Hal tersebut kemudian dipertegas dalam beberapa pasal dalam Peraturan Bersama MA dan KY sebagai berikut:\n\nPasal 7 ayat (3) huruf a\nHakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suaatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut.\n\nPasal 7 ayat (3) huruf c\n\nHakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya.\n\nPasal 9 ayat (5) huruf a\nHakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.\n\nPasal 9 ayat (5) huruf c\n\nHakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, hakim anggota lainnya, penuntut, advokat, dan panitera yang menangani perkara tersebut.\nPasal 10 ayat (2) huruf a\n\nHakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau pihak lain.\nSebagai informasi, pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (3) huruf a, Pasal 9 ayat (5) huruf c, dan Pasal 10 ayat (2) huruf a Peraturan Bersama MA dan KY merupakan pelanggaran berat.[2] Sedangkan pelanggaran terhadap Pasal 9 ayat (5) huruf a adalah pelanggaran sedang.[3] Kemudian pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (3) huruf c adalah pelanggaran ringan.[4]\n\nLebih lanjut, apabila dalam menangani suatu perkara, hakim memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) huruf c Peraturan Bersama MA dan KY, maka hakim wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri tersebut harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.[5]\n\nKetentuan mengenai sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran dapat Anda lihat pada Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 Peraturan Bersama MA dan KY.\n\nBaca juga: 10 Prinsip Kode Etik Hakim, Yuk Cari Tahu di Sini!\nLarangan Mengadili Kasus Keluarga bagi Hakim Mahkamah Konstitusi\n\nSementara bagi hakim yang bertugas di Mahkamah Konstitusi (“MK”) berlaku Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Lalu, Pasal 1 angka 9 Peraturan MK 1/2023 mengatur sebagai berikut:\n\nKode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi adalah panduan moral dan etik bagi setiap Hakim Konstitusi, baik dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya maupun dalam pergaulan di masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.\n\nSerupa dengan hakim MA, pada dasarnya hakim MK dalam menangani suatu perkara juga harus menghindari adanya konflik kepentingan keluarga. Hal ini terdapat di beberapa prinsip yang diatur dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagai berikut:\n\nPrinsip Ketakberpihakan\n\nKetakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim konstitusi sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan ke Mahkamah. Ketakberpihakan mencakup sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara (hal. 7).\n\nSalah satu penerapan prinsip ketakberpihakan adalah hakim konstitusi (kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan) harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini (hal. 8):\n\nHakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atauHakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.\nPrinsip Kepantasan dan Kesopanan\n\nKepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim konstitusi, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan (hal. 10).\nPenerapan prinsip ini salah satunya, hakim konstitusi dilarang mengizinkan anggota keluarganya dan/atau relasi sosial lainnya untuk memengaruhi hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara (hal. 11).\n\nSelain itu, hakim konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi hakim konstitusi atau anggota keluarganya, atau siapapun juga. Demikian pula hakim konstitusi dilarang memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menimbulkan kesan seolah-olah mempunyai kedudukan khusus yang dapat memengaruhi hakim konstitusi dalam pelaksanaan tugasnya (hal 11-12).\n\nSepanjang penelusuran kami, tidak terdapat definisi siapa saja yang dimaksud dengan keluarga hakim dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi maupun Peraturan MK 1/2023. Namun, intinya jika hakim konstitusi mengizinkan anggota keluarganya untuk memengaruhi hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara, maka hakim konstitusi melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.[6] Sanksi pelanggaran dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian tidak dengan hormat.[7]\nPemberian sanksi bagi hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran dapat Anda baca selengkapnya pada Pasal 40 sampai dengan Pasal 48 Peraturan MK 1/2023.\n\nBaca juga: Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK\n\nKesimpulannya, baik bagi hakim MK, hakim MA, serta hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya, dalam menangani suatu perkara harus menghindari adanya konflik kepentingan keluarga. Bagi hakim MA dan hakim pada badan peradilan dibawahnya, ketentuan tersebut diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dan Peraturan Bersama MA dan KY. Sedangkan bagi hakim MK, berlaku Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dan Peraturan MK 1/2023. Namun perlu diketahui bahwa apabila hakim konstitusi tidak dapat bersikap tak berpihak karena anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan, maka hakim harus mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara, kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan.\n\nBaca juga: Apakah Kode Etik Termasuk Peraturan Perundang-undangan?\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt5ed8baacb393e/peraturan-mahkamah-konstitusi-nomor-09-pmk-2006-tahun-2006?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_mk_9_pmk_2006)\n2. [Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63e47abcb6208/peraturan-mahkamah-konstitusi-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_mk_1_2023)\n3. [Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim](https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/kode%20etik%20dan%20pedoman%20perilaku%20hakim%20ma%20ky.pdf)\n4. [Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim](https://jdih.komisiyudisial.go.id/upload/produk_hukum/Peraturan-Bersama-MA-KY-tentang-KEPPH.pdf)\n[1] Pasal 1 angka 2 Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“Peraturan Bersama MA dan KY”).[2] Pasal 18 ayat (3) huruf d, g, h Peraturan Bersama MA dan KY.[3] Pasal 18 ayat (2) huruf f Peraturan Bersama MA dan KY.[4] Pasal 18 ayat (1) huruf c Peraturan Bersama MA dan KY.[5] Pasal 9 ayat (4) huruf f Peraturan Bersama MA dan KY.[6] Pasal 10 huruf e Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (“Peraturan MK 1/2023.”).[7] Pasal 41 Peraturan MK 1/2023." }
{ "from": "human", "value": "Apakah dalam perang/konflik HAM masih berlaku? Contohnya konflik antara TNI dengan OPM di Papua, dimana TNI melakukan serangan kepada OPM dalam rangka menyelamatkan warga sipil, apakah ini pelanggaran HAM?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, kita perlu pahami terlebih dahulu mengenai pengertian hak asasi manusia (“HAM”). Menurut Pasal 1 angka 1 UU HAM dan Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan HAM hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.\nAdapun, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM menurut Pasal 1 angka 6 UU HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU HAM, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.\n\nSelanjutnya, perlu dipahami juga mengenai eksistensi dari Organisasi Papua Merdeka (“OPM”) dan karakter konflik antara TNI dengan OPM. Disarikan dari artikel Yang Harus Dilakukan Pemerintah untuk Tuntaskan KKB di Papua kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang di Papua memiliki sebutan yang berbeda-beda. Polri menyebutnya sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (“KKB”) dan TNI menggunakan istilah Kelompok Separatis Bersenjata (“KSB”) atau OPM yang intinya merupakan kelompok pejuang yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.\nSementara itu, konflik antara TNI dengan OPM tersebut dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata non-internasional[1] atau NIAC (non-international armed conflict). Disarikan dari artikel Konflik Israel-Hamas, Termasuk IAC atau NIAC?, NIAC adalah konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, misalnya terjadi antara negara dengan pemberontak atau antar pemberontak itu sendiri.\n\nIstilah lain dari konflik ini adalah perang saudara, revolusi, pemberontakan, terorisme, perang gerilya, perlawanan, pemberontakan internal, atau perang untuk menentukan nasib sendiri.[2]\n\nDengan demikian, menurut hemat kami adanya perlawanan dari pihak negara melalui TNI adalah bentuk perlindungan kepada masyarakat sipil yang telah terancam jiwanya. Hanya saja, TNI dalam melakukan perlawanan tersebut seyogianya tidak boleh menimbulkan collateral damage (kerusakan tambahan) atau unnecessary damage (kerusakan yang tidak diperlukan), serta dilarang menyerang penduduk sipil.\n\nJika merujuk UU Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat dibagi menjadi dua jenis yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Adapun, tindakan TNI baru dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat jika serangan ditujukan kepada masyarakat sipil atau ditujukan untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama, sesuai dengan kriteria genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selengkapnya mengenai pengertian dan bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat dapat Anda simak dalam artikel Apa yang Dimaksud dengan Pelanggaran HAM Berat?\n\nTindakan TNI tersebut juga sebagai wujud pelaksanaan fungsi TNI berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU TNIyaitu:\n\npenangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa;penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; danpemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.\nApakah HAM Masih Berlaku dalam Keadaan Perang/Konflik?\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai apakah HAM masih berlaku dalam keadaan perang atau konflik, jawabannya tentu saja masih berlaku.\n\nSebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa konflik antara TNI dengan KKB atau OPM tergolong sebagai NIAC atau konflik bersenjata non internasional, sehingga perlu mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977.\n\nDalam ketentuan Protokol Tambahan II 1977, dalam keadaan perang dilarang melakukan penyerangan terhadap warga sipil, rumah ibadah, rumah sipil dan secara khusus melindungi orang yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan (warga atau penduduk sipil, pekerja kesehatan, dan pekerja bantuan kemanusiaan) dan mereka yang tidak lagi terlibat dalam permusuhan, seperti tentara yang terluka, sakit dan kapalnya karam dan tawanan perang.\n\nNamun, berdasarkan artikel Penyelesaian Konflik Papua dalam Perspektif Hukum Humaniter Indonesia saat ini belum menjadi pihak dalam Protokol Tambahan II 1977. Akan tetapi, Indonesia tetap terikat ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 yang telah diratifikasi melalui UU 59/1958.\n\nAdapun, Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 secara garis besar memberikan ketentuan bahwa para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata non-internasional terikat untuk menerapkan ketentuan pasal ini. Salah satunya adalah orang yang tidak mengambil bagian secara aktif dalam konflik, termasuk anggota bersenjata yang telah meletakkan senjatanya dan mereka yang sakit, luka, yang ditahan, atau sebab lain apapun harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa adanya diskriminasi. Terhadap pihak-pihak tersebut dilarang kapan pun dan di manapun untuk dilakukan kekerasan, segala jenis pembunuhan tertentu, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan, penyanderaan, perlakuan yang merendahkan, penjatuhan hukuman dan pelaksanaan eksekusi tanpa putusan pengadilan.\n\nKemudian yang perlu digarisbawahi adalah dalam keadaan konflik bersenjata atau perang, terdapat non-derogable rights yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata, dan/atau keadaan darurat.[3] Hak-hak yang termasuk dalam non-derogable rights menurut Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 meliputi:\n\nHak untuk hidup;Hak untuk tidak disiksa;Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;Hak beragama;Hak untuk tidak diperbudak;Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; danhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.\n\nHal yang sama juga diatur dalam Pasal 4 UU HAM dan Pasal 4 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang disahkan Indonesia melalui UU 12/2005. Non-derogable rights ini menurut pendapat kami berlaku terhadap warga sipil dan pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 sebagaimana dijelaskan sebelumnya.\n\nDengan demikian, tindakan TNI dapat tergolong sebagai pelanggaran HAM apabila dalam baku tembak atau konflik bersenjata tersebut tersebut dilakukan di luar ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang perang atau konflik bersenjata non-internasional sebagaimana dijelaskan di atas.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ef02536c82ac/undangundang-nomor-59-tahun-1958?r=0&p=1&q=UU%2059%2F1958&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_59_1958)\n3. [Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4d5b5fc6abcb2/undangundang-nomor-39-tahun-1999?r=1&p=1&q=UU%20HAM%20&rs=1847&re=2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_39_1999)\n4. [Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17499/nprt/541/uu-no-26-tahun-2000-pengadilan-hak-asasi-manusia?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_26_2000)\n5. [Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19809/undangundang-nomor-34-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_34_2004)\n6. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/24213/undangundang-nomor-12-tahun-2005/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_2005)\nREFERENSI:\n1. Protokol Tambahan II 1977 yang diakses pada Senin, 13 Mei 2024 pukul 14.03 WIB\n2. Joshua Victor Hendriko Simaela al. Konflik Tentara Nasional Indonesia Dengan Organisasi Papua Merdeka. Vol. 1 No. 1 Agustus 2023.\n\n[1] Joshua Victor Hendriko Simaela et. al. Konflik Tentara Nasional Indonesia Dengan Organisasi Papua Merdeka. Vol. 1 No. 1 Agustus 2023, hal. 28\n\n[2] Joshua Victor Hendriko Simaela et. al. Konflik Tentara Nasional Indonesia Dengan Organisasi Papua Merdeka. Vol. 1 No. 1 Agustus 2023, hal. 26\n\n[3] Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia" }
{ "from": "human", "value": "Apakah pengendara mobil harus bertanggung jawab bila tanpa sengaja menabrak orang yang secara tiba-tiba menyeberang di jalan tol? Atau juga misalnya orang yang menyebrang di jalan raya bukan di jembatan penyebrangan maupun zebra cross?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaannya. Saya coba jawab dengan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman pribadi saya. Menurut saya, pengendara mobil tidak harus bertanggung jawab atas kecelakaan yang seperti Anda tanyakan. KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Pelaku Tabrak Lari dan Seret Motor 23 Okt 2023 Sanksi Kebut-kebutan di Jalan Hingga Mengakibatkan Kecelakaan 12 Okt 2023 Korban Tak Melapor, Bagaimana Kelanjutan Kasus Laka Lantas? 22 Mei 2014 Motor Balapan Menabrak Truk yang Parkir, Siapa yang Salah? 21 Apr 2014 Namun untuk lebih memastikan lagi siapa yang menjadi pelaku/tersangka dan siapa yang menjadi korban akan ditentukan dari hasil penyidikan petugas di lapangan. Baik dari hasil sket dan olah tempat kejadian perkara (TKP) maupun pemeriksaan saksi-saksi. Sekali lagi saya tegaskan, melalui kesempatan ini saya menginformasikan kepada seluruh pembaca bahwa pengendara mobil tidak selalu bertanggung jawab atas kecelakaan lalu lintas. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mobil vs Motor = Motor KO, bisa saja karena motornya yang ‘ nyelonong ’ tidak jelas. Mobil vs Pejalan Kaki = Pejalan Kaki KO, bisa saja pejalan kakinya mabuk karena habis minum atau memang niat bunuh diri. Truk gandeng vs Motor = Motor dan pengendara rata dengan aspal, bisa saja motor itu yang menyalip di tikungan lalu mengalami selip trus terlindas. Mari kita berkendara dengan saling menghargai dan memperhatikan. Jika terjadi kecelakaan, jangan seperti orang primitf yang selalu menyalahkan yang lebih besar. Karena mulai dari truk gandeng, mobil, motor, sampai sepeda gayung, ukuran pengendaranya sama, yaitu sama-sama MANUSIA. Semua manusia sama-sama punya potensi sengaja, khilaf, atau salah. hukum hukumonline kecelakaan uu lalu lintas" }
{ "from": "human", "value": "Sebelum menikah saudara saya memiliki usaha yang modalnya sebesar Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah). Setelah menikah usaha saudara saya berkembang sehingga bisa membeli dua unit rumah dan satu unit mobil. Sampai saat ini usaha tersebut masih berjalan namun saudara saya tersebut hendak bercerai dengan istrinya di Pengadilan Agama. Pertanyaan saya apakah dua unit rumah dan mobil tersebut merupakan harta bersama walaupun berasal dari modal yang berupa harta bawaan. Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Salam. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan “UU Perkawinan”). Undang-undang ini berlaku umum, dalam artian berlaku untuk yang muslim dan non muslim. Untuk yang muslim, ada lagi pengaturan yang khusus, yaitu Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) . KLINIK TERKAIT Apakah Hadiah Perkawinan Termasuk Harta Bersama? 20 Nov 2023 Apakah Utang Istri Menjadi Tanggung Jawab Suami? 09 Feb 2023 Duda Ingin Menikah dengan Perempuan Lajang, Perlukah Perjanjian Kawin? 05 Mei 2017 Perjanjian Pisah Harta Dibuat Setelah Perkawinan, Bolehkah? 09 Nov 2016 KHI merupakan kumpulan aturan hukum yang dihimpun dalam satu buku untuk kemudian dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, termasuk tentang pembagian harta kekayaan dalam perkawinan. KHI merupakan rangkaian dari terbitnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 mengenai Peradilan Agama . Baik dalam UU Perkawinan maupun dalam KHI, terdapat dua jenis harta kekayaan, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan , “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Lebih lanjut dalam ayat (2) dikatakan “Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Redaksi “sepanjang para pihak tidak menentukan lain” berupa pembuatan Perjanjian Perkawinan pisah harta sebelum pernikahan dilangsungkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Dalam Pasal 1 huruf f KHI disebutkan: “ Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.” Selanjutnya dalam Pasal 87 ayat (1) KHI disebutkan mengenai harta bawaan: “Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Islam memang mengenal adanya harta bawaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 (1) KHI, namun dalam kasus tersebut, sepertinya sulit untuk memastikan nilai dari harta bawaan yang kemudian dikembangkan tersebut. Jika memang dapat dibuktikan secara sah dan nilainya dapat dihitung secara pasti bahwa ada harta bawaan yang kemudian dikembangkan dan hal itu diakui sebagai modal awal oleh masing-masing pihak, maka itu dapat disepakati sebagai harta bawaan yang dipisahkan sendiri. Namun, jika itu sulit dilakukan, maka walaupun harta berupa dua unit rumah dan satu unit mobil tersebut dibeli dari keuntungan usaha yang dirintis dari sebelum menikah, dapat dianggap sebagai harta bersama/harta gono gini, karena harta tersebut dibeli/diperoleh ketika perkawinan berlangsung. Terhadap pasangan suami-istri yang tidak membuat perjanjian perkawinan pisah harta, harta bersama, harus dibagi dua sama rata antara suami dan istri. Demikian, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ; 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 mengenai Peradilan Agama ; 3. Kompilasi Hukum Islam. harta" }
{ "from": "human", "value": "Apakah hewan ternak seperti sapi, kambing, dan sebagainya dapat dijadikan Jaminan Fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Menurut Pasal 1 butir 2 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”), yang dimaksud Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. KLINIK TERKAIT Gadai Saham: Ketentuan, Syarat dan Hak Pemegang Saham 22 Sep 2022 Jika Eksekusi Hak Tanggungan Tak Cukup Lunasi Utang 24 Jun 2021 Perlindungan Kepentingan Kreditur dalam Fidusia 14 Jan 2020 Akibat Hukum Jaminan Fidusia yang Belum Didaftarkan 22 Des 2011 Sedangkan menurut Pasal 1 angka 4 UUJF , yang dimaksud benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan , baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud , yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar , yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menurut hemat kami, ternak seperti sapi dan kambing dapat digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya. Ketentuan mengenai benda bergerak ini dapat kita temui dalam Pasal 509 KUHPerdata yang berbunyi, “ barang bergerak karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan .” Menyarikan penjelasan Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dari bukunya yang berjudul Hukum Jaminan Perbankan , (hal. 83-91) Irma menjelaskan bahwa konsep pemberian jaminan fidusia adalah penyerahan hak milik secara kepercayaan atas hak-hak kebendaan. Atau dalam istilah hukumnya zakelijke zekerheid (security right in rem – hak jaminan kebendaan). Adapun yang dimaksud dengan hak-hak kebendaan di sini berupa: hak atas suatu benda yang bisa dimiliki dan dialihkan. Contohnya, kendaraan bermotor (mobil atau motor), mesin-mesin dan alat-alat berat, piutang dagang atau tagihan, stok barang dagangan ( inventory ). Menurut Irma, dalam praktiknya, hewan ternak dapat didaftarkan sebagai jaminan fidusia dan digolongkan dalam stok barang dagangan ( inventory ). Dalam proses pendaftarannya ke Kantor Pendaftaran Fidusia, harus melampirkan: A. Pengajuan Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia; B. Pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia yang ditandatangani oleh penerima fidusia serta kuasa atau wakilnya; C. Salinan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris dalam bahasa Indonesia yang memuat tentang: a) identitas pemberi atau penerima fidusia; b) data perjanjian pokok; c) uraian benda obyek fidusia ; d) nilai penjaminan; e) nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. D. Surat kuasa yang dibuat di bawah tangan; E. Bukti biaya pendaftaran fidusia. Dalam uraian benda obyek fidusia itu harus diuraikan perincian jumlah hewan ternaknya, misal: jumlah sapi, nilai sapi, jumlah kambing dan nilai kambing dan pada akhir uraian, disebutkan jumlah dan nilai total secara keseluruhan. Seperti halnya jika mobil yang dijaminkan, diuraikan: nomor polisi, model atau tipe, warna, tahun pembuatan, nomor rangka, nomor mesin, termasuk tanggal dan nomor surat BPKB, dan tanggal serta nomor fakturnya. Pada akhir uraian, disebutkan pula nilai obyek jaminan fidusia tersebut. Memang, penjaminan hewan ternak secara fidusia belum umum dilakukan di masyarakat. Namun, pada prinsipnya semua benda bergerak maupun benda tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, dapat dijaminkan dengan fidusia. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Irma Devita Punamasari pada 13 Januari 2012 melalui hubungan telepon. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya, berdasarkan hukum Barat dan hukum Islam, apakah barang yang telah dihibahkan oleh pewaris dapat ditarik kembali untuk membayar utang? Apakah ada jangka waktunya? Dan apakah pewaris yang beragama Islam dapat menggunakan hukum Barat dalam mewaris?" }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan pertanyaan Saudara, kami mengambil asumsi bahwa hibah tersebut adalah hibah semasa hidup, dan bukan hibah wasiat. Karena Saudara menanyakan hibah berdasarkan hukum B arat dan hukum Islam, maka kami akan menjelaskan berdasarkan ketentuan hibah menurut hukum B arat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dan ketentuan hibah menurut hukum Islam yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam . KLINIK TERKAIT Pembagian Harta Warisan Ayah Jika Ibu Masih Hidup 09 Jul 2024 Hak dan Kewajiban Anak Angkat Berkenaan dengan Warisan 18 Apr 2024 Haruskah Ahli Waris Membayar Tagihan Kartu Kredit Pewaris? 17 Jul 2023 Hukumnya Mantan Pacar Minta Kembalikan Barang Pemberian 21 Feb 2023 a. Hibah menurut hukum perdata B arat Pengertian hibah menurut hukum perdata B arat disebutkan dalam Pasal 1666 KUHPer : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali , untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup. Pelaksanaan hibah harus dilakukan dengan akta notaris kecuali pemberian hadiah dari tangan ke tangan secara langsung ( Pasal 1682 KUHPer ). Berdasarkan ketentuan tersebut, prinsipnya benda yang sudah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali menjadi hak milik pemberi hibah. Akan tetapi, untuk kepentingan kewarisan, benda yang telah dihibahkan dapat “diperhitungkan kembali” nilainya ke dalam total harta peninggalan seolah-olah belum dihibahkan (lihat Pasal 916a sampai Pasal 929 KUHPer ) Ketentuan ini bermaksud agar jangan sampai hibah yang dahulu pernah diberikan oleh pewaris, mengurangi bagian mutlak yang seharusnya dimiliki oleh ahli waris yang disebut legitime portie . Apabila harta yang dimiliki pewaris saat meninggal tidak cukup untuk membayar utang, maka bagian warisan untuk ahli waris yang bukan legitime portie , contohnya istri, dapat diambil. Apabila masih belum cukup maka diambil dengan cara mengurangkan besarnya wasiat jika ada wasiat. Jalan terakhir adalah dengan mengurangkan dari bagian hibah yang pernah diberikan pewaris sebelum meninggal. Hibah tersebut diperhitungkan kembali kemudian dikurangkan. Urutan hibah yang diperhitungkan kemudian dikurangkan tersebut dihitung dari hibah terdekat dari kematian pewaris sebagaimana diatur dalam Pasal 924 KUHPer : “Segala hibah antara yang masih hidup, sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan, tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masihlah harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai dengan hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua dan demikian selanjutnya.” Benda yang telah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi hibah. Untuk urusan kewarisan hibah yang pernah diberikan pewaris dapat diperhitungkan kembali ke dalam harta peninggalan. Dalam hukum waris perdata barat, ahli waris dapat melakukan penolakan sebagai ahli waris. Mengutip artikel Jika Utang Pewaris lebih besar dari Harta Warisan , menurut Pasal 833 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang mengatur “ Para ahli waris , dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. ” Namun , Pasal 1045 KUHPer menyebutkan “ Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya. ”. Berarti ahli waris yang tidak mau menanggung utang milik pewaris, dapat melakukan penolakan sebagai ahli waris. Penolakan sebagai ahli waris harus terjadi dengan tegas melalui suatu pernyataan yang dibuat di panitera Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat terbukanya warisan ( Pasal 1057 KUHPer ). b. Hibah menurut hukum Islam Pengertian hibah menurut Pasal 171 huruf g Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Hibah dalam hukum Islam juga tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya ( Pasal 212 KHI ). Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan ( Pasal 211 KHI ). Sekedar untuk menambah informasi, Saudara dapat membaca artikel Hibah Orang Tua kepada Anak-Anaknya dan Kaitannya dengan Waris . Mengenai kewajiban ahli waris untuk membayar utang pewaris, dalam Pasal 175 KHI disebutkan bahwa menyelesaikan utang-utang pewaris merupakan kewajiban ahli waris terhadap pewaris, tetapi kewajiban ahli waris hanya terbatas pada harta peninggalan pewaris. Dengan kata lain, ahli waris tidak wajib membayarkan utang-utang pewaris dengan harta pribadinya apabila seluruh harta pewaris telah habis untuk membayar utang. Jadi, dalam hukum Islam hibah orang tua kepada anaknya dapat ditarik kembali. Hibah yang pernah diberikan orang tua kepada anak dapat diperhitungkan sebagai warisan. Mengenai jangka waktu, kami kurang memahami maksud jangka waktu yang mana. Apabila yang Saudara maksud adalah jangka waktu dapat ditariknya lagi benda yang telah dihibahkan, maka berdasarkan KUHPer tidak ada jangka waktu dan tidak bisa dilakukan karena benda yang telah dihibahkan tidak bisa ditarik kembali, sedangkan untuk hukum Islam hanya hibah orang tua kepada anak yang dapat ditarik kembali dan tidak disebutkan sampai kapan jangka waktunya. Apabila pewaris yang beragama Islam ingin menggunakan cara perhitungan waris perdata B arat, ia dapat mengungkapkan kehendak tentang hal tersebut. Jika tidak ada pernyataan kehendak dari pewaris yang demikian, maka para ahli waris dapat bersepakat menentukan cara pembagian harta warisan . Terlepas dari itu, menurut KHI para ahli waris dimungkinkan untuk melakukan pembagian warisan berdasarkan kesepakatan ahli waris. Hal tersebut diatur dalam Pasal 183 KHI yang berbunyi sebagai berikut : “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.” Demikian yang kami ketahui , semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ) Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam" }
{ "from": "human", "value": "Dengan hormat, apakah saham yang dihibahkan dari sebuah perusahaan kepada seseorang dengan status menikah termasuk dalam harta gono gini seseorang tersebut? Terima kasih" }
{ "from": "gpt", "value": "Pertama harus dilihat terlebih dahulu kapan perkawinan orang tersebut terjadi. Apakah sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), atau setelah berlakunya UU Perkawinan. UU Perkawinan itu sendiri berlaku 2 Januari 1974 ( Pasal 67 ayat (1) UU Perkawinan ). Kami akan menjelaskan keduanya sebagai berikut: 1. Sebelum berlakunya UU Perkawinan Sebelum berlakunya UU Perkawinan, maka mengenai harta dalam perkawinan merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Pasal 119 KUHPer menyebutkan bahwa s ejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan . Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. KLINIK TERKAIT Bisakah Kekayaan Intelektual Menjadi Harta Gono-Gini? 01 Apr 2024 Apakah Hadiah Perkawinan Termasuk Harta Bersama? 20 Nov 2023 Kedudukan Mahar dalam Pernikahan sebagai Harta Bersama, Tepatkah? 02 Jun 2022 Apakah Hasil Pengembangan Harta Bawaan Menjadi Harta Gono Gini? 30 Mei 2014 Ini berarti bahwa semua harta yang dimiliki oleh si suami dan istri sebelum perkawinan menjadi bagian dari harta bersama, begitu pula dengan harta yang diperoleh dalam perkawinan, akan menjadi harta bersama atau harta gono gini. Dalam hal ini, maka hibah saham yang diberikan kepada orang tersebut akan menjadi bagian dari harta bersama dalam perkawinannya. Akan tetapi, hibah saham tersebut tidak menjadi bagian dari harta bersama jika sebelumnya ada perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai harta si istri dan suami ( Pasal 139 KUHPer ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selain itu, hibah saham tersebut juga bisa tidak masuk ke dalam harta bersama jika si penghibah telah memperjanjikan demikian, sebagaimana diatur dalam Pasal 120 KUHPer : “ Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas. ” 2. Setelah berlakunya UU Perkawinan Sedangkan dalam hal perkawinan orang itu terjadi setelah berlakunya UU Perkawinan, maka merujuk pada Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan , harta benda yang diperoleh oleh suami atau istri sebagai hadiah atau warisan, menjadi harta bawaan: Pasal 35 UU Perkawinan: (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain . Ini berarti hibah saham yang diberikan kepada orang tersebut tidak akan menjadi bagian dalam harta bersama, melainkan merupakan harta bawaan. Yang mana atas harta bawaan, pihak tersebut mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta yang berasal dari hibah tersebut ( Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . hukum klinik hukumonline gono gini hukumonline kuh perdata" }
{ "from": "human", "value": "Di luar negeri, contohnya Amerika Serikat, homoseksual legal. Apakah di Indonesia homoseksual legal? Terima kasih banyak." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, apa yang dimaksud dengan homoseksual? Menurut KBBI, homoseksual  adalah dalam keadaan tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama.\n\nHomoseksual adalah salah satu jenis orientasi seksual. Adapun orientasi seksual adalah perasaan ketertarikan secara seksual dan emosional kepada orang lain, baik perempuan atau laki-laki. Sehingga homoseksual dapat diartikan sebagai ketertarikan seksual yang terjadi pada jenis kelamin yang sama.[1]\nAnda benar bahwa di Amerika Serikat kaum homoseksual memang diakui. Hal ini berdasarkan pada keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tanggal 26 Juni 2016 yang secara sah melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagian Amerika Serikat atas dasar hak asasi manusia.[2]\nSementara di Indonesia, perkawinan homoseksual tidak diakui oleh hukum Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.\n\nIni berarti, negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Hukum Perkawinan Sesama Jenis di Indonesia.\nBisakah Homoseksual Dipidana?\n\nKetentuan mengenai jerat pidana bagi pelaku homoseksualitas dapat ditemukan pada Pasal 292 KUHP. Namun ketentuan ini tidak secara tegas melarang homoseksual yang dilakukan antar orang dewasa.\n\nKetentuan dalam Pasal 292 KUHP mengatur mengenai larangan perbuatan homoseksual terhadap orang yang belum dewasa yang bunyi pasalnya adalah sebagai berikut.\n\nOrang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.\n\nR. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa:\n\nDewasa = telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah pernah kawin.Jenis kelamin sama = laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.Tentang perbuatan cabul = segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Dalam arti perbuatan cabul termasuk pula onani.Dua orang semua belum dewasa atau dua orang semua sudah dewasa bersama-sama melakukan perbuatan cabul, tidak dihukum menurut pasal ini oleh karena yang diancam hukuman itu perbuatan cabul dari orang dewasa terhadap orang belum dewasa.Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang dewasa itu harus mengetahui atau setidak-tidaknya patut dapat menyangka bahwa temannya berbuat cabul itu belum dewasa.\n\nLantas, apakah perbuatan cabul sesama jenis dapat dipidana? Dalam UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[3] yakni pada tahun 2026, mengenai homoseksual diatur dalam Pasal 414 ayat (1), yaitu:\n\nSetiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:\n\ndi depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta.[4]secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atauyang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.\n\nDari Pasal 292 KUHP dan Pasal 414 ayat (1) UU 1/2023 di atas dapat kita ketahui bahwa jerat pidana bagi pelaku homoseksualitas memang ada tetapi apabila diikuti dengan perbuatan cabul, disertai adanya kekerasan ataupun dipublikasikan sebagai muatan pornografi, maka pelakunya dapat dipidana. Akan tetapi, memiliki sifat penyuka atau ketertarikan dengan sesama jenis tidak dipidana.\nContoh Kasus\n\nSebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan PT Palu No. 135/Pid.Sus/2021/PT Pal. Anak korban berusia 17 tahun mendatangi terdakwa di rumahnya dan meminta terdakwa menggunting rambutnya. Setelah menggunting rambut, terdakwa menawarkan minum kopi sambil menunggu hujan reda (hal. 2).\n\nSelanjutnya, terdakwa meminta anak korban masuk ke kamar dan meminta anak korban mengurut betis terdakwa. Selesai mengurut terdakwa, anak korban diminta berbaring dengan posisi tengkurap dan terdakwa mengurut anak korban. Lalu, terdakwa meminta anak korban membalikkan badannya dengan posisi telentang, dan mengurut paha anak korban. Pelan-pelan terdakwa membuka celana anak korban dan memegang alat kelamin korban hingga melakukan onani terhadap anak korban (hal. 3).\n\nAtas tindakan terdakwa tersebut, majelis hakim banding membatalkan Putusan PN Poso No. 63/Pid.Sus/2021/PN. Pso (hal. 14). Adapun putusan PN Poso tersebut menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul” berdasarkan Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 76 E UU 17/2016 dan dijatuhi pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp5 miliar dengan ketentuan jika pidana denda tidak dibayar, diganti dengan kurungan selama 3 bulan (hal. 5).\n\nOleh majelis hakim banding, terdakwa diputus secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 292 KUHP “melakukan perbuatan cabul terhadap orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama” sebagaimana dalam dakwaan kedua dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun (hal. 14).\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014/undang-undang-nomor-16-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_16_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 135/Pid.Sus/2021/PT Pal.\n\nREFERENSI:\n1. Agus Hamzah dan Septiana Dwiputri Maharani. LGBT dalam Perspektif Deontologi Immanuel Kant. Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 4 No. 1 Tahun 2021\n2. Nanang Khosim Azhari, Herni Susanti, Ice Yulia Susanti. Persepsi Gay Terhadap Penyebab Homoseksual. Jurnal Keperawatan Jiwa Vol. 7 No. 1, Mei 2019\n3. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991\n4. Homoseksual, yang diakses pada Senin, 14 Agustus 2023 pukul 15.03 WIB.\n\n[1] Nanang Khosim Azhari, Herni Susanti, Ice Yulia Susanti. Persepsi Gay Terhadap Penyebab Homoseksual. Jurnal Keperawatan Jiwa Vol. 7 No. 1, Mei 2019, hal. 1[2] Agus Hamzah dan Septiana Dwiputri Maharani. LGBT dalam Perspektif Deontologi Immanuel Kant. Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 4 No. 1 Tahun 2021, hal. 101[3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[4] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah pasal 284 KUHP berlaku bagi sepasang remaja yang belum nikah melakukan hubungan badan dengan dasar suka sama suka, bagaimana konsekuensinya secara hukum? 2. Apabila wanita remaja tersebut hamil, dan pria tersebut tidak mau tanggung jawab, menggunakan dasar apa jika mau membuat laporan polisi? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pasal 284 KUHP mengatur tentang perzinahan, atau yang biasa disebut mukah ( overspel ). Selengkapnya isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Bisakah Mengakui Anak Hasil Zina? 22 Jun 2023 Hukumnya Jika Pacar Tak Mau Bertanggung Jawab Menikahi 10 Mei 2023 Bisakah Ditangkap Polisi Karena Berduaan dengan Pacar? 24 Jan 2019 Suami Dalam Dilema Karena Istri Selingkuh 11 Nov 2011 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1.a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah. 2.a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin. b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pidah meja atau ranjang karena alasan itu juga. (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, Pasal 73, Pasal 75 KUHP. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami isteri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja atau ranjang menjadi tetap. Perzinahan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan. Seseorang bisa dikenakan pasal ini, bilamana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. Hal yang membedakan antara perzinahan dan pemerkosaan adalah, dalam perzinahan hal tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Adapun dalam perkosaan, terdapat  unsur paksaan dari salah satu pihak. Dalam pasal ini dibedakan antara mereka yang tunduk pada Pasal 27 BW/KUH Perdata (orang Eropa dan yang dipersamakan) dengan mereka yang tidak tunduk (orang yang beragama Islam). Pasal 27 BW mengatakan, seorang laki-laki hanya boleh menikah bersama seorang perempuan atau sebaliknya. Mereka yang tunduk pada pasal ini tidak boleh berzina dengan orang lain. Kalau melakukan, berarti dapat dipidana. Dikaitkan dengan pertanyaan, apakah Pasal 284 KUHP berlaku bagi sepasang remaja yang belum menikah melakukan hubungan badan dengan dasar suka sama suka, maka jawabannya tidak bisa diberlakukan. Sebagaimana dinyatakan bahwa unsur subjektif dari Pasal 284 KUHP adalah apabila terdapat pihak yang terikat perkawinan dengan orang lain. Oleh karena itu, tidak terdapat konsekuensi hukum yang didapat jika melakukan hubungan badan dengan dasar suka sama suka oleh pasangan yang tidak terikat tali perkawinan. Hal yang bisa terjadi hanyalah konsekuensi moral yang diberikan oleh masyarakat sekitar terhadap pihak yang melakukan. Apabila wanita remaja tersebut hamil, dan pria tersebut tidak mau tanggung jawab, maka tidak terdapat dasar hukum yang dapat digunakan untuk membuat laporan polisi. Jika menggunakan dasar hukum adanya penipuan, maka sulit pula untuk membuktikan adanya janji-janji tersebut. Terkait dengan politik hukum, dalam KUHP Nasional yang masih belum disahkan, terdapat Pasal pemidanaan terhadap pria yang telah ingkar janji untuk menikahi wanita setelah melakukan hubungan badan. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya perihal pembagian warisan karena kedua orang tua saya telah meninggal dunia dan mempunyai 3 orang anak. Namun orang tua saya beragama Katolik, sedangkan 3 orang anak tersebut 1 orang telah mualaf menjadi muslim, dan yang dua tetap beragama Katolik. Lalu apa dasar hukum waris beda agama? Adakah contoh kasus waris beda agama ini? Bagaimanakah proses pembagian warisan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam Pasal 830 KUH Perdata dinyatakan:\nPewarisan hanya terjadi karena kematian.\n\nOleh karenanya, pewarisan baru terjadi apabila pewaris telah meninggal dunia. Sehingga, segala harta peninggalan milik pewaris akan beralih ke ahli waris. Adapun, prinsip pewarisan menurut KUH Perdata adalah berdasarkan pada hubungan darah.\n\nDengan kata lain, yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 832 KUH Perdata.\n\nLebih lanjut, KUH Perdata membagi ahli waris ke dalam 4 golongan, yaitu:\n\nGolongan I terdiri dari suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak sah, serta keturunannya.[1]Golongan II terdiri dari ayah, ibu, dan saudara kandung pewaris.[2]Golongan III terdiri dari kakek, nenek, dan keluarga dalam garis lurus ke atas.[3]Golongan IV terdiri dari saudara dalam garis ke samping, misalnya paman, bibi, saudara sepupu, hingga derajat keenam, dan saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam.[4]\n\nPembagian warisan menurut hukum perdata tidak membedakan bagian antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai pewarisan beda agama atau larangan bagi ahli waris yang mewarisi harta peninggalan si pewaris apabila di antara pewaris dan ahli waris berbeda agama.\nPewarisan Beda Agama Menurut Hukum Waris Islam\n\nDalam KHI, hingga saat ini juga tidak terdapat pasal yang secara spesifik melarang pewarisan bagi pewaris dan ahli waris yang memiliki perbedaan agama. Pasalnya, ketentuan Pasal 173 KHI hanya menyebutkan dua hal yang menjadi penyebab seseorang tidak dapat mewarisi harta peninggalan milik pewaris, yaitu seseorang yang telah terbukti dipersalahkan membunuh dan memfitnah pewaris.\n\nAkan tetapi, jika melihat dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang berbunyi:\n\nTidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim.\nJika dilihat dari hadist tersebut maka ada larangan untuk saling mewarisi jika pewaris dan ahli waris berbeda agama.\n\nNamun, jika menilik dasar hukum waris beda agama dalam KHI lebih lanjut, KHI menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.[5] Sedangkan ahli waris dalam KHI yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[6]\n\nMerujuk pada aturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam KHI tidak diatur secara rinci mengenai larangan beda agama dalam hal pewarisan, namun ditekankan bahwa antara pewaris dan ahli waris harus beragama yang sama, yaitu Islam.\n\nTerkait hukum waris beda agama, Mahkamah Agung telah mengeluarkan suatu yurisprudensi, yaitu dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 dan Nomor 16/K/AG/2010. Dalam yurisprudensi terkait penetapan ahli waris beda agama tersebut, ditegaskan bahwa ahli waris beda agama tetap memperoleh harta waris dengan melalui wasiat wajibah dengan perolehan hak waris ahli waris beda agama bagiannya tidak lebih dari 1/3 harta warisan. Dengan demikian, penetapan ahli waris beda agama dalam hukum Islam, ahli waris nonmuslim yang berbeda agama tetap mendapatkan haknya sebagai ahli waris melalui wasiat wajibah.\nHukum Waris yang Berlaku Jika Pewaris dan Ahli Waris Beda Agama\n\nMenyambung pertanyaan Anda, berdasarkan hal-hal yang telah kami jelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua Anda beragama Katolik yang mana menundukkan diri pada hukum waris perdata. Terkait hal ini, sebagaimana dinyatakan dalam yurisprudensi MA melalui Putusan MA No. 172 K/Sip/1974, bahwa apabila terjadi sengketa waris, maka hukum waris yang digunakan adalah berdasarkan agama yang dianut oleh si pewaris.\n\nDapat kami sampaikan bahwa pembagian warisan dalam kasus Anda akan menggunakan hukum waris perdata dan apabila timbul sengketa waris dapat diselesaikan di lingkungan Pengadilan Negeri. Seperti yang dijelaskan di atas, tidak ada ketentuan hukum yang melarang mengenai pewarisan beda agama antara pewaris dengan ahli warisnya dalam KUH Perdata.\n\nMenurut hemat kami, saudara Anda yang berbeda agama dengan orang tua Anda (dan saudara kandung lainnya) tetap mendapatkan warisan dari orang tua Anda yang telah meninggal, di mana besaran warisannya sama dengan ahli waris yang seagama dengan orang tua Anda.\n\nTerkait proses pembagian warisan seperti yang Anda tanyakan, setidaknya terdapat 5 langkah yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan pembagian waris dalam keluarga Anda:\n\nMenyepakati hukum waris yang akan digunakan;Menentukan harta warisan pewaris;Menentukan ahli waris dari pewaris;Menghitung bagian perolehan ahli waris;Membuat kesepakatan pembagian waris.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 172 K/Sip/1974;Putusan Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999;Putusan Mahkamah Agung Nomor 16/K/AG/2010.\n\n[1] Pasal 852 dan Pasal 852a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)\n\n[2] Pasal 854 dan 855 KUH Perdata\n\n[3] Pasal 858 KUH Perdata\n\n[4] Pasal 861 KUH Perdata\n\n[5] Pasal 171 huruf b Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)\n\n[6] Pasal 171 huruf c KHI" }
{ "from": "human", "value": "Setelah ibu meninggal, 2 tahun kemudian ayah menikah lagi dengan seorang janda. Tahun lalu, ayah meninggal dengan meninggalkan 1 rumah beserta isinya dan sebidang tanah warisan kakek yang saat ini dikelola pakde. Rumah beserta isinya merupakan harta gono-gini ayah dan ibu ditambah bantuan anak-anak untuk renovasi. Bagaimana ketentuan waris menurut hukum Islam? Kami 5 bersaudara, 2 laki dan 3 perempuan. Apakah ibu tiri berhak mendapatkan warisan atas tanah tersebut? Saat ini ibu tiri dapat pensiun janda dari ayah. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Ahli waris yang berhak mewaris dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:[1]\n\nMenurut hubungan darah:\n\ngolongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.\n\nMenurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.\n\nKemudian, apabila semua ahli waris ada, baik yang menurut hubungan darah maupun hubungan perkawinan, maka yang berhak dapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.[2]\nBerapa Bagian-bagian Ahli Waris?\n\nAnak, yang berhak mewarisi dalam hukum Islam hanyalah anak kandung karena yang bernasab dengan pewaris. Anak mendapat haknya sebagai ahli waris setelah dikurangi bagian untuk ibu dan bapak.\n\nAnak perempuan:[3]\n\nApabila anak perempuan adalah anak tunggal, tanpa saudara maka ia mendapat separuh bagian.Apabila ada dua orang atau lebih anak perempuan maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.Apabila ada anak perempuan dan anak laki-laki, maka bagian anak perempuan adalah 1 bagian dan anak laki-laki adalah 2 bagian.\n\nAnak laki-laki:[4]\n\nApabila anak laki-laki adalah anak tunggal, tanpa saudara maka ia mendapat seluruh harta waris setelah dikurangi bagian untuk ibu dan bapak yang hidup terlama.Apabila lebih dari 1 anak laki-laki maka bagiannya adalah masing-masing 1 bagian.\n\nDuda, mendapat separuh bagian dari harta waris, apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Apabila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian harta waris.[5]Janda, mendapat seperempat bagian harta waris apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Apabila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian dari harta waris.[6]Ayah, mendapat sepertiga bagian dari harta waris apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Apabila ada anak, ayah mendapatkan seperenam bagian dari harta waris.[7]Ibu:[8]Apabila ada anak atau dua saudara atau lebih, ibu mendapat seperenam bagian dari harta waris.Apabila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian dari harta waris.Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda apabila bersama-sama dengan ayah.\nMenjawab pertanyaan Anda, harta peninggalan pewaris meliputi harta gono-gini (harta bersama) dengan almarhumah ibu Anda dan sebidang tanah warisan dari ayah pewaris (kakek bapak Anda).\n\nDalam kasus ini, harta peninggalan akan jadi harta waris apabila harta bersama itu dibagi dua terlebih dahulu untuk disisihkan bagian untuk almarhumah ibu Anda, kemudian bagian pewaris ditambah harta bawaan dari kakek Anda.\n\nSehingga, pembagian untuk ahli waris sebagai berikut:\n\nIbu tiri Anda (janda) bagiannya adalah 1/8 dari harta waris (karena pewaris memiliki anak).[9]Anak (anak perempuan adalah 1 bagian dan anak laki-laki 2 bagian). Harta waris yang terdiri separuh harta bersama dengan istri terdahulu (almarhumah ibu Anda) dan harta waris dari ayah pewaris (kakek bapak Anda) adalah 1. Sehingga, sebelumnya harus dikeluarkan terlebih dahulu untuk istri yaitu 1/8 bagian dan sisanya 7/8 bagian akan dibagi untuk anak-anaknya.\n\nBagian 3 anak perempuan dan 2 anak laki-laki adalah: (1:1:1:2:2). Maka perhitungannya adalah: 1 – (1/8) – (bagian anak) = 7/8 bagian.\n\nBagian anak laki-laki adalah 7/8 bagian dengan 7 bagian dari hitungan perbandingan di atas, jadi masing-masing bagian masing-masing anak laki-laki adalah 14/56 bagian.Bagian anak perempuan adalah masing-masing mendapatkan 7/56 bagian.\n\nDengan demikian, ahli waris istri memiliki 1/8 bagian dari harta waris, anak perempuan masing-masing mendapatkan 7/56 bagian dari harta waris dan anak laki-laki masing-masing mendapatkan 14/56 bagian dari harta waris.\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai pembagian warisan untuk ibu tiri dan ahli waris lainnya sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nInstruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.\nREFERENSI:\n1. Otje Salman dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama, 2001.\n\n[1] Pasal 174 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[2] Pasal 174 ayat (2) KHI[3] Pasal 176 KHI[4] Otje Salman dan Mustofa Haffas. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama, 2001, hal. 57[5] Pasal 179 KHI[6] Pasal 180 KHI[7] Pasal 177 KHI[8] Pasal 178 KHI[9] Pasal 180 KHI" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana hukum hak cipta antar partai politik yang saling meniru gaya kampanye melalui media elektronik maupun media cetak menjelang Pemilu ini?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) perlindungan hak cipta timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata. [1] Pasal 1 angka 3 UUHC yang menyatakan bahwa ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Sedangkan Ciptaan yang dilindungi sebagaimana diatur pada Pasal 40 ayat (1) UUHC adalah dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang terdiri atas: Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya; Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; Karya seni terapan; Karya arsitektur; Peta; Karya seni batik atau seni motif lain; Karya fotografi; Potret; Karya sinematografi; Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya; Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; Permainan video; dan Program Komputer. Kegiatan ‘meniru gaya’ yang Anda sebutkan di atas kami asumsikan sebagai suatu ide yang menginspirasi. Inspirasi adalah ide yang belum diekspresikan dalam bentuk nyata (fixed), sementara hukum hak cipta tidak melindungi ide . Ide hanya sekadar ide yang tak bisa dipegang ketika belum diekspresikan dalam bentuk nyata. Kalau kemudian dari ide tadi menghasilkan ciptaan yang tidak lahir dari tangan pemilik ide, maka yang namanya pemilik ide hanyalah pemilik ide karena fiksasinya dilakukan oleh orang lain. Mengenai ide ini, Pasal 41 UUHC menyatakan secara tegas sebagai berikut: Hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta meliputi: hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata; setiap ide , prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan alat, Benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional. Kemudian, untuk membuktikan bahwa seseorang melakukan pelanggaran atas suatu ciptaan orang lain, harus bisa dibuktikan bahwa: Orang tersebut benar-benar menggandakan ciptaan; Penggandaan menjadi melanggar hukum ketika ada kesamaan secara substansial antara Ciptaan seseorang dengan bagian-bagian dari Ciptaan orang lain. Contoh Salah satu contoh dapat kita lihat dalam kasus Dean v. Cameron , yang terjadi pada film AVATAR . James Cameron dan Twentieth Century Film telah berkali-kali digugat oleh orang-orang yang merasa hak ciptanya dilanggar, namun belum ada satupun penggugatnya yang menang. Para penggugat dianggap tidak dapat menunjukkan bagian substansial dari karya mereka yang dilanggar hak ciptanya oleh Cameron sehingga hakim memutus bahwa tidak ada hak cipta yang dilanggar dan semua karya yang dipermasalahkan telah melanggar hak cipta dinyatakan oleh hakim hak ciptanya adalah milik Cameron. Dalam kasus Dean vs Cameron , Dean menggugat Cameron karena dianggap telah melanggar hak cipta lukisannya. Dean menuduh Cameron terinspirasi oleh lukisan-lukisannya ketika membuat karakter pada film AVATAR . Untuk ulasan selengkapnya Anda dapat simak kasus ini dalam artikel DEAN v. CAMERON yang kami akses melalui laman Leagle, Inc sebuah penyedia salinan kasus hukum dari semua pengadilan Federal dan pengadilan tinggi Negara di Amerika Serikat. Jadi demikian pula dengan adanya gaya kampanye yang dianggap saling meniru di antara partai peserta kampanye. Selama tidak dapat dibuktikan kedua hal yang telah kami sebutkan di atas, maka tidak ada pelanggaran hak cipta yang terjadi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . Referensi : DEAN v. CAMERON , diakses pada Kamis 11 April 2019, pukul 10.40 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 UUHC hukumonline uu hak cipta hak cipta online hak kekayaan intelektual hukum klinik hukumonline hki kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Saya memiliki sebuah konsep penyelenggaraan kegiatan (dalam hal ini kegiatan hiburan dan sosial), kemudian saya ingin menyelenggarakannya bekerjasama dengan berbagai pihak. Namun yang saya khawatirkan jika di kemudian hari ide konsep saya ini diakui oleh seseorang untuk keuntungan pribadinya tanpa seizin saya sebagai penciptanya. Bagaimanakah saya harus melindungi ide konsep saya ini? Apakah bisa suatu kegiatan (event) didaftarkan sebagai kekayaan intelektual? Jika bisa, masuk dalam kekayaan intelektual jenis apa? dan perlukah saya daftarkan sebagai kekayaan intelektual?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Apabila Anda ingin agar ide atau konsep Anda dilindungi oleh hak cipta, maka ide tersebut haruslah diwujudkan dalam bentuk nyata sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) yang menyatakan bahwa ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata . Apakah bisa ide atau konsep suatu kegiatan ( event ) didaftarkan sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi hukum kekayaan intelektual? Jawabannya adalah tidak bisa , mengingat ide atau konsep tidak memenuhi syarat-syarat perlindungan sebagai suatu ciptaan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perlindungan Hak Cipta Konsep atau ide adalah sesuatu yang memiliki nilai amat tinggi bagi pencetusnya karena tidak semua orang mampu menghasilkan suatu ide yang cemerlang. Akan tetapi, sebuah ide atau konsep saja tidak akan mendapatkan perlindungan apabila ia hanya berhenti pada sebuah ide atau konsep. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta ( “ UU H ak C ipta” ) menyatakan secara tegas sebagai berikut: Hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta meliputi: hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata; setiap ide , prosedur, sistem, metode, konsep , prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan alat, Benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional. Apabila Anda ingin agar ide atau konsep Anda dilindungi oleh hukum hak cipta, maka ide tersebut haruslah diwujudkan dalam bentuk nyata sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 1 angka 3 UU H ak C ipta yang menyatakan bahwa ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata . Tips Agar Ide Bisnis Tak ‘Dicuri’ Orang Lain Syarat perlindungan suatu karya adalah bahwa ia telah diwujudkan dalam bentuk nyata dan dapat diperbanyak. Jika Anda memiliki kekhawatiran bahwa ide atau konsep Anda akan ‘dicuri’ oleh pihak lain sebelum Anda memiliki kesempatan untuk secara memadai mengamankan ide Anda menjadi suatu karya atau produk yang dapat memperoleh perlindungan kekayaan intelektual, hindari mendiskusikan ide Anda dengan orang lain. Anda harus berhati-hati dalam membagi informasi penting dan tidak mempromosikan ide Anda dalam segala macam forum publik sampai Anda benar-benar mewujudkan dan melindunginya karena siapa pun dapat mengambil ide Anda dan kemudian mewujudkannya untuk diri mereka sendiri. Pastikan Anda telah meneliti latar belakang calon rekan bisnis Anda jika ingin bekerja sama dengan pihak lain. Untuk melindungi karya Anda, Anda bisa meminta calon rekan bisnis Anda untuk menandatangani Non-Disclosure Agreement atau perjanjian kerahasiaan sebelum mengungkapkan ide atau konsep Anda. Kembali kepada pertanyaan, apakah bisa ide atau konsep suatu kegiatan ( event ) didaftarkan sebagai salah satu ciptaan yang dilindungi hukum kekayaan intelektual? Jawabannya adalah tidak bisa , mengingat ide atau konsep tidak memenuhi syarat-syarat perlindungan sebagai suatu ciptaan. Sebagai referensi lainnya, Anda dapat simak artikel Hukumnya Bila Mencuri Ide Bisnis Orang Lain . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta . hukumonline kemenkumham online pendaftaran hukum haki hki kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Apakah ada peraturan ketenagakerjaan yang mengatur waktu lamanya training atau masa percobaan untuk karyawan swasta? Apabila karyawan training/masa percobaan tidak ingin melanjutkan masa training/percobaan atas alasan pribadi, apakah perusahaan bisa melarang karyawan training tersebut dengan menahan ijazah yang sebelumnya ditahan perusahaan ketika pertama karyawan melakukan training?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 4 April 2019. KLINIK TERKAIT Hukumnya Jika Karyawan Di-PHK dalam Masa Percobaan 16 Mei 2024 Bolehkah Karyawan Di-PHK karena Tidak Mempunyai Ijazah? 24 Apr 2024 Merasa Stres Kerja, Bolehkah Resign Sebelum PKWT Berakhir? 15 Des 2022 Cara Klaim JKP dan Manfaat yang Didapat Penerimanya 22 Jul 2022 Masa Percobaan dalam Perjanjian Kerja Perjanjian kerja di Indonesia dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu: [1] Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (“PKWT”) , yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu . [2] Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) , yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap . [3] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perlu diketahui, sebagaimana diterangkan dalam Konsekuensi Jika Karyawan Di-PHK dalam Masa Percobaan , masa percobaan hanya dapat diberlakukan bagi pekerja PKWTT dan tidak dapat diberlakukan dalam PKWT. Apabila dalam PKWT diberlakukan ketentuan masa percobaan, maka ketentuan tersebut menjadi batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung . [4] Batal demi hukum tersebut menurut Mantan Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat periode 2006-2016, Juanda Pangaribuan dalam artikel Akibat Hukum Adanya Probation Sebelum Jadi Pegawai Kontrak , artinya masa percobaan dianggap tidak pernah ada, sehingga PKWT tetap berjalan tanpa masa percobaan. Untuk masa percobaan dalam PKWTT dilakukan maksimal 3 bulan. Dalam masa percobaann kerja tersebut, pengusaha dilarang membayar upah di bawah minimum yang berlaku. [5] Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaa kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada . [6] Pengunduran Diri Pada Masa Percobaan Anda tidak menyebutkan secara rinci jenis perjanjian kerja Anda. Jika PKWT, berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa terhadap pekerja PKWT tidak bisa diadakan masa percobaan. Apabila pekerja PKWT ingin mengundurkan diri sebelum jangka waktu PKWT berakhir, maka ia diwajibkan untuk membayar ganti rugi sebesar upahnya sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. [7] Tetapi karena Anda menyebutkan adanya masa percobaan, maka kami asumsikan kontrak kerja Anda adalah PKWTT. Mengenai mengundurkan diri pada masa percobaan kerja, sebagaimana pernah dijelaskan dalam Sudah Mengundurkan Diri Tapi Ditahan Perusahaan , pada praktiknya, selama masa percobaan baik pihak pengusaha maupun pekerja dapat memutuskan hubungan kerja tanpa harus memenuhi jangka waktu minimal pemberitahuan pengunduran diri . Mengenai hal ini umumnya diatur dalam Peraturan Perusahaan (“PP”), Perjanjian Kerja (“PK”) atau Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”). Sementara itu, ketentuan pengunduran diri harus memenuhi syarat yaitu: [8] mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri ; tidak terikat dalam ikatan dinas; dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Melarang Karyawan Resign dengan Menahan Ijazah Jadi, pada dasarnya perusahaan tentu tidak bisa melarang karyawan untuk mengundurkan diri dan tidak boleh menghalanginya dengan cara menahan ijazah pekerja. Adapun mengenai penahanan ijazah, hal ini bisa dilakukan sepanjang disepakati para pihak . J. Satrio, sebagaimana dikutip dalam artikel Penahanan Ijazah (2) menyatakan, hal tersebut diperbolehkan, sepanjang memang menjadi kesepakatan antara kedua belah pihak . Jika memang telah disepakati di awal penahanan ijazah, menurut hemat kami, tentu ijazah harus dikembalikan saat hubungan kerja telah berakhir dan kedua belah pihak sudah melaksanakan kewajibannya masih-masing. Dalam hal ini, jika diperjanjikan bahwa jika megundurkan diri, untuk mendapatkan ijazah, Anda harus membayar ganti rugi dan lain sebagainya, tentu sebaiknya Anda mengedepankan upaya kekeluargaan untuk menyelsaikan masalah ini yakni dengan membicarakannya secara baik-baik dengan pihak perusahaan. Mengenai penahanan ijazah ini, Dosen Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, Yogo Pamungkas , dalam Ijazah Ditahan Saat Masuk Kerja? Ini Penjelasan Hukumnya berpendapat, penahanan ijazah harus dilihat kasus per kasus. Ia mengatakan, dirinya tidak bisa menilai apakah praktik menahan ijazah asli bisa dibenarkan atau disalahkan, sebelum melihat kasusnya secara detail. Menurut Yogo, masalah penahanan ijazah ini juga berkaitan erat dengan perjanjian kerja yang ditandatangani oleh karyawan dan perusahaan. “Harus dilihat dulu bagaimana perjanjian kerjanya,” katanya (hal. 2). Selama hal tersebut diatur dalam kontrak kerja secara jelas dan disepakati para pihak, menurut Yogo, hal itu sah-sah saja. Yogo menyatkan bahwa perjanjian kerja bersifat otonom. Artinya, isinya dapat memperjanjikan apapun selama memenuhi asas kebebasan berkontrak (hal. 2). Kembali kami tekankan, bahwa ijazah yang ditahan oleh perusahaan harus dikembalikan kepada karyawan yang bersangkutan apabila karyawan telah melaksanakan kewajibannya (misal membayar ganti rugi atau kompensasi lainnya). Jika sudah diperjanjikan, namun tidak kunjung dikembalikan, maka karyawan dapat menggugat wanprestasi perusahaan tersebut, atas dasar Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) , yang berbunyi: Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan . Pada permasalahan ini, seharusnya karyawan bisa melamar pekerjaan di tempat lain dengan ijazah tersebut, untuk itu perusahaan wajib membayar kerugian yang diderita karyawan. Karena secara prinsip, pekerja memiliiki kebebasan dalam memiih pekerjaan, sesuai dengan bunyi Pasal 31 UU 13/2003 : Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja [1] Pasal 81 angka 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) [2] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) [3] Pasal 1 angka 11 PP 35/2021 [4] Pasal 81 angka 14 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 58 UU 13/2003 [5] Pasal 60 UU 13/2003 [6] Penjelasan Pasal 60 ayat (1) UU 13/2003 [7] Pasal 62 UU 13/2003 [8] Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 154A ayat (1) huruf i UU 13/2003 hukumonline mengundurkan diri ketenagakerjaan pkwt resign pekerjaan umum klinik hukumonline percobaan pkwtt" }
{ "from": "human", "value": "Dalam teori hukum mengenai HKI di negara-negara Anglo Saxon, saya mendengar ada istilah \"Parallel Importation\". Apa yang dimaksud dengan \"Parallel Importation\" dan apakah sistem hukum HKI kita mengenal \"Parallel Importation\"?" }
{ "from": "gpt", "value": "Secara sederhana, parallel import atau impor paralel dapat dijelaskan sebagai aktivitas penjualan produk bermuatan hak kekayaan intelektual (“HKI”), tetapi terjadi di luar kontrol dari pemilik HKI-nya, utamanya karena dilakukan dari negara yang berbeda. Obyek impornya sendiri bukanlah barang bajakan. Sekadar gambaran dapat dijelaskan, antara lain, sebagai berikut. A sebagai pemilik HKI memberikan izin (lisensi) kepada perusahaan A di Negara Y, perusahaan B di Negara X, dan perusahaan C di Negara Z untuk memproduksi dan/ataupun mengimpor produk yang memiliki muatan HKI miliknya. Selanjutnya, importir dari Negara Z, yaitu C lebih memilih untuk mengimpor produk yang sama dari Negara X, di mana B sebagai pemegang lisensi yang sama. Hal ini dilakukan C dengan pertimbangan komparatif dari sisi harga, bahwa jika diimpor langsung dari perusahaan A di Negara Y akan lebih mahal. Strategi ini umum dilakukan dalam bisnis, salah satunya karena pertimbangan jalur distribusi yang lebih murah. Ihwal semacam inilah yang menjadikan impor paralel menjadi lekat dengan ranah pelindungan HKI. KLINIK TERKAIT Hukumnya Penggunaan Lambang Garuda Pancasila pada Produk Komersial 22 Jun 2020 Dasar Hukum Perubahan Istilah HAKI Menjadi HKI, Kemudian KI 31 Jul 2018 Hak Cipta Desain T-Shirt 25 Okt 2017 Mungkinkah Transfer Pendaftaran HKI Antar-Negara? 01 Mar 2012 Kedekatan permasalahan impor paralel dengan HKI, sering dikaitkan dengan tersebutnya ihwal exhaution dalam Pasal 6 Perjanjian TRIPs ( Agreement On Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights ): “ For the purpose of dispute settlement under this Agreement, subject to the provision of Article 3 and 4, nothing in this Agreement shall be used to address the issue of the exhaustion .” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Tersedianya barang bermuatan HKI yang sah di pasar internasional, melalui doktrin exhaustion dianggap sudah selesai dari keterkaitannya dengan pemilik/pemegang HKI setelah dilakukannya penjualan ( first sale ). Hak eksklusif yang dinikmati pemegang HKI hanya sampai pada penjualan produk itu sendiri. Si pemegang hak tidak memiliki kontrol lagi terhadap jalur distribusi yang ditempuh konsumen, kecuali apabila ditentukan lain dalam perjanjian lisensinya. Tidak semua perjanjian lisensi, baik eksklusif maupun non-eksklusif, mensyaratkan adanya kontrol distribusi ini. Permasalahan timbul karena adanya variasi harga terhadap barang yang sama di beberapa negara dalam perdagangan internasional. Namun, permasalahan pilihan konsumen ini tidak terkait sama sekali dengan issue diskriminasi dalam National Treatment dan Most Favored Nations , seperti dirumuskan dalam ketentuan TRIPs di atas. Impor paralel menjadi topik kajian dalam kerangka HKI karena beberapa issue menarik, di antaranya: ketersediaan obat murah dalam kerangka perlindungan Paten, adanya istilah “ black market ” dalam kerangka perlindungan Merek maupun Hak Cipta. Aturan mengenai impor paralel tentunya memperhatikan azas teritorial dalam perlindungan HKI. Setiap Negara memiliki aturannya masing-masing dalam mengamankan praktik impor paralel dari pelanggaran HKI. Tidak heran pula jika terjadi perbedaan pandangan antara Negara Maju dan Negara Berkembang mengenai masalah ini. Pengaturan Impor Paralel di Indonesia Pada dasarnya, impor paralel tidak diperkenankan dalam kerangka perlindungan HKI di Indonesia karena adanya sejumlah hak yang diberikan Negara dan hanya bisa dinikmati oleh pemilik HKI, termasuk di antaranya hak importasi. Namun dimungkinkan adanya pengecualian, sepanjang impor khusus tersebut dilakukan dengan prosedur yang tidak bertentangan dengan hukum dan memperhatikan kepentingan yang sah dari pemilik/pemegang HKI. Ini dimungkinkan melalui pemanfaatan ketentuan safeguard dalam Perjanjian TRIPs sendiri. Penertiban soal impor paralel ini, misalnya, dapat disandarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek . Ketentuan ini mensyaratkan adanya pendaftaran perjanjian-perjanjian lisensi Merek. Bidang Hak Cipta mensyaratkan hal yang sama dalam menertibkan perjanjian lisensi melalui Pasal 47 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta . Bagi Negara Berkembang, aturan impor paralel menjadi penting diperhatikan karena tingkat perkembangan ekonomi dan posisi relatifnya dalam persaingan internasional. Contohnya di Indonesia, merujuk Pasal 135 huruf a UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten , impor paralel atas produk farmasi yang dilindungi Paten dapat dianggap sebagai perbuatan yang legal, dengan pembatasan tertentu. Pasal ini merupakan salah satu bentuk pembatasan hak monopoli dari pemilik HKI dalam singgungannya dengan kepentingan umum ( public order ). Adanya kebutuhan akan obat murah dan terjangkau, dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, maka impor paralel kemudian diperkenankan sepanjang dilakukan dengan prosedur yang sah dan adanya pembuktian bahwa target impor paralel bersangkutan harganya relatif mahal dibandingkan dengan produk yang sama di pasar internasional. Tentunya contoh obat yang dipatenkan dan dipasarkan di negara lain tersebut di atas, berbeda dengan ihwal impor paralel yang terjadi dalam kaitan dengan black market atau produk BM. Sebagai ilustrasi, bukan hal yang asing apabila mencari produk ponsel dengan merek tertentu di pasaran, ditemukan pula produk yang sama dengan indikasi buatan negara berbeda dan harga yang lebih murah. Produk yang sama ini bukan barang bajakan. Akan tetapi, produk BM umumnya tidak memiliki garansi atau support dari distributor pemegang lisensi merek yang bersangkutan. Tentu saja hal ini terjadi karena tindakan impor yang dilakukan atas barang-barang tersebut tidak melalui jalur yang legal. Barang ini sudah tentu bukan barang palsu, tetapi issue pelanggaran HKI yang mengemuka adalah tidak adanya izin mengimpor yang sah dari pemilik merek yang sah ataupun dari pemberi/penerima lisensi. Sejauh mana si pemilik asal HKI ini berhak mengatur dan mempersoalkan pendistribusian barang dengan muatan HKI-nya, masih menimbulkan perdebatan, utamanya dalam singgungannya dengan pasar bebas dan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat . Impor Paralel Persoalan Negara Anglo Saxon? Jadi persoalan mengenai impor paralel ini, bukan semata persoalan negara-negara Anglo Saxon . Namun issue ini merupakan praktik dagang yang terjadi dan berkembang dalam perdagangan internasional dan rentan terhadap pelanggaran HKI. Oleh karenanya, masing-masing Negara peserta Persetujuan TRIPs menetapkan aturannya masing-masing untuk mengamankan praktik dagang ini dari pelanggaran HKI, baik pidana maupun perdata. Yang mungkin terjadi adalah pembedaan penerapan teori exhaustion yang menimbulkan perbedaan sikap dalam mengatur impor paralel pada sistem hukum Common Law dan sistim hukum Continental Law . Dalam sistem hukum di Inggris misalnya, pemberi paten ( patentee ) dapat mengeksplotasi haknya sampai pada penetapan persyaratan tertentu setelah penjualan pertama ( first sale ). Sementara, dalam sistem hukum Jerman terdapat ketentuan paten yang berkaitan dengan prinsip exhaustion , yaitu pada Reichgericht 1902: “ if the patentee has marketed his products under the protection of a right that excludes others, he has enjoyed the benefits that a paten right confers in him and thereby consumed his right .” Pemilik paten hanya menikmati hak eksklusifnya sehubungan dengan kepemilikan HKI yang dimilikinya sampai pada tindakan penjualan pertama saja ( first sale ), setelah itu haknya habis ( exhaust ) dan tidak memiliki hak untuk mencegah atau menghalangi aktivitas penjualan selanjutnya ( re-sale ). Pengamanan HKI dari praktik impor paralel di Indonesia, dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan undang-undang yang mengatur persoalan HKI di ranahnya masing-masing, seperti yang telah diuraikan di atas. Hanya saja aturan yang memuat pedoman aktivitas yang diperbolehkan berikut ihwal perizinannya dalam impor paralel ini masih belum begitu terinci dengan jelas dalam peraturan perundangan HKI di Indonesia. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten 2. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek 3. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta" }
{ "from": "human", "value": "Berkenaan dengan Pasal 5 Pergub DKI 50/2012, apakah pemilik/pengelola kost wajib melaksanakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)?\nApakah ada sanksi bila melanggar? Pada butir h memelihara dan meningkatkan kualitas udara yg sehat & bersih bebas asap rokok. Bila dilanggar, apakah sanksinya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Dalam Pasal 5 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan Dan Penegakkan Hukum Kawasan Dilarang Merokok diatur bahwa: Setiap orang tidak boleh merokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok . Indekos merupakan salah satu kawasan dilarang merokok karena dapat dikategorikan sebagai tempat umum yang sejenis dengan hotel. Namun, pimpinan atau penanggung jawab wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok dengan memenuhi persyaratan. Bagaimana dengan sanksi yang dapat diberikan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, perlu kita ketahui bahwa kost atau yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut juga dengan indekos memiliki arti tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan); memondok. Pada praktiknya, indekos adalah penyewaan kamar yang sudah dilengkapi dengan mebel-mebel di dalam kamar tersebut. Simak juga artikel Jika Pemilik Indekos Masuk Kamar Penyewa Tanpa Izin . Kawasan Tanpa Rokok Karena Anda menanyakan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok (“KTR”) dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan dan Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok (“Pergub DKI Jakarta 50/2012”) , maka kami akan menjelaskan berdasarkan peraturan tersebut. Dalam Pasal 5 Pergub DKI Jakarta 50/2012 diatur bahwa: Setiap orang tidak boleh merokok di tempat atau area yang dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok . Perlu kami luruskan terlebih dahulu bahwa dalam Pergub DKI Jakarta 50/2012 tidak digunakan istilah KTR, melainkan yang digunakan adalah istilah kawasan dilarang merokok. Sementara istilah KTR menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/I/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (“Permenkes 188/2011”) , adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Mengenai kawasan dilarang merokok, dalam Pasal 1 angka 44 Pergub DKI Jakarta 50/2012 didefinisikan sebagai berikut: Kawasan dilarang merokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan sebagai tempat atau area dilarangnya kegiatan merokok, yaitu tempat umum, tempat kerja, tempat belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, angkutan umum, arena kegiatan anak-anak dan tempat ibadah . Mengenai pengaturan khusus terkait kawasan dilarang merokok, dapat dilihat dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok (“Pergub DKI Jakarta 75/2005”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Perubahan AtasPeraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok (“Pergub DKI Jakarta 88/2010”) . Apakah Indekos Merupakan Kawasan Dilarang Merokok ? Mengenai pertanyaan Anda apakah pemilik/pengelola tempat indekos wajib menerapkan kawasan dilarang merokok? secara eksplisit memang tidak disebutkan bahwa indekos merupakan kawasan dilarang merokok sebagaimana diatur dalam Pergub DKI Jakarta 88/2010 dan Pergub DKI Jakarta 50/2012 . Tetapi jika kawasan dilarang merokok yang diatur Pergub 50 /201 2 dijabarkan satu persatu, maka dapat dilihat lebih detail lagi tempat yang dikategorikan sebagai kawasan dilarang merokok, yakni: Tempat umum; Tempat umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta atau perorangan, yang digunakan untuk kegiatan masyarakat termasuk diantaranya adalah tempat umum milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung perkantoran umum, balai pertemuan, tempat pelayanan umum antara lain terminal angkutan umum termasuk terminal busway, bandara, stasiun, pelabuhan, mall, pusat perbelanjaan, pasar serba ada, pasar tradisional, hotel , restoran, tempat rekreasi, tempat olahraga dan sejenisnya . [1] Tempat pelayanan kesehatan; Tempat pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik yang berbentuk promosi kesehatan, pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/ penyakit, pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit atau pengendalian kecacatan, maupun pengembalian bekas penderita ke dalam masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta dan/atau masyarakat. [2] Tempat belajar mengajar; Tempat belajar mengajar adalah tempat yang dimanfaatkan untuk kegiatan belajar dan mengajar dan/atau pendidikan dan/atau pelatihan. [3] Tempat ibadah; Tempat ibadah adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan keagamaan. [4] Tempat bekerja; Tempat kerja adalah ruang tertutup atau terbuka yang bergerak atau tetap dimana tenaga kerja melakukan kegiatan baik itu bekerja atau aktivitas lain yang berkaitan dengan pekerjaannya termasuk diantaranya adalah kawasan pabrik, gudang tempat penyimpanan barang atau basil produksi, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar dan sejenisnya. [5] Arena kegiatan anak-anak; dan Arena kegiatan anak-anak adalah tempat atau arena yang diperuntukkan untuk kegiatan anak-anak. [6] Angkutan umum Angkutan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. [7] Berdasarkan penjelasan tersebut, indekos dapat dikategorikan sebagai tempat umum yang sejenis dengan hotel. Itu artinya indekos dapat dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok . Pengelola , pimpinan dan/atau penanggung jawab kegiatan atau usaha termasuk angkutan umum wajib melaksanakan kawasan dilarang merokok dengan ketentuan sebagai berikut: [8] membuat penetapan kawasan dilarang merokok; memasang tanda larangan merokok di tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok; menyediakan sarana pengaduan yang dilengkapi dengan nomor telepon, layanan pesan singkat dan bentuk lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; menyediakan satuan tugas atau petugas pengawasan kawasan dilarang merokok termasuk petugas yang melayani pengaduan; melarang, menegur, memperingatkan dan menindak setiap orang yang merokok tidak pada tempatnya; menindaklanjuti atas laporan apabila ada yang merokok di kawasan dilarang merokok; memberi contoh dan teladan di tempat yang menjadi tanggung jawabnya; dan memelihara dan meningkatkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas asap rokok. Berdasar ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila suatu kawasan telah dinyatakan kawasan dilarang merokok, yang ditandai dengan adanya tanda larangan merokok, masyarakat tidak diperbolehkan merokok di area tersebut. Jadi, indekos merupakan salah satu kawasan dilarang merokok. Tempat Khusus untuk Merokok Pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum, dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok sebagai kawasan merokok. [9] Terkait dengan tempat khusus untuk merokok ( smoking area ), Pasal 18 Pergub DKI Jakarta 88/2010 mengatur bahwa tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung; dan tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk gedung. Selain Pergub 88/2010, Pasal 5 ayat (2) Permenkes 188/2011 juga mengatur mengenai tempat khusus untuk merokok sebagai berikut: Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: Merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik; Terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas; Jauh dari pintu masuk dan keluar; Jauh dari tempat orang berlalu-lalang. Pelanggaran Kawasan Dilarang Merokok Pimpinan dan/atau penanggungjawab tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok, apabila terbukti tidak memiliki komitmen, tidak membuat penandaan, tidak melakukan pengawasan kawasan dilarang merokok di kawasan kerjanya dan membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa: [10] peringatan tertulis; penyebutan nama tempat kegiatan atau usaha secara terbuka kepada publik melalui media massa; penghentian sementara kegiatan atau usaha; dan pencabutan izin. Sementara untuk sanksi pidana, setiap orang atau pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab kegiatan atau usaha yang melanggar ketentuan dalam Pasal 5 atau Pasal 7 Pergub DKI Jakarta 50/2012, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi pidananya dapat kita lihat dalam Pasal 199 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”): Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp 50 juta . Selain itu Pasal 41 ayat (2) jo. Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (“Perda DKI Jakarta 2/2005”) juga mengatur sanksi bagi pelanggar kawasan dilarang merokok, yakni: Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 50 juta. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Perubahan AtasPeraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan Dan Penegakkan Hukum Kawasan Dilarang Merokok [1] Pasal 1 angka 46 Pergub DKI Jakarta 50/2012 [2] Pasal 1 angka 49 Pergub DKI Jakarta 50/2012 [3] Pasal 1 angka 48 Pergub DKI Jakarta 50/2012 [4] Pasal 1 angka 52 Pergub DKI Jakarta 50/2012 [5] Pasal 1 angka 47 Pergub DKI Jakarta 50/2012 [6] Pasal 1 angka 51 Pergub DKI Jakarta 50/2012 [7] Pasal 1 angka 50 Pergub DKI Jakarta 50/2012 [8] Pasal 7 Pergub DKI Jakarta 50/2012 [9] Pasal 6 ayat (5) Pergub DKI Jakarta 75/2005 [10] Pasal 27 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 88/2010 hukumonline asap online hukum lingkungan hidup lingkungan rokok pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dimaksud dengan sistem rabat? Dan bagaimana pengaturannya di Indonesia?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Zakat dan Pajak Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya dipahami terlebih dahulu mengenai pengertian dasar dari zakat dan pajak, karena sistem rabat adalah sistem yang mengatur mengenai pembayaran zakat dan pajak agar tidak terjadi pembayaran ganda. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”) , zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang Muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. [1] Dalam artikel Pajak yang kami akses dari laman Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keungan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa zakat dan pajak merupakan dua hal yang berbeda. Sistem Rabat Sistem rabat atau juga biasa disebut dengan tax rebate adalah suatu sistem pengurangan pajak berdasarkan jumlah nominal zakat yang sudah dibayar di tahun yang sama. Menurut Agus Triyanta dalam buku Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata Ekonomi Syariah , sistem rabat atau tax rebate menjadikan nominal zakat yang dibayarkan dapat mengurangi jumlah nominal yang dibayarkan sebagai pajak (hal. 110). Secara sederhana, model tax rebate ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: Sistem rabat seperti ini berlaku, misalnya, di Malaysia. Regulasi yang berlaku di Malaysia menetapkan bahwa zakat dapat mengurangi kewajiban pajak. Ketentuan ini berlaku jika pembayar zakat (muzaki) membayarkan zakatnya kepada lembaga zakat yang diakui oleh kerajaan, seperti Pusat Pungutan Zakat Selangor dan yang lainnya. Jika muzaki membayar zakatnya kepada lembaga tersebut, maka zakat yang telah dibayarkan tersebut dapat mengurangi beban pajak yang ditanggungnya. Hal di atas sebagaimana diterangkan Murtadho Ridwan dalam Jurnal Ziswaf pada artikel Zakat Vs Pajak: Studi Perbandingan di Beberapa Negara Muslim (hal. 139). Eko Suprayitno, et.al , dalam jurnal Inferensi pada artikel Zakat Sebagai Pengurang Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Penerimaan Pajak di Semenanjug Malaysia (hal. 12) lebih lanjut menerangkan bahwa pemerintah Malaysia membuat kebijakan dengan memberikan pengurangan pajak kepada pembayar zakat individu. Melalui model potongan pajak berjadwal atau sistem potongan bulanan, muzaki akan menikmati pengurangan pajak sebesar bayaran zakat atau zakat dapat digunakan untuk mengurangi pajak sampai dengan 100% (hal. 12). Tujuan dari langkah ini adalah sebagai salah satu cara menghindarkan pembayaran pajak berganda kepada hasil pendapatan para pembayar zakat tersebut. Secara tidak langsung juga, kebijakan ini akan memberikan insentif kepada masyarakat Muslim untuk membayar zakat (hal. 12). Zakat Sebagai Pengurang Pajak di Indonesia Di Indonesia, berlaku aturan bahwa zakat yang telah dibayarkan baik oleh perorangan maupun badan hukum dapat menjadi pengurang pajak. Menurut Agus Triyanta dalam buku yang sama (hal. 110), aturan mengenai hal ini setidaknya dapat ditelusuri sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 38/1999”) . Dalam UU 38/1999, ditegaskan bahwa zakat yang dibayarkan dapat digunakan sebagai pengurang dari pajak yang harus dibayarkan. Aturan ini terus berlanjut dan tercermin dalam UU 23/2011. Dalam UU 38/1999 dinyatakan bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [2] Penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 menyatakan pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak. Lahirnya UU 23/2011 ternyata tidak mengubah ketentuan mengenai zakat sebagai pengurang pajak, seperti yang sebelumnya diatur dalam UU 38/1999. Pasal 22 UU 23/2011 menyebutkan: Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak Menurut Agus Triyanta dalam buku yang sama (hal. 114), penyebutan norma itu hanya berbeda klausul, tetapi tetap memberikan maksud yang sama, artinya, sampai hari ini status zakat dalam konteks pajak tidak mengalami perubahan. Namun, Agus Triyanta menjelaskan bahwa dari bunyi ketentuan-ketentuan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembayaran zakat di Indonesia diperhitungkan dengan pendapatan kena pajak, sehingga tujuan yang termaktub dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 agar wajib pajak tidak terkena beban ganda masih tidak akan dapat tercapai jika hanya diberikan pengaturan seperti itu (hal. 114). Hal ini karena pengurangan dilakukan terhadap jumlah harta yang dikurangi harta yang dibayarkan sebagai zakat. Sehingga, tetap saja sisa penghasilan terkena beban ganda, untuk dizakati dan sekaligus masih terkena pajak. Hal ini berarti bahwa yang tidak terkena beban ganda hanyalah harta yang berupa zakat yang dibayarkan, bukan harta yang dizakati (hal. 114). Kemudian, jika merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan disebutkan: Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah Dari ketentuan tersebut juga dapat dipahami bahwa zakat yang dimaksud untuk \"pengurangan\" pajak haruslah dibayarkan pada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang mendapat izin resmi dari pemerintah dan disertai dengan dokumen dan bukti penyaluran zakat yang valid. Selain itu, pembayaran zakat tersebut harus terjadi pada tahun yang sama dengan pembayaran pajak. Secara sederhana, Agus Triyanta menerangkan bahwa model yang berlaku di Indonesia mengenai status zakat terhadap pajak berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut dapat disimulasikan sebagai berikut (hal. 116): Model seperti ini dinamakan dengan tax deduction (pengurangan penghasilan kena pajak) dan model inilah yang saat ini berlaku dan digunakan di Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak menerapkan sistem rabat ( tax rebate ) seperti yang dijelaskan di atas dan diterapkan di Malaysia. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Referensi : Agus Triyanta. Hukum Ekonomi Islam: Dari Politik Hukum Ekonomi Islam Sampai Pranata Ekonomi Syariah . Yogyakarta: FH UII Press, 2012; Eko Suprayitno, et.al . Zakat Sebagai Pengurang Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Penerimaan Pajak di Semenanjug Malaysia . Inferensi , Volume 7, Nomor 1, Juni 2013; Murtadho Ridwan. Zakat Vs Pajak: Studi Perbandingan di Beberapa Negara Muslim . Jurnal Ziswaf Volume 1, Nomor 1, Juni 2014; Pajak , diakses pada 2 September 2020, pukul 22.30 WIB. [1] Pasal 1 angka 2 UU 23/2011 [2] Pasal 14 ayat (3) UU 38/1999 pajak hukumonline agama" }
{ "from": "human", "value": "Di Korea Selatan katanya ada wajib militer bagi laki-laki, apa dasarnya? Kalau di Indonesia ada juga kan wajib militer di Pasal 30 ayat (1) UUD 1945? Apakah Indonesia menganut wajib militer?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Wajib Militer di Korea Selatan Warga negara Korea Selatan Korsel yang menjalankan wajib militer mengacu ke Pasal 39 ayat (1) Constitution of the Republic of Korea (“Konstitusi Korsel”) sebagai berikut: All citizens shall have the duty of national defense under the conditions as prescribed by Act. Pada Konstitusi Korea Selatan telah disebutkan bahwa seluruh warga negara memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas melindungi negaranya. Adapun pengaturan tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Republic of Korea Military Service Act (“UU Militer Kor ea Selatan ”) , yaitu: Every masculine gender of the Republic of Korea shall faithfully perform military service, as prescribed by the Constitution of the Republic of Korea and this Act . A feminine gender may perform only active service or reserve service through volunteering. . Melihat Pasal 3 ayat (1) UU Militer Korea Selatan tersebut, dapat dipahami bahwa secara eksplisit warga negara Korea Selatan yang berjenis kelamin laki-laki wajib dengan setia mengikuti dinas militer . Wajib Militer di Indonesia? Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“ UUD 1945 ”) disebutkan mengenai kewajiban warga negara untuk berperan dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, sebagaimana bunyi dari Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 berikut: Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, disebutkan juga dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 mengenai bela negara sebagai berikut: Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Secara eksplisit pasal tersebut bukan mengenai wajib militer atau kewajiban warga negara Indonesia untuk mengikuti dinas militer, namun hal ini mengenai kewajiban warga negara menjalankan upaya pembelaan negara. Menurut Martien Herna Susanti dalam artikel Bela Negara, Haruskah? sebagaimana diakses dari laman resmi Universitas Negeri Semarang, setiap warga negara Indonesia dengan hak dan kewajiban yang sama, dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Tentara dan masyarakat sipil merupakan sumber daya manusia yang menjadi komponen terpenting dalam sistem pertahanan nasional, yaitu pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Yang ditekankan disini menurut Martien bukan mengenai wajib militer. Persepsi bahwa bela negara identik dengan perang telah menjebak pemahaman bela negara sama dengan wajib militer. Bela negara tidak diwajibkan kepada seluruh warga negara dan lebih diorientasikan untuk memupuk rasa nasionalisme dan patriotisme. Selain itu bela negara bersifat sukarela sedangkan wajib militer merupakan ikatan dinas. Mengenai bela negara , dapat dilihat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (“UU 3/2002”) sebagai berikut: Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui : pendidikan kewarganegaraan; pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan pengabdian sesuai dengan profesi. Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang. Masih dalam artikel yang sama, menurut Martien, konsep bela negara sendiri mengandung arti keikutsertaan dalam pertahanan negara, yang meliputi: mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari segala ancaman. Sedangkan wujud pembelaan terhadap negara berupa hak dan kewajiban melalui pendidikan kewarganegaraan, pengabdian sebagai prajurit TNI dan pengabdian sesuai profesi. Sehingga menurut hemat kami, Indonesia tidak menganut konsep wajib militer, melainkan konsep bela negara. Konstitusi membatasi peran pertahanan dan keamanan tersebut dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 berikut: Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Disebutkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Kedua instansi tersebut berperan sebagai kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan negara. [1] Adapun lebih lanjut tugas TNI dan Polri diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini warga negara bisa berperan sebagai kekuatan utama asalkan mereka memenuhi syarat-syarat untuk menjadi TNI atau Polri. [2] Lebih lanjut perihal TNI, perlu dipahami bahwa definisi tentara menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (“UU 34/2004”) adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. Untuk bergabung dengan keanggotaan TNI tentunya harus lulus pendidikan sebagai salah satu persyaratan umum untuk menjadi prajurit. Untuk menjadi prajurit ditempuh melalui pendidikan yang terdiri atas pendidikan perwira, bintara, dan tamtama. [3] Hal tersebut sejalan dengan bunyi Pasal 21 UU 34/2004 , yaitu; Prajurit adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan. Jika melihat bunyi pasal tersebut, terhadap warga negara yang tidak memenuhi persyaratan tentunya tidak akan dapat diangkat menjadi prajurit. Warga negara tidak wajib menjadi TNI, melainkan jika mereka berkeinginan dan memenuhi persyaratan, maka mereka berhak untuk mendaftarkan diri sebagai TNI. Setelah bergabung menjadi TNI, tentunya wajib untuk mempertahankan pertahanan dan keamanan Indonesia. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Constitution of the Republic of Korea Republic of Korea Military Service Act Referensi: Bela Negara, Haruskah? , dikunjungi pada tanggal 30 Juli 2019, pukul 14:15 WIB. [1] Pasal 30 ayat (2), (3), dan (4) UUD 1945 [2] Lihat Pasal 30 ayat (5) UUD 1945 [3] Pasal 1 angka 13, Pasal 28 huruf h, dan Pasal 29 ayat (1) UU 34/2004 negara tni hukumonline google militer kenegaraan online tentara tata negara hukum klinik indonesia" }
{ "from": "human", "value": "Di Indonesia apakah telah mengenal constitusional complaint? Negara-negara apa saja yang telah menerapkannya dalam Mahkamah Konstitusi?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Langkah-langkah Memohon Judicial Review UU ke MK 15 Jun 2021 Cara Mengartikan Penjelasan Pasal yang Bunyinya \"Cukup Jelas\" 28 Des 2020 Bisakah DPR dan Presiden Dihukum karena Membuat UU yang Merugikan Rakyat? 13 Okt 2020 Alasan Penggunaan Istilah “Kuasa Hukum” Ketika Beracara di MK 19 Mei 2020 Sebelum menjawab pertanyaan Anda mengenai keberlakuan constitusional complaint di Indonesia, perlu kami sampaikan terlebih dahulu pengertian dari constitusional complaint . Menurut I Dewa Gede Palguna dalam bukunya Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara , constitutional complaint adalah pengaduan yang diajukan oleh perorangan warga negara ke hadapan pengadilan (khususnya Mahkamah Konstitusi) karena suatu perbuatan pejabat publik, atau tidak berbuatnya pejabat publik, telah menyebabkan dirugikannya hak konstitusional warga negara yang bersangkutan (hal xiii-xiv). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hamdan Zoelva juga menjelaskan yang dimaksud dengan constitutional complaint dalam jurnalnya Pengaduan Konstitusional dalam Sistem Peradilan di Indonesia sebagai mekanisme penegakan hak konstitusional ke Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan demokrasi konstitusional yakni kontrol rakyat terhadap negara untuk memulihkan hak konstitusional warga negara . Berdasarkan dua pengertian tersebut secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa constitutional complaint merupakan mekanisme penegakan hak konstitutional warga negara melalui upaya pengaduan ke pengadilan, khususnya pengadilan konstitusi (hal. 45). Lantas apakah Indonesia mengenal constitutional complaint ? Hingga saat ini secara normatif, Indonesia belum mengenal constitutional complaint . Hal ini dibuktikan dengan belum adanya lembaga peradilan yang diberikan kewenangan constitutional complaint . Namun demikian, menurut I Dewa Gede Palguna dalam buku yang sama, berdasarkan data Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi hingga Desember 2010, terdapat 30 permohonan yang secara substansial merupakan constitutional complaint yang dimohonkan di Mahkamah Konstitusi dan ditarik atau diputus dengan amar “tidak dapat diterima” (hal 701). Hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili perkara constitutional complaint . Rifandy Ritonga dalam jurnal Analisis Pengujian Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Pada Mahkamah Kostitusi Indonesia Sebagai Salah Satu Upaya Perlindungan Hak-Hak Warga Negara mengutip pula pernyataan dari I Dewa Gede Palguna bahwa tidak adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili constitutional complaint menyebabkan tidak tersedianya upaya hukum ( judicial remedy ) melalui mekanisme peradilan konstitusional ( constitutional adjudication ) untuk pelanggaran atas hak-hak konstitusional warga negara yang terjadi bukan karena inkonstitusionalitas norma undang-undang melainkan karena adanya perbuatan maupun kelalaian lembaga Negara atau pejabat publik . Masih bersumber dari jurnal yang sama, akibatnya banyak permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, yang secara substansial merupakan pengaduan konstitusional, dinyatakan “ tidak dapat diterima” dengan alasan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadilinya . Mengingat, Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum . Kemudian, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang menyebutkan: Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai: pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; pembubaran partai politik; perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . Jadi berdasarkan kedua peraturan di atas, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit memberi kewenangan pada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perkara pengaduan konstitusional ( constitutional complaint ). Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 terdapat dissenting opinion yaitu antara lain Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono menyatakan suatu norma yang konstitusional pada saat diterapkan dalam praktik dapat menyebabkan pelanggaran atas hak-hak konstitusional seseorang dikarenakan kekeliruan penafsiran dan penerapan norma tersebut (hal. 68). Untuk itu, Mahkamah Konstitusi di negara lain di samping diberi kewenangan judicial review atau constitutional review , juga diberi kewenangan untuk mengadili perkara-perkara constitutional question dan constitutional complaint (hal. 68). Constitutional complaint terjadi tatkala seorang warga negara mengadu ke Mahkamah Konstitusi bahwa tindakan atau kelalaian suatu pejabat negara atau pejabat publik telah melanggar hak konstitusionalnya sementara segala upaya hukum biasa yang tersedia sudah tidak ada lagi . Kedua kewenangan tersebut, constitutional question dan constitutional complaint , tidak dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia setidak-tidaknya sampai dengan saat ini (hal. 68). Meskipun secara normatif Indonesia belum mengenal constitutional complaint sebagaimana yang dipraktikkan pada negara lain, namun bukan berarti tidak tersedia sarana pengaduan pemenuhan hak-hak warga negara. Sebagai contoh, masyarakat yang merasakan hak-haknya terlanggar dapat melakukan pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan membuat laporan ke Ombudsman. Selain itu, ada pula Pengadilan Tata Usaha Negara jika terdapat masyarakat yang merasa dirugikan akibat terbitnya keputusan tata usaha negara. Baca juga: Cara Melaporkan Maladministrasi ke Ombudsman dan Ciri-ciri Sengketa Tata Usaha Negara Terkait pertanyaan kedua Anda, contoh negara yang mempunyai kewenangan contistutional complaint dalam berita Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah disebutkan Jerman, Afrika Selatan, dan Korea Selatan merupakan contoh negara yang menerapkan constitutional complaint (hal. 1). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 . REFERENSI:\n1. I Dewa Gede Palguna. Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hamdan Zoelva. Pengaduan Konstitusional dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Jurnal Sekretaris Negara RI No. 16. Jakarta, 2010\n2. Rifandy Ritonga. Analisis Pengujian Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Pada Mahkamah Kostitusi Indonesia Sebagai Salah Satu Upaya Perlindungan Hak-Hak Warga Negara . Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung: Jurnal Keadilan Progresif, Vol. 7 No. 1, 2016. constitutional complaint konstitusi mahkamah konstitusi lembaga pemerintah" }
{ "from": "human", "value": "Apa itu sidang juri? Apakah Indonesia mengenal sidang juri?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Peradilan Juri Merriam-Webster Dictionary mendefinsikan sidang juri ( jury trial ) sebagai sidang yang diputuskan oleh juri. Salah satu negara yang menerapkan peradilan juri adalah Amerika Serikat, yang merupakan negara yang menganut sistem common law , sebagaimana diatur dalam Amandemen Keenam Konstitusi Amerika Serikat . Legal Information Institute (LII) Cornell Law School menjelaskan bahwa hak untuk diadili oleh juri merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap terdakwa dari jaksa yang korup atau terlalu bersemangat dan terhadap hakim yang patuh, bias, atau eksentrik. Secara garis besar, Northern Ireland Direct Government Services menjelaskan proses persidangan juri, yang kami rangkum sebagai berikut: Pada awal persidangan, panitera akan menanyakan kepada terdakwa apakah sudah siap untuk disidangkan. Jika sudah siap, panitera secara acak memilih nomor panel juri. Ketika nomor panel dipanggil, juri pergi ke tempat yang disediakan untuk juri. Setelah itu, jaksa atau penasihat hukum terdakwa dapat menguji calon anggota juri, apabila menurut mereka calon tersebut tak seharusnya menjadi juri. Setelah itu, juri kemudian harus bersumpah atau memberikan afirmasi, yang intinya menyatakan bahwa juri tersebut akan mempertimbangkan kasus dengan jujur berdasarkan bukti. Panitera kemudian membacakan dakwaan terhadap terdakwa. Setelah itu, jaksa menguraikan rincian kasus, memanggil, dan menginterogasi saksi. Setelah itu, pengacara terdakwa melakukan pemeriksaan silang dengan menanyakan beberapa pertanyaan ke saksi yang sama, dan sebaliknya. Setelah semua bukti telah diberikan, penuntut umum dan pengacara terdakwa membuat peryataan penutup untuk meyakinkan juri terkait kasus yang disidangkan. Hakim kemudian memberi kesimpulan, yaitu menjelaskan keseluruhan fakta dan hukum terkait kasus yang disidangkan. Setelah itu, di ruang juri, para juri membahas kasus tersebut dengan mempertimbangkan secara cermat bukti-bukti yang dihadirkan di pengadilan. Jika belum mencapai keputusan, para juri dibawa kembali ke ruang sidang dan hakim akan mengingatkan mereka untuk tidak membicarakan kasus tersebut dengan siapa pun. Keesokan harinya, juri akan dipanggil ke ruang sidang dan diminta masuk ke ruang juri. Jika keputusan telah tercapai, juri memberi tahu ke penjaga juri dan juri akan dibawa kembali ke ruang sidang. Panitera kemudian meminta perwakilan juri untuk memberikan putusan atas setiap dakwaan. Jika terdakwa terbukti bersalah, hakim bisa langsung menjatuhkan hukuman. Sebagai informasi tambahan, Thom Brooks dalam artikelnya The Right to Trial by Jury menjelaskan bahwa sebagian besar negara tidak memiliki sistem sidang juri, tapi memilih pengadilan campuran di mana hakim duduk dan memutuskan kasus dengan para anggota juri (hal.198). Selain itu, meskipun dikenal di negara-negara tertentu, dalam praktiknya sistem sidang juri jarang digunakan. Misalnya, di Inggris dan Wales, hanya sekitar 2% dari seluruh kasus yang diadili oleh juri. Di Australia dan Skotlandia, jumlahnya kurang dari 1% (hal. 198). Indonesia Menganut Sistem Hukum Civil Law Disarikan dari Perbedaan Karakteristik Sistem Civil Law dengan Common Law , Indonesia menganut sistem hukum civil law , yang memiliki karakteristik sebagai berikut: Adanya sistem kodifikasi; Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis , sehingga undang-undang menjadi rujukan hukum yang utama; Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial, di mana hakim berperan besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat dalam menilai bukti. Hal tersebut berbeda dengan sistem hukum common law yang sistem peradilannya bersifat adversary , dimana hakim hanya berperan sebagai fasilitator sidang, sedangkan juri sebagai penentu dan kedudukan jaksa sejajar dengan terdakwa, sebagaimana dipaparkan dalam Peradilan Contempt of Court Dinilai Tak Cocok Diterapkan di Indonesia . Tapi, kini dalam praktiknya, tidak ada negara yang 100% menganut sistem common law maupun civil law . Sebagai contoh, meskipun Indonesia berangkat dari sistem civil law , tapi dalam praktiknya, putusan pengadilan telah banyak dijadikan dasar pemutusan perkara di samping ketentuan perundang-undangan, sebagaimana diterangkan dalam Penerapan Doktrin Stare Decisis dalam Landmark Decision . Apakah Indonesia Mengenal Sistem Sidang Juri? Pada dasarnya, hukum acara peradilan pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHAP”) . Sepanjang penelusuran kami, sidang juri tidak diatur dalam KUHAP, sehingga kami berpendapat bahwa Indonesia tidak mengenal sistem juri. Hal tersebut juga dikemukakan dalam Eksistensi Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat pada laman Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat , yang menyatakan bahwa Indonesia tidak menggunakan sistem juri dalam peradilan pidana. Hal tersebut karena meskipun sudah terjadi asosiasi antara sistem civil law dan common law , tapi sistem hukum Indonesia masih bernuansa civil law , dimana yang diutamakan adalah kepastian hukum sebagaimana tertulis di dalam suatu peraturan perundang-undangan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Amandemen Keenam Konstitusi Amerika Serikat Referensi : Thom Brooks. The Right to Trial by Jury . Journal of Applied Philosophy, Vol. 21, No. 2,2004; Merriam-Webster Dictionary , Jury Trial , diakses pada 26 Mei 2021 pukul 12.00 WIB; Legal Information Institute (LII) Cornell Law School , Jury Trial , diakses pada 26 Mei 2021 pukul 12.00 WIB; Northern Ireland Direct Government Services , What happens at a jury trial , diakses pada 26 Mei 2021 pukul 12.00 WIB; Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, Eksistensi Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika Serikat , diakses pada 27 Mei 2021, pukul 18.35 WIB. acara peradilan amerika serikat pengacara indonesia common law" }
{ "from": "human", "value": "Berdasarkan berita yang beredar, pengungsi Rohingya di Indonesia saat ini mencapai 1.478 orang. Padahal, Indonesia tidak terikat dengan konvensi internasional soal pengungsi. Lantas, kenapa Indonesia tidak ratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi? Apa dasar hukum pengungsi di Indonesia? Apa itu UNHCR, dan apakah Indonesia wajib melindungi pengungsi Rohingya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Konflik agama di Myanmar antara Islam dan Buddha, dikenal dengan konflik etnis Rohingya dan Rakhine. Meskipun konflik terjadi di internal Myanmar, konflik ini membawa dampak bagi dunia internasional terutama negara-negara yang berdekatan dengan Myanmar seperti Indonesia, Malaysia dan Bangladesh.[1]\n\nDi negara bagian Rakhine, Myanmar, terdapat lebih dari 1 juta orang Rohingya yang sebagian besar merupakan kelompok etnis Muslim yang sudah turun-temurun hidup di wilayah tersebut. Di sisi lain, sebagian besar penduduk Myanmar adalah penganut agama Buddha.[2] Awal pemicu konflik kekerasan etnis Rohingya terjadi pada bulan Juli tahun 2012 dan terus menjadi perbincangan dunia internasional hingga sekarang.[3] Etnis Rohingya mengungkapkan bahwa mereka telah diperlakukan dengan buruk oleh pemerintah dan militer Myanmar selama bertahun-tahun, sementara pemerintah Myanmar menyatakan bahwa orang-orang Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh yang tidak memiliki tempat di Myanmar. Oleh karena itu, pemerintah tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Mereka tidak bisa mendapatkan perawatan medis, sekolah, dan layanan dasar yang sama. Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) bahkan menggambarkan etnis Rohingya sebagai salah satu populasi yang paling teraniaya di dunia (the most persecuted minority in the world).[4]\nKejadian tersebut menyebabkan terjadinya pemberontakan dan perlawanan hingga perlakuan tindakan kekerasan yang terdiri dari pembunuhan, penyiksaan, pembakaran rumah dan pemaksaan untuk meninggalkan tempat tinggal etnis Rohingya. Sehingga dapat dikatakan, tindakan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya termasuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”). Lalu, karena etnis Rohingya mendapatkan perlakuan diskriminatif dari pemerintahan Myanmar, mereka melarikan diri dan mengungsi ke negara-negara tetangga.[5]\nApa itu Pengungsi?\n\nPada dasarnya, pengungsi adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang berdasar dan mengalami penindasan (persecution).[6] Dalam arti lain, pengungsi adalah individu atau sekelompok individu yang mencari bantuan berupa perlindungan dan suaka dari negara.[7]\n\nDalam hukum internasional, definisi pengungsi diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Secara singkat, menurut Konvensi 1951, pengertian pengungsi adalah:[8]\n\nPengungsi adalah individu atau sekelompok individu dari peristiwa yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasarkan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat, atau karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu, atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara di mana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang termasuk, tidak dapat, atau karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.\nDasar Hukum Pengungsi di Indonesia\n\nIndonesia memiliki hukum positif yang mengatur tentang penanganan pengungsi dari luar negeri. Menurut Pasal 3 Perpres 125/2016, penanganan pengungsi memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu, penanganan pengungsi dikoordinasikan oleh Menteri Polhukam,[9] yang dilakukan dalam rangka perumusan kebijakan, meliputi:[10]\n\npenemuan;penampungan;pengamanan; danpengawasan keimigrasian.\n\nSelain itu, Indonesia juga memiliki ketentuan yang mengatur tentang pemberian suaka dan pengungsi. Dalam Pasal 26 UU 37/1999 disebutkan bahwa pemberian suaka kepada orang asing dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktik internasional.\n\nWalaupun Indonesia memiliki hukum positif tentang pengungsi, berdasarkan laman UNHCR, Indonesia belum menjadi negara pihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Lantas, mengapa Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967?\nAlasan Indonesia Tidak Ratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi\n\nPertama, perlu diketahui bahwa jika Indonesia menjadi negara pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka Indonesia harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur pada pada Konvensi 1967, misalnya:\n\nPasal 4 (kebebasan beragama);Pasal 17 (hak untuk bekerja dan menerima upah);Pasal 21 (hak untuk memiliki rumah);Pasal 22 (hak untuk mendapatkan pendidikan); dan lain-lain.\n\nSecara yuridis, bagi Indonesia ada beberapa pasal dalam konvensi yang dinilai sulit untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, Pasal 17 Konvensi 1951 menuntut negara pihak untuk memberi pekerjaan bagi para pengungsi. Di sisi lain, Indonesia adalah negara berkembang dan masih memiliki angka pengangguran yang cenderung tinggi.\n\nKemudian, dalam Pasal 21 Konvensi 1951 terdapat ketentuan untuk memberikan rumah bagi para pengungsi, padahal masih terdapat angka kemiskinan di Indonesia. Selain itu, terdapat daerah-daerah di Indonesia yang membutuhkan infrastruktur yang layak dari pemerintah pusat.\n\nLebih lanjut, terdapat ketentuan lain dari beberapa pasal Konvensi 1951 yang jika  dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, berpotensi menimbulkan kesenjangan bagi masyarakat Indonesia. Ketentuan tersebut ada pada Pasal 22 dan Pasal 4 Konvensi 1951.[11]\n\nMaka menurut hemat kami, alasan pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 dirasa karena adanya kepentingan nasional yang akan sulit tercapai apabila pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.\n\nKedua, pada dasarnya hukum internasional menjunjung tinggi prinsip non-intervensi (non-intervention) dan kesepakatan negara (consent).[12] Menurut Malcolm N. Shaw, suatu negara tidak diperbolehkan untuk mengintervensi hal yang pada pokoknya termasuk dalam urusan atau permasalahan dalam negeri negara lain. Setiap negara diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri urusan atau permasalahan tersebut secara bebas tanpa campur tangan dari pihak manapun di atas prinsip kedaulatan. Urusan atau permasalahan tersebut misalnya menyangkut penentuan sistem politik, ekonomi, sosial, sistem budaya dan sistem kebijakan luar negeri suatu negara.[13]\n\nKetiga, menurut Sefriani, dalam hukum internasional tidak ada badan supranasional yang memiliki otoritas membuat dan memaksakan suatu aturan internasional.[14] Dengan demikian, menurut hemat kami tidak ada negara yang berhak memaksa Indonesia untuk meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.\n\nWalau demikian, sebagai informasi, semua negara termasuk yang belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum internasional umum, karena konvensi tersebut sudah menjadi jus cogens (norma hukum internasional umum yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan)[15] dan tidak seorang pengungsi pun dapat dikembalikan ke wilayah di mana hidup atau kebebasannya terancam.[16]\nApa itu UNHCR?\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu UNHCR, pada intinya, United Nations High Commissioner for Refugees (“UNHCR”) merupakan sebuah badan pengungsi dunia yang diberi mandat oleh PBB untuk melindungi pengungsi dan membantu pengungsi mencari solusi bagi keadaan buruk para pengungsi internasional.[17]\n\nDisarikan dari UNHCR Indonesia, walaupun Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1951 dan Protokol 1967, serta belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi, pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.\n\nPerlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka terlindung dari refoulement (perlindungan dari pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal mereka di mana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan.\n\nBerkaitan dengan kasus pengungsi Rohingya di Indonesia, UNHCR Indonesia membantu pemerintah dalam menangani masalah pengungsi dan membantu mencari solusi bagi pengungsi. Selama pengungsi Rohingya tinggal di Indonesia, UNHCR berkoordinasi dengan pihak berwenang untuk memastikan kebutuhan pengungsi terpenuhi dan mereka dapat hidup bermartabat.[18]\nSikap Indonesia terhadap Pengungsi Rohingya\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai sikap Indonesia terhadap pengungsi Rohingya, sebagaimana dijelaskan dalam Pengungsi Rohingya Dipermasalahkan, PAHAM FH Unpad Ingatkan Mandat UUD 1945, menurut Atip Latipulhayat, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjadjaran, pemerintah Indonesia harus menangani pengungsi Rohingya sesuai dengan prinsip kemanusiaan, instrumen hukum internasional, dan Perpres 125/2016. Selain itu, berdasarkan penelusuran kami, Indonesia juga memiliki ideologi Pancasila yang didasari oleh semangat kemanusiaan.[19]\n\nWalau demikian, menurut Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, dalam menangani pengungsi Rohingya, pemerintah Indonesia harus mengutamakan pertimbangan kepentingan nasional. Selain itu, harus ada ketegasan sikap soal pembatasan jumlah pengungsi yang ditampung dan masa tinggal sementara. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Profesor Hukum Internasional UI Koreksi PAHAM FH Unpad Soal Pengungsi Rohingya.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17482/undangundang-nomor-37-tahun-1999?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_37_1999)\n2. [Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt587df4a4c26c5/peraturan-presiden-nomor-125-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_125_2016)\n3. [1951 Convention and 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees](https://www.unhcr.org/media/convention-and-protocol-relating-status-refugees)\nREFERENSI:\n1. Ayub Torry Satriyo Kusumo. Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi Internasional. Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 2, 2012\n2. Fadli Afriandi dan Yusnarida Eka Nizmi. Kepentingan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 Mengenai Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka. Jurnal Transnasional, Vol. 5, No. 2, 2014\n3. Joko Setiyono. Kontribusi UNHCR dalam Penanganan Pengungsi Internasional di Indonesia. Jurnal Masalah - Masalah Hukum, Vol. 46, No. 3, 2017\n4. M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya. Islamic World and Politics Journal. Vol. 2, No. 2, 2018\n5. Malcolm N. Shaw. International Law. UK: Cambridge University Press, 1991\n6. Muhammad Abdul Aziz Putra Andistan. Indonesian Government Challenges in Ratification of the International Convention on Refugees. JISIERA: The Journal of Islamic Studies and International Relations. Vol. 3, 2018\n7. Renata Christha Auli dan Garry Gumelar Pratama. The Failure of United Nations System under International Law: Its Contribution to Calamity and Ruin of the Rohingya Case. Padjadjaran Journal of International Law, Vol. 4, No. 2, 2021\n8. Samuel Tunggul Jovano dan Cornelius Agatha Gea. Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 15, No. 3, 2021\n9. Sefriani. Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum. Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 18, 2011\n10. Sigit Riyanto. Kedaulatan Negara dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer. Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 3, 2012\n11. Virgayani Fattah. Hak Asasi Manusia Sebagai Jus Cogens dan Kaitannya dengan Hak Atas Pendidikan. Jurnal Yuridika, Vol. 32, No. 2, 2017\n12. Yahya Sultoni (et.al). Alasan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi dan Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Indonesia. Brawijaya Law Student Journal, 2014\n13. 14 Fakta Mengenai Pengungsi Rohingya, UNHCR Indonesia, yang diakses pada Kamis, 7 Desember 2023, pukul 01.24 WIB\n14. States Parties to the 1951 Convention and its 1967 Protocol, UNHCR, yang diakses pada Rabu, 6 Desember 2023, pukul 19.21 WIB\n15. UNHCR Indonesia, yang diakses pada Rabu, 6 Desember 2023, pukul 21.15 WIB.\n\n[1] M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya. Islamic World and Politics Journal. Vol. 2, No. 2, 2018, hal. 369[2] Renata Christha Auli dan Garry Gumelar Pratama. The Failure of United Nations System under International Law: Its Contribution to Calamity and Ruin of the Rohingya Case. Padjadjaran Journal of International Law, Vol. 4, No. 2, 2021, hal. 267[3] M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya. Islamic World and Politics Journal. Vol. 2, No. 2, 2018, hal. 369[4] Renata Christha Auli dan Garry Gumelar Pratama. The Failure of United Nations System under International Law: Its Contribution to Calamity and Ruin of the Rohingya Case. Padjadjaran Journal of International Law, Vol. 4, No. 2, 2021, hal. 267[5] M. Angela Merici Siba dan Anggi Nurul Qomari’ah. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Konflik Rohingya. Islamic World and Politics Journal. Vol. 2, No. 2, 2018, hal. 369[6] Ayub Torry Satriyo Kusumo. Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi Internasional. Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 2, 2012, hal. 171[7] Samuel Tunggul Jovano dan Cornelius Agatha Gea. Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 15, No. 3, 2021, hal. 362[8] Samuel Tunggul Jovano dan Cornelius Agatha Gea. Penanganan Pengungsi yang Bunuh Diri di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hukum Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 15, No. 3, 2021, hal. 362[9] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (“Perpres 125/2016”)[10] Pasal 4 ayat (2) Perpres 125/2016[11] Yahya Sultoni (et.al). Alasan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 Tentang Pengungsi dan Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi di Indonesia. Brawijaya Law Student Journal, 2014, hal. 8[12] Sigit Riyanto. Kedaulatan Negara dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer. Jurnal Yustisia, Vol. 1, No. 3, 2012, hal. 8[13] Malcolm N. Shaw. International Law. UK: Cambridge University Press, 1991, hal. 719[14] Sefriani. Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum. Jurnal Hukum, Vol. 3, No. 18, 2011, hal. 412[15] Virgayani Fattah. Hak Asasi Manusia Sebagai Jus Cogens dan Kaitannya dengan Hak Atas Pendidikan. Jurnal Yuridika, Vol. 32, No. 2, 2017, hal. 355[16] Fadli Afriandi dan Yusnarida Eka Nizmi. Kepentingan Indonesia Belum Meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 Mengenai Pengungsi Internasional dan Pencari Suaka. Jurnal Transnasional, Vol. 5, No. 2, 2014, hal. 1096[17] Joko Setiyono. Kontribusi UNHCR dalam Penanganan Pengungsi Internasional di Indonesia. Jurnal Masalah - Masalah Hukum,, Vol. 46, No. 3, 2017, hal. 280[18] 14 Fakta Mengenai Pengungsi Rohingya, UNHCR Indonesia, yang diakses pada Kamis, 7 Desember 2023, pukul 01.24 WIB[19] Muhammad Abdul Aziz Putra Andistan. Indonesian Government Challenges in Ratification of the International Convention on Refugees. JISIERA: The Journal of Islamic Studies and International Relations. Vol. 3, 2018, hal. 34" }
{ "from": "human", "value": "Apakah data nasabah debitur/kredit termasuk informasi yang harus dirahasiakan oleh bank? Bagaimana bila kejaksaan/KPK minta data/dokumen nasabah debitur/kredit (yang diduga proses pencairannya menyimpang) kepada bank BUMN/BUMD, apakah bank boleh memberikan data kredit tersebut? Salam, Surya, Samarinda" }
{ "from": "gpt", "value": "Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) menyatakan bahwa Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jadi, yang menjadi rahasia bank hanyalah simpanan nasabah penyimpan, yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (lihat pasal 1 angka 5 UU Perbankan). Meninjau definisi di atas, maka data kredit tidak termasuk dalam informasi yang harus dirahasiakan. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi berwenang meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa (pasal 12 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dengan demikian, apabila KPK meminta data nasabah atau debitur dari bank, maka bank wajib memberikan data tersebut kepada KPK. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi" }
{ "from": "human", "value": "Perusahaan saya tidak mengizinkan karyawannya untuk work from home total maupun sebagian. Pilihannya hanya masuk secara fisik atau pakai cuti tahunan. Perusahaan ini terletak di Banten, salah satu zona tertinggi terdampak COVID-19. Perusahaan bukan bergerak di sektor esensial seperti pangan, obat-obatan, dan sebagainya. Setahu saya, belum ada aturan pemerintah daerah yang mengimbau atau mewajibkan perusahaan untuk libur atau work from home total/sebagian. Apakah mangkir dengan tujuan isolasi diri masuk dalam pengecualian no work no pay dalam Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu menjalankan kewajiban terhadap negara?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Prinsip No Work No Pay Prinsip no work no pay dapat kita lihat pada Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) yang berbunyi: Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Akan tetapi, ketentuan itu tidak berlaku dan pengusaha wajib membayar upah bila: [1] pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia; pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara ; pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat; pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Adapun menurut Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf d UU 13/2003 , yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan . Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara dilaksanakan bila: negara tidak melakukan pembayaran; atau negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya. Isolasi Diri Sendiri dari COVID-19 Disarikan dari artikel Panduan Isolasi Diri Sendiri untuk Mencegah Penyebaran Virus Corona , mengenai isolasi diri sendiri diatur dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/202/2020 Tahun 2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri dalam Penanganan Coronavirus Disease (COVID-19) (“SE Menkes 02.01/2020”) . Isolasi diri sendiri terdiri atas: [2] Ketika seseorang yang sakit (demam atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan/gejala penyakit pernapasan lainnya), namun tidak memiliki risiko penyakit penyerta lainnya (diabetes, penyakit jantung, kanker, penyakit paru kronik, AIDS, penyakit autoimun, dll), maka secara sukarela atau berdasarkan rekomendasi petugas kesehatan, tinggal di rumah dan tidak pergi bekerja, sekolah, atau ke tempat-tempat umum. Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang memiliki gejala demam/gejala pernapasan dengan riwayat dari negara/area transmisi lokal, dan/atau orang yang tidak menunjukkan gejala tetapi pernah memiliki kontak erat dengan pasien positif COVID-19. Lama waktu isolasi diri selama 14 hari hingga diketahuinya hasil pemeriksaan sampel di laboratorium. ODP dimaknai ketika seseorang tidak menunjukkan gejala, tetapi pernah memiliki kontak erat dengan pasien positif COVID-19 dan/atau orang dengan demam/gejala pernapasan dengan riwayat dari negara/area transmisi lokal. [3] Jadi, isolasi diri sendiri yang dimaksud adalah bagi orang yang sakit dan ODP selama 14 hari sebagaimana dimaksud di atas. Menurut hemat kami, isolasi diri sendiri tanpa memenuhi kriteria di atas tidak dapat dikategorikan sebagai kewajiban terhadap negara . Kewajiban yang dimaksud tampaknya merupakan kewajiban yang menyita waktu kerja seseorang, dan memungkinkan adanya upah. Selain itu, isolasi diri bagi mereka yang sehat pada dasarnya memang tidak diwajibkan. Work From Home (WFH) Kemudian menjawab pertanyaan Anda terkait Work from Home (“WFH”), kami akan merujuk pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 (“SE Menaker 3/2020”) . Pimpinan perusahaan didorong untuk segera membuat rencana kesiapsiagaan dalam menghadapi pandemi COVID-19 dengan tujuan memperkecil resiko penularan di tempat kerja dan menjaga kelangsungan usaha. [4] Selain itu, diatur pula skema perlindungan upah bagi pekerja/buruh terkait pandemi COVID-19 dalam Poin II SE Menaker 3/2020 , sebagaimana telah diuraikan dalam artikel Upah Karyawan yang Dirumahkan karena Wabah Corona . Sepanjang penelusuran kami, sebagai contoh pada press realease Pemerintah Provinsi Banten yang berjudul Gubernur WH: Satu Orang Meninggal dari Lima Warga Banten yang Positif Virus Corona , Gubernur Banten telah menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) Virus Corona (COVID-19) di Provisi Banten melalui SK Nomor: 443/Kep.114-Huk/2020 . Namun sayangnya, kami tidak menemukan imbauan khusus dari Pemerintah Provinsi Banten tentang pelaksanaan WFH. Sehingga kami berpendapat, perusahaan masih memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pelaksanaan WFH. Namun, koordinasi dengan Dinas Ketenagakerjaan setempat dan pemerintah daerah juga tetap diperlukan. Hal ini akan berbeda apabila di daerah yang Anda maksud telah ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (“PSBB”) . Sebagaimana telah kami uraikan dalam artikel Tata Cara Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar , saat PSBB diberlakukan, tempat kerja harus diliburkan . Namun, peliburan ini dikecualikan bagi kantor atau instansi strategis yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya. Baca juga: Ketentuan Pelaksanaan Work From Home di Tengah Wabah Corona Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/202/2020 Tahun 2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri dalam Penanganan Coronavirus Disease (COVID-19) Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 Referensi : Gubernur WH: Satu Orang Meninggal dari Lima Warga Banten yang Positif Virus Corona , diakses pada 9 April 2020 pukul 14.00 WIB. [1] Pasal 93 ayat (2) UU 13/2003 [2] Poin 2 SE Menkes 02.01/2020 [3] Poin 4 SE Menkes 02.01/2020 [4] Poin I angka 5 SE Menaker 3/2020 mangkir hukumonline ketenagakerjaan kerja work from home cuti wfh" }
{ "from": "human", "value": "Jika karyawan diharuskan isolasi mandiri beberapa hari karena protokol COVID-19 di perusahaan, apakah perusahaan diperbolehkan secara otomatis melakukan pemotongan/pengurangan cuti tahunan sejumlah hari dimana karyawan tersebut tidak masuk kerja (karena isolasi mandiri)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pada prinsipnya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja.[1] Cuti yang wajib diberikan yaitu cuti tahunan minimal 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.[2]\n\nPelaksanaan cuti tahunan ini diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[3]\nKewajiban Isolasi Mandiri\nPengertian dari isolasi mandiri (isoman) dapat kita simpulkan dari Angka 2 huruf a SE Menkes HK.02.01/MENKES/202/2020, yaitu secara sukarela atau berdasarkan rekomendasi petugas kesehatan, tinggal di rumah dan tidak pergi bekerja, sekolah, atau ke tempat-tempat umum.\n\nAdapun anjuran yang berkaitan dengan isolasi mandiri terkait tempat kerja dimuat dalam Bagian I Angka 6 SE Menaker M/3/HK.04/III/2020 yang menginstruksikan para gubernur untuk mengupayakan pencegahan penyebaran dan penanganan kasus terkait COVID-19 di lingkungan kerja, yaitu:\n\nDalam hal terdapat pekerja/buruh atau pengusaha yang berisiko, diduga atau mengalami sakit akibat COVID-19, maka dilakukan langkah-langkah penanganan sesuai standar kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.\n\nSalah satu standar kesehatan yang patut diperhatikan adalah standar kesehatan berdasarkan Kepmenkes HK.01.07/MENKES/6689/2021.\n\nDalam lampiran (hal. 30-31) ditegaskan apabila pekerja mengalami gejala COVID-19, seperti demam, batuk, rasa nyeri/sakit, myalgia, nyeri tenggorokan, pilek/hidung tersumbat, konjungtivis, sesak napas, mual/muntah, diare, penurunan kesadaran, anosmia (hilangnya kemampuan indra penciuman), ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa), dan/atau ruam kulit atau gejala infeksi lainnya, pekerja diperlakukan sebagai kasus suspek COVID-19 sampai terbukti bukan COVID-19, maka:\n\nPekerja diarahkan bekerja dari rumah dan melakukan isolasi mandiri dengan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan pada anggota keluarga lain.Segera mengakses fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut, termasuk melalui telemedicine.\n\nSedangkan jika pekerja terkonfirmasi COVID-19, maka (hal. 33-34):\n\nPekerja terkonfirmasi COVID-19 harus segera melaksanakan isolasi dan diwawancarai untuk mengidentifikasi kontak erat dalam waktu 1x24 jam.Pekerja terkonfirmasi tanpa gejala dan gejala ringan dapat melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah atau tempat lain yang memenuhi persyaratan (terdapat ruangan terpisah dan kamar mandi dalam rumah). Jika tidak memungkinkan isolasi mandiri, isolasi dilakukan pada fasilitas isolasi terpusat yang difasilitasi oleh pemerintah/pengelola tempat kerja/swadaya masyarakat lainnya.Selama masa isoman, pekerja harus dipantau kesehatannya oleh dokter dari puskesmas/fasilitas pelayanan kesehatan di tempat kerja/ fasilitas kesehatan setempat lainnya.Lama waktu isolasi pada pekerja terkonfirmasi COVID-19 tergantung dari gejala, dengan ketentuan sebagai berikut:\n\nJika tanpa gejala, isolasi dilakukan selama minimal 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi menggunakan NAAT atau RFT-Ag. Apabila selama masa isolasi timbul gejala (ringan), maka isolasi dilakukan hingga 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernafasan.Jika gejala ringan, isolasi dilakukan selama minimal 10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernafasan.Jika gejala sedang, isolasi dilakukan di rumah sakitJika gejala berat, pekerja harus dirujuk ke rumah sakit, yang mana lama isolasi/perawatan di rumah sakit tergantung kondisi sakitnya.\n\nBerdasarkan uraian di atas, kami asumsikan bahwa protokol penanganan COVID-19 di perusahaan yang Anda maksud adalah kebijakan perusahaan untuk melaksanakan protokol kesehatan di tempat kerja sebagaimana yang kami terangkan di atas.\nApakah Isolasi Mandiri Termasuk Cuti Tahunan?\n\nMenurut Togar S. M. Sijabat, yang pada waktu itu Ketua Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia, isoman sifatnya darurat dan dikategorikan sebagai sakit, bukan cuti. Oleh karena dikategorikan sebagai \"sakit\", ketidakhadiran pekerja akibat isolasi mandiri tidak bisa memotong hak atas cuti tahunan.\n\nPemikiran ini berangkat dari fakta bahwa perusahaanlah yang berinisiatif mengharuskan isoman, bukan pekerja. Pekerja, jika pun tidak diimbau untuk isolasi mandiri, mungkin akan tetap masuk kerja, artinya ketidakhadirannya bukan atas kemauan pekerja sendiri. Sehingga, isoman ini adalah risiko perusahaan.\n\nTerlebih, menurutnya, oleh karena ada Orang Tanpa Gejala, maka cakupan istilah “sakit” tidak bisa terbatas pada pekerja yang benar-benar sakit, karena pekerja yang tanpa gejala pun bisa mengancam kesehatan orang lain jika tidak melakukan isolasi mandiri terlebih dahulu.\n\nSehingga, jika dikaitkan dengan UU Ketenagakerjaan, ketidakhadiran karena isolasi mandiri harus dimasukkan dalam kategori “sakit” dan tidak boleh memotong hak cuti. Karyawan bisa berdalih bahwa ketidakhadiran karena isolasi mandiri itu atas perintah perusahaan, sehingga risiko atas ketidakhadiran tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan karyawan.\n\nJika perusahaan memutuskan untuk memotong hak atas cuti tahunan padahal ketidakhadiran karyawan karena harus melakukan isoman, maka dapat timbul perselisihan hak, yakni perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[4]\n\nDalam hal terjadi perselisihan hak, maka pekerja dapat menempuh langkah-langkah penyelesaian sebagaimana diatur dalam UU 2/2004, yang tahapannya dapat Anda simak di artikel Cara Meminta Gaji yang Dipotong Sepihak oleh Perusahaan.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/undangundang-nomor-2-tahun-2004)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e)\n4. [Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5e71a7f6b0116/node/534/surat-edaran-menteri-ketenagakerjaan-nomor-m-3-hk04-iii-2020-tahun-2020)\n5. [Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/202/2020 Tahun 2020 tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri dalam Penanganan Coronavirus Disease (COVID-19)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5e707d529f008/surat-edaran-menteri-kesehatan-nomor-hk0201-menkes-202-2020-tahun-2020?r=0&q=protokol%20isolasi%20diri%20sendiri&rs=1847&re=2020)\n6. [Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/6689/2021 Tahun 2021 tentang Panduan Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt61e632433f527)\nCatatan:\n\nKami telah melakukan wawancara dengan Togar S. M. Sijabat via WhatsApp pada 27 Agustus 2020, pukul 14.48 WIB.\n\n[1] Pasal 81 angka 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (2) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (4) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial" }
{ "from": "human", "value": "Apakah istri kedua berhak menerima pensiun setelah istri yang pertama menceraikannya dan pernikahan kami tidak didaftarkan ke Taspen? Apakah saya berhak untuk mendapatkan pensiun itu atau memang itu hanya hak dari istri pertama walaupun sudah bercerai? Mohon penjelasannya, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Aturan Usia Pensiun Pekerja dan PNS Serta Manfaat yang Diterima 12 Sep 2022 Pasangan Suami Istri PNS Bercerai, Apakah Istri Tetap Mendapat Bagian Gaji Suaminya? 26 Agt 2019 Apakah BUMN Termasuk Instansi Pemerintah? 15 Mar 2016 Apakah PNS Wajib Melaporkan Harta Kekayaannya? 07 Mar 2016 Intisari: Syarat seorang istri menerima pensiun janda dari suaminya PNS yang meninggal dunia yaitu telah terdaftar pada Kepala Kantor Urusan Pegawai. Akan tetapi, ketentuan tersebut ada pengecualiannya, yaitu dalam hal tidak ada istri yang terdaftar dalam daftar penerima pensiun janda. Ini berarti Anda dapat menerima pensiun janda karena istri pertama telah bercerai dari suami Anda yang mengakibatkan istri pertama telah dihapus dari daftar penerima pensiun janda, sehingga tidak ada yang terdaftar sebagai yang berhak menerima pensiun janda. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan pertanyaan Anda, sebelumnya kami perlu asumsikan dan menyimpulkan hal-hal berikut: 1. Suami Anda merupakan ‘pensiunan’ dari Pegawai Negeri Sipil (“PNS”); 2. Suami Anda telah meninggal dunia; 3. Istri pertama merupakan janda yang bercerai dari suami Anda; 4. Perkawinan suami Anda dengan mantan istrinya itu yang didaftarkan di Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (“Taspen”); 5. Anda merupakan istri kedua yang pernikahannya tidak didaftarkan di Taspen. Pada dasarnya, PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [1] Ketentuan khusus mengenai pensiun mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (“UU 11/1969”) . Dasar Pemberian Pensiun Jaminan pensiun itu diberikan kepada PNS apabila: [2] a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu; c. mencapai batas usia pensiun; d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Untuk memperoleh pensiun, PNS yang bersangkutan terlebih dahulu harus mengajukan surat permintaan kepada Kepala Kantor Urusan Pegawai, dengan disertai: [3] a. Salinan sah dari surat keputusan tentang pemberhentian ia sebagai pegawai negeri; b. Daftar riwayat pekerjaan yang disusun/disahkan oleh Pejabat/badan Negara yang berwenang untuk memberhentikan pegawai negeri yang bersangkutan; c. Daftar susunan keluarga yang disahkan oleh yang berwajib yang memuat nama, tanggal kelahiran dan alamat (istri-istri) suami dan anak-anaknya ; d. Surat keterangan dari pegawai negeri yang berkepentingan yang menyatakan bahwa semua surat-surat, baik yang sah maupun turunan atau kutipannya, dan barang-barang lainnya milik Negara yang ada padanya, telah diserahkan kembali kepada yang berwajib Dasar Istri Mendapat Pensiun Janda Dalam konteks pertanyaan Anda, karena Anda menyebut hak Anda sebagai istri kedua atas pensiun suami Anda, maka kami asumsikan bahwa suami Anda sebagai penerima pensiun telah meninggal dunia. Terkait PNS yang meninggal dunia ini, Pasal 16 ayat (1) UU 11/1969 mengatur: Apabila Pegawai Negeri atau penerima pensiun pegawai meninggal dunia , maka istri (istri-istri) nya untuk pegawai Negeri pria atau suaminya untuk Pegawai Negeri Wanita, yang sebelumnya telah terdaftar pada kantor Urusan Pegawai, berhak menerima pensiun janda atau pensiun duda . Terkait si istri pertama yang telah cerai dari suami Anda, maka istri pertama itu tidak menerima pension janda. Hal ini sesuai dengan yang disebut dalam Pasal 19 ayat (3) UU 11/1969 : Jikalau hubungan perkawinan dengan isteri/suami yang telah terdaftar terputus, maka terhitung mulai hari penceraian berlaku sah isteri/suami itu dihapus dari daftar isteri-isteri/ suami yang berhak menerima pensiun janda/duda . Sementara bagaimana dengan Anda selaku istri kedua yang pernikahan dengan suami Anda itu tidak didaftarkan ke Kepala Kantor Urusan Pegawai untuk Taspen? Pasal 16 ayat (2) UU 11/1969 menyebutkan bahwa apabila Pegawai Negeri atau penerima pensiun pegawai yang beristeri/bersuami meninggal dunia, sedangkan tidak ada istri/suami yang terdaftar sebagai yang berhak menerima pensiun janda/duda , maka dengan menyimpang dari ketentuan pada Pasal 16 ayat (1)UU 11/1969, pensiun janda/duda diberikan kepada istri/suami yang ada pada waktu ia meninggal dunia . Dalam hal Pegawai Negeri atau penerima pensiun pegawai pria tersebut beristri lebih dari seorang , maka pensiun janda diberikan kepada istri yang ada waktu itu paling lama dan tidak terputus-putus dinikahnya . Ini berarti Anda dapat menerima pensiun janda karena istri pertama telah bercerai dari suami Anda yang mengakibatkan istri pertama telah dihapus dari daftar penerima pensiun janda, sehingga tidak ada yang terdaftar sebagai yang berhak menerima pensiun janda. Untuk memperoleh pensiun janda/duda atau bagian pensiun janda, janda (janda-janda)/duda yang bersangkutan mengajukan surat permintaan kepada Kepala Kantor Urusan Pegawai, dengan disertai: [4] a. Surat keterangan kematian atau salinannya yang disahkan oleh yang berwajib; b. Salinan surat nikah yang disahkan oleh yang berwajib; c. Daftar susunan keluarga yang disahkan oleh yang berwajib yang memuat nama, tanggal kelahiran dan alamat mereka yang berkepentingan; d. Surat keputusan yang menetapkan pangkat dan gaji terakhir pegawai yang meninggal dunia. Namun perlu diingat, apabila dari perkawinan sebelumnya ada anak, maka anak dari perkawinan tersebut juga berhak atas bagian dari pensiun janda, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU 11/1969 : Apabila pegawai negeri pria atau penerima pensiun pegawai pria meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai isteri (isteri-isteri) yang berhak menerima pensiun janda /bagian pensiun janda di samping anak (anak-anak) dari isteri (isteri-isteri) yang telah meninggal dunia atau telah cerai , maka bagian pensiun janda diberikan kepada masing-masing isteri dan golongan anak (anak-anak) seayah seibu termaksud . Yang dimaksud dengan anak adalah anak kandung yang sah atau anak kandung/anak yang disahkan menurut Undang-undang Negara dari pegawai negeri, penerima pensiun, atau penerima pensiun janda/duda. [5] Anak yang berhak menerima pensiun janda, ialah anak yang pada waktu pegawai atau penerima pensiun pegawai meninggal dunia: [6] a. belum mencapai usia 25 tahun, atau b. tidak mempunyai penghasilan sendiri, atau c. belum nikah atau belum pernah nikah DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai ; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara . [1] Pasal 91 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara UU 11/1969 (“UU ASN”) [2] Pasal 91 ayat (2) UU ASN [3] Pasal 12 UU 11/1969 [4] Pasal 21 UU 11/1969 [5] Pasal 3 huruf d UU 11/1969 [6] Pasal 18 ayat (4) UU 11/1969 hukumonline lembaga pemerintah jaminan pensiun pegawai negeri sipil tata negara hukum klinik pns pensiun pns pensiun klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Saya adalah istri kedua dari pernikahan siri, yang mana pernikahannya dilaksanakan tanpa sepengetahuan istri pertama. Dari pernikahan ini kami telah dikaruniai anak. Namun, saya ingin menggugat cerai suami. Bisakah istri siri menggugat cerai atau minta cerai? Bagaimana caranya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Apakah Istri Siri Bisa Minta Bercerai?\n\nMenjawab pertanyaan bisakah istri siri minta cerai, sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa perkawinan siri walaupun dinyatakan sah secara agama[1], namun sepanjang perkawinan siri belum dicatatkan secara negara[2], maka perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.[3]\nMenurut hemat kami, proses perceraian dalam perkawinan siri yang tidak dicatatkan secara negara itu kewenangannya ada pada si suami. Saat suami menjatuhkan talak, maka perkawinan siri tersebut baru dapat dikatakan berakhir.\n\nLalu bagaimana jika Anda selaku istri dalam perkawinan siri yang belum dicatatkan secara negara ingin mengajukan gugatan cerai? Kami berpendapat, perkawinan siri tersebut haruslah terlebih dahulu diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, dalam rangka penyelesaian perceraian.[4]\nNamun demikian, menyambung pernyataan Anda, polemik muncul karena perkawinan siri merupakan perkawinan poligami di mana si suami masih terikat dalam perkawinan sah dengan istri sahnya. Tetapi, istri sahnya tidak mengetahui sang suami menikah siri (poligami) dengan Anda. Dengan kata lain, perkawinan siri tersebut telah dilangsungkan tanpa ada persetujuan poligami dari istri sah.\n\nOleh karena itu, disarikan dari Potensi Jerat Pidana Walaupun Syarat Nikah Siri Sudah Terpenuhi, timbul risiko hukum atas perkawinan siri Anda yang ternyata sang suami masih terikat perkawinan sah dengan orang lain, yaitu jerat Pasal 284 ayat (1) KUHP atau Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 tentang perzinaan.\n\nDi sisi lain, terhadap kondisi yang rumit tersebut, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung telah menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010 (hal. 148) yang isinya sebagai berikut:\n\nApabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah dalam angka (2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya terikat dalam perkawinan sah dengan perempuan lain, maka istri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan istri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.\nCara Agar Istri Siri dapat Menggugat Cerai Suami\n\nMenjawab pertanyaan Anda, sudah jelas bahwa syarat sah cerai nikah siri bagi istri siri yang hendak menggugat cerai suaminya adalah dengan mengajukan itsbat nikah terlebih dahulu, di mana Anda wajib menjadikan istri sah dari suami Anda sebagai pihak dalam perkara.\n\nIstri sah dari suami Anda memiliki peranan penting dalam proses itsbat nikah atas perkawinan siri ini, karena apabila istri sah mengizinkan perkawinan siri Anda, maka perkawinan siri akan dicatatkan sebagai perkawinan yang sah (poligami). Kemudian setelah itu, Anda baru bisa melanjutkan proses perceraian ke Pengadilan Agama.\n\nLain halnya apabila istri sah tidak mengizinkan perkawinan Anda (poligami), hal tersebut akan mengakibatkan itsbat nikah ditolak dan perkawinan siri Anda tidak akan dicatatkan sebagai perkawinan yang sah.\n\nDengan demikian, jalan keluar yang dapat ditempuh agar bisa berpisah dengan suami, alih-alih Anda sebagai istri siri minta cerai atau mengajukan gugatan, alternatifnya adalah dengan suami Anda yang menjatuhkan talak. Pasalnya, perkawinan siri Anda bukan perkawinan yang sah di mata hukum.\nDemikian jawaban dari kami atas pertanyaan bisakah istri siri minta cerai, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/appendices?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\nREFERENSI:\n1. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi 2010, yang diakses pada 11 Mei 2023, pukul 13.50 WIB.\n\n[1] Pasal 4 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[2] Pasal 5 jo. Pasal 6 ayat (1) KHI[3] Pasal 6 ayat (2) KHI[4] Pasal 7 ayat (2) dan (3) huruf a KHI" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana aturan Chief Executive Officer (CEO) pada perusahaan di Indonesia? Apakah CEO sama dengan direktur utama? Pada perusahaan yang bergerak di bidang apakah istilsh CEO biasanya digunakan? Sebelumnya saya ucapkan terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Undang-undang di Indonesia yang mengatur soal perusahaan, salah satunya Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) tidak mengenal istilah Chief Executive Officer (CEO) . Dalam praktiknya, posisi CEO sering digunakan untuk menunjuk jabatan manajerial tertinggi seperti presiden direktur atau direktur utama. Namun, ada salah satu peraturan perundang-undangan yang menyebut soal CEO yang tidak merujuk pada jabatan presiden direktur atau direktur utama, tetapi CEO sebagai kepala kantor yang mengurusi administrasi dan kepersonaliaan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Pada dasarnya, undang-undang di Indonesia tidak mengenal istilah Chief Executive Officer (CEO). Kepala Biro Hukum Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sunarno dalam artikel Ekspatriat Tetap Boleh Jadi Dirut Perusahaan mengatakan bahwa istilah CEO tidak dikenal dalam hukum positif di Indonesia, misalnya di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) . Namun dalam praktik posisi CEO sering digunakan untuk menunjuk jabatan manajerial tertinggi seperti presiden direktur atau direktur utama. KLINIK TERKAIT Bolehkah TKA Menjabat Sebagai Presiden Direktur? 16 Jun 2020 Apakah Direksi Asing Wajib Diikutsertakan Program Jamsostek? 11 Jan 2018 Status Perjanjian Jika Direksi Perusahaan Menjadi Tersangka 13 Nov 2014 Status Perikatan yang Dibuat Direksi yang Namanya Belum Diberitahukan ke Menteri 28 Agt 2014 Masih bersumber dari artikel yang sama, istilah CEO biasanya digunakan di berbagai perusahaan di Indonesia, tidak terbatas pada bidang-bidang tertentu, terutama di perusahaan multinasional yang diduduki oleh tenaga kerja asing. Adapun istilah yang digunakan dalam UUPT adalah Direksi . Definisi Direksi disebut dalam Pasal 1 angka 5 UUPT yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.” Penjelasan lebih lanjut soal Direksi dapat Anda simak dalam artikel Risiko Hukum Jabatan Direksi . Akan tetapi, kemudian istilah CEO dikenal dalam peraturan di Indonesia, yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Nomor 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing (“Kepmenakertrans 40/2012”) . Dalam Kepmenakertrans 40/2012 CEO atau yang dibahasaindonesiakan menjadi Kepala Eksekutif Kantor jelas disebut sebagai salah satu jabatan tertentu yang dilarang diduduki tenaga kerja asing di antara jabatan-jabatan lainnya. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam artikel Ekspatriat Tetap Boleh Jadi Dirut Perusahaan , CEO di sini bukanlah pengisi jabatan teratas dalam manajemen seperti halnya presiden direktur atau direktur utama, melainkan kepala kantor dalam bidang personalia dan administrasi. Sunarno mengaku mendasarkannya pada kode jabatan standar internasional International Standard Classification of Occupations ata u ISCO, yaitu CEO sebagai kepala kantor yang mengurusi administrasi dan kepersonaliaan . Jadi, berdasarkan  ISCO yang dituangkan dalam Kepmenakertrans 40/2012, Sunarno menegaskan bahwa posisi CEO yang dilarang untuk ekspatriat atau tenaga kerja asing adalah kepala kantor bagian kepersonaliaan dan administrasi. Bukan CEO dalam arti presiden direktur atau direktur utama. Sebagai tambahan informasi untuk Anda, pengertian CEO yang dimaksud dalam Kepmenakertrans 40/2012 ini sama dengan CEO yang diartikan dalam Blacks’s Law Dictionary 9 th Edition: A corporation's highest-ranking administrator, who manages the firm day by day and reports to the board of directors. Ini artinya, jabatan CEO tidak selalu diartikan sebagai presiden atau direktur utama, tetapi kepala kantor yang mengurusi administrasi dan kepersonaliaan kadang disebut juga sebagai CEO. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Nomor 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing. hukum perusahaan direksi direktur jabatan manajemen uupt klinik klinik hukumonline tenaga kerja perseroan terbatas hukumonline pekerja" }
{ "from": "human", "value": "Permisi pak. Menurut yang saya baca, Apple di situs resminya melarang tindakan jailbreak. Tahun 2010 dulu jailbreak legal tapi sejak awal 2013 menjadi ilegal. Menurut saya, kalau sudah kita beli, iPhone jadi milik kita, jadi bisa kita apakan saja. Tapi bagaimana kalau saya punya toko yang menyediakan jasa untuk men-jailbreak iPhone, Apakah melanggar undang-undang? Apakah saya bisa ditangkap polisi? Dan bagaimana status pelanggan/pengguna jasa jailbreak, apakah mereka termasuk pelanggar hak cipta juga? Terimakasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Secara sederhana, j ailbreaking ialah modifikasi terhadap iOS (sistem operasi perangkat bergerak yang dikembangkan dan didistribusikan oleh Apple Inc) untuk mengangkat pembatasan-pembatasan yang telah dibangun oleh Apple sehingga memberikan pengguna kontrol yang lebih besar terhadap perangkatnya termasuk mengunduh aplikasi atau konten melalui mekanisme selain App Store. Jailbreaking merupakan perbuatan yang tidak disetujui pihak Apple karena produsen ini telah merancang sistem operasi dan pengamanannya secara khusus. Tindakan modifikasi terhadap iOS tanpa persetujuan Apple dikhawatirkan dapat menimbulkan berbagai permasalahan bagi pengguna, khususnya kerentanan terhadap keamanan informasi. Dengan terbukanya kerentanan informasi, pelaku kejahatan dapat mengambil informasi pribadi atau menyebarkan malware dan virus. Selain itu, jailbreaking dinilai akan menimbulkan ketidakstabilan terhadap perangkat Apple. Oleh karena itu, larangan melakukan jailbreaking merupakan mekanisme control agar pengguna dapat menggunakan layanan dan perlindungan dengan maksimal. KLINIK TERKAIT Mengenal Macam-Macam Kejahatan Siber di Indonesia 05 Jul 2024 Bolehkah Perusahaan Mengakses E-mail Karyawannya? 22 Nov 2022 Jerat Hukum Pelaku Cracking Menurut UU PDP dan UU ITE 27 Sep 2022 Hukum Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap ( Black Market ) 29 Sep 2021 Di sisi lain, para pengguna mengharapkan, atau bahkan menuntut agar Apple lebih memberikan kebebasan bagi mereka untuk melakukan interoperabilitas. Larangan atau pembatasan yang terlalu ketat dinilai sebagai tindakan monopoli yang tidak menghargai prinsip netral teknologi dalam pemanfaatan Teknologi Informasi (Kweller, 2010). Sebagai contoh, pengguna tidak dapat menginstal aplikasi selalin melalui App Store. Di Amerika Serikat, pengaturan untuk menilai legalitas jailbraking didasarkan pada The Digital Millinium Copyright Act (DMCA). Undang-undang ini merupakan aturan untuk mengatur perlindungan hak cipta dalam dunia virtual. Salah satu implikasi dari undang-undang ini ialah melarang penggunaan teknologi termasuk aplikasi yang dapat melanggar hak dari pemegang hak cipta. Librarian of Congress merupakan institusi yang diberikan wewenang untuk menetapkan pengecualian-pengecualian pengaturan dalam DMCA. Masyarakat diberikan kesempatan untuk mengajukan proposal untuk penerapan pengecualian yang dimaksud. Salah satu contohnya ialah proposal yang diajukan oleh Electronic Frontier Foundation (“EFF”). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas EFF mengajukan petisi kepada Librarian of Congress untuk membuat pengecualian terhadap Jailbreaking . EFF mengajukan argumen bahwa jailbreaking termasuk dalam salah satu pengecualian dalam 1201 (f) DMCA, yaitu bahwa aplikasi untuk jailbreaking termasuk dalam kategori computer programs that enable wireless telephone handsets to execute lawfully obtained software applications, where circumvention is accomplished for the sole purpose of enabling interoperability of such applications with computer programs on the telephone handset . Librarian of Congress akan menetapkan aturan mengenai pengecualian yang dapat diperbarui atau diganti pada periode berikutnya. Pada Tahun 2013, Library of Congress (LoC) Amerika juga telah mengeluarkan aturan bahwa jailbreaking iPad (bukan iPhone) dan unlocking iPhones setelah Januari 2013 adalah tindakan illegal di Amerika Serikat. Terkait dengan jailbreaking , berikut aturan dari LoC. Computer programs that enable wireless telephone handsets to execute lawfully obtained software applications, where circumvention is accomplished for the sole purpose of enabling interoperability of such applications with computer programs on the telephone handset. This exemption is a modification of the proponents’ proposal. It permits the circumvention of computer programs on mobile phones to enable interoperability of non-vendor- approved software applications (often referred to as “jailbreaking”), but does not apply to tablets – as had been requested by proponents – because the record did not support it. Sedangkan mengenai aturan larangan unlocking , berikut ketentuan yang dikeluarkan LoC. In addition the new exemptions only allow for phones you already have, as well as those purchased before January, to be unlocked. Phones purchased after January 2013 can only be unlocked with the carrier's permission. Computer programs, in the form of firmware or software, that enable a wireless telephone handset originally acquired from the operator of a wireless telecommunications network or retailer no later than ninety days after the effective date of this exemption to connect to a different wireless telecommunications network, if the operator of the wireless communications network to which the handset is locked has failed to unlock it within a reasonable period of time following a request by the owner of the wireless telephone handset, and when circumvention is initiated by the owner, an individual consumer, who is also the owner of the copy of the computer program in such wireless telephone handset, solely in order to connect to a different wireless telecommunications network, and such access to the network is authorized by the operator of the network. This exemption is a modification of the proponents’ proposal. It permits the circumvention of computer programs on mobile phones to enable such mobile phones to connect to alternative networks (often referred to as “unlocking”), but with limited applicability. In order to align the exemption to current market realities, it applies only to mobile phones acquired prior to the effective date of the exemption or within 90 days thereafter. Unlocking adalah tindakan untuk melepaskan ikatan satu operator terhadap perangkat Apple (iPhone) yang digunakan, sehingga pengguna dapat mengganti operator telekomunikasi. Salah satu alasan unlocking illegal di Amerika Serikat ialah karena biasanya operator telekomunikasi memberikan harga yang lebih murah untuk membeli perangkat Apple dengan layanan mereka ( bundling ) dibandingkan hanya membeli perangkat Apple saja. Pihak operator akan membuat kontrak dengan pengguna yang akan berlangsung dalam kurun waktu tertentu (misalnya 2 tahun). Tindakan melakukan unlock sebelum kurun waktu tersebut selesai merupakan perbuatan melanggar perjanjian antara pengguna dan operator. Dalam konteks di Indonesia, perlu digarisbawahi sebagai berikut. Pertama, ketentuan yang dikeluarkan oleh Librarian of Congress di Amerika Serikat tidak berlaku secara langsung di Indonesia. Yang berlaku adalah ketentuan yang disepakati antara Apple dengan penggunanya dalam berbagai perjanjian antara mereka, seperti Hardware Warranty . Hardware Warranty diberikan kepada pengguna ketika mengaktifkan perangkat Apple miliknya. Dalam satu klausulnya disebutkan bahwa garansi tersebut tidak berlaku, antara lain: “(f) bagi kerusakan yang disebabkan oleh layanan (termasuk pemutakhiran-pemutakhiran (upgrades) dan penambahan-penambahan (expansions) yang dilakukan oleh siapapun yang bukan merupakan perwakilan Apple atau suatu Penyedia Layanan Perbaikan Resmi Apple (“AASP”); (g) bagi suatu Produk Apple yang telah dimodifikasi untuk mengubah fungsi atau kemampuan tanpa izin tertulis dari Apple.” Pada dasarnya pengguna Apple memiliki hak untuk melakukan modifikasi terhadap perangkatnya. Akan tetapi, yang perlu dipahami ialah bahwa tindakan modifikasi tersebut menghilangkan hak pengguna untuk mendapatkan layanan (servis) dan dukungan teknis dari produsen sebagaimana dimaksud di atas. Tindakan modifikasi yang dimaksud tidak boleh dilakukan untuk melakukan tindakan illegal, seperti menginstal aplikasi berbayar bajakan atau melanggar hak kekayaan intelektual orang lain. Selain itu, perlu ditambahkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) , ditegaskan prinsip perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual dalam dunia siber. Pasal 25 UU ITE mengatur Informasi dan Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, Pasal 25 UU ITE juga mengacu pada undang-undang Hak Cipta. Demikian pendapat kami, terima kasih. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Referensi: http://dailycaller.com/2013/01/28/surprise-its-now-illegal-to-jailbreak-smartphones-switch-carriers/#ixzz2zW0NYTSk http://support.apple.com/kb/ht3743 https://www.apple.com/legal/sales-support/applecare/appmacid.html http://www.idownloadblog.com/2009/07/10/difference-jailbreaking-unlocking/ uu ite hukum hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Yth hukumonline.com. Teman saya, seorang PNS pria beragama Islam cerai dari istrinya dan membayar tunjangan untuk anak dan mantan istri (pembagian gaji sesuai PP 10/1983). Tetapi dia mendapatkan informasi bahwa mantan istrinya tinggal bersama lelaki lain yang tidak bekerja. Kata keluarga mantan istri, mereka telah menikah tetapi secara siri (tidak terdaftar). 1. Apakah teman saya dapat menghentikan tunjangan terhadap mantan istrinya? 2. Apakah hal ini dapat dipakai untuk merebut hak asuh anak? (anak saat ini bersama mantan istri) Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan keterangan yang Anda sampaikan, kami simpulkan bahwa teman Anda sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pria-lah yang berkehendak untuk bercerai saat itu karena ia menyerahkan sebagian gajinya untuk mantan (bekas) istrinya. Oleh karena itu, baginya berlaku ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraia n bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 45/1990”) mengenai salah satu hak bekas istri PNS: ” Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya. ” KLINIK TERKAIT Aturan Hari Kerja dan Jam Kerja PNS 15 Jul 2024 Bolehkah PNS Punya Usaha Sampingan? 12 Jan 2023 Aturan Kerja Lembur dan Pemberian Uang Lembur Bagi PNS 22 Feb 2019 Bolehkah PNS Menjadi Direksi/Komisaris PT? 25 Okt 2018 Jadi kewajiban untuk menyerahkan sebagian gaji tersebut hanya timbul apabila perceraian adalah atas kehendak suami. Sedangkan mengenai pembagian gaji bekas suami tersebut, dapat dilihat pengaturannya lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (2) PP 10/1983 yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya . ” Dengan demikian, hak istri yang diceraikan oleh suaminya yang berstatus sebagai PNS adalah mendapatkan sepertiga dari gaji bekas suaminya. Lalu bagaimana jika mantan istrinya menikah lagi? Apakah ia masih berhak atas pembagian gaji mantan suaminya yang PNS itu? Berdasarkan Pasal 8 ayat (7) PP 45/1990 , jika si bekas istri menikah lagi, maka haknya atas gaji si bekas suami menjadi hapus. PP 45/1990 ini memang tidak menjelaskan lebih lanjut apakah “menikah lagi” yang dimaksud di sini adalah menikah secara resmi berdasarkan hukum negara atau hanya berdasarkan hukum agama. Namun demikian, secara historis, PP 45/1990 dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) . Hal ini dapat dilihat di bagian ‘ mengingat ’ dari PP tersebut. Oleh karena itu, mengenai perkawinan, kita merujuk pada UU Perkawinan. Perkawinan sah yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berangkat dari sini, maka perkawinan yang dilakukan lagi oleh mantan istri PNS itu haruslah pe r kawinan yang sah, tidak hanya sesuai dengan hukum agama saja (nikah siri), tetapi juga harus diakui oleh negara. Oleh karena itu, secara hukum, teman Anda tetap berkewajiban memberikan sebagian gajinya kepada istrinya. Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, pada dasarnya hak asuh anak itu ditentukan melalui putusan pengadilan. Hak asuh pada dasarnya harus mempertimbangkan perkembangan spiritual anak, akan tetapi tetap dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang pada intinya bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi si anak. Penjelasan lebih lanjut mengenai hak asuh anak setelah perceraian ini dapat Anda simak dalam artikel Hak Asuh Anak dalam Perceraian Pasangan Beda Agama. Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 2. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil . istri" }
{ "from": "human", "value": "Yth. teman saya sebut saja \"A\" mengutangkan sejumlah uang Rp50 juta kepada teman lamanya sebut \"B\" di kampung halamannya tapi tidak dibuatkan perjanjian utang piutang. \"B\" hanya berjanji kepada \"A\" akan melunasi utang tersebut secepatnya, dan ketika teman saya \"A\" berusaha untuk menagihnya si \"B\" selalu menghindar dan beralasan belum ada uang. Yang ingin saya tanyakan dan mohon bantuannya, apa yang dapat teman saya lakukan untuk mendapatkan uangnya kembali, sedangkan kita tidak memiliki perjanjian hanya janji lisan semata dari \"B\"? Dan bagaimana kita mengantisipasi jika ternyata teman saya si \"A\" tersebut tidak memiliki saksi? Terima kasih atas bantuan dan masukannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan fakta yang disampaikan, hubungan hukum antara A dan B berupa “janji lisan” yang mana si B berjanji akan melunasi utangnya kepada A. Dalam lingkup hukum keperdataan, kesepakatan yang dinyatakan dalam suatu “janji lisan” sama saja dengan suatu perikatan, yang mana setiap pihak memiliki hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga sebaliknya. Hal tersebut terbukti dari 2 (dua) pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“ KUH Perdata ”) yang dikutip berturut-turut di bawah ini: KLINIK TERKAIT 3 Perbedaan Surat Kuasa Umum dan Surat Kuasa Khusus 26 Apr 2024 Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum? 09 Nov 2023 Kekuatan Hukum Perjanjian Asuransi via Telemarketing 14 Jun 2023 Dapatkah Kuitansi Berfungsi Sebagai Perjanjian? 07 Sep 2022 Pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sebagaimana kedua pasal di atas, yang menganut sistem terbuka, maka khusus Pasal 1233 KUH Perdata menentukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dengan kata lain, sumber perikatan itu adalah perjanjian dan undang-undang. Dalam perikatan yang terjadi karena perjanjian, para pihak dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan tersebut para pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban untuk memenuhi perikatan tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan kesepakatan yang dibuat para pihak merupakan undang-undang bagi mereka. Sebagai undang-undang, tentu pihak yang berjanji memenuhi prestasinya harus melaksanakannya, sebaliknya akan ada sanksi jika tidak dipenuhi. Pasal 1338 KUH Perdata dikutip sebagai berikut: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Namun demikian, keterpenuhan sebagai undang-undang harus terlebih dahulu diuji dengan syarat subjektif dan obyektif sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata , yang dikutip sebagai berikut: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.” Terhadap kegagalan B untuk memenuhi perikatannya, harus terlebih dahulu ditentukan kapan dia berada dalam keadaan wanprestasi. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu diperingatkan supaya dia memenuhi prestasinya. Selanjutnya, bagaimana cara memperingatkan si B untuk memenuhi prestasinya? Harus diperingatkan secara tertulis ( sommatie ) sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata , yang isinya menyatakan bahwa si B wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu si B tetap tidak memenuhinya, debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Pasal 1238 KUH Perdata dikutip sebagai berikut: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Di samping pemenuhan utang pokok, menurut ketentuan Pasal 1243 KUH Perdata , ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, baru diwajibkan jika debitor setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dikerjakan, hanya dapat diberikan atau dikerjakan dalam tenggang waktu yang telah dilewatkannya. Yang dimaksud dengan “kerugian” dalam Pasal 1243 KUH Perdata adalah kerugian yang timbul karena debitor melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitor terhitung sejak dia dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu terdiri atas tiga unsur, yaitu: 1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan; 2. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditor akibat kelalaian debitor; 3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya, bunga yang berjalan selama piutang terlambat dilunasi. Untuk melindungi kepentingan hukum si A, setelah sommatie dibaikan dan tidak ditanggapi dengan serius, maka hukum menentukan hak A menggugat B di forum pengadilan, yang secara formal memiliki daya paksa yaitu dengan suatu putusan. Dalam forum pengadilan kasus perdata, kebenaran materiil diutamakan, dengan pengertian bahwa pembuktian memiliki peranan yang sangat penting dan menentukan. Dengan berpegang pada prinsip dalam Pasal 1865 KUH Perdata , setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, diwajibkan membuktikan adanya hak tersebut. Untuk itu, pembuktian hubungan hukum antara A dan B dilakukan dengan pengajuan alat-alat bukti di muka persidangan, yang menurut Pasal 1866 KUH Perdata terdiri atas: 1. Bukti tertulis; 2. Bukti dengan saksi-saksi; 3. Persangkaan-persangkaan; 4. Pengakuan; 5. Sumpah. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad 1847 No. 23) Sumber bacaan : 1. Prof. R. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan Keempatpuluh, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2009. 2. Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010. 3. Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H.,dkk., Kompilasi Hukum Perikata, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, 2001. 4. Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Kedelapan, Mandar Maju, 2000." }
{ "from": "human", "value": "Kakek saya memberikan surat wasiat tanah berukuran 9x15 meter kepada ibu saya. Tanah tersebut akan dijual oleh ahli waris dan akan membatalkan surat wasiat. Pertanyaan saya, apakah ahli waris dapat membatalkan surat wasiat?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Surat wasiat hanya bisa ditarik kembali oleh si pewaris pada waktu ia masih hidup. Surat wasiat tersebut harus dicabut dengan wasiat yang dibuat kemudian (wasiat yang baru) atau akta notaris mengenai pencabutan wasiat. Jual beli yang dilakukan oleh para ahli waris setelah pewaris meninggal dunia, tidak dapat membatalkan surat wasiat. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Menurut Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) , surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya . J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris (hal. 181) menjelaskan bahwa ditinjau dari isinya, testamen (surat wasiat) merupakan suatu pernyataan kehendak, yang baru mempunyai akibat/berlaku sesudah si pembuat testamen meninggal dunia, pernyataan mana pada waktu si pembuat masih hidup dapat ditarik kembali secara sepihak . KLINIK TERKAIT Cara Membatalkan Surat Wasiat Menurut KUH Perdata 04 Jan 2024 Diberikan Warisan oleh Pewaris Tanpa Ada Surat Wasiat 12 Jan 2015 Bisakah Digugat Jika Pembagian dalam Wasiat Tak Sama? 15 Jul 2014 Langkah Aman Menjual Tanah Warisan 02 Jun 2014 Ini berarti surat wasiat hanya bisa ditarik kembali oleh si pewaris pada waktu ia masih hidup. Lebih lanjut diatur juga dalam Pasal 992 KUHPer bahwa surat wasiat tersebut harus dicabut dengan wasiat yang dibuat kemudian (wasiat yang baru) atau akta notaris mengenai pencabutan wasiat: Pasal 992 KUHPer: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Suatu wasiat, baik seluruhnya maupun sebagian, tidak boleh dicabut, kecuali dengan wasiat yang lebih kemudian, atau dengan suatu akta Notaris yang khusus, yang mengandung pernyataan pewaris tentang pencabutan seluruhnya atau sebagian wasiat yang dulu, tanpa mengurangi ketentuan Pasal 934. ” Melihat pada ketentuan di atas, ini berarti pada saat pewaris meninggal dunia, wasiat tersebut sudah tidak dapat dicabut lagi, apalagi dengan penjualan tanah tersebut oleh para ahli waris. Jika memang sudah ada wasiat yang menyebutkan bahwa tanah tersebut diberikan kepada ibu Anda, maka yang berhak atas tanah tersebut adalah ibu Anda, yang berhak menjualnya juga adalah ibu Anda. Jika ahli waris lain menjual tanah tersebut, maka ahli waris lain telah melanggar ketentuan hukum bahwa yang berhak menjual suatu barang adalah pemilik dari barang tersebut. Prof. Subekti, S.H. menjelaskan mengenai hal ini dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal 69), yaitu bahwa eigendom (hak milik) adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Orang yang mempunyai hak milik atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain. Dalam kasus Anda, ibu Anda mendapatkan hak atas tanah tersebut dari pewaris (kakek Anda). Hal ini juga didukung oleh Pasal 1471 KUHPer , yang berbicara mengenai jual beli (pada dasarnya dalam jual beli tanah sama dengan jual beli pada umumnya), yang secara implisit me n syaratkan bahwa penjual haruslah pemilik dari barang yang dijual: “ Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.” Ibu Anda sebagai orang yang diberikan warisan dapat menggugat berdasarkan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer , yang berbunyi: “ Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut .” Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut: a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); b. Perbuatan itu harus melawan hukum; c. Ada kerugian; d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; e. Ada kesalahan. (penjelasan selengkapnya simak artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras ) Yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Melanggar hak subjektif orang lain; 3. Melanggar kaidah tata susila; 4. Bertentangan dengan azas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Dalam hal ini, jika para ahli waris lainnya menjual tanah yang diwariskan kepada ibu Anda, maka hal tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif ibu Anda sebagai orang yang menerima warisan berdasarkan surat wasiat tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ." }
{ "from": "human", "value": "Hukum online yth. Apa bisa akta jual beli tanah yang tidak dibayar lunas oleh pembeli dibatalkan? Bagaimana jika alas hak tanah tersebut sudah dialihkan oleh pembeli tersebut ke pihak lain? Apa bisa dilakukan gugatan ke pengadilan untuk mengembalikan tanah tersebut? Gugatan bagaimana yang harus dilakukan? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria , hukum agraria yang berlaku di Indonesia ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Dalam hukum adat, jual beli tanah itu bersifat terang dan tunai . Terang itu berarti jual beli tersebut dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sedangkan, yang dimaksud dengan tunai adalah hak milik beralih ketika jual beli tanah tersebut dilakukan dan jual beli selesai pada saat itu juga. Apabila harga tanah yang disepakati belum dibayar lunas oleh pembeli, maka sisa harga yang belum dibayar akan menjadi hubungan utang piutang antara penjual dan pembeli. KLINIK TERKAIT Apakah Melepaskan Hak Milik atas Tanah Otomatis Jadi Tanah Negara? 16 Okt 2023 Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 20 Jul 2016 Akta PPAT dan Bukti Kepemilikan Tanah 08 Agt 2012 Akta Notaris untuk Transaksi Pertanahan 07 Jun 2010 Karena itu, mengingat hak milik sudah berpindah dan jual beli telah selesai, maka jika sisa harga tanah yang belum dibayar tersebut tidak juga dibayar oleh pembeli, penjual tidak bisa membatalkan jual beli tanah tersebut. Selain itu, karena tanah juga sudah menjadi hak milik dari pembeli, maka pembeli memiliki kebebasan untuk mengalihkan kembali tanah tersebut kepada pihak ketiga. Yang bisa dilakukan oleh penjual adalah menggugat secara perdata pembeli tersebut atas dasar wanprestasi perjanjian utang piutang (sisa harga tanah yang belum dibayar) ( Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata - “KUHPer”). Sebelum melakukan gugatan perdata, berdasarkan Pasal 1238 KUHPer , penjual harus terlebih dahulu memberikan somasi kepada pembeli untuk membayar utangnya (sisa harga yang belum dibayar). Apabila pembeli tidak mengindahkan somasi tersebut dengan tetap tidak membayar kepada penjual, maka penjual dapat melakukan gugatan perdata atas dasar wanprestasi. Tujuan gugatan bukan untuk meminta pembeli mengembalikan tanah kepada penjual, tapi untuk menuntut pelunasan utang serta ganti rugi kepada penjual. Lebih lanjut mengenai gugatan wanprestasi dapat Anda baca dalam artikel-artikel berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Apakah Janji Lisan Utang Piutang Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban? ; 2. Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH ; 3. Perlukah Pakai Debt Collector Jika Debitur Tak Kunjung Lunasi Utang? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ." }
{ "from": "human", "value": "Permisi mau tanya ya, apakah perkara jual beli tokek itu menyalahi hukum di Indonesia, apakah ada perkara untuk kasus serupa yang telah diputus pengadilan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Tokek ( Gecko gecko ) merupakan satwa liar dari jenis reptil yang tidak termasuk dalam satwa yang dilindungi berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (\"CITES\") yang telah diratifikasi dengan Keppres No. 43 Tahun 1978 . Menurut Pasal 18 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (“PP 8/1999”), satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah satwa liar yang tidak dilindungi. Satwa liar untuk keperluan perdagangan dapat diperoleh dari usaha penangkaran atau penangkapan dari alam ( Pasal 18 ayat [ 2 ] PP 8/1999 ). Perdagangan satwa liar dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia setelah mendapatkan rekomendasi Menteri ( Pasal 19 ayat (1) PP 8/1999 ). KLINIK TERKAIT Mengapa Alkohol Tidak Digolongkan Sebagai Narkotika? 18 Okt 2022 Hukum Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap ( Black Market ) 29 Sep 2021 Hukumnya Meminta Uang Tebusan Binatang Piaraan Milik Orang Lain 04 Apr 2012 Perjanjian Memakai Jasa Pekerja Seks Komersial 23 Apr 2011 Berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 4 Kepmenhutbun No. 104/KPTS-II/2000 Tahun 2000 tentang Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar (“Kepmenhutbun 104/2000”) ,perdagangan dan penangkaran satwa liar adalah termasuk kegiatan pemanfaatan satwa liar. Tata cara penangkapan satwa liar yang tidak dilindungi untuk keperluan perdagangan diatur sebagai berikut: a. Permohonan disampaikan kepada Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan setempat. Berdasarkan pertimbangan teknis dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam dapat menolak atau menyetujui permohonan tersebut dalam waktu paling lambat 6 (enam) hari kerja sejak pertimbangan diterima. c. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam memberikan pertimbangan teknis wajib memperhatikan kuota penangkapan dan pengambilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Izin untuk penangkapan satwa liar yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi berlaku paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang, permohonan perpanjangan diajukan 2 minggu sebelum berakhir dan dilengkapi dengan laporan realisasi penangkapan sebelumnya dan disertai berita acara penangkapan ( Pasal 7 Kepmenhutbun 104/2000 ). Kemudian , Pasal 11 Kepmenhutbun 104/2000 mengatur soal kuota pengambilan satwa liar yang tidak dilindungi untuk tujuan perdagangan: Pasal 11 (1) Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam menetapkan kuota setiap jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi untuk keperluan perdagangan dalam setiap kurun waktu 1 (satu) tahun. (2) Penetapan kuota perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari kuota pengambilan dan penangkapan dari alam dan hasil penangkaran. (3) Kuota perdagangan ditetapkan atas dasar kebutuhan perdagangan dalam negeri dan untuk tujuan ekspor . Lebih jauh lagi, contoh penetapan kuota perdagangan tokek diatur dalam Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.84/IV/SET-3/2008 Tahun 2008 Tentang Penetapan Rencana Produksi Reptil Hidup Hasil Penangkaran Tahap Kedua (Periode Juli-Desember 2008) Tahun 2008. Dalam Lampiran Keputusan tersebut, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan jenis dan jumlah reptil yang boleh diambil dari penangkaran untuk diperdagangkan di dalam maupun luar negeri kepada unit usaha penangkaran reptil (unit usaha tersebut ada yang berbentuk PT, CV, Firma,dan UD). Masih dalam Lampiran Keputusan tersebut, Tokek ( Gecko gecko ) bersama dengan Tokek leachianus ( Racodactylus leacheanus ), Tokek Ekor Besar ( Aeluroscalobates felinus), dan Tokek Halmahera( Gehyra vorax ) termasuk dalam kategori “ Tidak Dilindungi UU dan termasuk Non Appendix CITES ”. Menurut Pasal 24 PP 8/1999 , tiap-tiap perdagangan satwa liar untuk tujuan ekspor, re ekspor, atau impor dilakukan atas dasar izin Menteri. Dokumen perdagangan untuk tujuan ekspor, re ekspor, dan impor, sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. memiliki dokumen pengiriman dan pengangkutan; b. izin ekspor, re ekspor, atau impor; c. rekomendasi otoritas keilmuan ( Scientific Authority ). Kegiatan ekspor, re - ekspor, atau impor jenis satwa liar tanpa dokumen, memalsukan dokumen, atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen termasuk dalam pengertian penyelundupan ( Pasal 26 PP 8/1999 ) . Jadi, perdagangan tokek di Indonesia tidak menyalahi hukum karena tokek bukan termasuk satwa yang dilindungi, tetapi untuk dapat menangkap dan/atau menangkarkan untuk tujuan memperdagangkan harus dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan dengan hukum Indonesia dan mendapat rekomendasi Menteri. Sedangkan , untuk penangkapan tokek dari alam harus melakukan permohonan dahulu ke Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan setempat. Mengenai pertanyaan Saudara apakah ada perkara mengenai perdagangan tokek yang telah diputus pengadilan, sepanjang penelusuran kami tidak terdapat putusan mengenai perkara tersebut, karena perdagangan tokek di Indonesia tidak menyalahi hukum. Demikan jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar 2. Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 yang M engesahkan \" Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora \", yang T elah D itandatangani di W ashington P ada T anggal 3 M aret 1973 3. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 104/KPTS-II/2000 Tahun 2000 tentang Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar 4. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.84/IV/SET-3/2008 Tahun 2008 tentang Penetapan Rencana Produksi Reptil Hidup Hasil Penangkaran Tahap Kedua (Periode Juli-Desember 2008) Tahun 2008" }
{ "from": "human", "value": "Apakah secara hukum kapal bendera Indonesia yang melakukan kegiatan docking di Batam untuk perawatan kapal bisa dikenakan PPN/pajak lainnya, ataupun bebas dari PPN/pajak lainnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kita pahami terlebih dahulu mengenai kedudukan Batam apakah sebagai kawasan Free Trade Zone (“FTZ”) ataukah Kawasan Ekonomi Khusus (“KEK”). Merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (“PP 46/2007”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 rentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ( “ PP 5 / 2011 ” ) , pada P asal 1 ayat (1) PP 5 / 2011 dinyatakan sebagai berikut: Dengan Peraturan Pemerintah ini, kawasan Batam merupakan salah satu area yang ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini . Dan pada Pasal 1 ayat (2) PP 5 / 2011 dinyatakan pula bahwa: Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pulau Batam , Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan Pulau Janda Berias dan gugusannya. Kawasan Perdangan Bebas dan Pelabuhan Bebas mempunyai keuntungan tersendiri dalam hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (“Perppu 1/2000”) sebagaimana ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 (“UU 36/2000”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (“Perppu 1/2007”) kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 (“UU 44/2007”) . Pada Pasal 1 ayat (1) Per p pu 1 / 2000 dinyatakan bahwa: Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai . Perlu diperhatikan juga , telah diundangakan pada tanggal 14 Oktober 2009 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus ( “ UU 39 / 2009 ” ) , yang dalam Pasal 49 UU 39/2009 disebutkan bahwa dengan beralihnya status Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan, maka UU 36/2000 sebagaimana telah diubah dengan UU 44/2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku . Namun UU 39/2009 tidak serta merta menghapus kedudukan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, hal ini bisa dilihat pada ketentuan pada Pasal 48 ayat (1) UU 39/2009 yang memberikan ruang bagi Batam untuk mengusulkan Batam menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (“KEK”) baik sebelum, sesudah jangka waktu yang ditetapkan berakhir. Selain itu, pada Pasal 48 ayat (2) UU 39/2009 juga dinyatakan bahwa apabila dalam hal ini Batam tidak diusulkan menjadi KEK , Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas akan berakhir sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, yaitu 70 Tahun semenjak diberlakukannya PP 5/2011. Berkaitan dengan kegiatan docking yang dilakukan, kami perlu mengetahui lebih detail bagaimana kegiatan perawatan kapal tersebut, apakah sampai dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Apabila melalui pelabuhan dan bandara udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean, maka akan diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai (“PPN”), pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (“PPnBM”), dan pembebasan cukai. B erbeda lagi apabila pemasukan dan pengeluaran barang tidak melalui pelabuhan dan bandaran udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean, maka akan diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai, oleh karena itu kami perlu mengetahui kegiatan docking dalam rangka perbaikan kapal secara detailnya. Berdasarkan penelusuran kami, hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah mengenai penetapan Batam sebagai KEK, sehingga kami berasumsi bahwa Batam masih mempunyai status sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Oleh karena itu, kegiatan d ocking yang dilakukan di Batam akan dibebaskan dari pengenaan bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai. Tetapi tidak untuk Pajak Penghasilan (“PPh”) yang dikenakan kepada sujek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 rentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam hukumonline google perkapalan pajak laut online kapal hukum batam" }
{ "from": "human", "value": "Saya baru saja diterima kerja selama kurang lebih 3 bulan. Teman saya juga baru bekerja selama 1 bulan. Apakah karyawan baru berhak menerima THR? Jika berhak, bagaimana ketentuannya? Mohon jawabannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.[1]\nApa saja hari raya keagamaan? Hari raya Idulfitri bagi pekerja yang beragama Islam, hari raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen Katolik dan Kristen Protestan, hari raya Nyepi bagi pekerja yang beragama Hindu, hari raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha, dan hari raya Imlek bagi pekerja yang beragama Konghucu.[2]\n\nAdapun perhitungan THR karyawan disesuaikan dengan masa kerja karyawan sebagai berikut:[3]\n\nPekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah;Pekerja yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan:\nMasa Kerja/12 x 1 Bulan Upah\nYang dimaksud dengan upah 1 bulan itu terdiri atas komponen upah:[4]\n\nupah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atauupah pokok termasuk tunjangan tetap.\nOleh karena itu, secara prinsip jika karyawan baru bekerja kurang dari 1 bulan, ia tidak berhak atas THR. Lalu, apakah karyawan baru 1 bulan dapat THR? Iya karyawan yang baru bekerja selama 1 bulan berhak mendapatkan THR, sebab ia telah memenuhi masa kerja karyawan paling sedikit 1 bulan secara terus menerus untuk mendapatkan THR.\n\nKemudian timbul pertanyaan, apakah pekerja belum 1 tahun dapat THR? Sepanjang masa kerja pekerja yang bersangkutan paling sedikit 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, THR tetap diberikan secara proporsional sesuai masa kerja.\nContoh Perhitungan THR Karyawan Baru\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, jika baru 3 bulan kerja apakah dapat THR? Iya, karyawan yang baru bekerja selama 3 bulan tetap mendapatkan THR dengan perhitungan secara proporsional.\n\nSebagai contoh guna mempermudah pemahaman Anda, karyawan baru bekerja selama 3 bulan dengan upah bersih sebesar Rp4 juta per bulan. Dengan demikian, perhitungan THR karyawan baru yang berhak ia dapat adalah:\n\nMasa Kerja/12 x 1 Bulan Upah\n\n3/12 x Rp4 juta = Rp1 juta\n\nSehingga besaran THR yang diterima karyawan baru 3 bulan masa kerja dengan upah bersih Rp4 juta per bulan adalah Rp1 juta.\n\nAkan tetapi jika penetapan besaran nilai THR berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari rumus perhitungan THR karyawan di atas, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.[5]\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nPeraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”)\n\n[2] Pasal 1 angka 2 Permenaker 6/2016\n\n[3] Pasal 3 ayat (1) Permenaker 6/2016\n\n[4] Pasal 3 ayat (2) Permenaker 6/2016\n\n[5] Pasal 4 Permenaker 6/2016" }
{ "from": "human", "value": "Saat ini saya sudah 2 tahun resign dari perusahaan. Saya dulu bekerja di bagian order pakan sekaligus finance accounting divisi pakan. Perusahaan mengalami kerugian dan berutang kepada pihak ketiga. Perusahaan lalu berniat menuntut saya karena saya yang melakukan order pakan. Padahal saya hanya menjalankan jobdesk. Apabila terjadi kerugian perusahaan, apakah karyawan wajib menanggung utang perusahaan? Saya sudah resign sejak 2 tahun yang lalu. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum kami menjawab pertanyaan Anda, berikut kami sampaikan penjelasan singkat mengenai asas tiada pidana tanpa kesalahan. Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi:\n\nSuatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.\nMoeljatno, dikutip oleh Romli Atmasasmita dalam buku Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan: Geen Straf Zonder Schuld (hal. 141) menyatakan asas tiada pidana tanpa kesalahan adalah orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.\n\nTerkait penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan, berikut kami sampaikan sebuah kasus yang cukup baik untuk menjadi referensi dari buku Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP oleh Sudaryono dan Natangsa Surbakti:\n\nArrest Air dan Susu, H.R. 14 Februari 1916\n\nAB, pengusaha susu (veehouder) menyuruh me-lever susu kepada para pelanggan. Yang mengedarkan susu itu adalah D (pelayan). Pada suatu ketika, susu yang di-lever oleh D itu ternyata tidak murni (dicampur dengan air). D tidak tahu menahu tentang hal tersebut.\n\nPasal 303a dan 244 Peraturan Polisi Umum Amsterdam, Belanda melarang dan mengancam dengan pidana terhadap perbuatan tersebut.\n\nAB dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana, tetapi AB mengajukan kasasi. Alasan pengajuan kasasi adalah:\n\nRechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47 WvS Belanda (Pasal 55 KUHP), sebab telah memutus secara tidak benar, bahwa AB telah menyuruh-lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki terlebih dahulu apakah pembuat materiil (D) tidak bertanggung jawab atas perbuatan itu.Tidak menjadi persoalan apakah pembuat materiil dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan tidaknya susu yang disuruh melevernya.Lebih-lebih Pasal 303a dan 344 tersebut mengancam dengan pidana barang siapa yang me-lever susu yang tidak murni tanpa memandang adanya kesalahan atau tidak.\n\nPermohonan kasasi ditolak oleh Hoge Raad (H.R.), dan terhadap alasan yang disampaikan oleh AB; H.R. memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut:\n\nTelah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (AB) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever susu dengan “susu murni”, padahal dicampur dengan air, hal mana tidak diketahui oleh D.Memang dalam pasal 303a tidak disebut dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan, akan tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali, peraturan itu diterapkan kepadanya.Tidak ada suatu alasan pun, terutama dalam riwayat WvS yang memaksa untuk menganggap dalam hal unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk undang-undang menyetujui sistem, orang yang berbuat harus dipidana yang terdapat dalam undang-undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama sekali (taksi).Untuk menerima sistem tersebut (dalam c), yang bertentangan dengan rasa keadilan dan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, yang juga dianut dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata dalam rumusan delik.\n\nDengan adanya Arrest Air dan Susu tersebut, “asas tiada pidana tanpa kesalahan” diakui dalam praktik peradilan, termasuk dalam hal tindak pidana pelanggaran.\n\nDari kasus “air dan susu” tersebut nampak jelas bahwa D selaku pelayan dari AB tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan yang dilakukan AB selaku pengusaha susu. D hanya pelayan yang disuruh untuk melaksanakan tugasnya yaitu mengedarkan dan menyerahkan susu kepada para pelanggan, dan D tidak mengetahui mengenai perbuatan AB selaku pengusaha susu yang ternyata mencampur susu dengan air.\n\nKembali ke pertanyaan Anda, terkait perusahaan Anda yang berniat menuntut pidana Anda atas kerugian yang dialami perusahaan, padahal Anda menjalankan jobdesk terkait order pakan, maka perusahaan harus dapat membuktikan adanya kesalahan yang Anda lakukan pada saat Anda bekerja di bagian order pakan sekaligus finance accounting divisi pakan. Perusahaan harus membuktikan adanya kesalahan baik kesengajaan (opzet) maupun kelalaian (culpa) yang Anda lakukan yang mengakibatkan perusahaan merugi.\n\nDi sisi lain, sepanjang Anda dapat membuktikan bahwa Anda melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab (jobdesk), dan sesuai dengan perintah kerja yang berasal dari atasan, kami berpendapat Anda tidak melakukan kesalahan secara pidana sehingga tidak dapat bertanggungjawab secara pidana karena adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan.\nGugatan Perbuatan Melawan Hukum\n\nSementara itu, apabila perusahaan berupaya melakukan upaya hukum perdata, kami mengasumsikan perusahaan akan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata:\n\nTiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.\n\nLebih lanjut terkait penjelasan unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata dapat Anda simak dalam Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana.\n\nSelain Pasal 1365 KUH Perdata, pengusaha mungkin akan menggunakan Pasal 1366 KUH Perdata yang menyatakan:\n\nSetiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.\n\nDengan demikian, terkait wajib menanggung utang perusahaan atau tidak, baik penerapan Pasal 1365 KUH Perdata maupun Pasal 1366 KUH Perdata sendiri, menurut hemat kami, perusahaan tetap harus membuktikan adanya kesalahan atau kelalaian atau kesembronoan yang Anda lakukan pada saat Anda bekerja di bagian order pakan sekaligus finance accounting divisi pakan.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\nREFERENSI:\n1. Romli Atmasasmita. Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan: Geen Straf Zonder Schuld. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018\n2. Sudaryono dan Natangsa Surbakti. Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RUU KUHP. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017." }
{ "from": "human", "value": "Saya sudah tanda tangan kontrak probation selama 6 bulan dan kontrak tersebut sudah berakhir. Saya sudah follow-up ke HRD, tapi hingga saat ini masih belum ada kejelasan. Akhirnya, saya melamar di tempat kerja lain dan diterima. Saya follow-up lagi ke HRD bahwa saya tidak akan perpanjang kontrak dan H-3 saya sudah tidak bekerja di kantor tersebut. Tapi, HRD tetap tidak merespon pesan. Saya lalu menghubungi atasan tapi saya disalahkan karena harus one month notice terlebih dahulu, sedangkan posisi saya sendiri tidak jelas karena tidak ada kabar perpanjangan kontrak dari HRD.  Atasan saya bilang dalam UU, jika HRD tidak memberi kabar tentang kontrak, artinya kontrak otomatis diperpanjang. Apa benar? Lalu, apakah karyawan PKWT ada masa percobaan seperti yang saya alami?" }
{ "from": "gpt", "value": "Masa Percobaan (Probation)\n\nMengenai probation atau masa percobaan sebagaimana Anda sebutkan, perlu Anda ketahui bahwa Pasal 81 angka 14 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 58 UU Ketenagakerjaan mengatur:\n\nPerjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.\nKemudian Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juga menyebutkan:\n\nPerjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 bulan.\n\nMerujuk pada pasal di atas, menjawab pertanyaan apakah karyawan kontrak ada masa percobaan, dapat kami sampaikan bahwa tidak ada probation atau masa percobaan untuk karyawan kontrak. Masa percobaan (probation) hanya dapat diterapkan untuk pekerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (“PKWTT”) atau pekerja tetap, dengan ketentuan paling lama 3 bulan.\n\nAdapun syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada.[1]\n\nLebih lanjut, dalam kasus Anda, disampaikan bahwa Anda telah menandatangani kontrak probation selama 6 bulan. Di sini, kami mengasumsikan “kontrak” yang Anda sampaikan adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) atau pekerja kontrak. Sehingga, kami berpendapat hal ini telah melanggar hukum.\n\nSebagaimana telah kami sebutkan di atas, PKWT atau pekerja kontrak tidak dapat mensyaratkan masa percobaan. Jika tetap disyaratkan, masa percobaan kerja menjadi batal demi hukum.\nPerpanjangan Kontrak Kerja\n\nBahwa kontrak atau PKWT esensi utamanya adalah perjanjian antara para pihak, yaitu antara pengusaha dengan pekerja, sehingga secara umum pengaturannya tetap merujuk ketentuan keperdataan. Terkait ini, ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, menerangkan bahwa agar terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat, yaitu:\n\nKesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.Suatu pokok persoalan tertentu.Suatu sebab yang tidak terlarang.\n\nSehubungan dengan itu, kontrak atau PKWT harus didasari atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerjanya. Dengan demikian, jika merujuk pada pernyataan atasan Anda yang menyatakan “jika HRD tidak memberi kabar tentang kontrak, artinya kontrak otomatis diperpanjang”, hal ini tidak benar, dan cenderung mengarah ke pemaksaan kehendak, bahkan penipuan.\n\nAdapun persetujuan atau kesepakatan dalam perjanjian kerja tidak boleh diberikan dengan paksaan atau penipuan sebagaimana dimaksud Pasal 1321 KUH Perdata yang menerangkan:\n\nTiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.\n\nDengan demikian, sepanjang Anda belum membaca dan menyetujui kontrak yang baru (perpanjangan), maka tidak ada hubungan hukum lanjutan antara Anda dengan perusahaan. Sebab, hubungan kerja merujuk kontrak sebelumnya sudah habis jangka waktunya.\nKemudian, kami tekankan sekali lagi, istilah probation PKWT atau PKWT probation tidaklah ada dalam aturan hukum, pasalnya masa percobaan atau probation hanya boleh diterapkan untuk pekerja tetap (PKWTT).\nDemikian jawaban dari kami terkait pertanyaan tentang masa percobaan untuk karyawan kontrak sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n[1] Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Saya adalah karyawan dari salah satu perusahaan swasta yang berdomisili di Jakarta, saya telah bekerja di perusahaan ini sejak tahun 2018 hingga kini masih bekerja dengan status kontrak. Baru-baru ini perusahaan ingin memperpanjang kontrak saya, namun saya menolak. Perusahaan tidak ingin menjadikan saya pekerja tetap dan mengancam akan memecat saya. Yang saya tanyakan, apakah tindakan perusahaan dibenarkan hukum? Apakah karyawan kontrak yang resign dapat pesangon? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Perlu kami luruskan, karyawan yang resign tidak mendapatkan pesangon. Namun, apabila hubungan kerja pekerja kontrak (PKWT) berakhir, baik karena resign atau kontrak telah selesai, pengusaha kini wajib memberikan uang kompensasi sesuai hitungan masa kerja.[11] Uang kompensasi diberikan ke pekerja yang punya masa kerja minimal 1 bulan terus menerus.[12]\n\nAdapun besaran kompensasi yang diberikan kepada pekerja yang resign atau pun yang kontraknya berakhir mengikuti hitungan sebagai berikut.[13]\n\nPKWT selama 12 bulan secara terus menerus, diberikan sebesar 1 bulan upah; danPKWT selama 1 bulan atau lebih tetapi kurang dari 12 bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan masa kerja/12 bulan x 1 bulan upah; danPKWT selama lebih dari 12 bulan dihitung secara proporsional dengan perhitungan masa kerja/12 bulan x 1 bulan upah.\nDemikian jawaban dari kami terkait pertanyaan apakah pekerja kontrak yang resign dapat pesangon, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?r=0&p=1&q=Peraturan%20Pemerintah%20Nomor%2035%20Tahun%202021%20tentang%20Perjanjian%20Kerja%20Waktu%20Tertentu%2C%20Alih%20Daya%2C%20Waktu%20Kerja%2C%20dan%20Waktu%20Istirahat%2C%20dan%20Pemutusan%20Hubungan%20Kerja&rs=1847&re=2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\n[1] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”)[2] Pasal 81 angka 15 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[3] Pasal 5 ayat (1) PP 35/2021[4] Pasal 5 ayat (2) PP 35/2021[5] Pasal 5 ayat (3) PP 35/2021[6] Pasal 81 angka 15 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan[7] Pasal 8 ayat (1) PP 35/2021[8] Pasal 8 ayat (2) PP 35/2021[9] Pasal 9 ayat (4) PP 35/2021[10] Pasal 50 PP 35/2021[11] Pasal 15 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) PP 35/2021[12] Pasal 15 ayat (3) PP 35/2021[13] Pasal 16 ayat (1) PP 35/2021" }
{ "from": "human", "value": "Saya sudah bekerja selama 6 bulan dan saya beragama Hindu. Apakah saya berhak atas THR Lebaran? Atau harus menunggu hari keagamaan sesuai agama saya terlebih dahulu? Mohon penjelasannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Permenaker 6/2016, Tunjangan Hari Raya keagamaan (“THR”) adalah pendapatan nonupah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawan atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.\nKemudian, yang dimaksud dengan hari raya keagamaan adalah Hari Raya Idulfitri bagi karyawan yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi karyawan yang beragama Kristen Katolik dan Kristen Protestan, Hari Raya Nyepi bagi karyawan yang beragama Hindu, Hari Raya Waisak bagi karyawan yang beragama Budha, dan Hari Raya Imlek bagi karyawan yang beragama Konghucu.[1]\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda, THR tidak hanya diberikan kepada karyawan yang beragama Islam saja, tetapi Anda sebagai karyawan yang beragama Hindu juga berhak atas THR.\nWaktu Pembayaran THR\nBerdasarkan Pasal 5 ayat (1) Permenaker 6/2016, pembayaran THR diberikan satu kali dalam setahun dan disesuaikan dengan hari raya keagamaan masing-masing karyawan.\n\nApabila hari raya keagamaan yang sama terjadi lebih dari 1 kali dalam 1 tahun, THR diberikan sesuai dengan pelaksanaan hari raya keagamaan.[2]\n\nNamun, Permenaker 6/2016 membuka kemungkinan untuk pemberian THR tidak sesuai dengan hari raya keagamaan masing-masing karyawan, asalkan didasarkan atas kesepakatan pengusaha dan karyawan yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.[3]\n\nSehingga, ada kemungkinan Anda mendapatkan THR tidak di hari raya Nyepi, melainkan di hari raya keagamaan lain. Misalnya saja Anda mendapat uang THR Lebaran ketika Idulfitri.\n\nJadi, jika ada kesepakatan antara Anda dan pengusaha bahwa “THR Lebaran” Anda dibayarkan bersamaan dengan hari raya keagamaan lain, dalam konteks ini Idulfitri, maka Anda mendapat THR di hari raya keagamaan yang disepakati tersebut.\n\nPenting untuk diketahui bahwa THR wajib dibayar sebelum Lebaran atau sebelum hari raya keagamaan. Lebih lanjut, pembayaran THR wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.[4]\n\nCara Hitung THR Lebaran\n\nUntuk mengetahui besaran atau hitungan THR Lebaran yang Anda terima, maka kami mengacu pada peraturan terbaru mengenai THR Keagamaan dalam SE Menaker M/2/HK.04/III/2024.\n\nDalam SE Menaker tentang THR tersebut dinyatakan bahwa THR diberikan kepada pekerja/buruh atau karyawan yang mempunyai telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, dan kepada pekerja/buruh atau karyawan yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”) atau perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”).[5]\n\nBesaran THR ditetapkan sebagai berikut:[6]\n\nKaryawan yang masa kerjanya 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah;Karyawan yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: masa kerja/12 x 1 bulan upah.\n\nJadi, berdasarkan kasus yang ditanyakan, cara hitung THR lebaran adalah sebagai berikut. Apabila saat ini besaran upah yang Anda terima adalah sebesar Rp6.000.000, berarti 6 (bulan) /12 x 6.000.000 (upah bulanan) = Rp3.000.000.\n\nNamun, patut diperhatikan pula bahwa apabila penetapan besaran nilai THR Lebaran berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan di perusahaan lebih besar dari nilai THR yang ditetapkan Permenaker 6/2016, THR yang dibayarkan kepada karyawan adalah sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.[7]\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang THR Lebaran sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt56ebc838dd535/peraturan-menteri-ketenagakerjaan-no-6-tahun-2016-tunjangan-hari-raya-keagamaan-bagi-pekerja_buruh-di-perusahaan/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_6_2016)\n2. [Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65f8170c7fc0f/surat-edaran-menteri-ketenagakerjaan-nomor-m-2-hk04-iii-2024-tahun-2024/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=se_menaker_2_2024)\n3. [M/2/HK.04.00/III/2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65f8170c7fc0f/surat-edaran-menteri-ketenagakerjaan-nomor-m-2-hk04-iii-2024-tahun-2024/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=se_menaker_2_2024)\n4. [Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65f8170c7fc0f/surat-edaran-menteri-ketenagakerjaan-nomor-m-2-hk04-iii-2024-tahun-2024/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=se_menaker_2_2024)\n[1] Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”)\n\n[2] Pasal 5 ayat (2) Permenaker 6/2016\n\n[3] Pasal 5 ayat (3) Permenaker 6/2016\n\n[4] Pasal 5 ayat (4) Permenaker 6/2016\n\n[5] SE Menaker M/2/HK.04.00/III/2024 angka 1\n\n[6] SE Menaker M/2/HK.04.00/III/2024 angka 3\n\n[7] Pasal 4 Permenaker 6/2016" }
{ "from": "human", "value": "Apakah karyawan kontrak/outsourcing yang telah bekerja lebih dari 6 bulan mendapatkan THR juga? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Perusahaan Pemborong Pekerjaan Wajib Berbadan Hukum 11 Mei 2022 Perbedaan Pemborongan Pekerjaan dengan Penyediaan Jasa Pekerja 03 Mar 2021 Status Hukum Karyawan dalam Transisi Manajemen 24 Nov 2020 Ketentuan Mempekerjakan Karyawan Kontrak Menurut UU Cipta Kerja 17 Nov 2020 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 24 Juni 2015, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada Senin, 06 Juni 2016. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ketentuan THR Bagi Karyawan Kontrak Hubungan kerja antara karyawan kontrak dengan pengusaha didasarkan pada Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (“PKWT”) yang ketentuannya merujuk pada Pasal 81 angka 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) : (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; pekerjaan yang bersifat musiman; pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. Jadi, PKWT atau kontrak hanya dapat diperjanjikan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu . Pada dasarnya, Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) merupakan hak bagi semua pekerja/buruh, baik karyawan kontrak (PKWT) maupun karyawan dengan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih. [1] Jadi, karyawan kontrak yang telah bekerja selama 6 bulan juga berhak atas THR . Adapun yang dimaksud dengan pekerja di sini adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. [2] Karena pekerja kontrak juga masuk dalam definisi tersebut, maka pekerja kontrak juga berhak atas THR . [3] Selain itu, ketentuan ini juga mengindikasikan pemberian THR oleh pengusaha didasarkan atas masa kerja karyawan, bukan status pekerja . Bagi karyawan kontrak dengan masa kerja yang kurang dari 1 tahun tetapi telah lebih dari 1 bulan seperti dalam pertanyaan Anda, diberikan secara proporsional dengan rumus: [4] Masa Kerja x 1 bulan upah 12 Jadi, karyawan kontrak yang telah bekerja selama 6 bulan itu berhak atas THR sebesar (6 : 12) x upah satu bulan. Walaupun THR merupakan hak semua pekerja termasuk pekerja kontrak, namun status pekerja akan berdampak dengan perbedaan mengenai timbulnya hak THR pada saat terputusnya atau berakhirnya hubungan kerja, yakni: Bagi seorang pekerja/buruh PKWTT dan mengalami pemutusan hubungan kerjanya (“PHK”) terhitung sejak 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, tetap berhak atas THR. [5] Maksudnya, jika hubungan kerjanya berakhir masih dalam jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan (hari H), maka pekerja/buruh yang bersangkutan tetap berhak atas THR (secara normatif). Namun jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama  dari 30 hari, maka hak atas THR gugur. Sedangkan bagi pekerja/buruh kontrak (PKWT) , walau “kontrak” hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan (hari H), ia tetap tidak berhak atas THR . [6] Artinya, bagi PKWT, tidak ada toleransi ketentuan mengenai batasan waktu 30 hari. Pekerja/buruh PKWT, hanya berhak atas THR jika benar-benar masih bekerja dalam hubungan kerja sampai pada hari H suatu Hari Raya Keagamaan pekerja/buruh yang bersangkutan. Ketentuan THR Bagi Karyawan Outsourcing Dalam praktik sebagaimana diterangkan Perbedaan Pemborongan Pekerjaan dengan Penyediaan Jasa Pekerja , istilah alih daya dikenal dengan sistem outsourcing . Soal karyawan dengan sistem kerja outsourcing , pada intinya mereka adalah pekerja/buruh dari perusahaan alih daya, yang dipekerjakan berdasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik PKWT maupun PKWTT. [7] Sebagaimana kami jelaskan di atas, yang berhak atas THR adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, yang hak tersebut diberikan berdasarkan masa kerja karyawan. Sehingga, karyawan outsourcing juga berhak atas THR , j ika ia telah bekerja selama 1 bulan atau lebih. Dengan kata lain, pemberian THR didasarkan atas lamanya bekerja, bukan status pekerja, sekalipun karyawan outsourcing. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang saat itu (2014) dijabat oleh Muhaimin Iskandar dalam artikel Pekerja Kontrak dan Outsourcing Berhak Dapat THR dalam laman Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Lamongan menyatakan pekerja dengan status outsourcing (alih daya), kontrak, ataupun pekerja tetap berhak menerima THR. Muhaimin menegaskan dalam pembayaran THR tidak ada perbedaan status kerja . Akan tetapi, perlu diketahui bahwa yang berkewajiban membayar THR bagi pekerja outsourcing adalah perusahaan alih daya. Ini karena hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan alih daya. [8] Sebagai contoh perhitungan THR, dapat Anda simak dalam Dasar Perhitungan Besaran Tunjangan Hari Raya (THR) . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan REFERENSI:\n1. Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Lamongan , diakses pada 1 Desember 2020 pukul 19.13 WIB. [1] Pasal 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”) [2] Pasal 1 angka 4 Permenaker 6/2016 [3] Pasal 2 ayat (2) Permenaker 6/2016 [4] Pasal 3 ayat (1) huruf b Permenaker 6/2016 [5] Pasal 7 ayat (1) Permenaker 6/2016 [6] Pasal 7 ayat (3) Permenaker 6/2016 [7] Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [8] Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan hukumonline tunjangan hari raya ketenagakerjaan pekerja karyawan uu cipta kerja pkwt uu ciptaker buruh hukum klinik thr perusahaan klinik hukumonline omnibus law outsourcing pkwtt kontrak" }
{ "from": "human", "value": "Ada karyawan outsourcing yang tidak tanda tangan kontrak/tidak ada perjanjian kerja dengan perusahaan penyedia jasa, sedangkan karyawan outsourcing tersebut sudah 2 tahun kerja di perusahaan. Apakah karyawan tersebut bisa menjadi karyawan tetap?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, saya ingin meluruskan, mungkin yang Saudara maksud “karyawan outsourcing” adalah karyawan (pekerja/buruh) yang bekerja -dan hubungan kerja nya- pada perusahaan alih daya (d alam hal ini, perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh ). Kalau itu maksudnya, terlebih dahulu perlu saya jelaskan, bahwa dalam konteks “outsourcing” versi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( “ UU Ketenagakerjaan” ), ada 2 (dua) macam sistem alih daya , yakni “outsourcing” perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan ( Pasal 65 ), dan “outsourcing” perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh ( Pasal 66 ) antara perusahaan pemberi pekerjaan (cq. perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh ) dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh . KLINIK TERKAIT Perhitungan Masa Kerja Pekerja Outsourcing (Alih Daya) 16 Jan 2013 Bolehkah Mempekerjakan Office Boy dengan Status Outsourcing? 28 Des 2012 Menghindari Penyelundupan Hukum dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 27 Des 2012 Perlindungan Upah dan Kesejahteraan Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK 23 Apr 2012 Selanjutnya, Saudara menyatakan bahwa tidak ada tanda tangan “kontrak”/ tidak ada perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa . Asumsi saya, yang Saudara maksudkan, adalah tidak pernah ada penan datangan an perjanjian kerja (cq. PKWT, perjanjian kerja untuk waktu tertentu ), tidak ada perjanjian kerja dengan perusahaan penyedia jas a pekerja/buruh . Terkait dengan pernyataan dan pertanyaan Saudara, dapat saya jelaskan beberapa hal, sebagai berikut : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Atas pernyataan Saudara, karyawan outsourcing tidak ada tangan kontrak , berarti tidak –per n ah- ada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis . Namun demikian, ketiadaan perjanjian kerja secara tertulis, bukan berarti (sama sekali) tidak -pernah- ada perjanjian kerja , karena perjanjian kerja – khususnya Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“ PKWTT ”) - tidak harus – dibuat - tertulis, tetapi (PKWTT) dapat diperjanjikan secara lisan, atau sekurang-kurangnya dibuat dalam bentuk surat pengangkatan ( vide Pasal 63 ayat [ 1 ] jo Pasal 51 ayat [ 1 ] dan 57 ayat [ 1 ] UU Ketenagakerjaan ). Walaupun demikian, ada pengecualian, untuk perjanjian kerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (baik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/ PKWT atau pun PKWTT), semua harus dibuat secara tertulis dan kemudian dicatatkan pada “Dinas Tenaga Kerja” setempat ( vide Pasal 66 ayat [ 2 ] huruf b UU Ketenagakerjaan dan Pasal 27 ayat [ 1 ] dan ayat [ 2 ] Permenakertrans No. 19 Th. 2012 ). 2. Atas pertanyaan Saudara, apakah karyawan outsourcing (yang nota bene PKWT) bisa menjadi karyawan tetap (PKWTT)? Hal ini dapat saya jelaskan, bahwa perubahan perjanjian kerja , dari PKWT menjadi PKWTT, bisa saja dan ada kemungkinan terjadi sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan, khususnya di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh - yang melakukan pekerjaan jasa penunjang yang bukan bagian dari proses produksi - memang dimungkinkan melakukan hubungan kerja dengan karywannya melalui PKWT ( vide p enjelasan Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan ). Ketentuannya, sesuai dengan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan , bahwa PKWT yang tidak memenuhi syarat/ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1) , ayat (2) , ayat (4) , ayat (5) dan ayat (6) mengenai : - jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang dapat diperjanjikan melalui PKWT ( ayat [ 1 ] ) - larangan memperjanjikan pekerjaan yang bersifat tetap melalui PKWT ( ayat [ 2 ] ) - jangka waktu perpanjangan PKWT ( ayat [ 4 ] ) - space –jangka waktu- memperpanjang PKWT ( ayat [ 5 ] ) - adanya masa jeda untuk pembaruan PKWT ( ayat [ 6 ] ) maka demi hukum berubah menjadi PKWTT. 3. Kemudian, terkait dengan peralihan hubungan kerja dari perusahaan alih daya (yakni, perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh ) beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan , kemungkinan juga bisa terjadi sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan dalam Pasal 65 ayat (8) jo ayat (2) dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan , yakni dalam hal tidak mengindahkan ketentuan mengenai: · syarat-syarat pekerjaan yang dapat diserahkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan (pekerjaan penunjang/ supporting ) dan/atau · perusahaan penerima pemborongan , bukan badan hukum maka demi hukum status hubungan kerja karyawan dengan perusahaan penerima pemborongan beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan . Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan , dalam hal mengabaikan ketentuan (mengenai): · larangan mempekerjakan pekerja/buruh perusahaan alih daya pada pekerjaan pokok ( main business ) atau kegiatan yang langsung berhubungan dengan proses produksi ( vide Pasal 66 ayat [1] ); · syarat hubungan kerja -antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh ( vide Pasal 66 ayat (2) huruf a); · ketentuan jenis perjanjian kerja (PKWT atau PKWTT) sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang dibuat secara tertulis ( vide Pasal 66 ayat [2] huruf b ); dan · klausul-klausul yang dimanatkan UU dalam perjanjian alih daya (perjanjian penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan, outsourcing agreement ) dan klausul yang dibuat secara tertulis ( vide Pasal 66 ayat [2] huruf c ); serta · perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak berbadan hukum ( vide Pasal 66 ayat [3] ), maka demi hukum ( dengan sendirinya ) status hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh , beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (cq. perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh ). Sehubungan dengan inti pertanyaan Saudara, menurut hemat saya, walaupun hubungan kerja seorang karyawan outosurcing telah berlangsung 2 (dua) tahun, jika memang tidak terpenuhi syarat dan ketentuan mengenai perubahan PKWT menjadi PKWTT atau peralihan hubungan kerja dari perusahaan alih daya kepada perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka tentunya tidak bisa secara otomatis terjadi perubahan perjanjian kerja atau peralihan hubungan kerja sebagaimana dimaksud tanpa syarat dan ketentuan sebagaimana diuraikan di atas. Demikian penjelasan saya, semoga dapat dimengerti . Dasar Hukum : 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi. Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain outsourcing uu ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Istri saya karyawan swasta, saat ini sedang hamil 7 bulan. Ketika ingin mengajukan cuti hamil, perusahaan mengatakan bisa cuti hamil, tetapi karena belum 1 tahun bekerja, jadi istri saya tidak mendapat gaji selama cuti hamil. Benarkah demikian? Atau apakah saat cuti melahirkan dapat gaji? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Hak cuti hamil dan melahirkan adalah hak yang diberikan oleh undang-undang khusus bagi pekerja perempuan. Adapun pengaturan mengenai cuti hamil dan melahirkan ini diatur dalam Pasal 82 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:\n\nPekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.\nDari rumusan pasal tersebut dapat diketahui lama cuti melahirkan adalah 3 bulan dengan pembagian 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Perlu diperhatikan juga bahwa lamanya cuti melahirkan ini dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.[1]\n\nBagi perusahaan yang tidak memberikan cuti melahirkan kepada karyawannya dapat dijerat pidana dan tindakannya termasuk tindak pidana kejahatan.[2] Pelanggaran terhadap Pasal 82 UU Ketenagakerjaan dapat dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.[3]\nCuti Hamil dan Melahirkan Menurut UU KIA\n\nNamun kemudian diterbitkan UU KIA yang memberikan peraturan cuti melahirkan terbaru. Dalam UU KIA, ibu didefinisikan sebagai perempuan yang mengandung, melahirkan, dan/atau menyusui anak atau mengangkat anak, yang merawat, mendidik, dan/atau mengasuh anak.[4]\n\nSelanjutnya UU KIA mengatur bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan 6 bulan dengan ketentuan sebagai berikut:[5]\n\npaling singkat 3 bulan pertama; danpaling lama 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.\n\nApa yang dimaksud dengan kondisi khusus?[6]\n\nibu yang mengalami masalah kesehatan, ganggungan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan atau keguguran; dan/atauanak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.\n\nSelain itu, ibu yang bekerja juga berhak mendapatkan:[7]\n\nwaktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan jika mengalami keguguran;kesempatan dan fasilitas yang layak untuk pelayanan kesehatan dan gizi serta melakukan laktasi selama waktu kerja;waktu yang cukup dalam hal diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi anak; dan/ atauakses penitipan anak yang terjangkau secara jarak dan biaya.\n\nPemberi kerja wajib dalam memberikan cuti melahirkan.[8] Selain itu, pemberi kerja tidak dapat memberhentikan seorang ibu yang melaksanakan cuti melahirkan dan tetap memberikan hak-haknya sebagai pekerja.[9]\n\nJika seorang ibu yang sedang melaksanakan cuti melahirkan diberhentikan dari pekerjaannya dan/atau tidak memperoleh haknya, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.[10]\nApakah Saat Cuti Melahirkan Dapat Gaji?\n\nMenjawab pertanyaan Anda, dari penjelasan mengenai cuti melahirkan menurut UU Ketenagakerjaan dan UU KIA di atas, cuti hamil dan melahirkan ini memfokuskan pada kondisi pekerja perempuan yang sedang hamil, bukan masa kerjanya.\n\nHal ini karena cuti hamil bukanlah cuti tahunan yang memiliki prasyarat lama bekerja sebelum mendapatkannya. Cuti tahunan diberikan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.[11]\n\nLantas, apakah saat cuti melahirkan dapat gaji? Pasal 84 UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 5 ayat (2) UU KIA mengatur bahwa pekerja perempuan yang menjalani cuti hamil dan melahirkan berhak atas gaji atau upah penuh dengan perhitungan gaji untuk karyawan cuti melahirkan:\n\nsecara penuh untuk 3 bulan pertama;secara penuh untuk bulan keempat; dan75% dari upah untuk bulan kelima dan keenam.\n\nKetentuan soal hak atas upah ini kemudian dipertegas kembali dalam  PP Pengupahan dan perubahannya yang menyatakan bahwa pekerja/buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan cuti sebelum dan sesudah melahirkan, tetap dibayar upahnya.[12]\nLangkah Hukum\nCuti hamil dan melahirkan serta tetap dibayarkan upahnya adalah hak istri Anda. Adapun langkah hukum yang dapat istri Anda lakukan adalah jalur penyelesaian perselisihan hak dengan terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, yakni melalui perundingan bipartit.[13] Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.[14] Perundingan ini harus dilaksanakan paling lambat 30 hari kerja.[15]\n\nApabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[16] Nantinya, Anda dan pengusaha menempuh mediasi hubungan industrial.[17] Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[18]\nContoh Kasus\n\nUntuk mempermudah pemahaman Anda, kami berikan contoh kasus dalam Putusan MA No. 81 K/Pdt.Sus-PHI/2015. Dalam dalilnya, penggugat (pekerja perempuan) ini mengungkapkan bahwa ia telah melahirkan anak yang kedua di mana cuti melahirkan penggugat hanya diberikan oleh pihak tergugat (pengusaha) selama 2 bulan. Sedangkan menurut Pasal 82 UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa pekerja perempuan yang melahirkan berhak atas cuti melahirkan selama 3 bulan, sehingga masih ada sisa cuti penggugat selama 1  bulan lagi yang harus dibayarkan oleh tergugat. Karena alasan tertentu, tergugat melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap penggugat (hal. 4).\n\nAkhirnya, hakim dalam putusannya menghukum tergugat membayar hak-hak penggugat akibat pemutusan hubungan kerja berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti perumahan dan pengobatan serta uang kekurangan atas cuti melahirkan dengan jumlah sebesar Rp39.450.000 (hal. 7-8).\n\nDemikian jawaban dari kami tentang perhitungan gaji untuk karyawan cuti melahirkan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/undangundang-nomor-2-tahun-2004/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2004)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6685259de1680/undang-undang-nomor-4-tahun-2024/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_kia)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n7. [Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6551988895cb1/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_51_2023)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 81 K/Pdt.Sus-PHI/2015.\n\n[1] Penjelasan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 66  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 185 ayat (2) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka 66 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (“UU KIA”)[5] Pasal 4 ayat (3) huruf a UU KIA[6] Pasal 4 ayat (5) UU KIA[7] Pasal 4 ayat (3) huruf b, c, d, e UU KIA[8] Pasal 4 ayat (4) UU KIA[9] Pasal 5 ayat (1) UU KIA[10] Pasal 5 ayat (3) UU KIA[11] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan[12] Pasal 40 ayat  (5) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan[13] Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)[14] Pasal 1 angka 10 UU PPHI[15] Pasal 3 ayat (2) UU PPHI[16] Pasal 4 ayat (1) UU PPHI[17] Angka 6 Penjelasan Umum UU PPHI[18] Pasal 5 UU PPHI" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana ketentuan THR (Tunjangan Hari Raya) untuk tenaga kerja wanita yang cuti melahirkan dan sudah berstatus karyawan tetap? Apakah mendapatkan full sesuai karyawan lain atau ada ketentuan lain?" }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya diatur bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh cuti (istirahat) selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Lamanya cuti tersebut dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.\nKemudian dalam Pasal 81 angka 26 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 84 UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat salah satunya cuti melahirkan berhak mendapat upah penuh.\n\nWalaupun demikian, pelaksanaan hak cuti hamil dan melahirkan dapat meniadakan atau mengurangi hak-hak yang terkait dengan tunjangan tidak tetap, khususnya yang didasarkan pada kehadiran, seperti tunjangan transport, uang makan, insentif/bonus produktivitas, biaya komunikasi, dan lain-lain. Namun, bagaimana dengan hak untuk mendapatkan THR?\nTunjangan Hari Raya\n\nSelanjutnya, kami akan menjelaskan mengenai ketentuan Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”). THR adalah pendapatan nonupah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.[1]\n\nTHR wajib dibayarkan paling lama 7 hari sebelum hari raya keagamaan dan wajib dibayar secara penuh serta tidak boleh dicicil.[2]\n\nUntuk bisa mendapatkan THR, karyawan harus memenuhi syarat sebagai berikut:[3]\n\nKaryawan telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih.Karyawan mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”) atau perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”).\n\nKami mengasumsikan bahwa masa kerja Anda sudah lebih dari 1 bulan. Apabila demikian, maka Anda sebagai karyawan tetap atau PKWTT yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih, berhak mendapatkan THR.\n\nNamun, apakah saat cuti melahirkan tetap dapat THR? Berdasarkan penjelasan di atas, pemberian THR pada prinsipnya tidak didasarkan pada kehadiran atau prestasi, akan tetapi didasarkan pada masa kerja, yakni 1 bulan secara terus menerus atau lebih. Artinya, karyawan perempuan yang cuti melahirkan dapat THR dengan jumlah proporsional, bahkan berhak mendapatkan THR secara penuh apabila masa kerjanya 1 tahun atau lebih.[4]\n\nNamun, jika penetapan nominal THR lebih besar dari ketentuan peraturan perundang-undangan, maka yang digunakan adalah ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan[5] oleh perusahaan yang bersangkutan.\nMengenai cara menghitung THR, dapat Anda simak selengkapnya dalam artikel Begini Aturan Perhitungan THR bagi Karyawan.\n\nOleh karena itu, ketidakhadiran karyawan selama menjalani hak cuti hamil dan melahirkan, tidak meniadakan atau mengurangi hak THR sepanjang masa kerja yang bersangkutan telah memenuhi jangka waktu 1 bulan secara terus menerus atau lebih. Selain itu, patut diperhatikan bahwa jangka waktu saat menjalani cuti melahirkan termasuk masa kerja yang harus diperhitungkan.\n\nBaca juga: Langkah Hukum Jika THR Tidak Dibayar Penuh\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt56ebc838dd535/peraturan-menteri-ketenagakerjaan-no-6-tahun-2016-tunjangan-hari-raya-keagamaan-bagi-pekerja_buruh-di-perusahaan/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_6_2016)\n5. [Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04/III/2024 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65f8170c7fc0f/surat-edaran-menteri-ketenagakerjaan-nomor-m-2-hk04-iii-2024-tahun-2024/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=se_menaker_2_2024)\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”)[2] Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04/III/2024 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan[3] Pasal 2 Permenaker 6/2016[4] Pasal 3 ayat (1) Permenaker 6/2016[5] Pasal 4 Permenaker 6/2016" }
{ "from": "human", "value": "Apakah karyawan yang dijatuhi hukuman pidana masa percobaan dan denda dapat tetap dipertahankan di perusahaan? Apa dasarnya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pada 11 Maret 2015. Pidana Percobaan Pidana kurungan bersyarat, yang dalam praktik hukum sering disebut dengan pidana percobaan, adalah sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu. Pidana percobaan dapat dijatuhkan terhadap terdakwa yang dijatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti. [1] Dalam hal ini, pemidanaan tidak perlu dijalankan apabila terdakwa memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh hakim. Misalnya, tidak melakukan tindak pidana atau membayar sejumlah denda yang ditetapkan selama masa percobaan. Namun, apabila syarat tersebut dilanggar, maka pidana tersebut harus dijalankan . Penjelasan lebih lanjut mengenai pidana percobaan dapat Anda simak dalam artikel Adakah Perbedaan Antara Pidana Bersyarat dan Pidana Percobaan? Mengacu pada penjelasan di atas, karyawan yang dijatuhi pidana percobaan tetap dapat menjalankan aktivitasnya seperti biasa selama ia memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan hakim dalam masa percobaan. Karyawan Dijatuhi Pidana Percobaan, Masih Dapatkah Dipekerjakan? Sebelumnya, Pasal 158 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur bahwa pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap karyawan dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat berupa melakukan perbuatan di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih. Namun, pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Oktober 2004 melalui Putusan Nomor 012/PUU-I/2003 (hal 20-21). Selanjutnya, ketentuan tersebut dihapus melalui Pasal 81 angka 47 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”). UU Cipta Kerja kemudian mengatur kebolehan bagi pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja/buruh yang tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana. [2] Penjatuhan PHK juga dapat dilakukan apabila sebelum masa 6 bulan tersebut, pengadilan memutuskan pekerja dinyatakan bersalah. [3] Dengan demikian, pada dasarnya yang dapat menjadi alasan terjadinya PHK berdasarkan UU Cipta Kerja adalah jika karyawan ditahan karena diduga melakukan tindak pidana dan tidak dapat melaksanakan pekerjaannya selama 6 bulan, atau jika karyawan tersebut dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan sebelum  masa 6 bulan tersebut berakhir. Hal tersebut juga bukan merupakan kewajiban mengingat frasa yang digunakan dalam pasal tersebut adalah kata “dapat”, bukan “wajib”. Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya karyawan yang dijatuhi hukuman pidana percobaan tetap dapat dipekerjakan. Mengenai apakah kemudian karyawan yang sedang menjalani pidana percobaan ini tetap diizinkan bekerja di perusahaan atau tidak , menurut hemat kami, hal ini dikembalikan pada kesepakatan antara pengusaha dengan karyawan yang bersangkutan yang tertuang dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan. Apabila perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan mengatur bahwa pengusaha berhak memberhentikan karyawan yang terlibat tindak pidana, maka pengusaha dapat melakukan PHK terhadap karyawan tersebut dengan dasar perjanjian atau peraturan tersebut. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 . [1] Pasal 14a ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) [2] Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf l UU Ketenagakerjaan jo . Pasal 81 angka 49 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 160 ayat (3) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 81 angka 49 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 160 ayat (5) UU Ketenagakerjaan hukumonline karyawan ketenagakerjaan pekerja phk putusan buruh pengusaha tenaga kerja hukum hakim klinik perusahaan klinik hukumonline percobaan pidana" }
{ "from": "human", "value": "Di perusahaan kami ada salah satu karyawan yang telah memperoleh SP 2. Pertanyaan saya apabila setelah 6 bulan ia bersikap lebih baik dan memperbaiki kinerjanya apakah jika di bulan ke tujuh ia melakukan kesalahan lagi, apakah bisa dikenakan surat teguran 3 atau kembali ke SP 1? Di PP kami bila seseorang memperoleh SP 2 ia dikenakan sanksi pemindahan atau penurunan jabatan. Apakah dibolehkan status staf diturunkan menjadi tenaga harian? Dan apakah hak-haknya akan berubah juga mengikuti status barunya sebagai tenaga harian? Mohon penjelasannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Aturan Pemberian Surat Peringatan Karyawan 05 Apr 2024 Siapa yang Berwenang Menerbitkan SP untuk Pekerja? 20 Nov 2020 Langkah Hukum Jika Karyawan Menolak Surat Peringatan 19 Nov 2020 Tanpa Kwitansi Hanya Ada Bukti Transfer, Bisakah Menagih Pelunasan? 30 Sep 2020 Artikel ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 9 September 2015. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Surat Peringatan (“SP”) merupakan suatu bentuk pembinaan perusahaan kepada karyawan sebelum menjatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap karyawannya yang berupa surat peringatan kesatu, kedua dan ketiga, demikian antara lain yang dikatakan oleh Pengacara Publik LBH Jakarta Maruli Tua dalam Bank Bukopin Pecat Pengurus Serikat Pekerja . Dasar pemberian SP tercantum dalam Pasal 81 angka 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi: (1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; Penjelasan lebih lanjut soal SP dapat Anda simak dalam Pemberian Surat Peringatan dalam Jangka Waktu Berdekatan dan Langkah Hukum Jika Karyawan Menolak Surat Peringatan . Jangka Waktu SP Menjawab pertanyaan Anda soal karyawan yang telah memperoleh SP 2, apabila setelah 6 bulan karyawan yang bersangkutan bersikap lebih baik dan memperbaiki kinerjanya, apakah jika ia di bulan ke 7 melakukan kesalahan lagi, orang tersebut akan dikenakan SP 3 atau kembali ke SP 1, jawabannya adalah ia akan kembali diberikan SP 1, jika perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama tidak mengatur masa berlaku yang lebih lama untuk setiap SP. Hal ini karena masing-masing SP berlaku untuk paling lama 6 bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama . Oleh karena itu, Anda harus memastikan lagi ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang mengatur mengenai masa berlaku SP. Jika tidak diatur lebih lanjut, maka masa berlaku SP 2 itu adalah 6 bulan. Sehingga, jika pada bulan ke-7 karyawan yang bersangkutan melakukan pelanggaran lagi, maka ia diberikan SP 1 dan begitu seterusnya. Penurunan Jabatan Jika memang peraturan perusahaan tempat Anda bekerja mengatur bahwa seseorang yang memperoleh SP 2 akan dikenakan sanksi pemindahan atau penurunan jabatan, maka karyawan wajib mematuhinya. Jika memang demikian, maka penurunan status staf menjadi tenaga harian bisa saja dilakukan. Terkait hak-hak yang didapatkan oleh karyawan tersebut, sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan yang melarang penurunan jabatan. Adapun berkaitan dengan hak-haknya, penurunan jabatan dapat diikuti dengan penurunan gaji/upah karyawan sehingga dalam konteks pertanyaan Anda, bisa saja karyawan yang diturunkan jabatannya sebagai tenaga harian akan memperoleh penurunan hak-hak juga. Penurunan hak berupa upah dan hak-hak lainnya tersebut juga ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 661 K/Pdt.Sus-PHI/2020 . Dalam putusan, Mahkamah Agung membenarkan putusan judex facti yaitu Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya yang memutus bahwasannya sebagai konsekuensi dari hukuman disiplin yaitu turun jabatan maka sudah semestinya juga diikuti penurunan tugas, wewenang, dan tanggung jawab serta penurunan upah pokok dan komponen upah lainnya , sehingga tuntutan pembayaran selisih upah yang diajukan oleh penggugat dalam kasus tersebut adalah tidak beralasan (hal. 6). Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja PUTUSAN Putusan Mahkamah Agung Nomor 661 K/Pdt.Sus-PHI/2020 . hukumonline upah pekerja jabatan ketenagakerjaan hak kesalahan buruh pengusaha hukum klinik gaji perusahaan klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Apakah karyawan yang kontrak kerjanya selama 3 bulan berhak untuk mendapatkan Jamsostek? Mohon petunjuk, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Umar Kasim dan pernah dipublikasikan pada Selasa, 01 Oktober 2013. KLINIK TERKAIT Sahkah Perjanjian Kerja secara Lisan? 16 Jul 2024 Pengusaha Tak Mendaftarkan Pekerja ke BPJS, Adakah Sanksinya? 20 Mei 2024 Jaminan Kecelakaan Kerja untuk Karyawan Kontrak 16 Apr 2024 Apakah Anak Luar Kawin Berhak atas Manfaat BPJS? 13 Des 2018 Intisari: Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan PKWT selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut atau lebih wajib mengikutsertakannya dalam program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Khusus untuk sektor usaha jasa konstruksi, pemberi kerja jasa konstruksi wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian kepada BPJS Ketenagakerjaan. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja Secara umum mengenai jaminan sosial tenaga kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”) . Dengan UU BPJS ini dibentuk 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”), yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. [1] Pada dasarnya, setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial. [2] Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS. [3] Persyaratan dan tata cara kepesertaan dalam program jaminan sosial ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“PP 84/2013”). Dalam PP 84/2013 antara lain disebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 orang atau lebih , atau membayar upah paling sedikit Rp 1 juta sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja. [4] Jaminan Sosial Bagi Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Terkait dengan pertanyaan Anda, bagi tenaga kerja yang hubungan kerjanya melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) (istilah Anda “karyawan kontrak”) kepesertaannya diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenaker 150/1999”) dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pekerja Harian Lepas, Borongan, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Usaha Jasa Konstruksi (“Permenaker 44/2015”) . Kepmenaker 150/1999 mengatur bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja PKWT selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut atau lebih wajib mengikutsertakannya dalam program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan . [5] Jika pengusaha mempekerjakan tenaga kerja PKWT kurang dari 3 (tiga) bulan secara berturut-turut wajib mengikutsertakannya dalam program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian . Akan tetapi, jika hubungan kerja ini diperpanjang sehingga bekerja selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut atau lebih, pengusaha wajib mengikutsertakannya dalam program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan terhitung mulai perpanjangan PKWT. [6] Untuk sektor usaha jasa konstruksi, ketentuan penyelenggaraan program jaminan sosial bagi pekerjanya diatur secara khusus dalam Permenaker 44/2015. Pemberi Kerja Jasa Konstruksi wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian kepada BPJS Ketenagakerjaan. Pemberi kerja yang dimaksud meliputi Pengguna Jasa Konstruksi dan Penyedia Jasa Konstruksi pada proyek jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pada Pekerjaan Konstruksi. Sedangkan pekerja yang dimaksud di sini meliputi pekerja harian lepas, pekerja borongan, dan pekerja dengan PKWT. [7] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja ; 3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/1999 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ; 4. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pekerja Harian Lepas, Borongan, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Usaha Jasa Konstruksi . Artikel Sebelum Pemuktahiran yang Dibuat oleh Umar Kasim Berdasarkan Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU Jamsostek”) jo Pasal 2 ayat (3) PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek (“PP 14/1993”) sebagaimana telah beberapa kali diubah beberapa kali, terakhir dengan PP No. 53 Tahun 2012 , bahwa setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja (program jamsostek). Namun, kepesertaan pada program jamsostek dimaksud, terdapat beberapa pengecualian, baik yang dilakukan secara bertahap atau yang dilakukan secara parsial, yang ketentuannya ditetapkan oleh Menteri -dalam hal ini- Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI ( vide Pasal 19 UU Jamsostek jo Pasal 3 PP 14/1993 ). Terkait dengan pertanyaan Saudara, bagi tenaga kerja yang hubungan kerjanya melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu (istilah Saudara “karyawan kontrak”) kepesertaannya diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Ke-150/Men/1999 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disebut \"Kepmen 150/1999\") jo Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Ke-196/Men/1999 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut \"Kepmen 196/1999\") . Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Kepmen 150/1999 jo Pasal 2 Kepmen 196/1999 , bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja melalui PKWT (“kontrak”) selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut atau -bahkan- lebih, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya pada -semua- program-program jaminan kecelakaan kerja (“JKK”), jaminan kematian (“JK”), jaminan hari tua (“JHT”) dan jaminan pemeliharaan kesehatan (“JPK”). Namun apabila jangka waktu PKWT dimaksud kurang dari 3 (tiga) bulan secara berturut-turut, maka pengusaha hanya wajib mengikut-sertakan tenaga kerjanya pada 2 (dua) program jamsostek, yakni Program JKK dan JK. Kecuali, dalam hal jangka waktu yang kurang dari 3 (tiga) bulan dimaksud, kemudian diperpanjang sehingga melebihi 3 (tiga) bulan, maka pengusaha wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya pada -seluruh- program JKK, JK dan JHT serta JPK -hanya- terhitung sejak perpanjangan PKWT dimaksud. Demikian jawaban saya, semoga dapat dipahami. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ; 2. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2012 ; 3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Ke-150/Men/1999 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu; 4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. Ke-196/Men/1999 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Jasa Konstruksi. [1] Pasal 5 dan Pasal 6 UU BPJS [2] Pasal 14 UU BPJS [3] Pasal 15 ayat (1) UU BPJS jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 82/PUU-X/2012 [4] Pasal 2 ayat (3) PP 84/2013 [5] Pasal 13 ayat (1) Kepmenaker 150/1999 [6] Pasal 13 ayat (2) dan (3) Kepmenaker 150/1999 [7] Pasal 2 Permenaker 44/2015 hukumonline ketenagakerjaan jaminan kesehatan pkwt bpjs jaminan hari tua klinik hukum bpjs ketenagakerjaan klinik hukumonline bpjs kesehatan jaminan kematian jaminan kecelakaan kerja jaminan sosial" }
{ "from": "human", "value": "Apakah untuk karyawan yang dirumahkan karena sakit yang menular mendapatkan THR penuh?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Pemberian THR oleh pengusaha didasarkan atas masa kerja karyawan, bukan status kerja (dirumahkan atau bekerja di kantor) maupun keadaan karyawan yang sedang sakit. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, pekerja yang sedang dirumahkan karena sakit itu berhak atas THR secara penuh sebesar satu bulan upah selama ia telah mempunyai masa kerja satu tahun atau lebih. Penjelasan lebih lanjut dan langkah hukum jika THR tidak diberikan secara penuh dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Pekerja yang Dirumahkan Istilah merumahkan pekerja tidak dikenal dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . Adapun arti merumahkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah: “mencutikan pegawai (karyawan) dari pekerjaannya; membebaskan pegawai (karyawan) dari pekerjaannya dengan cara menyuruh tinggal di rumah saja.” KLINIK TERKAIT Apakah Karyawan yang Cuti Melahirkan Tetap Dapat THR? 04 Apr 2024 Langkah Hukum Jika THR Tidak Dibayar Penuh 03 Apr 2024 Apakah Karyawan yang Resign Berhak Mendapatkan THR? 28 Mar 2024 Apakah Karyawan Non-Muslim Berhak atas THR Lebaran? 25 Mar 2024 Karyawan yang dirumahkan karena alasan memiliki penyakit yang menular dapat diartikan bahwa karyawan tersebut dicutikan dari pekerjaannya dengan cara menyuruhnya tinggal di rumah saja karena memiliki penyakit menular. Namun Anda dapat menemukan istilah “dirumahkan” dalam Butir f Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Kepada Pimpinan Perusahaan di Seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“SE Menaker 907/2004”) , yang menggolongkan “meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu” sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam artikel Status Hukum Karyawan yang Dirumahkan , Eric Manurung, S.H. menjelaskan bahwa yang sebenarnya, merumahkan karyawan itu sama dengan meliburkan/membebaskan pekerja untuk tidak melakukan pekerjaan sampai dengan waktu yang ditentukan oleh perusahaan. Hal mana dilakukan perusahaan sebagai langkah awal untuk mengurangi pengeluaran perusahaan atau karena tidak adanya kegiatan/produksi yang dilakukan perusahaan sehingga tidak memerlukan tenaga kerja untuk sementara waktu. Merumahkan pekerja merupakan salah satu upaya sebelum dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”). Merujuk pada SE Menaker 907/2004 tersebut dapat dilihat bahwa “merumahkan” ini terkait dengan upaya sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) secara masal . Y ang mana “merumahkan” pekerja dilakukan untuk mengurangi pengeluaran perusahaan. Perhitungan THR Seperti yang kami bahas di artikel-artikel sebelumnya, Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih. [1] Bagi karyawan kontrak dengan masa kerja yang kurang dari 1 (satu) tahun tetapi telah lebih dari 3 (tiga) bulan, diberikan secara proporsional dengan rumus: [2] Masa Kerja x 1(satu) bulan upah 12 Sedangkan, besarnya THR adalah sebesar 1 (satu) bulan upah bagi pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih. [3] THR Bagi Karyawan yang Dirumahkan Ketentuan ini mengindikasikan bahwa pemberian THR oleh pengusaha didasarkan atas masa kerja karyawan, bukan status kerja (dirumahkan atau bekerja di kantor) maupun keadaan karyawan yang sedang sakit. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, pekerja yang sedang dirumahkan (berarti tidak di-PHK) karena sakit itu berhak atas THR secara penuh sebesar satu bulan upah selama ia telah mempunyai masa kerja satu tahun atau lebih. Bicara mengenai THR, hal ini memiliki keterkaitan juga dengan upah. Mengingat belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai upah pekerja selama dirumahkan maka dalam hal adanya rencana pengusaha untuk merumahkan pekerja, upah selama dirumahkan dilaksanakan sebagai berikut: [4] 1. Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja, peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama. 2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan. Melihat pada hal di atas, jika upah saja tetap dibayar secara penuh, maka begitu pula dengan THR. Jadi, pada dasarnya THR diberikan secara penuh. Akan tetapi, jika pengusaha akan membayar THR tidak secara penuh, perlu dirundingkan dengan pekerja yang bersangkutan mengenai besarnya THR bagi pekerja yang dirumahkan. Langkah Hukum Jika THR Tidak Diberikan Secara Penuh Jika pekerja tersebut diberikan THR tidak secara penuh, maka tentu langkah utama yang dapat pekerja lakukan adalah menyelesaikannya secara kekeluargaan dengan pengusaha. Jika tidak berhasil, pekerja dapat melaporkannya ke pegawai pengawas ketenagakerjaan di Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) setempat. [5] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Langkah Hukum Jika THR Tidak Dibayar Penuh . Oleh karena itu, mengacu pada ketentuan di atas, pekerja yang dirumahkan (bukan di-PHK) karena penyakit menular, tetap mendapatkan THR secara penuh. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan ; 3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja. [1] P asal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permen-04/Men/1994”) [2] Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 ayat (1) huruf b Permen-04/Men/1994 [3] Pasal 3 ayat (1) Permen-04/Men/1994 [4] Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja [5] Pasal 9 ayat (1) Permen-04/Men/1994 thr" }
{ "from": "human", "value": "Fenomena karyawan mengundurkan diri sebelum lebaran terus terjadi setiap tahunnya. Saya dengar, karyawan mengundurkan diri dapat THR walaupun resign 1 bulan sebelum lebaran. Apakah karyawan yang resign berhak mendapatkan THR? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, patut dicatat salah satu alasan pemutusan hubungan kerja adalah karyawan mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:[1]\n\nmengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;tidak terikat dalam ikatan dinas; dantetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.\nFenomena karyawan resign sebelum lebaran terulang setiap tahunnya. Pasalnya karyawan mengundurkan diri dapat THR. Apa dasar hukumnya? Pasal 7 ayat (1) Permenaker 6/2016:\n\nPekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan.\nNamun untuk karyawan PKWT resign apakah dapat THR? Bagi karyawan kontrak atau karyawan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang resign sebelum hari raya keagamaan tidak berhak mendapatkan THR.[2]\n\nSehingga, menjawab pertanyaan Anda, jika resign 1 bulan sebelum lebaran apakah dapat THR? Benar, karyawan tetap atau PKWTT yang mengundurkan diri terhitung 30 hari sebelum lebaran tetap berhak atas THR. Namun ketentuan ini dikecualikan bagi karyawan kontrak atau PKWT yang berakhir hubungan kerjanya sebelum lebaran tidak berhak menerima THR.\n\nJadi sekaligus meluruskan pertanyaan apakah resign sebelum lebaran tidak dapat THR? Ini bergantung pada kondisi status karyawan tersebut apakah PKWT atau PKWTT dan kapan waktu putusnya hubungan kerja akibat mengundurkan diri tersebut.\nContoh Kasus\n\nUntuk mempermudah pemahaman Anda, kami memberikan contoh karyawan PKWTT yang mengajukan resign dan putus hubungan kerjanya terhitung mulai tanggal 15 Maret 2024. Adapun tanggal 10-11 April 2024 ditetapkan sebagai Hari Raya Idulfitri sebagaimana disebutkan dalam Lampiran SKB 3 Menteri.\n\nDengan demikian, karyawan PKWTT tersebut tetap berhak menerima THR karena hubungan kerjanya berakhir masih dalam waktu 30 hari sebelum hari lebaran.\n\nKemudian selain berhak menerima THR, mengenai apa yang didapat karyawan yang mengundurkan diri? Anda dapat membacanya dalam ulasan berjudul Hak-hak Karyawan yang Di-PHK dan yang Resign.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt56ebc838dd535/peraturan-menteri-ketenagakerjaan-no-6-tahun-2016-tunjangan-hari-raya-keagamaan-bagi-pekerja_buruh-di-perusahaan/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_6_2016)\n5. [Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 855 Tahun 2023, Nomor 3 Tahun 2023, Nomor 4 Tahun 2023 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2024](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt650016f646af5/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=skb_cuti_bersama_2024)\n6. [Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 236, 1, 2 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 855 Tahun 2023, Nomor 3 Tahun 2023, Nomor 4 Tahun 2023 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2024](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65dff2fba8abe/keputusan-bersama-menteri-agama--menteri-ketenagakerjaan--dan-menteri-pendayagunaan-aparatur-negara-dan-reformasi-birokrasi-nomor-236--1--2-tahun-2024/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=skb_cuti_bersama_2024_2)\n[1] Pasal 81 angka 45 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan\n\n[2] Pasal 7 ayat (3) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan" }
{ "from": "human", "value": "Apabila seorang koruptor atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah dia korupsi sebelum putusan pengadilan, apakah kasus koruptor tersebut masih dilakukan proses hukumnya sampai putusan pengadilan ataukah dibebaskan karena telah mengembalikan uang yang telah dikorupsi tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Korupsi untuk Pembantu Tipikor 24 Jun 2024 Gunakan Harta Hasil Korupsi, Keluarga Koruptor Bisa Dipidana? 18 Apr 2023 Status Objek Hak Tanggungan yang Dirampas oleh Negara 27 Mei 2015 Konsekuensi Jika Membeli Mobil dari Pelaku Kasus Korupsi 22 Jul 2014 Intisari: Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Meskipun pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) itu telah mengembalikan keuangan negara yang telah ia korupsi sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, proses hukumnya tetap berjalan karena tindak pidananya telah terjadi. Namun, pengembalian keuangan negara yang dikorupsi dapat menjadi salah satu faktor yang meringankan hukuman bagi terdakwa saat hakim menjatuhkan putusan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya. [1] Kerugian keuangan negara yang dibayarkan ini dikenal dengan istilah uang pengganti. Sebagaimana pernah disebutkan dalam artikel Siapa Menanggung Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi? , Purwaning M. Yanuar dalam bukunya Pengembalian Aset Hasil Korupsi mengatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen pidana menurut UU Pemberantasan Tipikor dilakukan melalui proses penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda (hal. 150). Memang, kerugian negara itu ditanggung sendiri oleh terpidana korupsi yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi melalui sanksi pidana yang dijatuhkan kepadanya. Sebagamana dijelaskan dalam artikel tersebut, hakimlah yang menentukan berapa jumlah uang pengganti yang harus terpidana korupsi bayar dan hukuman lainnya untuk mengembalikan kekayaan negara yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi melalui putusannya. Artinya , pengembalian kekayaan negara atas tindak pidana korupsi itu dilakukan setelah ada proses pidana dan putusan pengadilan. Lalu bagaimana jika seorang koruptor atas inisiatifnya sendiri mengembalikan uang yang telah dia korupsi sebelum putusan pengadilan? Apakah kasus koruptor tersebut masih terus dilakukan proses hukumnya sampai putusan pengadilan atau justru dibebaskan? Sebelumnya menjawabnya, mari kita simak terlebih dahulu pasal-pasal yang menjerat pelaku kejahatan korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) sebagai berikut : Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor: (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor: Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut . Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan . [2] Pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir dalam artikel Pengurangan Hukuman Syaukani Sesuai Doktrin berpendapat bahwa pengembalian uang atau kerugian negara oleh terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa yang bersangkutan. Pengembalian tersebut, menurut Mudzakkir, berarti ada i k tikad baik untuk memperbaiki kesalahan. Ia menegaskan pengembalian uang itu hanya mengurangi pidana, tetapi bukan mengurangi sifat melawan hukum. Dalam praktek, lanjut Mudzakkir, pengembalian hasil tindak pidana sering dikaitkan dengan waktunya. Bila pengembalian dilakukan sebelum penyidikan dimulai, seringkali diartikan menghapus tindak pidana yang dilakukan seseorang. Namun, bila dilakukan setelah penyidikan dimulai, pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana. Menurutnya , dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum. Misalnya seseorang mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu , i tu tetap tindak pidana. Dalam artikel yang sama, praktisi hukum T Nasrullah berbeda pendapat soal waktu pengembalian hasil tindak pidana. Khusus dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian negara sebelum penyidikan bisa menghapus tindak pidana. Salah satu unsur korupsi, lanjutnya adalah unsur kerugian negara. Bila sudah dikembalikan berarti unsur tersebut sudah hilang. Tapi syaratnya harus sebelum ada penyidikan. Jika penyidikan telah dimulai, ia menilai pengembalian uang hanya mengurangi sanksi pidana saja. Alasannya, pengembalian kerugian negara dianggap sebagai timbal balik karena telah meringankan tugas negara. Tidak mempersulit dari segi biaya, waktu, tenaga dan pikiran negara. Pengembalian yang juga dianggap sebagai pengakuan bersalah si terdakwa. Jadi, meskipun pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) itu telah mengembalikan keuangan negara yang telah ia korupsi sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, proses hukumnya tetap berjalan karena tindak pidananya telah terjadi. Akan tetapi, pengembalian uang yang telah dikorupsi dapat menjadi faktor yang meringankan bagi terdakwa saat hakim menjatuhkan putusan. Demikian jawaban dari kami. Semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ; 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 . REFERENSI:\n1. Purwaning M. Yanuar. 2007. Pengembalian Aset Hasil Korupsi. Bandung: PT. Alumni. [1] Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”) [2] Penjelasan Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor korupsi hukumonline kerugian negara putusan pengadilan hukum klinik klinik hukumonline koruptor" }
{ "from": "human", "value": "Saya punya pertanyaan, unsur apa yang harus terpenuhi sehingga perkara wanprestasi bisa dilaporkan pidana penipuan? Apakah kasus wanprestasi bisa dilaporkan jadi tindak penipuan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, mari kita simak terlebih dahulu definisi wanprestasi dan penipuan. Pada dasarnya, wanprestasi sering dikaitkan dengan permasalahan dalam pelaksanaan perjanjian/perikatan dalam ranah hukum perdata. Wanprestasi adalah perbuatan seseorang yang tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.[1]\nAdapun secara yuridis, pengertian dari wanprestasi dapat ditemukan dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:\n\nPenggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.\n\nMelalui isi pasal tersebut, terdapat 3 unsur wanprestasi, yaitu:\n\nada perjanjian;ada pihak yang ingkar janji atau melanggar perjanjian; dantelah dinyatakan lalai, namun tetap tidak melaksanakan isi perjanjian.\n\nKemudian, sebagaimana dijelaskan dalam Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, hal yang dapat menyebabkan timbulnya wanprestasi adalah karena adanya cidera janji dalam perjanjian yang menyebabkan salah satu pihak ingkar akan janjinya atau melanggar janji. Maka, pihak yang cidera janji harus bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.\n\nAdapun tindakan debitur yang dapat dikategorikan sebagai wanprestasi di antaranya:[2]\n\ntidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan;memenuhi prestasi dengan tidak sebagaimana semestinya;memenuhi prestasi tidak sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan danmelakukan hal yang dilarang menurut kontrak yang disepakati.\n\nSelengkapnya mengenai wanprestasi dapat Anda baca pada Bunyi Pasal 1243 KUH Perdata tentang Wanprestasi.\nPengertian Penipuan dan Dasar Hukumnya\n\nSelanjutnya, penipuan merupakan suatu tindak pidana dan masuk ke dalam ranah hukum pidana. Penipuan adalah tindakan apabila ada keterangan yang tidak benar (palsu) disertai kelicikan atau tipu muslihat dan harus ada rangkaian kebohongan yang mengakibatkan orang menjadi percaya. Dalam hal ini, pihak tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan seseorang.[3]\n\nTindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 492 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[4] yaitu tahun 2026, sebagai berikut:\nPasal 378 KUHPPasal 492 UU 1/2023Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[5]\n\nMenurut R. Sugandhi dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya (hal. 396-397), unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak.\n\nKemudian, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 261) menjelaskan bahwa kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya:\n\nmembujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;membujuknya itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong.\n\nSelanjutnya menurut hemat kami, unsur poin nomor 3 di atas  dapat diartikan sebagai “dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan”. Cara penipuan adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Hal tersebut nampak dalam Yurisprudensi MA No. 1601.K/Pid/1990 yang berbunyi:\n\nUnsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.\n\nBaca juga: Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan\n\nMenjawab pertanyaan Anda, apakah kasus wanprestasi bisa dilaporkan jadi kasus penipuan? Sebagaimana telah dijelaskan, secara yuridis, wanprestasi dan penipuan adalah dua hal yang berbeda.\n\nKemudian, dalam Yurisprudensi MA No. 4/Yur/Pid/2018 terdapat kaidah hukum yang berbunyi:\n\nPara pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah perdata, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan iktikad buruk/tidak baik.\n\nDalam yurisprudensi tersebut, Mahkamah Agung menjelaskan bahwa seseorang yang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari iktikad buruk, maka perbuatan tersebut bukan penipuan, namun masalah keperdataan. Sehingga, orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.\n\nNamun demikian, sebagaimana dijelaskan dalam Apakah Wanprestasi Sama dengan Penipuan?, tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan. Apabila perjanjian tersebut didasari iktikad buruk/tidak baik, niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, tetapi tindak pidana penipuan.\n\nOleh karena itu, untuk dapat menilai apakah suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdataan, maka harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas iktikad buruk/tidak baik atau tidak. Selain itu, unsur yang harus dipenuhi apabila perkara perdata berupa wanprestasi dilaporkan sebagai tindak pidana penipuan adalah apabila perjanjian telah dibuat dengan memakai nama palsu, martabat palsu/keadaan palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.\nContoh Kasus\n\nUntuk mempermudah pemahaman Anda, berikut kami berikan contoh kasus dalam Yurisprudensi MA No. 133 K/Kr/1973. Dalam yurisprudensi tersebut, pihak A memberikan pinjaman dana kepada B, kemudian B akan melakukan pengembalian dana berikut bunganya dengan menerbitkan cek dengan tanggal yang telah disepakati antara A dan B.\n\nApabila B menerbitkan cek yang disadari olehnya bahwa cek tersebut tidak akan pernah ada dananya, padahal dia telah menjanjikan kepada A bahwa cek tersebut ada dananya, maka perbuatan B dapat dikategorikan sebagai perbuatan penipuan dengan cara tipu muslihat. Hal ini dapat dikecualikan apabila B tahu cek tersebut memang ada dananya pada saat diterbitkan, namun, jika saat tanggal jatuh tempo dananya tidak ada, maka perbuatan B baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi murni.\n\nDemikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nPUTUSAN\n\nYurisprudensi Mahkamah Agung No. 133 K/Kr/1973;Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990;Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018.\n\nREFERENSI:\n1. Agoes Parera. Perlindungan Hukum bagi Pemegang Polis Akibat Wanprestasi terkait dengan Perjanjian Baku dalam Polis Asuransi Jiwa. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2022\n2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986\n3. R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. 1980\n4. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa, 1996.\n\n[1] Agoes Parera. Perlindungan Hukum bagi Pemegang Polis Akibat Wanprestasi terkait dengan Perjanjian Baku dalam Polis Asuransi Jiwa. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2022, hal. 60[2] Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa, 1996, hal. 45[3] Agoes Parera. Perlindungan Hukum bagi Pemegang Polis Akibat Wanprestasi terkait dengan Perjanjian Baku dalam Polis Asuransi Jiwa. Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2022, hal. 144[4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[5] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Dalam UU No. 11 Tahun 2012 masih ada pasal-pasal yang belum diatur oleh peraturan pemerintah namun dalam pelaksanaannya UU No. 11 Tahun 2012 sudah harus dilaksanakan. Apakah aturan yang belum ada peraturan pemerintah sudah dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu PP?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Pada dasarnya, suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kemudian disahkan menjadi UU meski belum ada Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi peraturan pelaksananya, bisa diberlakukan. Dengan kata lain, keberlakuan UU tidak perlu menunggu diterbitkannya peraturan pelaksananya. Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Pertanyaan Anda ini berkaitan dengan pengesahan suatu rancangan undang-undang (“RUU”). Berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) , RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. KLINIK TERKAIT Jika UMP Naik, Haruskah Upah Pekerja Ikut Naik? 03 Jan 2024 Kewenangan Lembaga Membentuk Peraturan Perundang-undangan 06 Sep 2023 Ini 2 Perbedaan Legislative Review dan Judicial Review 15 Mar 2023 Siapa yang Berwenang Mencabut Undang-Undang? 08 Mar 2023 Kemudian, menurut Pasal 73 ayat (1) UU 12/2011 , RUU Itu disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Masih terkait dengan pengesahan suatu undang-undang (“UU”), Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. , dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya (hal. 151) antara lain mengatakan bahwa suatu UU yang sudah disahkan baru dapat berlaku mengikat umum apabila diundangkan dalam suatu lembaran negara. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Akan tetapi, sudah bisa diterapkannya UU yang baru disahkan tersebut [dalam hal ini Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU Sistem Peradilan Pidana Anak”) ] atau belum dilihat dari dalam Ketentuan Penutupnya yang menyatakan secara jelas kapan pengundangan undang-undang itu dilakukan dan mulai diberlakukan. Menjawab pertanyaan Anda, berlaku dan bisa diterapkannya suatu UU itu tidak ditentukan dari sudah atau belum diterbitkannya peraturan pelaksana di bawahnya (PP). Perlu diketahui, pengesahan suatu undang-undang tidak serta-merta menandakan bahwa undang-undang itu sudah mulai berlaku dan mengikat. Pada dasarnya, kapan suatu undang-undang itu berlaku berkaitan dengan kapan pengundangan undang-undang tersebut dilakukan, yang mana hal ini dapat kita lihat pada bagian Ketentuan Penutup yang terdapat di dalam undang-undang yang bersangkutan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Apakah UU yang Baru Disahkan oleh Presiden Otomatis Langsung Berlaku? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak . Referensi: Maria Farida Indrati Soeprapto. 2007. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. peraturan pemerintah" }
{ "from": "human", "value": "Beberapa waktu terakhir sedang ramai diberitakan kasus mabuk kecubung yang mengakibatkan 47 orang dirawat dan 2 orang meninggal dunia. Saya ingin bertanya, apakah kecubung termasuk golongan narkotika? Apakah penyalahgunaan kecubung dapat dipidana?" }
{ "from": "gpt", "value": "Mengenai penggolongan narkotika, dapat ditemukan pengaturannya dalam UU Narkotika. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika dan penjelasannya, narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:\n\nNarkotika Golongan I, yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;[2]Narkotika Golongan II, yaitu narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan;[3] danNarkotika Golongan III, yaitu narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.[4]\nKemudian, mengenai penggolongan narkotika untuk pertama kali ditetapkan dalam Lampiran I UU Narkotika yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari undang-undang.[5] Kemudian, mengenai ketentuan perubahan penggolongan narkotika diatur dengan peraturan menteri.[6]\n\nSepanjang penelusuran kami, ketentuan mengenai perubahan penggolongan narkotika terbaru terdapat dalam Permenkes 30/2023. Adapun, daftar penggolongan narkotika tercantum di dalam Lampiran Permenkes 30/2023, di mana narkotika golongan I berjumlah 217 jenis, narkotika golongan II berjumlah 90 jenis, dan narkotika golongan III berjumlah 15 jenis. Sebagai contoh, berikut jenis narkotika berdasarkan golongannya:\n\nNarkotika Golongan I: kokain mentah, tanaman koka, tanaman ganja, etorfina, tiofentanil dan lain sebagainya.Narkotika Golongan II: alfametadol, alfentanil, benzetidin, betametadol, betaprodina dan lain sebagainya.Narkotika Golongan III: propiram, polkodina, nikokdina, kodeina, etilmorfina dan lain sebagainya.\nBaca juga: Penggolongan Narkotika Terbaru dalam Permenkes\nApakah Kecubung Termasuk Golongan Narkotika?\n\nKecubung merupakan tanaman yang memiliki efek halusinogenik yang banyak tumbuh di negara-negara dengan iklim tropis dan sub-tropis, termasuk Indonesia dan memiliki beberapa nama lain seperti angel’s trumpet, Jimson weed, devil’s trumpet, Loco weed, Datura metel, dan lain-lain.[7]\n\nLantas, apakah kecubung dapat digolongkan sebagai narkotika? Sepanjang penelusuran kami dalam UU Narkotika dan Permenkes 30/2023, kecubung tidak termasuk ke dalam salah satu dari tiga golongan narkotika.\n\nLebih lanjut, berdasarkan Pedoman Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) dari Badan Narkotika Nasional (“BNN”) sebagaimana dikutip Monica Djaja Saputera dan Jessica Djaja Saputera dalam jurnal berjudul Intoksikasi Kecubung: Sebuah Laporan Kasus pada Remaja Laki-Laki Usia 16 Tahun di Kabupaten Kuningan (hal. 226) menyatakan bahwa kecubung adalah suatu substansi yang memiliki efek halusinogenik yang belum dikategorikan sebagai kelompok narkotika.\n\nSelain itu, dilansir dari website BNN Kabupaten Tana Toraja yang berdasarkan artikel Dibalik rupanya yang cantik, Bunga Kecubung ternyata menyimpan sejumlah zat mematikan diterangkan bahwa kecubung bukanlah merupakan golongan narkotika, akan tetapi kerap digunakan sebagai penghilang kesadaran atau sebagai zat pembius, sebab daun kecubung berkhasiat sebagai anestesi. Hal ini karena kecubung mengandung metil kristalin yang mempunyai efek relaksasi.\n\nOleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kecubung saat ini masih belum digolongkan sebagai narkotika, karena belum terdapat aturan hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu, penyalahgunaan kecubung tidak dapat dipidana.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4af3b7f6cf607/undangundang-nomor-35-tahun-2009/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2009)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2023 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt651e83eab9727/peraturan-menteri-kesehatan-nomor-30-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkes_30_2023)\nREFERENSI:\n1. Monica Djaja Saputera dan Jessica Djaja Saputera. Intoksikasi Kecubung: Sebuah Laporan Kasus pada Remaja Laki-Laki Usia 16 Tahun di Kabupaten Kuningan. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 9, No. 4, Article 25, 2022.BNN Kabupaten Tana Toraja, yang diakses pada tanggal 15 Juli 2024, pukul 16.30 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”)\n\n[2] Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika\n\n[3] Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Narkotika\n\n[4] Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c UU Narkotika\n\n[5] Pasal 6 ayat (2) UU Narkotika\n\n[6] Pasal 6 ayat (3) UU Narkotika\n\n[7] Monica Djaja Saputera dan Jessica Djaja Saputera. Intoksikasi Kecubung: Sebuah Laporan Kasus pada Remaja Laki-Laki Usia 16 Tahun di Kabupaten Kuningan. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, Vol. 9, No. 4, Article 25, 2022, hal. 226" }
{ "from": "human", "value": "Apakah di dalam menentukan tempat kedudukan PT terdapat suatu pengaturan khusus? Di tingkat apa (UU atau Perda)? Perlu saya jelaskan bahwa saat ini saya sedang dalam proses pendirian PT tertutup, namun untuk mendapatkan surat keterangan domisili pihak kelurahan menyatakan bahwa kedudukan PT tidak boleh berada di wilayah Perumahan. Sedangkan, di sekeliling wilayah saya (kedudukan PT juga) banyak terdapat tempat usaha dan perusahaan-perusahaan kecil. Untuk itu saya mohon penjelasannya, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Penolakan pihak kelurahan untuk mengeluarkan Surat Keterangan Domisili Perusahaan (\"SKDP\") untuk perusahaan Anda boleh jadi karena terdapat larangan penggunaan tempat atau rumah tinggal sebagai tempat usaha oleh pemerintah daerah setempat. Untuk wilayah DKI Jakarta misalnya larangan tersebut tercantum dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 203 Tahun 1977 tentang Ketentuan Pelaksanaan Larangan Penggunaan Rumah Tempat Tinggal untuk Kantor atau Tempat Usaha (“SK Gub. DKI 203/1977”). KLINIK TERKAIT Konsekuensi Hukum Jika Ada Perubahan Nama PT 12 Jul 2023 Mau Mendaftarkan Nama Usaha? Ikuti Panduan Ini! 03 Feb 2021 Larangan Memakai Bahasa Asing untuk Nama Perseroan 19 Jun 2017 Aturan Memperkerjakan TKA dalam Perusahaan Joint Venture 26 Jul 2011 Di dalam SK Gub. DKI 203/1977 antara lain disebutkan bahwa penggunaan utama yang ditetapkan dalam perpetakan/penggunaan perumahan adalah tempat tinggal/hunian. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selanjutnya di dalam peraturan tersebut juga diatur bahwa penggunaan lain yang diperkenankan dalam perumahan adalah: a. Praktek keahlian perorangan yang tidak merupakan badan usaha/usaha gabungan beberapa orang ahli; b. Usaha pelayanan lingkungan yang kegiatannya langsung melayani kebutuhan lingkungan yang bersangkutan dan tidak mengganggu/merusak keserasian lingkungan; c. Kegiatan sosial yang tidak mengganggu/merusak keserasian lingkungan. Dalam Lampiran SK Gub. DKI 203/1977 dijelaskan jenis-jenis praktik keahlian perorangan yang diperkenankan menggunakan perumahan di antaranya dokter, bidan, pengacara/notaris/akuntan, salon kecantikan, boutique, binatu, apotik, kursus-kursus, dan lain-lain. Sekian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 203 Tahun 1977 tentang Ketentuan Pelaksanaan Larangan Penggunaan Rumah Tempat Tinggal untuk Kantor atau Tempat Usaha" }
{ "from": "human", "value": "Jika perusahaan (debitur) jatuh pailit maka dilakukan sita umum terhadap harta milik debitur. Lantas dapatkah kekayaan intelektual milik debitur yang sudah didaftarkan masuk ke dalam harta pailit? Mohon pencerahannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Hak Kekayaan Intelektual\nSebelumnya kami jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hak kekayaan intelektual? Hak kekayaan intelektual adalah hak atas kekayaan dari kemampuan intelektual manusia yang mempunyai hubungan dengan hak seseorang secara pribadi yang juga terjemahan dari intellectual property rights sebagaimana diatur dalam UU 7/1994.\n\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBisakah Gaji Karyawan yang Sudah Dibayarkan Ditarik Jadi Harta Pailit?12 Okt 2022Intip Besaran Imbalan Jasa Kurator di Aturan Ini29 Agt 20222 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya 05 Agt 2022Dapatkah Menyimpangi Isi Homologasi dengan Novasi?05 Jul 2022\n\nWorld Intellectual Property Organization (WIPO) mendefinisikan kekayaan intelektual sebagai kreasi pemikiran manusia yang meliputi invensinya, karya sastra dan seni, simbol, nama, citra dan desain yang digunakan dalam perdagangan. Terdapat 8 jenis kekayaan intelektual, yaitu:\n\nPaten (UU 13/2016 tentang Paten);Merek dan Indikasi Geografis (UU 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis);  Hak Cipta (UU 28/2014 tentang Hak Cipta);Desain Industri (UU 31/2000 tentang Desain Industri);Rahasia Dagang (UU 30/2000 tentang Rahasia Dagang);Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (UU 32/2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu); danPerlindungan Varietas Tanaman (UU 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman).\nHak Kekayaan Intelektual sebagai Benda\nKUH Perdata mendefinisikan barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi objek dari hak milik.[1] Lantas timbul pertanyaan, apakah hak atas kekayaan intelektual itu termasuk benda? Dapat diketahui bahwa hak kekayaan intelektual dikategorikan sebagai benda dan oleh karenanya pengaturan mengenai hak kekayaan intelektual juga mengikuti konsep pengaturan hukum benda/barang sebagaimana terdapat di dalam Buku Kedua KUH Perdata tentang Barang.\nAdapun hak kekayaan intelektual sebagai benda dapat Anda temukan ketentuannya dalam Pasal 9 PP 24/2022 yang mengatur pelaksanaan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual melalui lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank menggunakan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang. Mengingat hak kebendaan menurut KUH Perdata dapat dibedakan menjadi hak kebendaan yang memberikan jaminan (zakelijk zekenheidsrecht) dan hak kebendaan yang memberikan kenikmatan (zakelijk genotsrecht). Sehingga, dengan diakuinya hak kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang, maka semakin menegaskan kembali bahwa hak kebendaan melekat kepada hak kekayaan intelektual.[2]\n\nMerujuk pada pengaturan kebendaan dalam KUH Perdata, hak kekayaan intelektual sebagai bagian dari aset perorangan, kelompok, ataupun badan hukum yang mempunyai nilai dapat dikategorikan sebagai benda bergerak karena dapat dialihkan dan benda tidak berwujud (intangible asset) karena tidak mempunyai bentuk yang dapat dilihat.\nDalam beberapa pengaturan hak kekayaan intelektual, diatur bahwa salah satu alasan hak kekayaan intelektual misalnya hak desain industri dapat beralih atau dialihkan adalah sebab lain yang dibenarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Sebab lain” yang menjadi alasan hak kekayaan intelektual dapat beralih atau dialihkan antara lain adalah pengalihan yang disebabkan oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, merger, akuisisi, pembubaran perusahaan di mana terjadi penggabungan atau pemisahan aset perusahaan, dan putusan pengadilan yang menyangkut kepailitan.[3]\nApakah Kekayaan Intelektual Termasuk Harta Pailit?\n\nDalam Pasal 1 angka 1 UU 37/2004 menyebutkan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 4 UU 37/2004 mendefinisikan debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.\n\nPrinsip umum kepailitan pada dasarnya diadaptasi dari KUH Perdata, yang menentukan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan terhadap pelunasan utang debitur dan hasil penjualan terhadap seluruh aset tersebut dibagi secara prorata kepada kreditur yang diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.\n\nWalaupun terdapat beberapa pengecualian terhadap kekayaan debitur yang tidak termasuk ke dalam harta pailit dalam beberapa peraturan perundang-undangan, tetapi hak kekayaan intelektual tidak termasuk ke dalam pengecualian terhadap harta pailit. Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa hak kekayaan intelektual dapat dimasukkan sebagai boedel atau harta pailit dalam hal debitur mengalami kepailitan, mengingat karena pada hak kekayaan intelektual selalu melekat hak ekonomi.\n\nNamun demikian, ada beberapa kendala yang menjadi pertimbangan kurator dalam memasukkan hak kekayaan intelektual sebagai harta pailit, seperti kendala waktu dan biaya dalam hal memaksimalkan pengurusan harta pailit berupa hak kekayaan intelektual. Pertimbangan kurator ini didasari karena kewajiban kurator untuk melakukan pengurusan harta pailit secara cepat dan adanya larangan bagi kurator untuk mengakibatkan nilai harta pailit berkurang dalam melakukan pengurusan harta pailit.[4]\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, hak kekayaan intelektual yang telah dicatatkan dan/atau didaftarkan atas nama debitur pailit merupakan benda yang dimiliki debitur pailit dan oleh karenanya hak kekayaan intelektual merupakan harta kekayaan debitur pailit yang dapat dilakukan sita umum untuk pelunasan utang dalam rangka pemberesan kepailitan.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri](Data Kepolisian /pusatdata/detail/295/node/67/undangundang-nomor-31-tahun-2000/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_31_2000)\n3. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20144/node/19/uu-no-37-tahun-2004-kepailitan-dan-penundaan-kewajiban-pembayaran-utang?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_37_2004)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62d50302a98fa/peraturan-pemerintah-nomor-24-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_24_2022)\nREFERENSI:\n1. Abdus Salam dan Darminto Hartono. Optimalisasi Aset Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Milik Perseroan Terbatas di dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Law Reform, Vol. 9, No. 2, Januari 2014\n2. World Intellectual Property Organization, diakses pada 24 Oktober 2022, pukul 10.20 WIB.\n\n[1] Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[2] Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif[3] Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri[4] Abdus Salam dan Darminto Hartono. Optimalisasi Aset Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Milik Perseroan Terbatas di dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Law Reform, Vol. 9 , No. 2, Januari 2014, hal. 5" }
{ "from": "human", "value": "Menteri Agama beberapa waktu lalu menyatakan bahwa lebih baik PNS bercelana cingkrang keluar dari instansi pemerintahan. Apakah ada aturan yang memang melarang penggunaan celana cingkrang? Cingkrang yang saya maksud adalah celana dengan potongan di atas mata kaki, atau sejajar mata kaki." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Istilah “Cingkrang” “Cingkrang” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (“KBBI Daring”) diartikan sebagai “terlalu pendek”. Berdasarkan penelusuran kami, istilah tersebut mendeskripsikan potongan celana panjang yang tidak melebihi mata kaki. Wewenang Kementerian Agama Ada perlunya kita membahas terlebih dahulu mengenai batasan wewenang Kementerian Agama dalam mengurusi urusan kepegawaian sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (“Perpres 83/2015”) . Kementerian Agama yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara memiliki fungsi : [1] perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan; koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama ; pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama; pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama ; pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Agama di daerah; pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah; pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang agama dan keagamaan ; pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Agama. Uraian tersebut menunjukkan bahwa Kementerian Agama tidak berwenang mengurus masalah disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) maupun menetapkan kebijakan umum yang berlaku bagi seluruh PNS . Selain itu, dalam kelembagaan Kementerian Agama terdapat pranata Sekretariat Jenderal yang memiliki fungsi, di antaranya: Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian , keuangan, kerumahtanggaan, kerja sama, hubungan masyarakat, arsip, dan dokumentasi Kementerian Agama; [2] Pembinaan dan penataan organisasi dan tata laksana. [3] Berdasarkan uraian fungsi Kementerian Agama dan Sekretariat Jenderal, menurut hemat kami, Kementerian Agama hanya berwenang membina kepegawaian dalam lingkungan Kementerian Agama . Penyelenggara Pembinaan Kepegawaian Kementerian yang berwenang menetapkan kebijakan kepegawaian yang dapat berlaku secara umum adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi . Hal ini sebagaimana tergambar dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang menerangkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyelenggarakan fungsi: perumusan dan penetapan kebijakan di bidang reformasi birokrasi, akuntabilitas aparatur dan pengawasan, kelembagaan dan tata laksana, sumber daya manusia aparatur, dan pelayanan publik; koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang reformasi birokrasi, akuntabilitas aparatur dan pengawasan, kelembagaan dan tata laksana, sumber daya manusia aparatur, dan pelayanan publik; koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; koordinasi pelaksanaan supervisi dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan; pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; dan pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Lembaga lain yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan manajemen PNS secara umum adalah Badan Kepegawaian Negara (“BKN”). Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) mengatur bahwa: BKN memiliki fungsi: pembinaan penyelenggaraan Manajemen ASN ; penyelenggaraan Manajemen ASN dalam bidang pertimbangan teknis formasi, pengadaan, perpindahan antar instansi, persetujuan kenaikan pangkat, pensiun; dan penyimpanan informasi Pegawai ASN yang telah dimutakhirkan oleh Instansi Pemerintah serta bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangan Sistem Informasi ASN. BKN juga memiliki tugas yang diatur dalam Pasal 48 UU ASN . Pasal tersebut selengkapnya berbunyi: BKN bertugas: mengendalikan seleksi calon Pegawai ASN; membina dan menyelenggarakan penilaian kompetensi serta mengevaluasi pelaksanaan penilaian kinerja Pegawai ASN oleh Instansi Pemerintah; membina Jabatan Fungsional di bidang kepegawaian; mengelola dan mengembangkan sistem informasi kepegawaian ASN berbasis kompetensi didukung oleh sistem informasi kearsipan yang komprehensif; menyusun norma, standar, dan prosedur teknis pelaksanaan kebijakan Manajemen ASN; menyelenggarakan administrasi kepegawaian ASN; dan mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar, dan prosedur manajemen kepegawaian ASN. Selain itu, Pasal 54 UU ASN mengatur bahwa: Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi Pemerintah berdasarkan Sistem Merit dan berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing . Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing . Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, wewenang pembinaan kepegawaian pada setiap instansi berada di tangan instansi itu sendiri berdasarkan rekomendasi dan konsultasi dari BKN. Ketentuan tentang Celana Cingkrang UU ASN tidak mengatur mengenai larangan bagi PNS untuk menggunakan pakaian tertentu. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”) pun hanya terdapat larangan bagi PNS untuk memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS . [4] Yang dimaksud dengan “menggunakan atribut PNS” dalam ketentuan tersebut adalah seperti menggunakan seragam Korpri, seragam dinas , kendaraan dinas, dan lain-lain. [5] Pengaturan lebih lanjut mengenai seragam PNS kemudian diserahkan kepada instansi masing-masing. Kami akan mencontohkan ketentuan mengenai pakaian PNS di lingkungan Kementerian Dalam Negeri (“Kemendagri”) dan pemerintah daerah (“Pemda”) yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2007 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah (“Permendagri 6/2016”). Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) Permendagri 6/2016 mengatur bahwa: Pakaian Dinas di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri terdiri dari: Pakaian Dinas Harian disingkat PDH, terdiri dari: PDH Warna khaki; PDH Kemeja putih, celana/rok hitam atau gelap; dan PDH Batik. Pakaian Sipil Harian disingkat PSH; Pakaian Sipil Resmi disingkat PSR; dan Pakaian Sipil Lengkap disingkat PSL. Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi terdiri dari: Pakaian Dinas Harian disingkat PDH, terdiri dari: PDH Warna khaki; PDH Kemeja putih, celana/rok hitam atau gelap; dan PDH Batik/Tenun/Pakaian khas daerah. Pakaian Sipil Harian disingkat PSH; Pakaian Sipil Resmi disingkat PSR; Pakaian Sipil Lengkap disingkat PSL; dan Pakaian Dinas Lapangan disingkat PDL. Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri dari: Pakaian Dinas Harian disingkat PDH, terdiri dari: PDH Warna khaki; PDH Kemeja putih, celana/rok hitam atau gelap; dan PDH Batik/Tenun/Pakaian khas daerah. Pakaian Sipil Harian disingkat PSH; Pakaian Sipil Resmi disingkat PSR; Pakaian Sipil Lengkap disingkat PSL; Pakaian Dinas Lapangan disingkat PDL; Pakaian Dinas Harian disingkat PDH Camat dan Lurah; dan Pakaian Dinas Upacara disingkat PDU Camat dan Lurah. Peraturan tersebut tidak menguraikan adanya larangan mengenai potongan celana cingkrang sebagaimana yang Anda maksud. Meskipun demikian, Lampiran Permendagri 6/2016 menentukan model pakaian dinas yang menjadi rujukan bagi para PNS di lingkungan Kemendagri dan pemda, di antaranya: Menurut hemat kami, penggunaan celana cingkrang atau potongan celana panjang yang memiliki panjang tidak melebihi mata kaki, pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ; Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil ; Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi ; Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama ; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2007 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah , sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2007 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah . Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan , diakses pada 5 November 2019, pukul 11.32. [1] Pasal 2 dan 3 Perpres 83/2015 [2] Pasal 7 huruf c jo. Pasal 6 Perpres 83/2015 [3] Pasal 7 huruf d jo. Pasal 6 Perpres 83/2015 [4] Pasal 4 angka 12 huruf b PP 53/2010 [5] Penjelasan Pasal 4 angka 12 huruf b PP 53/2010 tata negara kementerian agama hukumonline lembaga pemerintah" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin meminta masukan. Apakah pailitnya perusahaan dapat menghapus tanggung jawab pidana atas perbuatan penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh direktur dalam sebuah PT?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Kepailitan tidak menghapus tanggung jawab pidana atas penggelapan yang dilakukan anggota direksi. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, dari pertanyaan yang Anda sampaikan, kami asumsikan bahwa pailitnya perusahaan terjadi karena kesalahan anggota direksi yang melakukan penggelapan. Atas tindakan tersebut, menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Penggelapan yang Dilakukan Direksi Sanksi pidana terhadap direksi yang diduga melakukan penggelapan dalam jabatannya dapat mengacu pada Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yang berbunyi: Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Tindak pidana yang dilakukan Direksi tersebut, memang dimungkinkan terjadinya kerugian terhadap perusahaan. Tetapi untuk dapat dihukum, perlu adanya pembuktian di persidangan. Tanggung Jawab Anggota Direksi dalam Pengurusan Perseroan Kemudian terkait dengan pertanyaan Anda mengenai apakah pailit dapat menghapus pidana penggelapan yang dilakukan oleh direktur dalam sebuah perusahaan, berikut penjelasannya: Kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) , adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. [1] Jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda, maka dalam hal ini yang pailit adalah perusahaan. Perlu diketahui, kepailitan suatu perusahaan bisa terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dalam menjalankan atau mengelola perseroan. Namun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut. Adapun definisi direktur/direksi yang Anda maksud mengacu ke Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), yaitu: Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Pada dasarnya, direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran dasar. [2] Di samping itu, direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan yang wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. [3] Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. [4] Lalu bagaimana jika pailitnya perusahaan terjadi karena kesalahan atau kesengajaan anggota direksi yang melakukan penggelapan? Kesalahan Anggota Direksi Hingga Menyebabkan Perusahaan Pailit Jika memang direksi tersebut melakukan penggelapan dan menimbulkan kerugian pada perusahaan hingga pailit, maka ia sebagai direksi harus bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT yang berbunyi: Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Perlu diketahui bahwa tanggung jawab direksi tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab pidana menurut Pasal 155 UUPT : Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana . Dari bunyi pasal di atas, maka kepailitan perusahaan tidak dapat menghapuskan tanggung jawab pidana seorang (direksi). Meskipun tindakan direksi menggelapkan uang perusahaan mengakibatkan kepailitan, maka tanggung jawab dari tindakan tersebut pada perusahaan berbeda dengan tanggung jawab pidana yang harus dipertanggungjawabkan oleh direksi tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Referensi : R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor. [1] Pasal 1 angka 3 UU Kepailitan [2] Pasal 92 ayat (1) dan (2) UUPT [3] Pasal 97 ayat (1) dan (2) UUPT [4] Pasal 104 ayat (2) UUPT rups pt hukumonline komisaris perseroan klinik hukumonline tindak pidana perusahaan direksi pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah gubernur, walikota, dan bupati itu ASN?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pertama-tama penting untuk kita terlebih dahulu mengenai definisi Aparatur Sipil Negara (“ASN”). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ASN, ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil (“PNS”) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (“PPPK”) yang bekerja pada instansi pemerintah.\n\nSelanjutnya, Pasal 1 angka 2 UU ASN menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pegawai ASN adalah PNS dan PPPK yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintah atau diserahi tugas negara lainnya dan diberikan penghasilan berdasarkan perundang-undangan.\n\nAdapun yang dimaksud PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.[1] Sedangkan istilah PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dan/atau menduduki jabatan pemerintahan.[2]\nApakah Gubernur, Walikota, dan Bupati itu ASN?\n\nBerdasarkan Pasal 58 UU ASN disebutkan bahwa gubernur, walikota, dan bupati merupakan pejabat negara. Berikut ini siapa saja yang dimaksud pejabat negara, yaitu:\n\nPresiden dan Wakil Presiden;Ketua, wakil ketua, dan anggota MPR;Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR;Ketua, wakil ketua, dan anggota DPD;Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada MA serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;Ketua, wakil ketua, dan anggota MK;Ketua, wakil ketua, dan anggota BPK;Ketua, wakil ketua, dan anggota KY;Ketua dan wakil ketua KPK;Menteri dan jabatan setingkat menteri;Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh;Gubernur dan wakil gubernur;Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; danPejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.\n\nAdapun pengertian pejabat negara dapat ditemukan pada Pasal 1 angka 7 UU Keprotokolan, yaitu pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat negara yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang.\n\nMenyambung pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara.[3] Akan tetapi, jika pegawai ASN mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil wali kota, ia wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai pegawai ASN sejak ditetapkan sebagai calon.[4]\n\nJadi, berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa gubernur, walikota, dan bupati bukan ASN, melainkan pejabat negara.\n\nSelain itu, perlu diingat bahwa pihak yang mengangkat ASN dan kepala daerah seperti gubernur, walikota, dan bupati itu berbeda. Pengangkatan pegawai ASN dilaksanakan oleh pejabat pembina kepegawaian, yaitu pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[5]\n\nSedangkan, bagi gubernur dan wakilnya dilantik oleh presiden/wakil presiden/menteri.[6] Kemudian untuk walikota dan wakil walikota serta bupati dan wakil bupati dilantik oleh gubernur/wakil gubernur/menteri berdasarkan Pasal 164 ayat (1), (2), dan (3) UU 10/2016.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4d26ce1fc1a78/undangundang-nomor-9-tahun-2010?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_9_2010)\n3. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65434c1b078b9?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_20_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5433b89a5e93a/node/lt5209c0b79f64d/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-1-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_1_2014)\n5. [Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54d32c5a567d3/undang-undang-nomor-1-tahun-2015?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2015)\n6. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5523407e6dc03?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2015)\n7. [Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt578e1c1341856/undang-undang-nomor-10-tahun-2016/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_10_2016)\n8. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n9. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f34cfa2e1122/undang-undang-nomor-6-tahun-2020?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_6_2020)\n[1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”)[2] Pasal 1 angka 4 UU ASN[3] Pasal 57 UU ASN[4] Pasal 59 ayat (3) UU ASN[5] Pasal 1 angka 10 UU ASN[6] Pasal 163 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang" }
{ "from": "human", "value": "Apakah kepala desa adalah termasuk penyelenggara negara? Apabila kepala desa melakukan penyimpangan terhadap pengelolaan keuangan desa, proses peradilannya apakah tipikor atau peradilan umum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: KLINIK TERKAIT Syarat Calon Kepala Desa 01 Jul 2024 Merasa Dirugikan Peraturan Walikota? Ajukan Ini 20 Jun 2023 Pemerintah Desa Melakukan Pungutan dari Masyarakat, Bolehkah? 11 Okt 2022 Bolehkah Calon Kepala Desa Tidak Berasal dari Desa yang Bersangkutan? 10 Jan 2017 Kepala desa bukanlah penyelenggara negara selaku pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Kepala desa adalah penyelenggara pemerintahan desa. Jika ia terlibat dalam tindak pidana korupsi terhadap keuangan desa yang berdampak pada kerugian keuangan negara, maka ia diproses melalui Pengadilan Tipikor. Hal ini karena Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasus dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Terima kasih atas pertanyaan Anda. Arti Penyelenggara Negara Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [1] Sementara, Penyelenggara Negara itu sendiri meliputi: [2] 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa undang-undang ini tidak menyebut bahwa kepala desa merupakan penyelenggara negara. Di samping itu, dilihat dari fungsi yang dijalani oleh kepala desa, kepala desa bukanlah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Dalam artikel Apakah Kepala Desa Termasuk Pejabat Negara? juga dijelaskan bahwa kepala desa bukanlah pejabat negara sehingga dilihat dari definisi penyelenggara yang kami sebutkan tadi, maka ia bukan penyelenggara negara. Adapun kedudukan kepala desa yang sesungguhnya adalah penyelenggara pemerintahan desa. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. [3] Sumber Keuangan Desa Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Hak dan kewajiban ini menimbulkan pendapatan , belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa. [4] Sumber pendapatan desa ini antara lain adalah: [5] a. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota; c. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota; d. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Dalam praktiknya, aturan pengelolaan keuangan desa ini tertuang kembali dalam peraturan daerah setempat. Jika kepala desa melakukan penyimpangan keuangan desa itu, maka perlu dilihat kembali bagaimana bentuk penyimpangan yang dimaksud? Jika yang Anda maksud adalah korupsi dengan menggunakan pendapatan desa yang merugikan keuangan negara, maka ia diadili di pengadilan tindak pidana korupsi (“Pengadilan Tipikor”). Hal ini karena yang termasuk lingkup tindak pidana korupsi antara lain menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) adalah secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Di samping itu, wewenang Pengadilan Tipikor menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”) yaitu : Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: [6] a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; c. dan/atau tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Contoh Kasus Kepala Desa Melakukan Korupsi Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 7/TIPIKOR/2014/PT. BDG . Hakim menyatakan bahwa Terdakwa (saat melakukan tindak pidana korupsi berstatus sebagai kepala desa) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”korupsi sebagai perbuatan berlanjut”. Kepala desa ini terbukti melanggar sejumlah aturan dalam peraturan daerah setempat tentang Keuangan Daerah, di antaranya adalah tindakan memperkaya diri sendiri. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa antara lain adalah menggunakan kompensasi dari PDAM Kab. Kuningan atas pemanfaatan sumber air Cibulan untuk kepentingan pribadi. Akhirnya, Hakim menjatuhi terdakwa dengan pidana penjara selama 2 ( dua) tahun serta denda sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 ( enam ) bulan dan Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp. 70.428.500,- ( tujuh puluh juta empat ratus dua puluh delapan ribu lima ratus rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ; 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ; 3. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ; 4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa . PUTUSAN Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 7/TIPIKOR/2014/PT. BDG . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU 28/1999”) [2] Pasal 2 UU 28/1999 [3] Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”) [4] Pasal 71 UU Desa [5] Pasal 72 ayat (1) UU Desa [6] Pasal 6 UU Pengadilan Tipikor kepala desa" }
{ "from": "human", "value": "Apakah kepala desa bisa jadi pegawai negeri sipil?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Pada dasarnya, tidak ada aturan yang secara ekplisit melarang kepala desa untuk menjadi PNS. Akan tetapi, jika kita merujuk pada Pasal 59 PP Desa, dapat disimpulkan bahwa seorang kepala desa tidak dapat merangkap jabatan sebagai PNS. Sedangkan yang diatur secara eksplisit adalah PNS yang ingin menjadi kepada desa harus mendapat izin dari tertulis dari pejabat pembina kepegawaian. Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Kepala desa adalah salah satu unsur penyelenggara pemerintahan desa. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”) . Jadi, kepala desa adalah penyelenggara pemerintahan desa (lihat juga Pasal 23 dan Pasal 25 UU Desa ). KLINIK TERKAIT Bisakah Eks WNA Menjadi PNS di Indonesia? 18 Apr 2024 Ingin Ikut Pencalonan Kades? Ini Batas Minimum Usianya 16 Feb 2022 Bolehkah PNS Merangkap Jadi Advokat? 08 Mei 2017 Bolehkah Calon Kepala Desa Tidak Berasal dari Desa yang Bersangkutan? 10 Jan 2017 Pada dasarnya, calon kepala desa wajib memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU Desa : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; e. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar; f. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa; g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; h. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara; i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang; j. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; k. berbadan sehat; l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah. Penjelasan lebih lanjut mengenai syarat kepala desa dapat Anda simak dalam artikel Bolehkah Calon Kepala Desa Tidak Berasal dari Desa yang Bersangkutan? Kemudian, apakah kepala desa pada masa jabatannya boleh menjadi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”)? Untuk menjawabnya, kita perlu mengetahui apa saja larangan yang berlaku bagi kepala desa itu, yakni pengaturannya dapat kita lihat dalam Pasal 29 UU Desa : a. merugikan kepentingan umum; b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu; c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya; d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu; e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa; f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menjadi pengurus partai politik; h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang; i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan; j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah; k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan l. meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mengacu pada pasal di atas, pada dasarnya tidak ada larangan secara eksplisit bagi kepala desa untuk menjadi PNS. Adapun yang diatur misalnya kepala desa harus netral dan tidak menunjukkan suatu keberpihakan pada golongan tertentu (larangan menjadi pengurus partai politik yang diatur dalam Pasal 29 huruf g UU Desa ). Di samping itu, masih berhubungan dengan kedudukannya, kepala desa juga dilarang merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan ( Pasal 29 huruf i UU Desa). Jadi, sebenarnya tidak ada aturan yang melarang kepala desa menjadi PNS. Yang diatur adalah bahwa PNS bisa menjadi kepala desa. Pengaturan ini antara lain terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 43 UU Desa yang pada intinya mengatur bahwa Kepala Desa yang diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa atau sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara itu diberhentikan setelah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal sisa masa jabatan kepala desa itu tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa. Kemudian, dalam hal sisa masa jabatan kepala yang diberhentikan itu lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa [ Pasal 47 ayat (1) UU Desa ]. Selain itu, PNS dapat menjadi kepada desa dapat dilihat dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“PP Desa”) yang berbunyi: (1) Pegawai negeri sipil yang mencalonkan diri dalam pemilihan kepala Desa harus mendapatkan izin tertulis dari pejabat pembina kepegawaian. (2) Dalam hal pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpilih dan diangkat menjadi kepalaDesa, yang bersangkutan dibebaskan sementara dari jabatannya selama menjadi kepala Desa tanpa kehilangan hak sebagai pegawai negeri sipil. Akan tetapi, jika kita merujuk pada Pasal 59 PP Desa , dapat disimpulkan bahwa seorang kepala desa tidak dapat merangkap jabatan sebagai PNS. Ini karena PNS baru dikembalikan lagi ke instansi induknya jika telah berhenti sebagai kepada desa. Pasal 59 PP Desa: (1) Kepala Desa ya ng berstatus pegawai negeri sipil apabila berhenti sebagai kepala Desa dikembalikan kepada instansi induknya. (2) Kepala Desa yang berstatus pegawai negeri sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun sebagai pegawai negeri sipil diberhentikan dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil dengan memperoleh hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh pada Pasal 16 Peraturan Daerah Kabupaten Gresik No. 12 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah (“Perda Gresik 12/2006”) diatur persyaratan calon kepala desa sebagai berikut: 1. Sehat jasmani dan rohani; 2. Berkelakuan baik, jujur dan adil; 3. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di desa setempat; 4. Terdaftar sebagai penduduk desa setempat dan bertempat tinggal di desa setempat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terakhir dengan tidak terputus-putus kecuali putra desa (daerah); 5. Tidak dalam status Penjabat Kepala Desa dan atau Perangkat Desa minimal 1 (satu) bulan sebelum mendaftarkan diri sebagai calon Kepala Desa; 6. Bagi anggota TNI/Polri yang mencalonkan diri sebagai Kepala Desa harus mendapatkan ijin tertulis dari Pimpinan Instansi induknya; 7. Bagi PNS yang mencalonkan diri sebagai Kepala Desa harus memiliki surat persetujuan dari pejabat yang berwenang. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ; 3. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik No. 12 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah . pns" }
{ "from": "human", "value": "Apakah definisi pejabat negara? Siapa saja yang termasuk pejabat negara? Apakah kepala desa termasuk pejabat negara?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 10 Desember 2013. KLINIK TERKAIT Bolehkah Jadi Calon Kepala Desa Jika Pernah Dipidana? 29 Mei 2024 Jerat Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi 21 Nov 2023 Apa Itu Dusun dan Cara Pembentukannya 25 Jan 2022 Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan 23 Jan 2017 Intisari: Kepala desa bukan merupakan pejabat negara. Adapun kepala pemerintahan daerah yang masih termasuk dalam pejabat negara menurut UU ASN hanya sampai pada Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Definisi Pejabat Negara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) tidak menyebutkan definisi pejabat negara. Selain itu, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Wicaksana Dramanda, S.H. dalam artikel Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan , pejabat negara merujuk pada pengertian pemerintahan dalam arti yang luas. Menurutnya, pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Sebagai contoh pejabat Negara adalah anggota DPR, Presiden, dan Hakim. Pejabat-pejabat tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara . Yang Termasuk Pejabat Negara Sedangkan, siapa saja yang termasuk pejabat negara disebut dalam Pasal 122 ASN , yaitu: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j. Menteri dan jabatan setingkat menteri; k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l. Gubernur dan wakil gubernur; m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang. Kepala Desa Termasuk Pejabat Negara? Menjawab pertanyaan Anda, dari daftar pejabat negara di atas tidak menyebutkan bahwa kepala desa merupakan pejabat negara. Adapun kepala pemerintahan daerah yang masih termasuk dalam pejabat negara hanya sampai pada Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota. [1] Mengenai pejabat negara dan kaitannya dengan penyelenggara negara juga lebih jauh dapat Anda simak dalam artikel Kategori Penyelenggara Negara, Pejabat Negara, dan Pegawai Negeri . Adapun kedudukan kepala desa yang sesungguhnya adalah penyelenggara pemerintahan desa. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. [2] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ; 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa . [1] Pasal 122 huruf m UU ASN [2] Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tata negara pejabat negara kepala desa" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana hukumnya apabila kepala desa yang sudah menjabat divonis penjara 1 tahun 9 bulan, apakah langsung diberhentikan tetap? Mohon ditindaklanjuti. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 16 Mei 2014. KLINIK TERKAIT Cara Mengajukan Izin Penutupan Jalan untuk Hajatan 08 Mei 2023 Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan 23 Jan 2017 Masalah Kewenangan Pemerintah Desa Memungut Pajak 21 Nov 2016 Apakah Kepala Desa Termasuk Pejabat Negara? 15 Agt 2016 Intisari: Apabila kepala desa saat menjabat divonis (dinyatakan sebagai terpidana) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka kepala desa yang bersangkutan diberhentikan oleh Bupati/Walikota. Namun, mekanisme penggantian kepala desa yang divonis itu bergantung pada sisa masa jabatannya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami perlu memberitahukan bahwa UU Desa tidak mengenal istilah pemberhentian tetap. Istilah yang dikenal dalam UU Desa adalah kepala desa yang bersangkutan diberhentikan sementara atau diberhentikan. Mengacu pada hal ini, kami menyimpulkan bahwa maksud dari diberhentikan adalah kepala desa diberhentikan secara tetap dari jabatannya. Calon Kepala Desa atau Kepala Desa yang Terlibat Tindak Pidana Pada dasarnya, aturan terkait tindak pidana yang dilakukan baik oleh calon kepala desa, maupun oleh seseorang yang sudah menjabat sebagai kepala desa telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”) . Untuk calon kepala desa , sebenarnya telah ada pengaturan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi jika ingin menjadi kepala desa, salah satunya adalah tidak pernah dijatuhi hukuman pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 33 huruf h dan i UU Desa : Calon kepala desa wajib memenuhi persyaratan : a. …. b. …. c. …. d. …. e. …. f. …. g. …. h. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara ; i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang; j. …. k. …. l. …. m. …. Selanjutnya, apabila yang bersangkutan sedang menjabat sebagai kepala desa , namun melakukan tindak pidana, maka ia diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan. [1] Selain itu, kepala desa juga diberhentikan sementara oleh bupati/walikota setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. [2] Ini berarti, kepala desa diberhentikan sementara setelah dinyatakan sebagai terdakwa atau tersangka (untuk tindak pidana tertentu). Kepala Desa yang Divonis Penjara Apabila ternyata kepala desa tersebut telah divonis (dinyatakan sebagai terpidana) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka kepala desa yang bersangkutan diberhentikan (diberhentikan tetap) oleh Bupati/Walikota. [3] Hal ini juga dapat terlihat dari ketentuan mengenai pemberhentian kepala desa. Pasal 40 ayat (2) UU Desa mengatur bahwa Kepala Desa diberhentikan karena: a. berakhir masa jabatannya; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa ; atau d. melanggar larangan sebagai Kepala Desa. Yang mana salah satu syarat sebagai calon kepala desa, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara serta tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih. Yang Mengisi Kekosongan Jabatan Jika Kepala Desa Diberhentikan Lalu, siapa yang mengisi kekosongan jabatan sebagai kepala desa jika kepala desa telah diberhentikan? Untuk hal ini, ada dua kemungkinan: Kemungkinan pertama, apabila sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan tidak lebih dari 1 (satu) tahun , bupati/walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai penjabat kepala desa sampai dengan terpilihnya kepala desa. [4] Kemungkinan kedua, dalam hal sisa masa jabatan kepala desa yang diberhentikan lebih dari 1 (satu) tahun , bupati/walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai penjabat kepala desa sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa dan memenuhi persyaratan. [5] Hal serupa juga diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“PP Desa”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa , yakni kepala desa diberhentikan karena dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. [6] Lebih lanjut, apabila kepala desa yang diberhentikan itu sisa masa jabatannya tidak lebih dari 1 (satu) tahun, maka bupati/walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai penjabat kepala Desa sampai terpilihnya kepala Desa yang baru. [7] Namun, apabila kepala desa yang diberhentikan itu sisa masa jabatannya lebih dari 1 (satu) tahun, maka bupati/walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai penjabat kepala Desa sampai terpilihnya kepala Desa yang baru melalui hasil musyawarah Desa. [8] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa . [1] Pasal 41 UU Desa [2] Pasal 42 UU Desa [3] Pasal 43 UU Desa [4] Pasal 46 ayat (1) UU Desa [5] Pasal 47 ayat (1), (2), dan (3) jo. Pasal 33 UU Desa [6] Pasal 54 ayat (2) huruf g PP Desa [7] Pasal 55 jo. Pasal 54 ayat (2) huruf g PP Desa [8] Pasal 56 jo. Pasal 54 ayat (2) huruf g PP Desa berhenti walikota pengadilan bupati hukumonline putusan kepala desa tata negara hukum desa diberhentikan vonis" }
{ "from": "human", "value": "Apakah kepala sekolah negeri termasuk pejabat pemerintahan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Badan Layanan Umum (BLU) dan Ruang Lingkupnya 07 Feb 2022 Syarat PNS yang Mencalonkan Diri di Pilkada 01 Feb 2019 Bolehkah Kakak Kelas Menghukum Adik Kelas? 03 Feb 2017 Pelatihan dan Evaluasi Kerja Kepala Sekolah 28 Nov 2016 Intisari: Kepala sekolah negeri adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin sekolah dengan status pegawai negari sipil (“PNS”). PNS menurut UU ASN adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan . Dengan demikian, kepala sekolah negeri adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin sekolah dengan berstatus PNS, sehingga termasuk pejabat pemerintahan atau pejabat publik. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kepala Sekolah Pengaturan mengenai kepala sekolah dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”) dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah (“Permendiknas 28/2010”) . Kepala sekolah /madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin taman kanak-kanak/raudhotul athfal (TK/RA), taman kanak-kanak luar biasa (TKLB), sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK), atau sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) yang bukan sekolah bertaraf internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). [1] Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. [2] Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah merupakan pegawai negeri sipil (“PNS”). [3] Jadi, kepala sekolah negeri adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin sekolah dengan status PNS. Apakah PNS Pejabat Pemerintahan? Ketentuan mengenai PNS diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) . Lalu, apakah seluruh PNS merupakan pejabat pemerintahan? Menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dalam artikel Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan , jabatan adalah lingkungan kerja tetap yang bersifat abstrak dengan fungsi tertentu, yang secara keseluruhan mencerminkan kerja organisasi. Sifat abstrak dari sebuah jabatan, mengharuskan adanya pejabat yang diberikan wewenang dan tanggung jawab agar jabatan dapat menjadi konkret dan fungsi-fungsinya dapat dijalankan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka organisasi merupakan sebuah kumpulan dari jabatan-jabatan yang memerlukan pejabat sebagai konkretisasi jabatan. Masih bersumber dari artikel yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh penulis Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH Unpad, Wicaksana Dramanda, S.H. , dengan berdasarkan 3 (tiga) jenis lembaga negara yang dikategorikan oleh Bagis Manan, pejabat pemerintahan adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga yang menjalankan fungsi administratif belaka atau lazim disebut sebagai pejabat administrasi negara seperti menteri-menteri sebagai pembantu Presiden, beserta aparatur pemerintahan lainnya di lingkungan eksekutif. Wicaksana menjelaskan bahwa pengertian jabatan dan pejabat sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan tergambar dalam UU ASN. Dalam UU ASN dijelaskan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara terdiri dari dua jenis, yakni pegawai yang berstatus PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”). [4] PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan . [5] PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. [6] Selain itu, UU ASN juga menggolongkan jenis-jenis jabatan, di antaranya adalah jabatan administrasi, jabatan pimpinan tinggi, jabatan fungsional. [7] Untuk jabatan administrasi, UU ASN memberikan tiga macam sub jabatan, yakni jabatan administrator, jabatan pengawas, dan jabatan pelaksana . [8] Pejabat dalam jabatan pelaksana bertanggungjawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. [9] Wicaksana menyimpulkan bahwa pegawai ASN pada tingkat pelaksana pun dikategorikan sebagai pejabat, yakni pejabat pelaksana. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh pegawai ASN, baik yang berstatus sebagai PNS maupun PPPK merupakan pejabat pemerintahan atau pejabat publik . Memang secara eksplisit tidak disebutkan bahwa kepala sekolah merupakan pejabat pemerintahan. Berdasarkan uraian di atas, kepala sekolah negeri adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin sekolah dengan berstatus PNS, sehingga termasuk pejabat pemerintahan atau pejabat publik. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ; 3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah . [1] Pasal 1 angka 1 Permendiknas 28/2010 [2] Pasal 1 angka 1 UU 14/2005 jo. Pasal 1 angka 2 Permendiknas 28/2010 [3] Lihat Pasal 30 ayat (5) UU 14/2005 [4] Pasal 6 UU ASN [5] Pasal 1 angka 3 UU ASN [6] Pasal 1 angka 4 UU ASN [7] Pasal 13 UU ASN [8] Pasal 14 UU ASN [9] Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 14 huruf c UU ASN sd lembaga pemerintah lembaga pemerintahan kepala sekolah pegawai negeri sipil guru pns klinik hukumonline asn tata negara pendidikan dan kebudayaan hukumonline pejabat pemerintahan sma sekolah pejabat negara google jabatan lembaga hukum klinik dosen" }
{ "from": "human", "value": "Saya selaku sopir truk karena sesuatu hal mengalami kecelakaan, sehingga menabrak tugu taman/bangunan milik pemerintah, kemudian saya mengganti kerugian atau membangunkan kembali tugu/bangunan tersebut. Apakah ada pasal yang menyatakan bahwa saya harus membayar kepada polisi/satlantas sebagai ganti rugi? Jika memang harus membayar, berapa nominalnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Golongan Kecelakaan Lalu Lintas Merujuk pada Pasal 229 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) , diterangkan bahwa ada 3 golongan kecelakaan lalu lintas yang terdiri atas: Kecelakaan lalu lintas ringan; Kecelakaan lalu lintas sedang; atau Kecelakaan lalu lintas berat. Kecelakaan lalu lintas ringan sebagaimana dimaksud merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang. [1] Maka dari itu, kecelakaan yang Anda alami dapat dikategorikan sebagai kecelakaan lalu lintas ringan , karena hanya merusak kendaraan Anda dan/atau tugu atau bangunan tersebut. Pertanggungjawaban Kecelakaan Lalu Lintas Jika kecelakaan mengakibatkan rusaknya kendaraan dan/atau barang karena kelalaiannya berlaku Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan dan/ atau denda paling banyak Rp1 juta . Adapun macam bentuk pertanggungjawaban terhadap kelalaian tersebut juga didasarkan pada Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ yang mengatur: Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/ atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. Jika kecelakaan tersebut terjadi dengan sengaja dan mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang, maka berlaku Pasal 311 ayat (1) dan (2) UU LLAJ yang menerangkan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 3 juta . Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/ atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah). Ganti Kerugian Akibat Kecelakaan Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM) atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas. [2] Ketentuan ganti kerugian tercantum dalam Pasal 236 UU LLAJ yang berbunyi: Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan . Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat. Lebih lanjut, Pasal 234 ayat (2) UU LLAJ menyatakan bahwa setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi. Ketentuan pertanggungjawaban tersebut menjadi tidak berlaku jika : [3] adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. Dengan demikian, nominal ganti rugi akibat kerugian yang timbul dari kecelakaan ditentukan melalui putusan pengadilan sebagai pidana tambahan. Ganti kerugian tersebut juga dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai antara para pihak. Ketentuan tersebut berlaku bagi ganti kerugian atas kerusakan barang orang lain dan kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan. Perlu diketahui dalam Pasal 61 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas (“Perkapolri 15/2013”) , dinyatakan bahwa penyelesaian penentuan dan pembayaran ganti kerugian materiil yang diselesaikan melalui proses di luar pengadilan dilakukan secara musyawarah langsung di antara pihak-pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas tanpa melibatkan penyidik/penyidik pembantu. Lalu, jika untuk kesepakatan damai yang telah dibuat tersebut kemudian dituangkan dalam surat pernyataan kesepakatan damai. [4] Apabila unsur-unsur tindak pidana kecelakaan lalu lintas ringan telah terpenuhi dan tidak terjadi kesepakatan damai , maka penyelesaian perkaranya diselesaikan melalui proses peradilan dengan acara singkat. [5] Maka dari itu, menurut hemat kami, berdasarkan ketentuan dalam UU LLAJ serta Perkapolri 15/2013, ganti kerugian hanya diberikan berdasarkan kesepakatan damai atau putusan pengadilan. Jadi, jika perkara Anda telah diputus melalui putusan pengadilan bahwa harus membayar ganti kerugian, Anda seharusnya tidak dimintai kembali ganti kerugian oleh pihak terkait. Sama halnya jika Anda telah menyetujui kesepakatan damai, seharusnya tidak dikenai pidana tambahan berupa kewajiban ganti kerugian dalam putusan pengadilan. Baca juga: Pertanggungjawaban Hukum Akibat Mengemudi Saat Mengantuk Penanggung Jawab Bidang Jalan serta Sarana dan Prasarana Pihak ketiga yang dimaksud dalam Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ meliputi orang yang berada di luar kendaraan bermotor atau instansi yang bertanggung jawab di bidang jalan serta sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan . [6] Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (“UU Jalan”) , wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional. Sementara itu, wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi. [7] Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa. [8] Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota. [9] Maka dari itu, ganti kerugian yang harus Anda bayar akibat merusak jalan dan sarana prasarananya diberikan kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan jalan di mana Anda mengalami kecelakaan. Sebagai contoh, jika kecelakaan yang Anda alami berada di ruas jalan provinsi, kami berpedoman pada Pasal 3 ayat (2) huruf p Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 270 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perhubungan yang menyatakan salah satu tugas Dinas Perhubungan adalah melakukan  penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana di bidang perhubungan . Selain itu, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 118 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum , Dinas Pekerjaan umum mempunyai tugas melaksanakan pengaturan, pembinaan, pembangunan, peningkatan, pemeliharaan, pengendalian dan pengamanan jalan, jembatan, pengelolaan sumber daya air dan sarana jaringan utilitas. Jika kecelakaan yang Anda alami berada di ruas jalan provinsi dan mengakibatkan rusaknya jalan dan sarana prasarananya, maka ganti kerugian diberikan kepada pemerintah setempat, secara khusus dinas-dinas terkait, bukan kepada pihak kepolisian. Contoh Kasus Perkara kecelakaan lalu lintas ringan diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [10] Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Nomor 20/Pid.Sus/2018/PN.Mjy menerangkan bahwa Terdakwa yang mengemudikan bus menabrak akibat kelalaiannya dan mengakibatkan empat kendaraan bermotor (mobil) mengalami kerusakan (hal. 23). Pada amar putusan, Terdakwa terbukti melanggar Pasal 310 ayat (1) UU LLAJ (hal. 23) dan dijatuhi pidana penjara selama 4 bulan (hal. 25). Selain itu, pada alasan yang memberatkan, Pengadilan mempertimbangkan bahwa antara korban dan Terdakwa belum ada kesepakatan ganti rugi terhadap kerusakan mobil (hal. 24). Pengadilan tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 314 UU LLAJ yang telah dijelaskan di atas. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 118 Tahun 2009 Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 270 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perhubungan Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Nomor: 20/Pid.Sus/2018/PN.Mjy . [1] Pasal 229 ayat (2) UU LLAJ [2] Pasal 314 UU LLAJ [3] Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ [4] Pasal 63 ayat (2) Perkapolri 15/2013 [5] Pasal 63 ayat (4) Perkapolri 15/2013 [6] Penjelasan Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ [7] Pasal 15 ayat (1) UU Jalan [8] Pasal 16 ayat (1) UU Jalan [9] Pasal 16 ayat (2) UU Jalan [10] Pasal 230 jo. Pasal 229 ayat (2) UU LLAJ kecelakaan lalu lintas hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah hak prerogatif presiden dapat di-PTUN-kan? Lalu apa dasar hukumnya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Kami berasumsi bahwa konteks pertanyaan Anda adalah kasus Keppres grasi Schapelle Leigh Corby. Paling tidak, pertanyaan ini relevan dengan kasus yang kini disengketakan di PTUN Jakarta. Secara formal sejumlah akademisi memang menganggap keppres grasi sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara (TUN). Keputusan Presiden (keppres) adalah beschicking , yakni keputusan pejabat TUN yang dilihat dari Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara . Keppres grasi dikeluarkan pejabat TUN, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. KLINIK TERKAIT Dasar Hukum Penerbitan Kebijakan Moratorium 05 Jan 2023 Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi 26 Nov 2018 Apakah Surat Pemecatan yang Dikeluarkan Direktur PDAM Termasuk Keputusan TUN? 26 Agt 2011 Pengadilan Tata Usaha Negara 02 Agt 2010 Pertanyaan Anda tersurat bukan semata mempersoalkan keppres grasi, melainkan hak prerogatif presiden. Apa sebenarnya yang dimaksud hak prerogatif? Suatu hak disebut prerogatif presiden jika kewenangan yang lahir dari hak itu bersifat khusus yang mandiri. Jadi, ia merupakan sebuah kewenangan mandiri yang dimiliki Presiden ( Padmo Wahjono , 1986). Sebelum amandemen UUD 1945, ada banyak kewenangan mandiri yang dimiliki presiden. Tetapi setelah amandemen, kemandirian pelaksanaan wewenang itu menjadi hilang. Salah satunya pemberian grasi. Menurut Jimly Asshiddqie (2009), pemberian grasi (dan rehabilitasi) berkaitan dengan teknis hukum, berkaitan dengan putusan pengadilan. Sebelum memberikan grasi Presiden harus lebih dahulu memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Ini juga sejalan dengan norma yang diatur dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Grasi (perubahan terakhir dengan UU No. 5 Tahun 2010 ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pemberian grasi masih merupakan hak prerogatif presiden? Pada umumnya, doktrin yang berkembang sebelum amandemen UUD 1945 menyepakati bahwa pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi adalah hak prerogatif presiden. Pemberian grasi adalah dalam posisi sebagai kepala negara yakni sebagai lambang persatuan dan kesatuan bangsa ( Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim , 1988). Namun pada dasarnya pembedaan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan dalam pelaksanaan hak prerogatif sudah tidak relevan lagi dipersoalkan karena dalam praktik sulit dipisahkan ( Jimly Asshiddiqie , 2006). Setelah amandemen UUD 1945 , ada perbedaan pandangan yang muncul. M. Fajrul Falaakh (2009) mengatakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara di bidang yudikatif memerlukan pertimbangan MA dengan tujuan agar pemberian grasi tetap sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, pertimbangan MA dilaksanakan dalam kaitan dengan fungsi kepenasihatan ( advisory function ) di bidang hukum yang dimiliki. Objek yang digugat ke PTUN tentu saja bukan hak prerogatif presiden, melainkan surat keputusan TUN (dalam hal ini keppres). Anda bisa melihat yang dimaksud dengan keputusan pejabat TUN dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (terakhir diubah dengan UU No. 51 Tahun 2009 ). Soal apakah secara materiil, keppres pemberian grasi misalnya, boleh di-PTUN-kan atau tidak, tentu saja sangat tergantung pada putusan hakim . Kami belum menemukan satu pun keppres pelaksanaan hak prerogatif presiden yang diatur dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) yang  digugat ke PTUN dan berhasil. Berdasarkan praktik selama ini, ada beberapa jenis keppres ( Indroharto , 2000), yaitu: Keppres sebagai peraturan pelaksanaan TAP MPR, misalnya Keppres Repelita. Keppres sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang. Keppres yang berfungsi sebagai dasar hukum bagi presiden untuk melaksanakan wewenang pemerintahannya. Keppres yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana UUD 1945 sendiri. Konteks pertanyaan Anda adalah jenis keempat. Menurut Indroharto, kedudukan keppres jenis ini tampak berdiri sendiri, karena walaupun sumbernya UUD 1945, ia bersifat dan berfungsi material secara khusus pula. Ketetapan yang dibuat berdasarkan keppres ini bersifat konstitutif dan isinya lebih berfungsi sebagai ketetapan yang tidak mengikat secara umum. Indroharto menyebut contoh keppres pengangkatan menteri. Jadi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, yang dapat digugat ke PTUN tentu saja bukan hak prerogatif presiden, melainkan surat keputusan TUN (dalam hal ini keputusan presiden) yang didasarkan pada berbagai ketentuan yang telah disebutkan di atas. Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat. REFERENSI:\n1. 1. Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku I). Jakarta: Sinar Harapan, 2000. 2. Jimly Asshiddiqie. Komentar atas Undang-Undang Dasar 1945 . Jakarta: Sinar Grafika, 2009. 3. Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi . Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006. 4. Moh. Fajrul Falaakh, ‘Menata Sistem Presidensial’, dalam Zainal Arifin Mochtar dan Saldi Isra (ed). Jalan Berliku Amandemen Konstitusi . Jakarta: Kelompok DPD di MPR, 2009. 5. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia . Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 1988. 6. Padmo Wahyono. Negara Republik Indonesia . Jakarta: Rajawali, 1986. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara\n2. 2. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentangPerubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara\n3. 3. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi." }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah BPD (Badan Permusyawaratan Desa) merupakan/termasuk Badan Tata Usaha Negara atau tidak? 2. Apakah keputusan BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dapat dikategorikan sebagai Keputusan TUN (Tata Usaha Negara)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang Anda kirimkan ke Klinik hukumonline. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk dijelaskan maksud Badan Tata Usaha Negara dan Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”). KLINIK TERKAIT Perbedaan Peraturan dan Keputusan 06 Jan 2023 Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan 23 Jan 2017 Masalah Kewenangan Pemerintah Desa Memungut Pajak 21 Nov 2016 Di Mana Peraturan Desa Diundangkan? 13 Sep 2016 Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (“UU No. 5 Tahun 1986”) menyebutkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara (“TUN”) adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku. Jadi, suatu badan bisa disebut Badan Tata Usaha Negara jika menurut peraturan perundang-undangan mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. R. Soegijatno Tjakranegara (2002: 82-83), mengatakan yang dijadikan ukuran untuk mengetahui apakah yang dihadapi itu adalah Badan atau Pejabat TUN haruslah dilihat pada fungsinya saat ia melakukan suatu perbuatan yang sesuai peraturan perundang-undangan. Jadi, harus dilihat kepada peraturan terkait. Karena itu, tulis, Soegijatno, pada dasarnya tidak tertutup kemungkinan bahwa tiap penguasa di setiap lingkungan kekuasaan negara di pusat dan daerah dengan sebutan dan struktur apapun dapat dianggap sebagai Badan atau Pejabat TUN asalkan kewenangannya berbuat demikian ditentukan peraturan perundang-undangan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Adapun KTUN menurut Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam bukunya, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (1993), Indroharto menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Frasa ‘peraturan perundang-undangan’ dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 terdiri dari peraturan yang bersifat mengikat secara umum dikeluarkan oleh DPR dan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, dan keputusan Badan atau Pejabat TUN yang bersifat mengikat umum, baik di pusat maupun daerah. Dalam perspektif UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , peraturan desa diakui sebagai salah satu bentuk peraturan daerah. Menurut Undang-Undang ini, peraturan desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama kepala desa atau nama lainnya. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 , pengganti UU No. 10 Tahun 2004, peraturan desa tak lagi masuk tata urutan, tetapi masih diakui sebagai bentuk peraturan perundang-undangan lain. Pertanyaannya, apakah Badan Permusyawaratan Desa dikenal dalam peraturan perundang-undangan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan pemerintahan? Tentang pemerintahan desa, bisa lihat artikel Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan . Selanjutnya, mari kita lihat, misalnya, PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa . Di sana jelas disebutkan adanya wewenang desa. Pasal 11 PP No. 72 Tahun 2005 tegas menyatakan pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. BPD mempunyai wewenang: (i) membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa; (ii) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa; (iii) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa; (iv) membentuk panitia pemilihan kepala desa; (v) menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyaraka; dan (vi) menyusun tata tertib BPD. Wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan menjadi ukuran untuk disebut sebagai Badan/Pejabat TUN (R. Wiyono, 2009: 24). Agar suatu keputusan BPD bisa dikategorikan sebagai Keputusan TUN, maka harus dipenuhi persyaratan ada penetapan tertulis, bersifat konkrit, individual dan final, serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara 2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan . 3. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa REFERENSI:\n1. 1. Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku I). Jakarta: Sinar Harapan, 1993. 2. R. Soegijatno Tjakranegara. Hukum AcaraPeradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. 3. R. Wiyono. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. bpd" }
{ "from": "human", "value": "Ada seorang ibu yang melahirkan anak di luar nikah. Si ibu, meskipun tidak mampu, berusaha membesarkan anaknya yang masih berumur 14 hari, dan belum mendaftarkan akta kelahiran yang berdasar surat lahir. Tapi ada saudara yang mengambil paksa anak tersebut dengan mengintimidasi si ibu, dengan alasan ekonomi lebih mampu. Pertanyaannya, apakah ibu tersebut dapat mengambil kembali anak tersebut lewat jalur hukum? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Penculikan Siswa, Bisakah Pihak Sekolah Ikut Dituntut? 27 Nov 2023 Jerat Pidana Bagi Pelaku Penjualan Anak 14 Okt 2014 Daluarsa Gugatan Hak Waris Anak Luar Kawin 26 Feb 2014 Perbedaan Perkawinan Beda Agama Secara ‘Siri’ dan di Luar Negeri 18 Nov 2013 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas NAYARA Advocacy merupakan lawfirm yang mengkhususkan keahliannya dalam bidang hukum perorangan dan hukum keluarga. Untuk berdiskusi lebih lanjut, silakan hubungi +6221 - 22837970 atau email ke: [email protected] Website : http://www.nayaraadvocacycom Intisari: Patut diketahui bahwa seorang Ibu berhak atas anaknya. Bahkan dalam kasus anak yang lahir luar kawin, sang anak memiliki hubungan perdata hanya dengan ibunya. Akan tetapi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, sang anak juga mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti menurut hukum. Ini berarti, saudara si Ibu tidak berhak untuk mengambil anak tersebut. Saudara si Ibu dapat dipidana atas dasar penculikan. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami sangat terkesan dengan tanggung jawab yang ditunjukkan si Ibu kepada anak tersebut. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki nya , si Ibu tetap melahirkan dan berusaha untuk membesarkan anak tersebut. Kami akan mencoba memberikan saran atas permasalahan yang dihadapi Ibu tersebut berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia , sebagai berikut: Apakah Ibu Tersebut Dapat Mengambil Kembali Anak Tersebut Lewat Jalur Hukum ? Sebelumnya patut diketahui terlebih dahulu bahwa seorang Ibu berhak atas anaknya. Bahkan dalam kasus anak yang lahir luar kawin, sang anak memiliki hubungan perdata hanya dengan ibunya. Hal ini telah ditegaskan di dalam Pasal 43 a yat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“ UU Perkawinan ”) jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (“ KHI ” ) sebagai berikut: Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan: “ Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. ” Pasal 100 KHI: “ Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. ” Terhadap Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dilakukan uji materiil. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 terkait Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, pada intinya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa anak luar nikah tidak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya, tetapi juga mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologisnya sepanjang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti menurut hukum. Lebih lanjut dapat dibaca dalam artikel Putusan MK Semata Lindungi Anak Luar Kawin . Namun demikian, pembuktian hubungan keperdataan secara hukum tidak cukup sampai dengan fakta bahwa si Ibu melahirkan anak tersebut. Apalagi dengan adanya kasus bahwa anak si Ibu direbut dengan paksa oleh saudara si Ibu. Dengan merujuk kepada pembahasan di atas, maka hal yang perlu dilakukan oleh si Ibu membuktikan hubungan perdatanya dengan sang anak melalui akta kelahiran. Mengapa Akta Kelahiran ? Merujuk kepada Pasal 55 UU Perkawinan jo. Pasal 103 KHI , maka pembuktian asal usul anak adalah dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. Bila akte kelahiran tersebut tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut, instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Mengenai cara membuat akta kelahiran dapat dibaca dalam artikel Akta Kelahiran , yang diakses dari portal resmi Provinsi DKI Jakarta ( www.jakarta.go.id ), yang pada intinya menyebutkan persyaratan pelaporan kelahiran sebagai berikut: a. Surat Pengantar RT/RW; b. Surat Keterangan Kelahiran dari Rumah Sakit/Dokter/Bidan/Pilot/Nahkoda c. Asli dan Fotokopi KK bagi penduduk/SKSKPNP bagi penduduk non permanen; d. Asli dan Fotokopi KTP Orang tua/SKDS/Surat Keterangan Pelaporan Tamu; e. Asli dan Fotokopi Surat Nikah/Akta Perkawinan Orang tua; f. Asli dan Fotokopi Paspor bagi Orang Asing; g. Surat Keterangan Kepolisian untuk anak yang tidak diketahui asal-usulnya; dan h. Surat Keterangan dari lembaga sosial untuk kelahiran anak penduduk rentan. Sedangkan untuk memperoleh akta kelahiran, syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: a. Surat Keterangan Kelahiran dari Kelurahan b. Asli dan Fotokopi Surat Keterangan Kelahiran dari dokter/bidan/penolong kelahiran/Nakhoda Kapal Laut atau Pilot Pesawat Terbang dengan memperlihatkan aslinya Surat c. Nikah/Akta Perkawinan orang tua d. Fotokopi KK dan KTP orang tua e. Nama dan identitas saksi pelaporan kelahiran f. Persetujuan Kepala Dinas/Suku Dinas. dalam hal pelaporannya melebihi 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahirannya Tindakan Saudara si Ibu Adapun tindakan saudara si Ibu adalah tindakan yang tergolong dalam pelanggaran Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“ UU Perlindungan Anak ”) dan Pasal 14 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“ Perubahan UU Perlindungan Anak ”) yang pada intinya mengatur bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri . Serta melanggar Pasal 76F Perubahan UU Perlindungan Anak : “ Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan , penjualan, dan/atau perdagangan Anak. ” Perbuatan saudara si Ibu dapat dikatakan penculikan karena saudara si Ibu telah merebut hak si anak dari orang yang memiliki hak untuk merawatnya yaitu ibunya. untuk dapat mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya . Lebih lanjut, tindakan saudara si Ibu sudah masuk kategori penculikan anak. Tindakan saudara si Ibu yang melanggar Pasal 76F Perubahan UU Perlindungan Anak dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp60 juta dan paling banyak Rp300 ratus. [1] Demikian pendapat dan langkah hukum yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat bagi si Ibu. Terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; 3. Kompilasi Hukum Islam. [1] Pasal 83 Perubahan UU Perlindungan Anak hukumonline hukum klinik anak luar kawin klinik hukumonline akta kelahiran keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang menjadi dasar hukum diperbolehkannya penyelenggaraan kerapan sapi yang ada di Madura sedangkan hal itu sudah sangat jelas sangat bertentangan dengan Pasal 302 ayat 1 dan ayat 2 KUHP?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Hukumnya Hewan Peliharaan Tetangga Mengotori Depan Rumah 13 Okt 2023 Jerat Hukum Bagi 'Pemerkosa' Hewan 19 Jun 2023 Tidak Sengaja Membunuh Hewan Tetangga, Bisakah Dipidana? 17 Nov 2014 Jerat Hukum Penganiaya Binatang 22 Mei 2013 Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Karapan sapi merupakan tradisi dalam masyarakat Madura. Apabila dilakukan melampaui batas-batas yang ditentukan undang-undang seperti dengan menusuk paku atau melumuri balsem dan cabai pada pantat sapi agar ia berlari cepat, maka pelakunya dapat terjerat pidana tentang penganiayaan hewan. Di samping itu, ada peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyebut secara eksplisit bahwa Karapan Sapi merupakan salah satu permainan judi yang dilakukan di tempat ramai dan dikaitkan dengan alasan kebiasaan. Akan tetapi, apabila Karapan Sapi itu berkaitan dengan upacara keagamaan dan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian, maka bukan termasuk permainan judi. Terkait dengan kemungkinan dua tindak pidana di atas yang berkaitan dengan Karapan Sapi, ada pendapat bahwa kriminalisasi terhadap suatu tradisi atau kebiasaan hendaknya tidak dilakukan dan harus dilihat secara objektif sebagai kebiasaan turun-temurun yang perlu dihormati. Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Kerapan atau Karapan Sapi adalah acara khas masyarakat Madura dimana terdapat seorang joki dan 2 ekor sapi yang dipaksa untuk berlari sekencang mungkin sampai garis finish . Joki tersebut berdiri menarik semacam kereta kayu dan mengendalikan gerak lari sapi. Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Karapan Sapi: Madura Punya Tradisi . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Di samping itu, bersumber dari artikel Sejarah Karapan sapi, Tradisi, Pesta, dan Prestise Rakyat Madura yang kami akses dari laman Lontar Madura juga disebutkan bahwa bagi masyarakat Madura, Karapan Sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar setiap tahun atau hanya sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam Karapan Sapi, ada beberapa peralatan yang penting yaitu kaleles dan pangonong, “pangangguy dan rarenggan” (pakaian dan perhiasan), “rokong” ( alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat ). Dalam Karapan Sapi tidak ketinggalan adanya “saronen” (perangkat instrumen penggiring kerapan). Perangkatnya terdiri dari saronen, gendang, kenong, kempul, krecek dan gong. Masih soal bagaimana Karapan Sapi itu dilakukan, dijelaskan juga bahwa sapi yang akan diadu larinya selain diberi jamu penguat stamina juga diberi banyak tusukan paku di ekor dan pantatnya . Selain diberi paku, pantat sapi tersebut dilumuri balsem dan cabai agar efek sakit dan panas yang dirasakan sapi tersebut akan membuat sapi lari sekencang-kencangnya. Demikian juga yang kami kutip dari laman Lontar Madura dalam artikel Rekonstruksi Budaya Madura . Dari penjelasan di atas, apabila yang Anda maksud adalah cara dilakukannya Karapan Sapi dengan menusuk paku atau melumuri pantat sapi dengan balsem dan cabai, maka perbuatan terseut termasuk penganiayaan binatang yang ancaman pidananya terdapat dalam Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Pasal 302 KUHP: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan 1. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya; 2. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan. (3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, yang dimaksud dalam ayat (1) ialah kejahatan penganiayaan enteng pada binatang. Untuk itu harus dibuktikan bahwa: Sub 1: a. orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang; b. perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. Sub 2: a. sengaja tidak memberi makan atau minum kepada binatang; b. binatang itu sama sekali atau sebagian menjadi kepunyaan orang itu atau di dalam penjagaannya atau harus dipeliharanya; c. perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. Penjelasan lebih lanjut soal penganiayaan binatang dapat Anda simak dalam artikel Jerat Hukum Penganiaya Binatang . Di samping itu, Karapan Sapi jelas disebut dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf b dan c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (“PP 9/1981”) sebagai salah satu permainan perjudian yang dilarang. Karapan sapi termasuk dalam permainan perjudian di tempat-tempat keramaian serta termasuk perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan. Sanksi pidana perjudian diatur dalam Pasal 303 KUHP . R. Soesilo (hal. 222) menerangkan bahwa yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, dan juga kemungkinan mendapatkan untung tersebut menjadi lebih besar karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, memang karapan sapi termasuk dalam permainan judi yang dilarang, a kan tetap i , dalam penjelasan pasal ini lebih lanjut dikatakan bahwa Karapan Sapi tidak termasuk pengertian permainan judi apabila berkaitan dengan upacara keagamaan dan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian ( Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf d PP 9/1981 ). Berkaitan dengan Karapan Sapi sebagai salah satu permainan judi yang dilarang, M Azis Syamsudin (anggota DPR) dalam artikel M Azis Syamsuddin: Merengkuh Gelar Doktor Hukum Karena 'Judi' yang membahas soal perjudian dalam disertasinya, berpendapat antara lain bahwa judi adalah realitas sosial yang sulit dienyahkan dari kehidupan masyarakat. Bagi sebagian kalangan judi bahkan menjadi tradisi turun-temurun. Azis mengambil sampel tradisi yang dijalankan etnis Tionghoa di kampung halamannya, Lampung. Di provinsi itu, etnis Tionghoa yang sedang berkabung menyelenggarakan seremoni yang di dalamnya ada permainan domino (kartu). Jika ada peristiwa kematian, bisa dua malam mereka main domino yang diselingi dengan judi. Ritual-ritual itu dianggap sebagai bekal bagi arwah yang meninggal. Contoh lainnya, di Madura judi dimainkan dalam tradisi karapan sapi . Sementara, di Pulau Dewata judi disandingkan dengan kebiasaan masyarakat setempat bermain sabung ayam. Fakta-fakta tersebut menurut Azis harus di lihat secara objektif dan fakta bahwa Indonesia suka atau tidak suka adalah negara pluralisme. Konsekuensinya, kita harus menghormati berbagai agama atau aliran untuk menjalankan keyakinan mereka. Azis menyuarakan ide agar judi secara terbatas tidak lagi dikategorikan sebagai tindak pidana (dekriminalisasi). Dari serangkaian penjelasan kami dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tidak ada dasar hukum positif yang membenarkan dibolehkannya penyelenggaraan Karapan Sapi yang dilakukan dengan cara-cara penyiksaan yang kami sebutkan di atas. Dasar hukum positif yang ada dan membolehkan penyelenggaraan Karapan Sapi sepanjang tidak merupakan perjudian adalah penjelasan Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP 9/1981, dengan catatan, hal tersebut dilakukan terkait upacara keagamaan. Selain itu, dalam artikel Lindungi Sapi Madura dari Ancaman Kekerasan Budaya Karapan Sapi yang kami akses dari laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Timur (DPRD Jawa Timur) dijelaskan bahwa ada produk hukum soal dibolehkannya Karapan Sapi, yaitu Instruksi Gubernur Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Karapan Sapi Tanpa Kekerasan . Dengan demikian, sebenarnya Karapan Sapi sudah ada dasar hukum yang mengaturnya, dengan catatan, dilakukan tanpa kekerasan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915 ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian ; 3. Instruksi Gubernur Provinsi Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Karapan Sapi Tanpa Kekerasan . Referensi : 1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Politeia: Bogor. 2. http://dprd.jatimprov.go.id/berita/id/504/-lindungi-sapi-madura-dari-ancaman-kekerasan-budaya-karapan-sapi- , diakses pada 30 Januari 2015 oukul 17.46 WIB. 3. http://www.eastjava.com/tourism/pasuruan/ina/bull-race.html , diakses pada 30 Januari 2015, pukul 15.28 WIB. 4. http://www.lontarmadura.com/sejarah-karapan-sapi/ , diakses pada 30 Januari 2015, pukul 17.00 WIB. 5. http://www.lontarmadura.com/rekonstruksi-budaya-madura/ , diakses pada 30 Januari 2015, pukul 17.13 WIB. hukum hewan klinik hukumonline kekerasan penganiayaan tindak pidana agama keagamaan adat hukumonline sapi klinik" }
{ "from": "human", "value": "Apakah kerugian yang dialami oleh BUMN dalam melakukan kegiatan usahanya sama dengan kerugian negara?" }
{ "from": "gpt", "value": "Untuk menjawab pertanyaan Saudara maka pertama-tama kami akan menjelaskan mengenai definisi BUMN. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”), Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN sendiri terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Perusahaan Perseroan (“Persero”) dan Perusahaan Umum (“Perum”). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sedangkan, Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Terhadap BUMN yang berbentuk Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 UU BUMN jo. Pasal 3 UU BUMN beserta penjelasannya. Dengan demikian, segala peraturan yang berlaku terhadap perseroan terbatas berlaku juga untuk BUMN yang berbentuk Persero selama tidak diatur oleh UU BUMN. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPT , perseroan terbatas merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Dengan demikian Persero yang dalam pengaturannya merujuk pada UUPT, juga merupakan badan hukum. Dalam buku Prof. Subekti, S.H. yang berjudul “ Pokok-Pokok Hukum Perdata ” pada hal. 21 dijelaskan antara lain, badan hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia. Badan hukum tersebut juga memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, serta dapat digugat dan juga menggugat di muka Hakim. Dengan memiliki kekayaan sendiri, maka kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang melakukan penyertaan di dalam badan hukum tersebut. Ini berarti bahwa berdasarkan pengertian BUMN itu sendiri dan ketentuan dalam UUPT, yang mana BUMN yang berbentuk Persero merupakan badan hukum, maka kekayaan Persero dan kekayaan negara merupakan hal yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan, ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. Kerugian BUMN hanyalah akan menjadi kerugian dari BUMN itu sendiri. Hal tersebut juga berlaku dalam BUMN yang berbentuk Perum, yang berdasarkan Pasal 35 UU BUMN Perum mempunyai status sebagai badan hukum sejak diundangkannya tentang pendirian Perum tersebut dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 35 ayat (2) UU BUMN : “Perum yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.” Oleh karena Perum juga merupakan badan hukum, maka uraian di atas mengenai kekayaan badan hukum yang terpisah dari pendirinya juga berlaku untuk Perum. Selain itu, menteri sebagai salah satu organ Perum, tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum (dengan beberapa pengecualian) sebagaimana terdapat dalam Pasal 39 UU BUMN: Pasal 39 UU BUMN : “Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri: a. baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi; b. terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau c. langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.” Maka apabila kerugian tersebut diakibatkan oleh Perum itu sendiri, maka kerugian tersebut tidak dapat dibebankan kepada negara atau Menteri dan kerugian tersebut bukan merupakan tanggung jawab negara atau Menteri. Dengan begitu jelas bahwa negara yang melakukan penyertaan dalam BUMN tidak mengalami kerugian dengan adanya kerugian dalam BUMN dalam menjalankan usahanya. Meski demikian, terdapat ketentuan yang berbeda terkait kekayaan BUMN sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU Keuangan Negara”).Ketentuan yang kami maksud adalah Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa keuangan negara meliputi: “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;” Dalam Pasal 1 UU Keuangan Negara juga ditegaskan bahwa perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Ini berarti kekayaan BUMN termasuk ke dalam kekayaan negara. Topik ini memang masih menimbulkan perdebatan di antara para ahli hukum, sebagaimana dapat disimak dalam artikel dari Alfin Sulaiman, S.H., M.H. yang berjudul Definisi Keuangan Negara Menurut Konstitusi dan Undang-Undang . Berkaitan dengan hal ini, kami mengutip pendapat Prof. Erman Rajagukguk dalam tulisannya yang berjudul “ Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara ”. Dalam tulisan tersebut, Erman menyatakan bahwa BUMN merupakan badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri. Dengan demikian, kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara. Erman juga berpendapat bahwa “Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam BUMN secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN itu. Dalam hal ini, kami cenderung sependapat dengan argumen yang mengatakan bahwa kekayaan BUMN memang terpisah dari kekayaan negara karena kekayaan negara di dalam BUMN hanya sebatas pada saham tersebut. Sehingga pada saat ada kerugian yang dialami oleh BUMN, hal tersebut bukan kerugian negara, tetapi kerugian BUMN saja. Lain halnya apabila saham negara pada BUMN tersebut dijual tanpa izin dari negara sebagai pemiliknya, baru hal tersebut mengakibatkan kerugian negara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 2. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ; 3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ." }